Hingga
sekitar tahun 80-an, jangan heran bila di Jakarta, susu segar di pasok langsung
dari Jakarta. Bukan dari Lembang ataupun dari kawasan lain di luar Jakarta.
Selain di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, salah satu kawasan penghasil susu
sapi segar adalah Kemang dan Mampang, semuanya di Jakarta Selatan.
Namun,
selain kawasan tersebut diatas, ada beberapa tempat lainnya di Jakarta yang
mengelola usaha peternakan sapi perah. Condet di Jakarta Timur, misalnya, kawasan
ini adalah sentra penghasil susu sapi segar di Jakarta Timur. Menariknya usaha
peternakan sapi perah di Jakarta, dikelola dan dikembangkan oleh etnis Betawi.
Mungkin lantaran tidak ada pendatang dari etnis lainnya yang memilii tanah dan
pekarangan yang luas dan lebar di belakang rumahnya sebagai syarat pengusahaan
sapi perah. Saat itu boleh dibilang hampir mayoritas orang tua Betawi
berprofesi sebagai peternak sapi. Maka, dengan modal 2 (dua) ekor sapi paling
sedikit, jadilah mereka berprofesi sebagai peternak sapi. Peternak dalam hal
ini yakni pemerah susu sapi. Meski profesi sebagai peternak sapi perah banyak
dilakoni oleh orang betawi di tahun 80-an, namun ada juga dari mereka yang
berprofesi sebagai perkebun, dalam arti menjual hasil kebun yang tersebar di
tanah-tanah meraka, seperti buah-buahan langsung ke pasar.
Boleh
jadi usaha susu sapi perah ini menjadi mata pencarian pokok bagi etnis betawi
di sekitaran Mampang dan Kemang lantaran saat itu untuk penyediaan pakan sapi
sangat mudah didapat. Rumput tersebar dimana-mana. Kalaupun harus beli,
harganya pun sangat terjangkau. Dari usaha per-susu-an inilah keluarga Betawi
dapat menyekolahkan anaknya hingga menjadi tukang insinyur, dokter, dan guru
ngaji. Bahkan mampu membiayai anak-anaknya untuk sekolah agama ke luar negeri,
ke Cairo, Mesir.
Waktu
itu, sejak zamannya Bung Karno, beberapa familiku, pernah terlibat dan menekuni
profesi sebagai petenak sapi perah. Aku masih ingat, dulu, saat usiaku sekolah
dasar sering ngintilin (ikut) encang-ku mengantarkan susu ke
pelanggannya. Tak hanya itu, aku juga sering diajak mencari rumput sebagai
pakan untuk sapi-sapinya. Dengan mobil kijang bak terbuka type doyok-nya, Ncang-ku, Haji Madamin (nama beken dari
dari Haji Muhammad Amin) membeli rumput di kawasan sekitar Warung Buncit. Berkah
dari bisnis susu sapi perah ini memang luar biasa. Ncang-ku ini anaknya 8
orang, semuanya disekolahkan hingga menjadi tukang sarjana, hanya dengan
mengandalkan bisnis susu sapi perahnya. Encangku yang lain pun demikian. Ncang
Naseh namanya, anaknya juga banyak, bererod
kayak bebek. Semuanya disekolahkan hingga jadi ‘orang’ hanya dengan lantaran
sapi.
Untuk
pemasarannya sendiri, biasanya para peternak sapi perah memasarkan susu segarnya
ke arah utara ke kawasan Menteng, Jakarta Pusat, yang banyak didiami oleh para
orang kaya, berpangkat, dan para pejabat. Untuk mengantarkan susu-susu itu,
mereka, para pemerah susu biasanya bersepeda beriringan di pagi buta, selepas
subuh saat matahari belum muncul. Mereka bersepeda dari rumahnya di Kemang menyusuri
jalan Mampang Raya, Rasuna Said (Kuningan) hingga naik menyebrang menuju kawasan
Menteng. Selain ke Menteng, pelanggannya tersebar hingga ke Pasar Kebayoran
Lama.
Aktivitas
memerah susu dilakukan dua kali dalam sehari, yakni pagi-pagi sekali, dinihari,
saat azan subuh belum berkumandang. Selepas subuh, susu segar itu langsung
diantar kepada para pelanggan. Pemerahan kedua biasanya dilakukan menjelang
asar, sekira jam 3 sore. Selepas Ashar, susu segar itu langsung di kirim ke pelanggan
atau bisa juga ke penampung atau koperasi. Koperasi ini lokasinya di kawasan
tebet, di Jalan Saharjo.
Hingga
sekitar akhir 2010-an di Condet, misalnya masih ditemukan 1, 2 peternak sapi
perah. Namun Seiring perkembangan jaman –entah mengapa—usaha peternakan sapi
itu terhenti. Areal bekas kandang sapi-nya sendiri berubah menjadi rumah
petakan untuk disewakan kepada para pendatang. Salah satu penyebab banting
setirnya para peternak sapi perah menjadi juragan kost-kost-an adalah makin sulitnya
mendapatkan pakan ternak berupa rumput segar. Kalaupun ada, rumput-rumput itu
didatangkan dari luar Jakarta, dan tentu dengan biaya mahal. Disamping itu, faktor
lainnya adalah ketiadaan penerus pengganti orang tua yang meneruskan usaha
pemerahan ini. Maklum saja, anak muda Betawi, selepas jadi tukang insinyur dan
sarjana, gengsinya lebih tinggi, mereka lebih memilih kerja di kantoran jadi
‘orang berpangkat’ ketimbang harus berpeluh dengan keringat dan kotoran sapi.
Usaha
pemerahan sapi di wilayah Kuningan telah lebih dulu bangkrut. Bangkrut lantaran
tata kota mengharuskan di kawasan itu terlarang untuk pemukiman penduduk
marginal betawi dengan usaha peternakannya. Dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah
(RTRW), kawasan itu harus disulap menjadi areal perkantoran dan bisnis. Kemang
pun menyusul wafat. Tak ada tersisa peternak sapi di kawasan elite Jakarta ini.
Di Kampung Kebon dan Pedurenan (keduanya di Kemang) misalnya, para peternaknya
sudah menyulap lahan tempat beternak sapinya menjadi perumahan mewah dan
kost-kost-an. Nafkah dan mata pencarian warga asli betawi di Kemang berubah dari
bisnis perah sapi menjadi juragan kost-kost-an atau properti. Beruntung, di Kelurahan
Tegal Parang, Mampang masih ada satu dua peternak sapi, namun itu tinggal
menunggu waktu, menunggu untuk mati secara perlahan.