Karena
TL, Pejabat pun bisa senewen
“Mas,
besok kita stand by di Jalan Matraman ya. Tuh,
disposisnya dimeja Mas Rachmat.” “Waduhhh..
bakalan gak balik ke rumah lagi neh,” batinku. Padahal sudah 3 (tiga)
hari ini saya absen menyapa anak-anak saban malam lantaran memenuhi panggilan
tugas Negara, (lebay)
Menerima
disposisi bertuliskan TL, bagi kami yang bekerja di pemerintahan bermakna
perintah tersebut harus di-TindakLanjuti, dalam pengertian tidak bisa ditawar
tawar dan harus dilaksanakan sesegera dan serapih mungkin!! Disposisi TL
hukumnya wajib dilaksanakan, tidak boleh tidak. Harus!. Akibatnya, TL bagai
momok yang menakutkan dan menyeramkan. Bila TL telah terbaca, alamat gak bisa nyantai, gak bisa leha-leha dan dipaksa
kerja melebihi panggilan tugas. Terlebih kalau TL itu sesuatu yang di luar
kebiasaan atau keluar dari pakem rutinitas kerja harian kita. Ibaratnya, dengan
TL, hidup bisa jadi senewen. Coba bayangkan, --bagi mereka--, staf yang biasa nyantai dalam bekerja, tentu punya beban
tersendiri untuk mengerjakan suatu tugas. Boro-boro
men-TL perintah atasan, lha
mengerjakan pekerjaan rutin saja sering malasnya yang muncul ketimbang rajinnya.
Tugas kerja sering di “ntar sok ntar sok”, alias nanti atau esok saja, baru
dikerjakan. Tidak jarang diantara mereka mendelegasikan pekerjaan rutinnya
kepada rekannya yang rajin atau komit dalam bekerja.
TL
bisa diterjemahkan juga bahwa masalah atau problem harus segera diselesaikan
secepat mungkin. Misalkan saja ada aduan warga masyarakat tentang keberadaan
café atau hiburan malam di suatu wilayah. Warga mengadu dengan bersurat ke
Gubernur atau Walikota. Nah bila warga bersurat ke Walikota, misalnya, maka
sang Wali akan mencentreng di kolom TL ke pejabat dibawahnya, bisa Wakil
Walikota ataupun Sekretaris Kota (Sekko). Sekko akan ber TL juga kepada Camat
setempat. Camat akan ber TL dan berkoordinasi dengan Lurah setempat. Nah, kita
sebagai pejabat lapis bawah atau staf penerima TL harus turun dan menyelesaikan
aduan warga tersebut ke pihak-pihak terkait atawa para stakeholder, sehingga
adanya ekses negatif keberadaan café dapat terselesaikan dengan baik antara
warga dan pengusaha.
Entah
mengapa dalam lembar disposisi tertera kolom TL. Kenapa tidak HK (Harus
diKerjakan) ataupun istilah lainnya yang lebih tegas dan nyeremin. Nah, lantaran ada kolom TL maka dalam menjawab surat
balasan, biasanya di kalimat pembuka akan tertulis; Menindak lanjuti surat dari
Kementerian Luar Negeri Nomor xxx/xx/xx tertanggal xx perihal bla bla bla, maka
kami bla bla bla…
TL
juga bermakna harus diproses. Artinya, isi dan maksud surat harus diproses dan
dikerjakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Misalkan saja, ada usulan
pengajuan dana hibah, lalu tercentrang TL, maka si penerima disposisi akan
menindaklanjutinya dengan memproses sesuai peraturan yang berlaku, jangan
menyimpang. Jika kita memprosesnya dengan serampangan, maka bersiaplah akan
menjadi “temuan” pemeriksa, dalam hal ini, bisa inspektorat ataupun BPK.
Ujung-ujungnya tentu mimpi buruk yang berkepanjangan..
Selain
TL, tentu ada perintah atau arahan lainnya yang bisa di centrang atau di tulis
oleh pejabat. Biasanya pada kertas disposisi ada kolom yang tertulis: Simpan;
Bicarakan Lebih Lanjut; Untuk Menjadi Perhatian (UMP); dsb. Sering, saking
banyaknya surat yang masuk ke meja sang pejabat, si pejabat –lantaran malas
atau memang yang ada dibenaknya segala surat harus di TL— dengan seenaknya saja
mencentrang TL. Ini pernah saya lihat dan memang sering juga saya perhatikan si
pejabat dalam memberikan disposisi kadang tidak dibaca dengan seksama bagaimana
isi surat yang berasal dari suatu instansi itu, apakah penting atau tidak isinya,
melainkan hanya dilihat secara sekilas, lalu dengan cekatannya langsung di centrang di kolom TL, diparaf,
dan biasanya ditambahi dengan kalimat “sesuai dengan peraturan” atau “Lapor!”
Tidak
jarang saking banyaknya beban dan tugas kerja seorang staf di suatu bagian,
Tindak Lanjut atau TL sering diplesetkan menjadi Taruh di Laci alias tidak
dikerjakan. Ya, permasalahan TL memang membuat kepala puyeng, perasaan bête
ataupun nyebelin. Bayangkan saja,
saat banyak kerjaan, lalu ujug-ujug ada perintah untuk mengikuti suatu kegiatan
atau mengerjakan suatu tugas dan beban kerja lainnya. Padahal kerjaan yang satu
saja belum kelar, ehh muncul kerjaan baru.
Nah,
disinilah pintar-pintarnya staf atau pegawai untuk memilah dan memilih mana
disposisi yang sekiranya urgent untuk segera dilaksanakan alias di TL atau di
tindaklanjuti dan mana yang –kalau perlu-- harus di ‘TL’ atau di Taruh di Laci.
Contoh kasus, ada undangan dari kementrian X untuk hadir di acara sosialisasi
bla bla bla.. Atasan mendisposisikan TL. Maka kita selaku staf, bisa saja men
‘TL’ kan itu lantaran kita sudah tahu
apa dan bagaimana acara tersebut. Urgensinya bagi lembaga kita, penting atau tidaknya
untuk kita hadiri. Walhasil, dalam waktu yang sama, lebih urgent mengerjakan
tugas atau kegiatan A ketimbang hadir di acara kementerian tersebut.
Namun,
tidak semua staf dan pegawai cerdik menyikapi TL. Ada pula mereka yang TL
oriented, dalam artian membabi buta dalam menterjemahkan TL. Akibatnya, si staf kadang terjebak dalam
posisi serba salah. Mau dikerjakan, tapi isi suratnya gak penting-penting amat,
sedangkan pekerjaan lain banyak yang lebih urgent, namun bila diabaikan akan ada
perasaan bersalah. Dilematis memang.
TL
memang kejam. Banyak pejabat pada level eselon bawah terkena kasus gara-gara
masalah TL ini. Mereka menjalankan perintah atasan dengan mengabaikan aturan
dan peraturan yang harus dipedomani dalam per-TL-an tersebut. Singkatnya,
mereka men-TL-kan suatu urusan atau program dengan melabrak aturan yang
seharusnya menjadi pedoman dan dasar dalam bertindak. Contohnya ada usulan pengadaan
suatu barang. Si Pejabat memberikan TL kepada pejabat bawahannya. Nah,
(pejabat) bawahan ini melaksanakan disposisi sang (pejabat) atasan tanpa
mengindahkan aturan yang berlaku, akibatnya, kalau ada temuan atau kasus, maka
yang dipanggil dan mondar-mandir ke pemeriksa atau aparat penegak hukum biasanya
pejabat model begini. Si pejabat yang diatas terhindar karena ia
mendisposisikannya dengan benar yakni TL Sesuai Ketentuan!
Kembali
ke TL. Tidak semua TL dapat diTaruh di Laci. Tergantung dimana dan pada pos apa
mereka ditugaskan. Bila mereka ditugaskan di garda pelayanan langsung pada
masyarakat, tentu disposisi TL sifatnya menjadi suatu obligation atau kewajiban
kerja. Tidak boleh tidak. Harus dikerjakan. Fardhu ‘Ain. Misalkan saja dari
pimpinan mendisposisikan untuk men-TL bangunan atau gedung A yang malanggar
IMB. Tentu petugas di tingkat bawah, harus menertibkan bangunan tersebut. Harus
di cek kelengkapan surat-surat pemilik gedung. Harus diteliti dan dicermati
kesalahan dan prosedur apa yang mereka langgar. Kalau melanggar, ya harus
dibongkar.
Tidak
selamanya TL membuat senewen. Adapula TL ‘rasa’ enak yang diharapkan
kedatangannya. TL jenis ini biasanya berbunyi. “TL, Tugaskan Staf”. Misalkan
saja permintaan atau undangan dari Instansi tertentu untuk kunjungan ke daerah
atau LN. Bisa juga undangan untuk mengikuti pendidikan (diklat) atau pelatihan
tertentu, dan disitu pimpinan mendisposisikan TL. Nah.. kalau pas giliran kita
dapat disposisi TL macam begini, bukan main senangnya. Ini lantaran kita akan
dibebaskan dari rutinitas kerja harian untuk beralih ‘kerja’ di luar kantor.
Jenis
dan ragam TL
TL;
Sesuai aturan/Ketentuan. Biasanya TL model ini berkaitan dengan anggaran,
pengadaan, atau keuangan
TL;
Tugaskan Staf bisanya jenis TL ini untuk menanggapi undangan dari instansi
lain.
TL;
Lapor. Biasanya pimpinan meminta untuk di up-date mengenai kegiatan yang akan
kita kerjakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar