Rabu, 27 Juli 2016

Berkat Usaha Susu Sapi, Anak Betawi Banyak Yang Jadi Orang

Hingga sekitar tahun 80-an, jangan heran bila di Jakarta, susu segar di pasok langsung dari Jakarta. Bukan dari Lembang ataupun dari kawasan lain di luar Jakarta. Selain di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, salah satu kawasan penghasil susu sapi segar adalah Kemang dan Mampang, semuanya di Jakarta Selatan.

Namun, selain kawasan tersebut diatas, ada beberapa tempat lainnya di Jakarta yang mengelola usaha peternakan sapi perah. Condet di Jakarta Timur, misalnya, kawasan ini adalah sentra penghasil susu sapi segar di Jakarta Timur. Menariknya usaha peternakan sapi perah di Jakarta, dikelola dan dikembangkan oleh etnis Betawi. Mungkin lantaran tidak ada pendatang dari etnis lainnya yang memilii tanah dan pekarangan yang luas dan lebar di belakang rumahnya sebagai syarat pengusahaan sapi perah. Saat itu boleh dibilang hampir mayoritas orang tua Betawi berprofesi sebagai peternak sapi. Maka, dengan modal 2 (dua) ekor sapi paling sedikit, jadilah mereka berprofesi sebagai peternak sapi. Peternak dalam hal ini yakni pemerah susu sapi. Meski profesi sebagai peternak sapi perah banyak dilakoni oleh orang betawi di tahun 80-an, namun ada juga dari mereka yang berprofesi sebagai perkebun, dalam arti menjual hasil kebun yang tersebar di tanah-tanah meraka, seperti buah-buahan langsung ke pasar.

Boleh jadi usaha susu sapi perah ini menjadi mata pencarian pokok bagi etnis betawi di sekitaran Mampang dan Kemang lantaran saat itu untuk penyediaan pakan sapi sangat mudah didapat. Rumput tersebar dimana-mana. Kalaupun harus beli, harganya pun sangat terjangkau. Dari usaha per-susu-an inilah keluarga Betawi dapat menyekolahkan anaknya hingga menjadi tukang insinyur, dokter, dan guru ngaji. Bahkan mampu membiayai anak-anaknya untuk sekolah agama ke luar negeri, ke Cairo, Mesir.

Waktu itu, sejak zamannya Bung Karno, beberapa familiku, pernah terlibat dan menekuni profesi sebagai petenak sapi perah. Aku masih ingat, dulu, saat usiaku sekolah dasar sering ngintilin (ikut) encang-ku mengantarkan susu ke pelanggannya. Tak hanya itu, aku juga sering diajak mencari rumput sebagai pakan untuk sapi-sapinya. Dengan mobil kijang bak terbuka type doyok-nya, Ncang-ku, Haji Madamin (nama beken dari dari Haji Muhammad Amin) membeli rumput di kawasan sekitar Warung Buncit. Berkah dari bisnis susu sapi perah ini memang luar biasa. Ncang-ku ini anaknya 8 orang, semuanya disekolahkan hingga menjadi tukang sarjana, hanya dengan mengandalkan bisnis susu sapi perahnya. Encangku yang lain pun demikian. Ncang Naseh namanya, anaknya juga banyak, bererod kayak bebek. Semuanya disekolahkan hingga jadi ‘orang’ hanya dengan lantaran sapi.

Untuk pemasarannya sendiri, biasanya para peternak sapi perah memasarkan susu segarnya ke arah utara ke kawasan Menteng, Jakarta Pusat, yang banyak didiami oleh para orang kaya, berpangkat, dan para pejabat. Untuk mengantarkan susu-susu itu, mereka, para pemerah susu biasanya bersepeda beriringan di pagi buta, selepas subuh saat matahari belum muncul. Mereka bersepeda dari rumahnya di Kemang menyusuri jalan Mampang Raya, Rasuna Said (Kuningan) hingga naik menyebrang menuju kawasan Menteng. Selain ke Menteng, pelanggannya tersebar hingga ke Pasar Kebayoran Lama.

Aktivitas memerah susu dilakukan dua kali dalam sehari, yakni pagi-pagi sekali, dinihari, saat azan subuh belum berkumandang. Selepas subuh, susu segar itu langsung diantar kepada para pelanggan. Pemerahan kedua biasanya dilakukan menjelang asar, sekira jam 3 sore. Selepas Ashar, susu segar itu langsung di kirim ke pelanggan atau bisa juga ke penampung atau koperasi. Koperasi ini lokasinya di kawasan tebet, di Jalan Saharjo.

Hingga sekitar akhir 2010-an di Condet, misalnya masih ditemukan 1, 2 peternak sapi perah. Namun Seiring perkembangan jaman –entah mengapa—usaha peternakan sapi itu terhenti. Areal bekas kandang sapi-nya sendiri berubah menjadi rumah petakan untuk disewakan kepada para pendatang. Salah satu penyebab banting setirnya para peternak sapi perah menjadi juragan kost-kost-an adalah makin sulitnya mendapatkan pakan ternak berupa rumput segar. Kalaupun ada, rumput-rumput itu didatangkan dari luar Jakarta, dan tentu dengan biaya mahal. Disamping itu, faktor lainnya adalah ketiadaan penerus pengganti orang tua yang meneruskan usaha pemerahan ini. Maklum saja, anak muda Betawi, selepas jadi tukang insinyur dan sarjana, gengsinya lebih tinggi, mereka lebih memilih kerja di kantoran jadi ‘orang berpangkat’ ketimbang harus berpeluh dengan keringat dan kotoran sapi.

Usaha pemerahan sapi di wilayah Kuningan telah lebih dulu bangkrut. Bangkrut lantaran tata kota mengharuskan di kawasan itu terlarang untuk pemukiman penduduk marginal betawi dengan usaha peternakannya. Dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW), kawasan itu harus disulap menjadi areal perkantoran dan bisnis. Kemang pun menyusul wafat. Tak ada tersisa peternak sapi di kawasan elite Jakarta ini. Di Kampung Kebon dan Pedurenan (keduanya di Kemang) misalnya, para peternaknya sudah menyulap lahan tempat beternak sapinya menjadi perumahan mewah dan kost-kost-an. Nafkah dan mata pencarian warga asli betawi di Kemang berubah dari bisnis perah sapi menjadi juragan kost-kost-an atau properti. Beruntung, di Kelurahan Tegal Parang, Mampang masih ada satu dua peternak sapi, namun itu tinggal menunggu waktu, menunggu untuk mati secara perlahan.


Senin, 18 Juli 2016

Wawancara Visa USA

Sebelum menuju ke Kedubes USA yang berlokasi agak bersebelahan dengan Balaikota, aku menuju ke Jalan Budi Kemuliaan untuk mengambil surat pengantar dari bagian Exhange Program, yang mengurusi IVLP. Aku tiba agak telat, (sekitar seperapat jam dari yang dijanjikan) yakni pukul 08.35. Sedangkan jadwal wawancaraku di Kedubes USA, Medan Merdeka Selatan adalah pukul 09.00. Setelah mendapat briefing sejenak --tentang tata cara dan apa yag mesti aku minta dan lakukan saat wawancara nanti-- dari Mas Heru, staf yang mengurusi keberangkatanku ke USA, segera kupacu sepeda motorku menuju arah Balaikota.

Alhamdulillah tiba tepat jam 8.55. Hampir saja.. Bergegas aku menuju antrian. Saat itu sudah banyak WNI yang antri untuk mengurus VISA. Karena terlambat, aku berada di urutan ketiga dari belakang. Saat jarum jam menunjuk angka 9.15,  antrian atau appointment visa untuk jam 09.00 itu diberi akses masuk. Petugas security membagi kami ke dalam tiga ‘kloter’. Aku masuk di kloter ketiga, atau kloter terakhir. Kami diarahkan masuk ke ruang (semacam pos keamanan) yang lokasinya persis di depan Jalan Medan Merdeka Selatan. Di pos keamanan ini, semua barang bawaan kami di perikasa dengan seksama. Kamera, Handphone, Laptop, USB, dan segala jenis cairan dilarang masuk. Semuanya harus dititipkan di pos keamanaan. Lalu petugas security memberikan nomor identitas tamu dan para pelamar visa masuk melalui security gate (seperti yang ada di Bandara) dan diarahkan untuk menuju ruang tunggu selanjutnya yang berlokasi sekitar seratus meter dari pos keamanan depan.

Di ruang tunggu ini suasananya persis bila kita hendak mengantri untuk menaiki mobil jemputan di site. Ada bangku-bangku yang tersusun rapi membentuk sekitar tiga row atau banjar. Di ruang ini ada 4 (empat) loket. Pas kami tiba di ruangan ini, kami langsung dihadang oleh petugas jaga. Ia bertugas memeriksa kelengkapan berkas wawancara. Setelah melihat berkasku, aku diarahkan olehnya menuju loket 1. Menariknya, keempat loket ini dijaga oleh seluruhnya tenaga kerja WNI. Disini petugas mem-verifikasi berkas-berkas yang aku bawa seperti pasport dan pasport lama (bila ada), undangan wawancara, formulir DS160, dan formulir DS2019 yang merupakan salah satu persyaratan penting untuk memohon visa J1. (foto gambar). Oleh petugas, aku diberikan semacam boarding pass untuk wawancara visa. Boarding pass ini bentuknya mirip dengan kartu gantungan “DON’T DISTURB” yang lazim terdapat di pintu hotel. Disitu tertulis tata cara pengajuan VISA USA, seperti pengambilan sidik jari, dan sebagainya. Setelah berkasku dinyatakan ok, maka petugas mempersilahkanku menunggu dalam antrian kelompok 32. Masing-masing kelompok terdiri dari sekitar 4 hingga 5 orang pelamar. Tak berapa lama, sekitar 30 menit menungu petugas mempersilakan kelompok 31, 32, dan 33 untuk masuk ke ruang yang berada lebih di dalam areal kedutaan. Di Ruang ini tertulis Visa Section.

Tatkala memasuki Ruang Visa Section ini, kulihat para pelamar duduk untuk menunggu pengambilan sidik jari. Untuk pengambilan sidik jari, operatornya ada dua orang. Satu petugas WNI yang mengarahkan (posisi) jari kita, dan satu officer dari pihak USA, yang berada dalam ruangan yang meneliti identitas kita. Lalu tibalah giliran kelompok ku untuk maju. Kami berbaris. Ada lima orang berbaris rapi untuk mengambil sidik jari. Selepas itu, petugas mengarahkan kami duduk di ruang sebelah untuk menunggu panggilan wawancara.

Sekadar gambaran, bahwa ruang VISA Section (pengambilan sidik jari dan wawancara) berada dalam satu ruang yang berbentuk letter L. Ruang Pengambilan Sidik Jari dan Wawancara hanya dipisahkan oleh sekat kecil tempat menaruh koran dan majalah. Kembali kami mengantri untuk wawancara. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat proses wawancara yang sedang berlangsung. Ada sekitar lima loket. Dan masing-masing loket digawangi oleh petugas dari Kedutaan Amerika. Pelamar berbaris rapi berjejer ke belakang, seperti bila kita ngantri membeli tiket. Tibalah giliran kelompokku, kelempok 32 dipanggil. Langsung, tanpa dikomando kami bangkit dari kursi antrian dan berbaris rapi menuju loket 2.  Kebetulan aku dapat loket yang asik. Loket 1, 2 dan 4 di jaga oleh perempuan, staf Kedubes USA. Jadi, perempuan inilah yang akan mewawancaraiku. “Wah, enak, orangnya ramah dan cantik,” batinku.

Kenapa aku merasa beruntung. Jujur, aku rada salting bila menghadapi wawancara. Masalah gender ini mempengaruhi mood-ku dalam menjawab setiap pertanyaan. Pernah aku dihadapkan pada pewawancara pria, dan –dilalahnya-- pewawancara tersebut tidak friendly, akibatnya, mood-ku jadi jelek dalam menjawab pertanyaan. Ini pernah terjadi tatkala aku diwawancara pada seleksi jabatan terbuka dulu. Dan aku gagal.

Sengaja aku mengambil urutan berdiri ke tiga dalam barisan, dengan pertimbangan agar aku dapat mengintip dan melihat dengan lebih jelas proses wawancara yang sedang berlangsung. Kuperhatikan ada ibu disebelahku, di loket 1 ditanya oleh petugas dengan sangat mendetail. Kuamati petugasnya ramah. Nampaknya petugas wanita itu ingin menggali lebih mendalam maksud dan tujuan si ibu berangkat ke USA. Sampai aku dipangil, ibu tersebut belum juga kelar dari wawancra. Aku tidak tahu ia berhasil atau tidak mendapatkan Visa USA. Dalam proses wawancara ini waktu dan durasi interview tidak dapat diprediksi. Ada yang cepat, yang hanya sekitar 10 menit, namun ada pula yang hampir setengah jam lebih. Makin cepat wawancara, maka bisa dipastikan ia lulus. Namun kalau lama, ya, fifty-fifty, bisa lulus, bisa pula gagal.

Tiba giliranku. Aku maju dua langkah. Dengan kesadaran penuh, aku perlihatkan senyumanku yang paling manawan, dan sebelum ia berkata, aku dahului dengan: “hai, how are you..?” sengaja aku lakukan itu. Aku ingin menciptakan kesan optimis dan bersahabat dengan pewawancara. Langsung dijawab olehnya, “fine”, dan sedetik kemudia ia bertanya. “What’s your name?
Langsung ku jawab. “Rachmat Hidayat”
Ia bertanya nama lantaran harus membuka file atas namaku sebelum menelisik lebih lanjut profil diriku yang tertera dalam komputer yang berada di sisi sebelah kirinya.
“Mo ngapain ke Amerika” mungkin itu terjemahan bebas dari pertanyaan yang ia ajukan selanjutnya.
I’ll attend International Visitor Leadership Program, ” jawabku dengan lancar.
Oh.. Congratulation,” sambarnya dengan senyum manis mengembang, dan aku tahu senyumnya tidak dibuat-buat.

Sejurus kemudian dunia di sekelilingku terasa cerah. Lalu, perempuan itu, --yang aku tak tahu namanya namun kutaksir ia berusia 30-an tahun, pirang, cantik, smart, bisa bicara Indonesia dengan aksen amerika-- berujar yang kurang lebih kuterjemahkan sebagai berikut: “Karena anda dibiayai oleh Pemerintah Amerika Serikat, maka anda harus kembali ke Indonesia selama 2 tahun, dalam arti selama waktu itu anda tidak boleh ke Amerika.”
Langsung aku jawab Ok, sambil tersenyum.
Lalu basa-basiku pun muncul. Kami berbincang sejenak. Aku sok mengakrabkan diri. Tanpa ditanya, aku ceritakan bahwa aku belum pernah ke LN sejauh amerika. Paling banter hanya ke Singapur dan Malaysia. Ia menimpali dengan bahasa campuran. “Wooow congrats, you’re lucky man, bisa pergi ke USA.”

Aku juga cerita bahwa aku sibuk membantu Gubernur Jakarta. Sengaja aku singgung kata “gubernur” mengingat reputasi Pak Ahok sangat baik dimata Amerika. “My office next to your office,” pancingku. Dia menimpali, “ya. I know.” Baru aku sadar, ternyata selama proses wawancara berlangsung, matanya sesekali melirik ke layar komputer yang berada di sampingnya. Layar komputer itu memuat data-data pribadiku. Setelah dirasa cukup menelisik tentangku, lalu ia mulai menandatangani berkas-berkasku dan memberikanku semacam name card yang berisi jadwal pengambilan passport. Ia juga memberikan selembar kertas bertuliskan: “Congratulations. Your U.S. visa has been approved” dan satu lagi semacam buku atau leaflet panduan selama aku berada di USA nantinya. Ini berarti visaku disetujui dan aku bisa pergi ke Amerika!


Selepas aku menerima berkas-berkas itu, aku masih tertegun berdiri. Aku tak tahu harus berbuat apa selanjutnya. Menyadari hal itu, dengan ramah ia memberikan semacam signal bahwa proses wawancara selesai. Aku lalu pamit sambil sekali lagi memberikan senyum manisku padanya dengan mengucap: “Thank you”.

Selasa, 12 Juli 2016

Susahnya Nyari Buah Tangan Ber-Made In USA

Bagiku, menjadi ‘beban’ tersendiri bila bepergian jauh ke suatu tempat sudah dipusingkan dengan keruwetan mau beli apa tuk dijadikan oleh-oleh atau buah tangan. Menjadi beban kalau kebetulan duit cekak, sedangkan request dari istri, anak atau kerabat harus dituruti, bila tidak, bakalan end! Kalaupun uang tersedia, kadang aku bingung mau membelikan apa untuk mereka. Maklum, tak semua tempat yang dikunjungi banyak tersaji buah tangan atau sesuatu yang khas yang layak tuk dibeli.

Paling enak tentu pergi ke tempat-tempat yang kaya akan budaya dan kulinernya. Sumatera Barat misalnya, beli saja keripik sanjai ‘tuk oleh-oleh, beres! Ke Jogja pun demikian, borong saja batik, selesai urusan! Namun, bagaimana kalau kita pergi ke tempat yang kita sendiri bingung mau nyari apa lantaran tidak ada yang khas atau istimewa dari daerah itu.

Nah, inilah yang menjadi kegalauan dan bebanku lantaran dititipi ‘oleh-oleh’ menjelang keberangkaanku ke Amerika Serikat, Maret silam. Sebelum berangkat, orang rumah, yakni istri dan saudara-saudaraku jauh-jauh hari berpesan. “Mat, pokoknya gw jangan dibeliin apa-apa, cukup celana levis aja, ukurannya 42 ya,” pesan kakakku. Adikku yang laki gak mau kalah: “Bang, gw jaket aja ya.” (Saudara) Yang lain? Ya 11 12. Mereka juga kepengen dibelikan oleh-oleh khas Amerika. Dengan canda kubalas permintaan mereka. “Iya, tenang aja, kalo perlu patung liberty gw bungkus,” jawabku dengan santai sambil ngeloyor pergi meninggalkan mereka, hehe..

Apa sih yang menjadi ciri khas Amerika yang bisa dijadikan oleh-oleh? Jeans, tentu saja! Celana itu sudah menjadi semacam trade mark bagi mereka. Dikenal dengan celana cowboy, lantaran si pemakai adalah para penggembala sapi yang menggembakan hewan peliharaannya dengan berkuda dan hidup di padang rumput di pedalaman Amerika. Kata temanku, (jeans) disana selain tentunya asli, juga murah ketimbang di Jakarta. Selain celana jeans, aku belum ada gambaran mau beli apa lagi disana. Yang ada dalam pikiran palingan membeli gantungan kunci dan tempelan kulkas. Hanya itu. Sepertinya gantungan kunci atau tempelan kulkas sudah menjadi oleh-oleh yang mainstream, yang biasa dibawa sebagai buah tangan dari luar negeri.

Beruntung, ditengah padatnya business meeting dan acara-acara resmi lainnya di Washington DC, kami, peserta #IVLP dari Indonesia masih bisa mencuri sedikit waktu di sela-sela jam makan siang. Ya, siang itu selepas rehat, kami dengan dipandu oleh Pak Hengky, sebagai yang punya wilayah, meluncur ke ‘pinggiran’ DC, ke kawasan yang disebut “Gudang”. Gudang ini letaknya masih di kota DC, namun agak menjauh dari ‘pusat kota’. Adanya di kawasan ‘hitam’, yang banyak dihuni oleh warga African American. Alamatnya? Wah, lupa nyatet, namun tak jauh dari Capitol Hill kearah timur.

Tak banyak turis atau orang luar DC yang tahu keberadaan gudang ini. Maklum tempatnya memang menyerupai gudang beneran, tempat bongkar muat. Gudang ini adalah pusat grosir oleh-oleh. Hanya orang-orang tertentu saja, semacam Pak Hengki, penghubung kami di USA yang tahu letaknya. Ada beragam perintilan yang disediakan, seperti gantungan kunci, tempelan kulkas, pulpen, gelas souvenir, kaos, aksesoris penghias meja, dan sebagainya. Melihat itu semua, kami seakan kalap. Maklum harganya yang miring. Sebelumnya kami telah survey harga. Perintilan yang ada di Gudang banyak di jajakan di toko bermobil, di pinggiran jalan di tengah kota, seperti di dekat objek-obyek wisata (monument Washington, Monument Hall, dsk) namun harga yang mereka tawarkan rada mahalan. satu item rata-rata 1 (satu) dollar. Nah, kalau di gudang ini harganya bandrolan. Harganya di hitung per kantong atau bisa juga per lusin. Rata-rata 10 item bisa kena 6 dollar, tergantung pinter-pinternya kita menawar.

Setelah urusan oleh-oleh yang ‘mainstream’ terpenuhi, kini giliran mencari oleh-oleh yang rada mahalan. Ya, masak cuma gantungan kunci. Kan gak mungkin pergi jauh-jauh ke Amerika hanya beli itu saja. Nah, inilah sulitnya. Meski barang disana bagus-bagus namun made in nya buka made in USA melainkan made in china.

Diperhentian kota berikutnya, di Philadelphia, beberapa temanku membeli parfum, baju, tas, sepatu ataupun jaket musim dingin yang banyak dijual di store dan supermarket disana. Katanya sih murah, ketimbang beli di Indonesia, sudah begitu, branded pula. Aku tentu saja tertarik, ingin juga membeli satu atau dua barang sebagai buah tangan. Namun saat kepengen beli, selalu saja urung. Ada saja yang kurang sreg. Ya itu tadi, kebanyakan barang yang ter-display ber-made in bukan made in USA.  

Begitulah, setiap kali tertarik ingin belanja dan beli sesuatu, yang selalu aku perhatikan pertama kalinya adalah made in nya. Jangan sampai beli di Amerika namun ber-made in China, ntar disangka belanja di PGC lagi, hehe.. Nah, pas asyik menelisik label made in tersebut, ada juga ternyata made in Indonesia di USA. Untung gak kebeli. Kan lucu jauh-jauh belanja di Helena, nyatanya barangnya buatan Solo, Indonesia.  grgh grgh..

Selain China, kuperhatikan banyak pula barang-barang buatan negara dunia ketiga atau negara berkembang, semisal Vietnam, Bangladesh, Haiti, Honduras, Malaysia, dsb. Jarang sekali barang buatan eropa, meskipun ada satu dua ber-made in dari negara di kawasan eropa timur.

Kalau temanku sudah mem-voor belanja oleh-oleh di DC dan Philly, hingga kopernya beranak menjadi satu, penuh dengan buah tangan, aku masih menahan diri, belum belanja banyak. Dollar masih kusimpan, belum banyak kubelanjakan. Maklum, masih ada tiga kota tersisa.

Tampaknya siasatku terbukti topcer. Di dua kota terakhir yang kami sambangi, di Helena, Montana dan Salt Lake City, Utah, barulah aku hamburkan dollar-ku. Aku banyak shopping lantaran di kedua kota itu barangnya bagus-bagus dengan harga yang relatif lebih murah ketimbang di kawasan east coast. Di Salt Lake City misalnya. Ada satu toko dekat dengan hotel Little Amerika, tempat kami menginap, yang menjual barang-barang kebutuhan hidup mulai dari baju, jas, jaket, hingga perkakas rumah tangga dengan harga yang sangat murah dan kualitas yang sangat bagus. Aku banyak membeli aksesoris kecil, kaos, jaket, dan baju musim dingin.


Begitulah, sampai menjelang kepulanganku, setelah lebih kurang berada satu bulan di beberapa kota di Amerika Serikat, aku masih belum juga mendapatkan sesuatu yang unik, khas, dan menarik. Tadinya kupikir bisa membeli semacam keripik sanjai atau dodol garut. Namun Amerika bukan Indonesia yang kaya akan dunia kuliner. Jadilah hanya kaos dan gantungan kunci yang terbeli, sebagai oleh-oleh khas Amerika. Dan, satu lagi, sungguh sangat susah menemukan merk barang ber-made in USA.

Senin, 11 Juli 2016

Siapa Bilang Mengalah Itu Mudah

Yah (ayah), enam kali ya..”
“Iya, tapi ayah makan dulu ya, ayah laper..,” jawabku
Ok,” sahutnya.

Masih belum hilang penat dan lelah ini setelah seharian dihadapkan oleh aneka rupa dan ragam manusia yang silih berganti datang mengurus berbagai keperluan di kantor kelurahan, saat motorku tiba persis di depan pintu pagar dan suara motor terdengar olehnya. Dari balik jendela ia mengintip. Sejurus kemudian ia langsung membuka pintu dan terucaplah kata itu.

Selepas makan cemilan, langsung papan catur kami buka. Masing-masing membereskan bidak caturnya. Biasanya ia suka hitam, entah mengapa. Jelas ia belum mengerti akan makna hitam putih bidak catur, seperti belum paham pula makna hitum putih kehidupan. Meski memegang bidak hitam, ia selalu melangkah lebih dulu. Baginya, bidak warna putih tidak otomatis akan melangkah dan memulai permainan.

Sejujurnya aku agak bingung melatih dan mengajarinya main catur. Mulai dari mana? Bagaimana mengajarinya? Apa yang harus dikenalkan lebih dulu, dsb. Bagiku, awalnya –pembelajarannya-- hanya sambil lalu saja. “Kuda jalannya miring, seperti hurup “L”, kalau benteng lurus saja” ujarku, mengajarinya. Beruntung, mungkin lantaran otaknya rada encer ia sudah dapat menangkap bagaimana menjalankan bidak-bidak catur. Ia paham memindahkan kuda, benteng, luncur, menteri, hinga raja. Lalu ‘pelajaran’ berikutnya adalah cara memakan bidak.

Mulanya ia berpikir bahwa jika bidak itu berdekatan atau berhimpitan, maka bisa langsung dimakan. Awalnya aku acuh saja dan mendiamkannya. Namun setelah beberapa kali bermain, mulai dengan telaten aku mendebat pemikirannya. Aku bilang bahwa pion itu makannya miring. Meski begitu, ia sering kali keliru. Tetap saja ia suka memakan apapun yang berhimpitan dengan bidak catur. Untungnya, kekeliruan itu cepat kubenarkan, dan kembali ia patuh dan taat asas. Namun sayangnya ia hanya mampu menjalankan saja, memakan saja. Ia belum paham makna dan nilai benteng vis a vis pion. Atau menteri vis a vis kuda. Baginya, jika ada kesempatan dan bidak catur bisa dimakan, maka dimakanlah. Simple.

Well, bagiku itu sudah bagus. Bahkan ia kerap ‘mengajariku’
Yah (ayah), bentengnya kok gak dimakan. Ini kan bisa dimakan ama ini, “ tunjuknya.
Padahal, sengaja aku tidak memakan bidaknya, lantaran memberikan voor untuknya, agar bidakku banyak dimakan oleh bidaknya hingga ia nantinya akan mudah meruntuhkan rajaku. Serba salah juga. Jelas ia belum paham strategi dan taktik permainan. Ia selalu bermain cepat, nyaris tanpa berpikir. Dan selalu memakan apa yang bisa dimakan.

Maka tidak lah bijak bila saban main catur dengannya aku selalu menang. Itu tidak mendidik. Tentu ia akan down, dan tak semangat bermain lantaran selalu kalah. Nah, bagaimana membuatnya menang? Menang dengan wajar tentunya. Nah, inilah sulitnya. Bermain catur dengan anak kecil usia 6 (enam) tahun, tentu beda dengan anak yang sudah rada besar. Bila dengan anak yang sudah agak mahiran, tentu mudah men-skenario-kan kekalahan. Namun bagaimana bila bermain dengan anak yang tahunya cuma makan doang. Jujur, kadang aku kesulitan juga untuk membuatnya menang. Pernah aku coba membuat rajaku mudah dimakannya, namun ia justru memakan benteng. Dan skenario-ku pun berantakan. Di lain kesempatan aku memakan pionnya dengan harapan ia akan memakan rajaku, namun yang terjadi ia justru balik memakan pion juga. Serba salah. Untung-untungan juga membuatnya agar bisa mengalahkanku. Tentu dengan cara yang seolah-olah memang ia mampu menaklukkanku. Begitulah, seringkali agar permainan cepat berakhir, dengan sengaja aku memposisikan raja pada posisi yang memudahkannya untuk memakannya, heheh..


Maka sudah dapat ditebak, akhir permainan kita selalu dengan skor imbang 3-3. Ya, ini sesuai pintanya bermain catur dalam 6 set atau 6 kali permainan. Selepas itu, aku bisa beristirahat melepas lelah tanpa disibukkan dengan rengakannya: “Yah, (ayah) enam kali ya..” sambil menenteng papan catur, menyambutku sepulang kerja.