Mamiku
adalah anak bontot, dari empat bersaudara.
Berbeda dengan Mami yang hanya berputra empat orang, Ncang-ncang ku anaknya banyak. Jadilah aku, meski cuma empat
bersaudara kandung, namun mempunyai saudara sepupu yang banyak. Orang tua kami
memang sangat dekat satu dengan lainnya. Paling tidak sebulan sekali, diantara
mereka, waktu mudanya, saat kami masih kanak-kanak, saling main ke rumah. Lantaran
itulah aku dan para sepupuku sangat dekat.
Diantara
sepupu-sepupuku, ada satu yang punya kelebihan dan talenta yang tidak dimiliki
oleh yang lainnya. Ia, sebagaimana Mamiku, juga anak bontot di keluarganya. Entah sebab apa yang membuatnya punya
kelebihan dan maqom yang tinggi, aku
sendiripun tak tahu. Pasalnya, bila kita telisik satu persatu potensi yang ada
padanya, hampir tak dijumpai nilai positif pun yang patut dijadikan acuan atau
contoh untuk anak-anak kita. Gak percaya? mari kita kuliti sepupuku ini.
Kalau
di reken dari tampang wajah, sepupuku
ini (parasnya) jauh kemana-mana. Wajahnya hancur. Masih kalah ganteng denganku
dan mungkin dengan abang-abangnya yang lain. Itu dari segi face. Nah, dari segi education,
sepupuku ini gak pinter-pinter amat. Mungkin
hanya berkat katrolan nilai, ia,
konon akhirnya bisa lulus S1. Maklum, tempat ia kuliah, sebuah universitas apalah-apalah di Jakarta Selatan kebetulan
juga di ampu oleh sepupuku yang lain. Entah bagaimana ia menyelesaikan S1-nya.
Aku sendiri ragu bila ia sanggup membuat skripsi atau tugas akhir. Sewaktu
kecil, setamat SD, untuk tes masuk Pesantren Darunnajah (DN) saja, ia tak lulus
seleksi. Ia akhirnya berlabuh di pesantren cabang DN, di Parung. Jadi secara akademis, sepupuku ini memang tak
cerdas. Mungkin hanya nasib baiklah yang membuat namanya tercantum sebagai
lulusan bergelar SE, dan itupun bukan dari universitas bonafid sekelas trisakti
atau Untar, apalagi ITB dan Unpad, jauhhhh
bagai langit dan sumur.
Begitulah,
meski wajah dan nilai akademisnya tak patut dijadikan acuan untuk dicontoh,
namun ada banyak kelebihan dan
prestasi lainnya yang dapat ia bangakan kepada kami, para sepupunya. Jujur saja,
sejumlah prestasi dan kelebihannya itu tidak dimiliki olehku dan
sepupu-sepupuku yang lainnya. Bahkan, sampai lebaran kuda pun, kami para
sepupunya takkan pernah sanggup dan bisa menyainginya. Bukan itu saja, bila
kami berserikat untuk mengumpulkan kekuatan dan potensi yang ada pada kami,
tetap saja kami takkan sanggup mengalahkannya. Ia memang diberikan talenta yang
berpebih. Banyak kebisaan (keahlian) yang ia miliki yang justru keahlian itu
tak dimiliki oleh kami, para sepupunya. Agar seimbang, mari kita kuliti juga
kelebihan sepupuku ini.
Jika
kami hanya ahli bermain kelereng, ngaji qur’an, gaple-an, dan badminton, lantaran
hanya permaianan itu yang sering dimainkan oleh anak-anak kampung seperti kami,
maka ia punya keahlian yang jarang dimiliki oleh kami, bahkan oleh anak-anak gedongan
di Kemang. Bilyard misalnya, permainan jenis ini tentu tak pernah kami rasakan sewaktu
kecil. Boro-boro main bilyard, megang sticknya saja tak becus. Waktu
muda, pernah aku diajarinya ‘nyodok’,
namun tetap saja bidikan bola putih tak pernah dengan sempurna menimpa bola
warna lainnya, lantaran pegangan stick-ku yang tak kokoh dan mantaf. Aku give up bila diajak nyodok. Nah, hebatnya sepupuku ini,
sewaktu mudanya pernah menjuarai turnamen bilyard antar mahasiswa se DKI
Jakarta.
Bosen
bermain bilyard, lantaran seng ada lawan
(tak ada lawan yang seimbang) Ia beralih ke golf. Tanah engkongnya yang di Ciganjur
dan Pangkalan Jati yang telah dijual dan tersulap menjadi padang golf, ia
sambangi. Bukan untuk ia beli kembali namun untuk ia rumput alias untuk bermain
golf. Bersama kawan-kawannya para sosialita dan eksekutif papan atas Jakarta,
ia rutin merumput tak hanya di sekitaran Jakarta namun juga merambah hingga
Bali dan Luar Negeri. Hasilnya, ia sukses memenangi beberapa turnamen golf yang
rutin diadakan. Sepengetahuanku, tak hanya bilyard dan golf yang ia kuasai.
Beragam olahraga, hobby, dan kesenangan para orang kaya bin tajir di Jakarta pernah ia coba. Dan, ia
selulu unggul. Ia pernah ikutan hobby ber-motorcross.
Bosen disitu, ia beralih ke motor besar semacam Harley Davidson. Suntuk Di Harley, ia kini berlabuh di Triumph. Kalau kami hanya sanggup
touring seputaran Pelabuhan Ratu saja, itupun dengan motor bebek. Nah, sepupuku
ini level touring-nya menjelajah ke
Sumatera, Lintas Sulawesi, Nusa Tenggara, bahkan hingga ke Eropa.
Aku,
sebagaimana sepupu-sepupuku yang lain sebenarnya heran, apa sih kerjanya sepupuku
ini? Kok pergaulan dan relasinya begitu luas, seluas Samudra Pacific. Perbandingannya,
jika pergaulannya seluas samudera, maka pergaulanku hanya seluas kolam renang
samping rumah. Sepupuku ini, siapa yang tak kenal dengannya. Dari selebritis
kelas teri hingga se-level Raffi Ahmad adalah sohib dekatnya. Dari jajaran
pengusaha kelas teri yang hanya punya satu dua apartemen di Kemang hingga level
mafia migas kelas dunia juga akrab dengan sepupuku ini. Dari politisi kelas kampung
macam Haji Topa, Ketua Forkabi di kampungku, hingga politisi level senayan/istana
sekelas HR akrab ia gauli. Dengan anak-anaknya bahkan ia bergaul akrab. Dari ustadz
model kampung kayak Ustadz Syamsuddin, hingga level ulama sekelas Habib Umar
adalah kawannya. Belum lagi dari kalangan public
figure yang tak terbilang jumlahnya tak luput dari kekeran radar pertemanannya.
Tak ada yang ia tak kenal. Bukan cuma kenal, namun akrab dan terjalin relasi
dan hubungan personal yang hangat diantara mereka.
Pernah
suatu ketika kutanyakan ke sepupu-ku lainnya yang notabene adalah kakak-kakaknya. “Ehh
Si Anu kerjanya apa sih? Kalo Si Anu kerjanya wartawan sich gak heran kalau
punya relasi yang luas, lha Si Anu gw liat seringan di rumah kalo pagi. Usahanya
pun cuma nyewain genset. Kok temen-temennya banyak banget. Orang-orang kaya dan
berpengaruh di Indonesia. Saban bulan
Si Anu gw perhatiin jalan-jalan mlulu ke Bali. Barusan abis dari Jepang dan
Hongkong, duitnya kok banyak banget ya,” tanyaku.
“Gw sendiir gak tau ‘Mat apa kerjaan si Anu..
gw aja yang abangnya heran dia kayak gitu,” ujar abang dari sepupuku itu
Itulah
sepupuku. Meski tak ganteng dan berprestasi secara akademik, namun ia mampu
menggenggam dunia. Jujur saja, bila berbicara didepannya, aku rada keder juga. Untungnya, --diantara
sepupu-sepupuku yang lain--, hanya aku lah
(alhamdulillah) yang pernah ke Amrik, negeri yang belum pernah ia
singgahi. So, aku masih unggul satu lap darinya. Namun, bila ia telah ke Amrik, aku akan kalah segala-galanya. Oh
ya, ngomong-ngomong siapa sih
sepupuku itu? Penasaran…? Tampaknya ia hanya tertawa membaca kisahku ini.
Sudahlah tak usah diungkap, toh para sepupuku yang lain tentu tahu siapa yang
aku maksud, heheh…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar