Senin, 25 September 2017

Mari Wujudkan Sekolah Ramah Anak Di Jakarta

Satu-satunya legacy yang patut dibanggakan oleh duet kepemimpinan Basuki & Djarot --yang sebentar lagi akan berakhir-- adalah keberadaan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak atau yang lebih dikenal dengan sebutan “RPTRA”. Pembangunan RPTRA sendiri dimaksudkan sebagai salah satu upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penyediaan ruang terbuka yang ramah anak, disamping juga sebagai tempat berkumpul dan berkegiatan semua lapisan masyarakat (komunitas) dalam suatu wilayah atau lazim disebut sebagai community center.  

Keberadaan RPTRA ini telah mendapat perhatian dan apresiasi yang luas dari berbagai kalangan. Antusiasme itu ditunjukkan dengan peninjauan ke lokasi-lokasi RPTRA oleh berbagai kalangan seperti para korps diplomatik, pejabat pemerintah dan tamu-tamu negara sahabat yang berkunjung ke Jakarta. Mereka datang untuk menyaksikan secara langsung kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh berbagai komunitas dan anak-anak dalam RPTRA. Mereka terkesan dengan fungsi dan tujuan RPTRA yang ingin mewujudkan kehidupan yang ramah anak dalam suatu kawasan atau ruang publik yang ramah anak di Jakarta.

Upaya untuk mewujudkan kehidupan yang layak bagi anak dengan penyediaan ruang publik ramah anak, yang diinisiasi oleh Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak Dan Pengendalian Penduduk (DPPAP) Provinsi DKI Jakarta patut diapresiasi. Namun demikian, usaha tersebut tidak lantas berhenti dengan pembangunan ratusan RPTRA semata, akan tetapi perlu adanya inovasi, perluasan, dan upaya pengembangan dalam bidang pembangunan yang lain agar program perlindungan anak menuju perwujudan kota Jakarta sebagai Kota Layak Anak (KLA) dapat terus terpelihara. Salah satu program yang layak dicanangkan adalah dalam bidang pendidikan yakni mewujudkan Sekolah Ramah Anak (SRA) di DKI Jakarta.

Di DKI Jakarta bukan tidak di temukan Sekolah Ramah Anak. Di SMAN 3 dan SMAN 29, Jakarta Selatan, misalnya, telah menjadi sekolah rujukan nasional sebagai Sekolah Ramah Anak. Namun demikian, kebijakan ini perlu diperluas dengan menyasar kepada seluruh sekolah yang ada mengingat Jakarta adalah barometer kualitas pendidikan di Indonesia. Disamping itu yang tak kalah menariknya adalah sosok dari Gubernur DKI Jakarta terpilih, Anies Rasyid Baswedan. Doktor lulusan Northern Illinois University ini bukanlah orang baru dalam dunia pendidikan. Inisiator “Gerakan Indonesia Mengajar” ini sebelumnya pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan pada Kabinet Kerja Jokowi. Momentum kepemimpinan Anies ini seyogyanya dapat diambil agar kebijakan SRA dapat segera diimplementasikan di seluruh sekolah-sekolah yang ada di DKI Jakarta.

SRA itu sendiri merupakan komponen yang tak terpisahkan sebagai upaya untuk mewujudkan salah satu indikator KLA. Perlu diingat bahwa usia anak adalah usia sekolah, dimana hampir sepertiga waktu anak akan dihabiskan di lingkungan sekolah. Karena itu keberadaan SRA memegang peranan yang signifikan bagi tumbuh kembang, dan pembentukan karakter kepribadian anak.

Sarana olahraga SMAN 3, Jakarta
Untuk mewujudkan hal tersebut, bagaimana kita men-design dan meng-create Sekolah Ramah Anak (SRA) pada sekolah-sekolah yang ada di Jakarta? Yang pertama adalah harus ada komitmen dan keterpanggilan dari para stakeholders di sekolah tersebut, seperti guru, wali murid (komite sekolah), dunia usaha, dan pemerintah untuk mewujudkan SRA. Tanpa adanya komitmen, bagaimana mungkin terjalin sinergisitas, pelibatan, dan peran serta aktif para pemangku kepentingan dalam setiap permasalahan dan persoalan yang menyangkut anak.

Sekolah Ramah Anak sendiri adalah suatu sekolah yang bertujuan untuk memastikan bahwa sekolah memenuhi, menjamin, dan melindungi hak-hak anak. Mengembangkan minat, bakat, dan kemampuan anak agar terwujud anak yang sehat jasmani dan rohani, serta memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, berbudi pekerti luhur, dan berakhlak mulia. SRA juga mempersiapkan anak untuk bertanggung jawab kepada kehidupan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta membawa rahmat bagi seluruh alam.

Suasana belajar di SMAN 3, Jakarta
Jam sekolah yang berdurasi sekitar 8 (delapan) jam per hari harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk pembentukan karakter dan kepribadian anak. Anak harus merasa nyaman berada di lingkungan sekolahnya. Lingkungan sekolah bagi anak, disamping sebagai tempat belajar, pembentukan nilai-nilai luhur dalam diri anak, juga tempat mereka bermain dan berkumpul dengan teman-temannya. Bagaimana kita memastikan agar sekolah menjadi tempat favorit bagi anak-anak. Harus dipastikan tidak ada pem-bully-an, --baik fisik maupun mental-- dan kekerasan antar siswa (perkelahian) di sekolah, Bagaimana kita membuat agar anak tidak merasa jenuh dan takut untuk berangkat ke sekolah. Dengan demikian, sekolah akan menjadi tempat yang menyenangkan bagi sepertiga waktu mereka, anak menjadikan sekolah sebagai rumah keduanya.

Setelah adanya komitmen dari para pemangku kepentingan lalu dibentuklah Tim Pelaksana SRA yang akan merencanakan dan membuat kebijakan-kebijakan demi terwujudnya SRA. Tim ini akan bertugas untuk menginventarisir kebutuhan-kebutuhan apa saja yang harus disiapkan, sarana dan prasarana apa saja yang mesti dibangun agar tercipta suasana yang kondusif bagi proses belajar mengajar siswa.

Zona aman selamat sekolah
Sebagai perwujudan SRA, ada beberapa sarana dan fasilitas yang harus dipenuhi. Misalnya, agar para siswa (anak) dalam pergi dan berangkat ke sekolah merasa aman dan nyaman tanpa khawatir akan bahaya kendaraan bermotor, maka harus dibuatkan suatu kawasan rute aman dari/ke sekolah, beserta rambu-rambu lalu lintas dan perangkat sarana pendukung lainnya. Keberadaan Zona Selamat Sekolah (Zoss) merupakan komponen yang harus ada dalam setiap SRA.

Perpustakaan SMAN 3, Jakarta
Di dalam lingkungan SRA akan terdapat beberapa fasilitas, sarana, dan miniatur pendukung bagi tumbuh kembang dan penambah wawasan anak, seperti: Adanya Taman Lalu Lintas; Tersedianya ruang dan tenaga konseling bagi siswa; Serta ruang/pojok Bahaya HIV/AIDS dan Narkoba; Disamping itu, untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan anak, maka keberadaan perpustakaan yang lengkap dengan koleksi yang beragam, dengan suasana ruangan yang nyaman menjadi suatu keniscayaan pada setiap SRA.

Selain pemenuhan sarana dan fasilitas penunjang SRA, yang tak kalah pentingnya adalah adanya peningkatan kualitas pendidik (guru) terkait dengan hak-hak anak yang komprehensif. Peningkatan kualitas guru diibaratkan sebagai software untuk pembentukan SRA. Guru dididik dan dilatih untuk mengetahui tentang tumbuh kembang anak, problematika dalam dunia anak dan remaja serta apa yang menjadi hak-hak anak dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Sebagai panduan untuk mewujudkan SRA, dapat dilihat pada Permen PP dan PA No 8/2014. Dalam permen tersebut tertulis beberapa indikator sebagai acuan bagaimana merencanakan dan melaksanakan SRA. Bila semua ini dilakukan niscaya cita-cita mewujudkan kota Jakarta sebagai kota pendidikan yang ramah bagi anak bukan isapan jempol dan angan-angan semata.

Sumber foto-foto:
Sumber Ilustrasi:

https://www.dreamstime.com/stock-illustration-children-playing-slide-school-cartoon-full-color-image67408586#

Kamis, 14 September 2017

Beginilah Model Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak Di Amerika (Riverside Youth Correctional Facility)

Sebelum beranjak meninggalkan hotel, dalam buku panduan yang telah disusun, hari itu kami, peserta #IVLP dari Indonesia, dijadwalkan untuk mengunjungi sebuah fasilitas pemasyarakatan khusus anak (Youth Correctional Facility). Ya, selama di Amerika Serikat kami memang diprogram untuk menelisik lebih jauh mengenai sistem peradilan bagi remaja, untuk itu kunjungan ke salah satu Lembaga Pemasyarakatan Anak (LPA) sengaja disisipkan di agenda kegiatan kami. Sepanjang perjalanan, aku masih menerka-nerka, bagaimana rupa dan bentuk penjara atau lebih tepatnya tempat pembinaan khusus anak yang akan ku-kunjungi ini. Lokasinya berada jauh dari pusat kota. Namanya Boulder Riverside. Boulder masuk kedalam County -semacam Daerah tingkat II- Jefferson. Sepanjang perjalanan menuju Boulder, kita akan disuguhi pemandangan yang bagus. Dari kota Helena, Kami melaju ke arah selatan melalui jalan Interstate, ke arah Butte. Bila lurus terus maka akan tembus ke Nevada, Salt Lake City, bahkan bisa sampai ke Negara bagian California, di pantai barat Amerika.

Pagi itu di pertengahan bulan Maret 2016, dengan iringan hujan salju yang lembut, kami menuju penjara anak khusus perempuan di Negara bagian Montana. Kami berangkat saat mentari seakan malas menyapa kehangatannya. Sisa salju musim dingin masih saja turun meski musim semi telah tiba. Helena, Montana memang terletak di belahan utara Amerika, berada di dataran tinggi pegunungan Rocky Mountain. Menempuh jarak sekitar 40-an kilometer, tak sampai sejam, tibalah kami di sebuah desa kecil yang sunyi sepi. Nyaris tanpa ada aktivitas dan kegiatan di kampung kecil itu. Hanya ada satu dua mobil yang terparkir di depan gedung atau rumah, tanda ada ‘kehidupan’ disana.

Begitu mobil sewaan kami melambat dan memasuki sebuah jalan kecil dengan aspal yang mengelupas, dikelilingi oleh bangunan-bangunan tua di kiri kanannya, barulah aku sadar bahwa kami sudah sampai di tujuan. Ada beberapa bangunan tampak di lahan seluas lebih kurang 1 hektare ini, dengan bangunan utama persis berada di depan pintu masuk. Dari luar tidak tampak kalau itu adalah sebuah bangunan penjara. Maklum tidak ada tulisan besar apapun yang menandakan itu penjara. Hanya ada beberapa mobil milik petugas dan karyawan yang terparkir di depannya. Sekilas, hanya ada kesederhanaan yang kami lihat.

Namun dugaan kami keliru. Ketika kami menelisik masuk ke komplek pemasyarakatan ini, tampak fasilitas yang sangat mewah untuk ukuran LPA di tanah air. Ruang makan, ruang menonton TV dan ruang berkegiatan bersama (living room) terhubung dalam satu koridor. Meski tempat ini menyandang status sebagai tempat rehabilitasi anak (Youth Correctional Facility), namun desain LPA ini bukanlah berbentuk layaknya bangunan penjara dengan sel-sel yang menghiasinya. Kulihat ada beberapa blok bangunan besar dan kecil. Masing-masing bangunan (rumah) menyandang fungsi tertentu. Bangunan utama atau yang digunakan sebagai kantor dikelilingi oleh bangunan lainnya sebagai tempat aktivitas penghuni. Ada bangunan khusus untuk olahraga, dengan beragam fasilitas yang lengkap dan modern, seperti lapangan basket, voly, dan gym. Ada pula bangunan khusus tempat belajar mengajar serta tempat praktek keterampilan dan pertukangan. Disamping itu, ‘penjara’ in juga dilengkapi dengan sarana perpustakaan yang lengkap dan nyaman serta ruang komputer untuk belajar.

Youth Correctional Facility di Boulder Riverside ini lebih tepat disebut Pesantren Anak tempat penggemblengan mental dan spiritual. Disisni, mereka diperlakukan tak ubahnya sebagai siswa yang diinapkan di asrama. Menurut pengelola, diharapkan se-keluar-nya mereka dari sini, anak itu dapat tumbuh berkembang dan hidup normal tanpa ada bayang-bayang kelam masa lalu bahwa ia pernah dipenjara atau dalam hidupnya merasakan penjara.

Saat kami datang, ada 2 (dua) orang penghuni yang tinggal. Keduanya kutaksir berusia sekitar 15 tahun. Menurut Pengelola, masalah hukum yang mereka hadapi tergolong ringan, seperti mengemudi kendaraan dengan mabuk atau drugs, dan bukan kasus pembunuhan atau tindak pidana dengan kekerasan. Demi hukum dan keadilan mereka terpaksa harus ‘menginap’ di Boulder.

Tak ubahnya seperti pesantren di Indonesia, disini anak diharuskan mengikuti jadwal harian yang telah disusun oleh petugas. Anak harus telah berada di kamar pada pukul 21.00, setengah jam kemudian lampu akan dimatikan, tanda mereka harus tidur. Keesokan harinya, anak harus telah bangun untuk mengikuti pelajaran di sekolah khusus yang lokasinya juga berada dalam ‘penjara.’ Selepas itu beragam aktivitas dan kegiatan telah menanti, seperti olahraga, dan keterampilan lainnya.

Meskipun tempat ini dikhususkan bagi mereka (anak) yang tersangkut atau yang menjalani masa hukuman, namun ada pengkategorian anak yang masuk. Pengelola menerapkan kebijakan pemisahan antara anak dewasa dengan anak yang masih kecil. Jadi, meski masuk kategori anak-anak yakni usia 18 tahun kebawah, namun mereka tidak dicampur. Ada lorong pemisah antara mereka, sehingga ada penggolongan yakni untuk anak dan remaja. Atau untuk anak-anak yang belum dewasa (remaja) dengan anak yang telah dewasa atau menginjak usia remaja (juvenile).

Selain di Montana, kami juga menemukan konsep serupa seperti yang ada di Philadelphia. Namun seperti problematika kota besar lainnya, Philly tentu berbeda dengan Helena. Di Philly banyak dijumpai kasus remaja/anak yang berhadapan dengan hukum. Sama seperti Helena, di Philly pun penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan secara professional dengan memperhatikan hak-hak dan kebutuhan anak, baik itu pendidikan, keterampilan dan bahkan pemenuhan rohani (keagamaan) mereka. Tiap minggu akan ada petugas agama yang datang menyambangi mereka memberikan nasehat dan bekal hidup.

Oh ya, sebelum anak dikirim ke tempat rehabilitasi ini, mereka akan dihadapkan kepada semacam ‘pengadilan’ yang akan memeriksa kasus anak itu apakah mereka layak dikirim ke pusat rehabiliitasi ataukah cukup dikembalkan kepada orang tua masing-masing. Pengadilan ini bukanlah pengadilan umum seperti yang ada di Pengadilan Negeri di Indonesia, namun berupa pengadilan khusus yang menangani masalah anak dan keluarga. Begitulah, tampaknya kebijakan perlindungan anak di negeri Paman Sam ini mendapat tempat yang prominent dalam kehidupan mereka. Bahkan saking sensitif dan preventive-nya mereka dalam melindungi anak-anaknya, orang lain pun (entah profesi wartawan atau masyarakat biasa) tidak diperkanankan mengambil gambar atau berfoto dengan anak-anak di Amerika tanpa izin, terlebih mengambil gambar wajah mereka secara close up.


Itulah sekilas oleh-olehku mengunjungi salah satu lembaga pemasyarakatan khusus anak di Negara adidaya ini. ‘Oleh-oleh’ ini tentu sangat berguna bagi kebijakan perlindungan anak di Indonesia, utamanya, bagaimana upaya kita dalam menghadapi kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Semoga! 

Rabu, 13 September 2017

Untung Ada Foke: Menengok Proses Seleksi CPNS Pemprov DKI Jakarta.

Minggu-minggu ini adalah waktu-waktu tersibuk bagi para sarjana lulusan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta untuk menyiapkan berkas dan persyaratan yang diperlukan untuk mendaftar sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Tak hanya itu, mereka pun dituntut kesiapan mental dan me-refresh kemampuan dan pengetahuan mereka agar siap untuk bertarung dalam ajang seleksi CPNS. Jika ada satu kekurangan yang luput saja, niscaya akan membuyarkan impian mereka menjadi CPNS.

Bicara mengenai integritas dan profesionalitas PNS sangat erat kaitannya dengan proses atau awal mula seseorang diterima menjadi CPNS. Bila dalam proses penerimaannya diawali dengan cara-cara kotor, hasilnya pun akan kotor. Maka, agar diperoleh PNS yang bagus, harus dimulai dari hulu-nya yakni proses seleksi penerimaan itu sendiri. Mulai dari keterbukaan penyampaian informasi (diumumkan secara resmi dan tranparan proses dan tahapan-tahapannya sampai kepada pengumuman kelulusannya) hingga yang terpenting adalah proses atau tahapan seleksi itu sendiri. Bagaimana para pengambil kebijakan (Panitia Seleksi) menjalankan proses seleksi itu secara fair, jujur, transparan dan bersih. Bila proses awalnya bagus, dalam arti tak ada unsur KKN, maka boleh kita berharap bahwa output atau pegawai yang nanti akan di terima menjadi PNS adalah pegawai dengan kualitas dan integritas diatas rata-rata.

Lalu, adakah role model proses seleksi CPNS yang bersih yang pernah kita rasakan? Sekitar tahun 2009 hal tersebut pernah diterapkan oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo atau Foke. Beliau, meski orang Betawi asli namun tidak aji mumpung dengan cara mengistimewakan atau memberikan privilege kepada orang Betawi untuk bekerja dan berkarier di Pemprov DKI Jakarta. Padahal, --kalau beliau mau-- bisa saja memasukkan sebanyak mungkin putra-putri asli Betawi untuk mengabdi di Pemprov DKI, wong dia Gubernur-nya. Bicara dari segi kepatutan dan kewajaran, bisa dimaklumi bila ada putra daerah yang diberikan prioritas untuk membangun dan mengabdi di daerahnya. Selain itu, kedekatan beliau dengan para tokoh masyarakat Betawi, ulama, dan pemuda-nya yang notabene mayoritas ber-etnis Betawi sangat lah mudah untuk membuat kebijakan yang pro-Betawi, even menyangkut kebijakan rekrutmen pegawai di Pemprov DKI Jakarta. Tak hanya itu, Sekda Provinsinya pun, Muhayat, yang juga berdarah Betawi, tentu akan meng-amini setiap langkah dan kebijakan sang Gubernur. Namun kedua pimpinan pemerintahan tertinggi di ibukota ini tidak melakukan itu. Mereka berdua bekerja secara professional, dengan menanggalkan jubah suku dan etnis Betawinya.

Saking cintanya Fauzi Bowo kepada kota Jakarta, beliau tak ingin merusak Jakarta dengan mewariskan aparatur yang tidak professional, tidak bersih, dan tidak kredibel. Pada masa-nya lah dimulai proses seleksi CPNS Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang transparan, bersih dan professional. Teman saya, wong ndeso dari Pacitan dan Klaten, misalnya, bisa keterima lulus menjadi CPNS di Pemprov DKI Jakarta. Padahal di satu sisi banyak pemuda potensial Betawi yang masih ngangur. Namun itulah seleksi. Tidak ada kebijakan afirmatif action yang digulirkan Fauzi Bowo bagi etnis Betawi meskipun itu hanya untuk berkarier di lingkungan Pemprov DKI Jakarta.

Akibatnya pada masa penerimaan CPNS Pemprov DKI Jakarta periode 2009 itulah dihasilkan para staf CPNS yang kredibel, professional dan mumpuni di bidangnya masing-masing. Para PNS Pemprov DKI Jakarta dengan NIP 2010 adalah pegawai pilihan dengan latar belakang dari universitas terkemuka di tanah air. Saat itu sarjana-sarjana terbaik jebolan dari Unpad, ITB, dan UI, terserak di dinas-dinas teknis yang ada di Pemprov DKI.

Fauzi Bowo sebagai pegawai yang telah lama berkarier di Pemprov DKI Jakarta tampaknya memendam luka lama. Sudah menjadi rahasia umum pada sekitar tahun 70 – 90-an di Pemprov DKI Jakarta dikuasai oleh etnis dan suku tertentu. Saat itu dikenal dengan istilah “Babi Kuning”. Bila atasan atau pimpinan di dinas atau instansi tersebut berasal dari etnis A, maka semua pejabat bawahannya hingga staf-nya akan terkoneksi dengan si bos. Orang diluar kelompok itu akan sulit masuk ke dinas tersebut. Pasalnya, setiap ada rekrutmen, pasti yang diprioritaskan untuk masuk dan diterima bekerja adalah mereka yang berasal atau satu etnis dengan pimpinannya. Jadilah di dinas tersebut menjadi dikuasai oleh mereka yang satu group.

Kita tidak dapat membayangkan bila proses dan cara-cara ‘jahiliyah’ ini diteruskan dan tidak diputus mata rantai-nya oleh Fauzi Bowo maka dapat dipastikan langgam dan gaya pelayanan pemerintahan di DKI Jakarta mungkin menjadi tidak professional, lemah, amburadul, bahkan hancur. Tak ada yang bisa diharapkan dari mereka, calon pegawai, yang (proses) diterimanya  dengan dengan cara sogokan, kedekatan kekerabatan (nepotisme), dan kolusi. Nah, usaha yang dirintis oleh Foke inilah yang tinggal dipetik hasilnya dengan manis oleh penggantinya yakni Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Betapa Ahok, saat menjabat sebagai gubernur sangat membangga-banggakan angkatan 2010 sebagai angkatan yang hebat, professional, dan kredibel. Tak heran banyak dari angkatan ini yang diangkat Ahok menjadi pejabat dan menjadi ujung tombok setiap kebijakan yang dikeluarkannya. Kalau saja tak ada angkatan 2010, entah apa yang terjadi dengan kepemimpinan Ahok? Beruntung Ia banyak dibantu oleh staf PNS professional hasil kebijakan seleksi yang dilakukan oleh Gubernur Fauzi Bowo.


Kini, pemerintah pusat kembali membuka kesempatan kepada putra putri terbaik bangsa untuk berkarier sebagai PNS. Langkah ini patut kita syukuri bersama, mengingat sudah beberapa tahun ini penerimaan pegawai ditiadakan. Kita sama-sama berharap semoga niat baik dan upaya mereka, para sarjana, putra putri Indonesia, yang memang tulus dan ikhlas untuk mengabdi bagi kejayaan, kemajuan nusa dan bangsa Indonesia dapat diapresiasi dengan sebaik-baiknya dengan tidak menyimpangkan proses seleksi CPNS 2017 menjadi ajang titip menitip anak, keponakan, tetangga, kerabat, dan anak-anak dari teman-teman sang pejabat. Semoga dengan proses seleksi, seperti yang pernah dilakukan di Pemprov DKI Jakarta era Fauzi Bowo, menjadi barometer dalam proses seleksi CPNS yang bersih, transparan, adil, dan jujur. Semoga!

Sumber Foto: http://www.tigapilarnews.com/berita/2017/07/01/112508-Pemprov-DKI-Ancam-Potong-Uang-TKD-PNS

Minggu, 03 September 2017

Kapan Sebaiknya Mengajari Anak Berenang?

Sejujurnya, ada perasaan malu di depan anak-anakku lantaran aku tak bisa berenang. Sebagai ayah, tak ada yang bisa kubanggakan pada mereka, saat kami, misalnya, berlibur di hotel dengan fasilitas kolam renang yang wahh. Kedigjayaanku sebagai ayah sirna saat berada di kolam renang. Disitu, aku hanya bisa menemani mereka di pinggir kolam. Kalaupun terpaksa menyebur, agar tak keliatan memalukan di depan para tamu hotel lainnya yang berenang, aku memegang tangan anak-anakku, berpura-pura agar terlihat seperti mengajari mereka berenang. Padahal, tanpa dipegang olehku mereka sudah pandai berenang. Namun, sebagai anak yang baik, mereka tampaknya tahu diri. Demi mengetahui ayahnya tak bisa berenang, dibiarkannya tangannya dipegang olehku, agar aku tak malu di depan orang-orang yang renang. Good boy, heheh..

Entah apa yang terjadi dengan Buya dan Ibuku dulu. Apakah mereka belum tahu, atau kalaupun tahu ada hadits ini mereka tak bisa mengamalkannya lantaran keterbatasan ekonomi keluarga saat itu. Sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh An-Nasai berisi anjuran agar mengajarkan renang. Sayang, anjuran ini tak diterapkan oleh orang tuaku. Kalau saja mereka mengamalkannya, tentu aku tak harus berakting ngajarin renang anak-anakku. Karena tak bisa renang inilah ada perasaan penyesalan mendalam bila melihat beningnya kolam renang di hotel nan mewah, saat melihat jernihnya air laut dengan ombaknya yang tenang. Pengen nyebur, namun takut tenggelam. Dari seluruh keluargaku, hanya aku yang tak bisa berenang. Kedua adikku sangat mahir berenang. Mainannya bukan lagi level kolam renang, namun mereka sanggup berenang di laut yang dalam. Ketidakbisaan-ku berenang tentu ada sebabnya.

Dulunya saat aku kecil, kebetulan rumah-rumah di kiri kanan, dan belakang kami memiliki kolam renang. Maklum, kami sekeluarga tinggal di Kemang, dimana kebanyakan rumah memiliki kolam renang. Rumah-rumah itu disewakan untuk orang bule. Nah, selagi rumah itu kosong lantaran di tinggal oleh yang punya berlibur ke Eropa/Amerika, oleh pembantu yang jaga rumah, kami, anak-anak Kampung Kebon dibolehkan masuk untuk berenang. Dan, pada saat itulah teman-teman yang usianya lebih tua dariku, mulai unjuk kebolehan berenang di tempat yang dalam. Mereka memang telah diajarin renang sewaktu sekolah di SMP. Yang belum SMP, tentu berlatih secara otodidak di pinggir kali Krukut, dekat rumah. Hanya masalah nyali saja yang membuat mereka, anak-anak kampung bisa berenang. Kalau nyalinya ciut, ya sampai lebaran kuda pun tak kan bisa. Gayanya pun hanya sebatas gaya kodok. Intinya, tidak tenggelam. Itu saja.

Yang lain, yang baru mau mulai belajar renang, baik secara otodidak atau di ajari oleh yang lebih pandai memilih bermain air di tepi dan berada di kolam yang dangkal. Pada rumah yang ada kolam renangnya memang selalu ada dua sisi. Sisi ujung untuk yang ukuran dalam, dan sisi satunya yang dangkal, seukuran pusar orang dewasa. Nah, lantaran baru mau belajar, aku pun hanya nyebur dan berdiri saja dipinggir kolam. Kalaupun mencoba ‘berenang’ hanya mengandalkan “gaya batu”. Tahu aku belum bisa berenang, dasar anak-anak, oleh mereka, pada satu kesempatan, aku dikerjain dengan cara di-jorogin (di-ceburin) ke kolam. Maksudnya memang baik agar aku bisa langsung berenang dengan cepat. Padahal, yang dilakukan mereka itu sangat berbahaya. Benar saja, yang terjadi aku tenggelam gelagapan, nyaris semaput. Banyak air kolam yang masuk ketubuhku. Beruntung aku dapat meraih tiang yang ada di pingiran kolam. Sejak itulah aku trauma untuk belajar renang. Trauma bila berada dekat dengan kolam renang, takut di-jorogin ke kolam. Trauma yang membekas hingga saat ini.

Begitulah. Dan, dari sinilah aku bersumpah agar anak-anakku tak mengalami nasib seperti ayahnya yang tak bisa renang, aku kursuskan anak-anakku sejak mereka usia TK di Klub Halim Persada, yang lokasinya dekat rumah. Seminggu sekali mereka berlatih renang dengan instruktur tentara dari Angkatan Udara. (Jangan dikira, meski Angkatan Udara, mereka tak hanya bisa terbang, menyelam (renang) pun pandai. Tentara dilawan, hehe..). Tadinya yang sulung, --sama sepertiku-- takut air, namun lantaran pelatihnya tentara, mau tak mau, dengan diberikan teknik khusus, lama-lama ia jadi berani , dan hanya butuh 8 kali pertemuan saja ia sudah lancar berenang. Sedangkan anakku yang perempuan, nyali renangnya melebihi abangnya. Sama air berani.

Selain anak-anakku yang berusia belia, di Klub itu ada juga remaja dan pria dewasa, seumuranku yang berlatih renang. Melihat itu, istriku memaksaku untuk ikut berlatih seperti mereka.
Hayuk Yah.. masak kalah sama anak-anaknya. Itu bapak yang dipojok itu juga lagi belajar renang,” ujar istri memotivasiku.
Namun, lantaran trauma ini masih saja membekas, aku tak melayani ajakan istri.
Masak udah tua belajar renang, malu ah, Bun,” kilahku.
Aku tahu tak ada kamus terlambat untuk belajar. Namun aku sudah patah semangat untuk belajar renang. “Meskipun aku tak bisa renang, toh anak-anakku jago renang. Biarlah aku hanya berenang mengunakan pelampung, yang penting ngambang di air,” batinku. Hehe..  


Kini sumpah-ku telah terwujud menjadikan anak-anak-ku bisa berenang. Mereka sangat senang bila kami berlibur. Berlibur bagi mereka adalah menginap di hotel. Dan nginap di hotel adalah berenang.  Kebahagian yang sederhana. So, anda mau bisa berenang? Baiknya, belajarlah selagi kecil. Jika tak sempat, belajarlah saat masih remaja. Atau, kalaupun tak bisa, belajarlah selagi masih ada umur. Kalau aku? Cukuplah aku yang jadi tumbal di keluarga, hehe..