Sebagai staf
senior, sering kali saya ditugaskan untuk menghadiri rapat mewakili pimpinan.
Beragam rapat saya ikuti. Mulai dari rapat yang sifatnya ecek-ecek, seperti membahas teknis pelaksanaan suatu kegiatan,
sampai pada rapat yang rada serius,
seperti menentukan rancangan suatu kebijakan. Sayangnya, tidak semua rapat yang
saya ikuti terkait bidang dan keahlian saya. Banyak pula disposisi untuk
menghadiri rapat, yang datang ke meja saya, yang materinya atau bahasannya
tidak saya pahami atau bukan fak
saya. Menghadiri rapat kayak gini,
saya mengambil sikap mendengarkan dan mencatat, atau bahasa kaum sufi-nya: sami’na wa ato’na, tanpa bisa memberikan
pandangan atau masukan. Nah, lantaran
sering ditugaskan ikut rapat itulah saya bisa tahu banyak karakter dan sikap
pejabat dalam memimpin rapat.
Rapat di
jajaran birokrasi tentu berbeda dengan di perusahaan swasta. Rapat di
pemerintahan dipimpin oleh pejabat yang menggawangi masalah itu. Asal tahu saja, tak ada rapat yang bisa
dipimpin oleh staf senior macam saya, misalnya, meskipun saya sangat ahli
dibidang tersebut, atau bahasa kerennya senior expert. Rapat tetap harus
dipimpin oleh level pejabat. Biasanya, bila rapat membahas mengenai suatu
kebijakan stategis yang mesti diambil atau diputuskan, maka rapat akan dipimpin
langsung oleh pejabat level tinggi, bahkan bisa langsung diambil alih oleh
gubernur itu sendiri –tentunya dengan didampingi oleh pejabat teknis yang
menguasi bidang itu-- untuk memimpinnya.
Mau tahu
bagaimana alur rapat yang dipimpin oleh gubernur? Melalui pintu khusus,
gubernur akan masuk ke ruang rapat. Beliau menyapa yang hadir, lalu gubernur memberikan
arahan atau pandangan secara global. (Jangan dulu berpikir bahwa gubernur akan
selalu tahu atau menguasai permasalah itu, tidak! Beliau juga manusia, tak
semua masalah ia kuasai dengan baik. Ada panduan atau pointer rapat yang telah disiapkan oleh pejabat/staf yang menguasai
teknis permasalahan tersebut. Dari sini gubernur sebelumnya membaca dan
mempelajarinya --tentu di ruangannya, agar tak kelihatan bodoh di depan anak
buahnya, hehe-- untuk kemudian
memimpin dan mengarahkan secara langsung jalannya rapat). Dari arahan itu
terbukalah cakrawala dan wawasan peserta rapat akan permasalahan yang sedang
dibicarakan. Lalu mulailah para pejabat berbicara dengan tak lupa didahului
kata: “mohon izin!” Dari sini,
muncullah silang pendapat dan argument untuk kemudian disaring dan diputuskan
dalam rapat tersebut.
Bila gubernur
memimpin langsung hingga selesai rapat, maka hari itu juga keputusan final bisa
diambil tanpa menunggu kembali arahan dari sang gubernur. Namun bila sang
gubernur hanya memberi arahan singkat, lalu keluar ruang rapat, maka hasil
rapat yang diputuskan akan dibuatkan surat berupa nota dinas yang meminta
gubernur untuk memberikan disposisinya. Diakhir paragraf nota dinas HARUS tertulis
kalimat: “Demikian laporan ini kami sampaikan, mohon arahan lebih lanjut.”
Begitulah
kurang lebihnya.
Kembali ke
bahasan saya dimuka. Sayangnya, tidak semua rapat dipimpin oleh mereka yang
memang cakap dalam memimpin rapat, even
pejabat tinggi level gubernur sekalipun. Ternyata masih banyak pimpinan atau
pejabat yang memimpin rapat tidak mengarahkan jalannya rapat agar berlangsung
dengan baik. Banyak yang tak cakap dalam men-direct jalannya rapat. Akibatnya (jalannya) rapat sering over time, karena melebar ke hal-hal
yang tidak substansial untuk dibahas.
Lalu bagimana sih rapat yang baik itu? Nah, disinilah ada seni tersendiri dalam
memimpin rapat agar hal-hal yang tak perlu dibahas dapat dikesampingkan, sehingga
jalannya rapat menjadi efektif. Kecakapan memimpin rapat ini tidak ada dalam
mata kuliah manapun di dunia. Kecakapan ini menurut saya erat kaitanya dengan
pengalaman seseorang dalam berorganisasi. Seni ini mengalir pada jiwa seorang
yang mempunyai leadership yang kuat. Ya,
kalau semasa kuliah, misalnya, tak aktif berorganisasi, bagaimana mungkin ia
dapat mengarahkan topik dan berbicara di depan orang. Hanya mereka yang dulunya
aktif dalam organisasi mahasiswa lah
yang tahu asam garam dan dinamika pe-rapat-an.
Ia tahu bagaimana memimpin. Ia tahu bagaimana mengarahkan orang.
Karena sering
rapat itulah saya dapat menyimpulkan bahwa rapat yang baik itu adalah:
- Dipimpin oleh orang yang ngerti masalah yang akan dibicarakan. Sering saya perhatikan pimpinan rapat tidak paham substansi materi pada rapat yang ia pimpin. Akibatnya ia tak dapat memimpin dan mengarahakan alur topik pembicaraan diantara peserta rapat. Harusnya membicarakan A, misalnya, ehh malah topik B yang sering diungkit.
- Optimal, alias efektif dari segi penggunaan waktu. Lantaran tak cakap dalam memimpin rapat maka ia tak mampu membatasi topik-topik apa yang menjadi penekanan untuk diselesaikan pembahasannya. Akibatnya, waktu pun terbuang percuma karena habis berkutat membicarakan sesuatu yang di luar substansi rapat.
- Tepat sasaran alias goal atau output dari rapat yang diadakan dapat diperoleh. Sering kita ikut rapat namun selalu tersisa permasalahan yang tidak terpecahkan. Akibatnya rapat yang membahas satu permasalahan yang sama dapat terjadi hingga berjilid-jilid. Atau bahasa sederhananya akan ada rapat lanjutan, hehe..
- Dan terakhir dapat ditemukan solusi pemecahannya.
Begitulah
romantika pe-rapat-an yang sering
saya jumpai. Tidak semuanya berakhir dengan kekecewaan, bahkan banyak pula
rapat yang saya hadiri berakhir dengan hasil sukses, dalam arti; Rapat dimulai
tepat waktu; Berlangsung secara singkat: Terakhir, dihasilkan keputusan yang
sesuai dengan maksud dan isi rapat. Demikian adanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar