Untuk
urusan santap makan tampaknya orang Indonesia punya selera yang tinggi. Belum puas
dengan olahan bumbu yang telah di racik oleh sang koki atau chef, --sebelum menyantapnya, dengan mencicipi
sedikit-- biasanya kita akan menambahkan rasa penyedap (bisa di tambah manis,
asin ataupun pedas) kedalam piring atau mangkok makanan, tergantung selera masing-masing. Barulah hidangan itu kita makan.
![]() |
Nasi Goreng dari restoran Dynasti, DC |
Maka
di setiap rumah makan di tanah air, selain kecap (manis/asin), saos tomat dan saos
pedas, kadang pula ada garam, ataupun merica yang biasanya tersaji di meja makan.
Semua penyedap rasa itu semacam ‘aksesoris’
wajib yang harus ada dan tergeletak diatas meja, di samping tempat untuk menaruh
seperangkat sendok/garpu. Bahkan ada pula tambahan kerupuk atau emping tersaji
disudut meja makan. Baik itu restoran kelas kaki lima ataupun restoran elite, di
Jakarta ataupun di daerah lainnya, begitulah gambaran mejanya.
![]() |
Santapan ala mediterania, North Africa |
Sebelum
berangkat ke Amerika, berulang kali kubaca dan kupelajari kisah perjalanan dari
beberapa orang yang ada di blog mereka.
Dari situ banyak informasi dan masukan yang kudapatkan, seperti hal-hal kecil
yang mungkin sepele yang luput dari pikiran.
Colokan listrik misalnya. Disana, model colokannya beda dengan di Indonesa,
bentuknya lancip seperti obeng dengan ‘duamata’. Nah, yang pertama kucari dan amankan dalam tas kecilku tentu colokan
itu, Jangan sampai gara-gara lupa bawa, hape
tak ter-charger. Benda kedua yang
kupersipakan dan kubawa adalah detergent.
Ya, untuk menghemat pengeluaran, aku sengaja tidak menggunakan jasa laundry di
hotel. Nyuci sendiri menjadi pilihan bijak.
Meski disana banyak tersedia detergent
namun dari literature yang kubaca,
ukurannya sangat besar dan tak ada yang seukuran sachet atau sekali pakai. Maka
di Jakarta, kubeli detergent yang
ukuran kecil, agar begitu selesai nyuci, langsung dibuang tanpa sisa. Beres! Nampaknya
tak ada barang remeh temeh namun penting yang luput kubawa. Packing pun dimulai, semuanya masuk ke koper
besar dan tas selempang kecil untuk menaruh dokumen-dokumen penting seperti passport
dan tiket perjalanan.
![]() |
Salmon panggang ala Thailand di Reading Market, Philly |
Begitulah
hingga mendaratlah aku di tanah impian. Nah,
begitu tiba waktu makan dan mulai mencicipi pola dan budaya makan Amerika,
kejadian juga akhirnya. Ternyata ada satu barang yang luput kubawa. Apa itu?
Kecap manis! Ceritanya, waktu pertama kali makan malam, oleh pemandu aku diajak
untuk menikmati santap malam di restoran Chinese
yang halal, deket dengan Dupont Circle. Mereka sengaja mengajakku ke sana lantaran
restoran itu sudah terkenal di kalangan para indonesianis yang tinggal di Washington DC. Beragam menu dengan olahan
nasi tersedia. Dan, yang paling favorit tentu saja nasi goreng. Rasanya khas seperti
nasi goring (nasgor) yang dijual di restoran-restoran mahal di tanah air. Nah, inilah mulanya. Saat hendak menyantap
nasgor, ada rasa yang kurang pas di
lidah. Kurang manis. Bila nyantap nasgor
di Jakarta, biasanya aku pasti menambahkan kecap manis sebagai penyedap rasa
olahan nasgor. Namun yang kulihat tak
ada kecap manis tersedia di meja makan ataupun di dapur mereka. Tampaknya mereka
tak mengenal rasa Kecap model AB* atau Bang*. Kalaupun ada, bentuk dan rasanya seperti
selei manis. Hanya itu. Karena bentuknya
seperti jel dan tidak cair, jelas rasanya
jadi aneh bila dicampur dengan nasi atau masakan lainnya.
![]() |
ala vietnam, udang. @St Louis |
Apa
boleh buat meski tanpa kecap manis, nasgor
itu kuhabiskan. Meski habis namun santapanku kurang lahap, kurang nikmat. Malam
itu aku belum begitu ‘sakau’ lantaran
makan tanpa kecap. Baru pada waktu makan berikutnya, disaat masakan dan makanan
itu membutuhkan penyedap rasa dari kecap, mulailah aku mengutuk diri, kenapa waktu
di tanah air tak sempat beli kecap botol. Sekiranya aku bawa tentu cita rasa
dan kelezatan santapanku akan dahsyat.
Tak
hanya di DC, di kota-kota lain pun demikian adanya. Tak ada kecap manis. Hanya
ada saos tomat dan sejenis saos cabe (pedas), berbentuk sachet kecil. Sialnya,
kecap model (rasa dan bentuk) seperti di tanah air tak kujumpai di toko-toko
yang menjual kebutuhan masak. Yang ada hanya produk olahan dari berbagai macam daging
dan keju. Kalaupun ada saos, rasa dan bentuknya sangat beda. Biasanya digunakan
untuk penambah cita rasa olahan makanan dari Eropa (Italia) atau Afrika Utara.
Ketiadaan
kecap ini menjadi masalah bila aku bersantap di rumah makan asia. Dimana selalu
tersedia rice dalam salah satu
menunya. Menu dan olahan yang disajikan pun sesuai dengan lidah Indonesia. Dan bagiku,
kecap manis tentu harus ditambahkan sebagai penyedap rasa. Selama di Amerika, memang
tidak selamanya kami memakan masakan asia (oriental).
Hanya sesekali saja. Sering kali kami mencoba menu dan masakan berbeda dari berbagai
Negara dan budaya. Hari ini makan di restoran Jepang, besok nyicipin makanan ala timur tengah, lusa nyoba makanan afrika utara, (mediterania)
lain waktu nyoba makanan asia barat
(India, Pakistan, dsk), dan kembali kemakanan amerika (barat). Memang bila kita
bersantap dengan makanan style
America, kecap manis tak perlu digunakan. Steak
misalkan, hanya cukup saos sambal dan tomat. Begitupun sandwich atau burger. Sama
seperti Amerika, olahan dari Afrika Utara pun yang rasanya kayak nano nano tidak membutuhkan kecap manis.
![]() |
Ala Jepang |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar