Senin, 14 Desember 2015

Suka Duka Melayani Sang Pejabat

Ada kisah yang cukup menggelikan yang ingin saya bagi. Cerita ini terjadi beberapa tahun lalu, namun masih saya ingat bila kebetulan melihat wajah sang pejabat di tayangan televisi. 

Syahdan, ada suatu kegiatan berskala cukup besar lantaran melibatkan jajaran pemerintah daerah lainnya di Indonesia. Galibnya gawe-an besar, tentu akan lebih afdol bila kegiatan tersebut dapat mengundang pejabat ‘tertinggi’ untuk hadir memberikan sambutan sekaligus membuka acara. Wajar, toh bila mampu mengundang pejabat tersebut, maka para panitia wabilkhusus pejabat eselon rendah yang meng-arrange kegiatan tersebut akan ter-katrol konduite-nya dimata atasan mereka.

Acaranya sendiri berlangsung di sebuah mall dengan mengundang para peserta perwakilan dari 10 provinsi yang membidangi suatu masalah tertentu. Layaknya menyambut tamu agung yang akan datang, maka persiapan yang dilaksanakan pun harus extra lebih ketimbang hanya menyambut pejabat eselon 1 atau 2 lainnya. Apalagi kegiatan ini bakal diliput oleh awak media, cetak maupun televisi. Maklum saja, sang pejabat ini adalah media darling dan menjadi incaran para juru warta.

Seperti biasa, lantaran sudah terbiasa menjamu pejabat dan sudah dianggap sebagai sopan santun dan adat ke-timur-an, maka tentu ada buah tangan yang harus disiapkan saat perpisahan selepas sang pejabat membuka seremony acara. Jadi, --di-setting lah-- setelah sang pejabat berkeliling melihat-lihat stand pameran, maka para pejabat bawahan mengantar sang pejabat itu ke mobil. Sesuai konvensi adat ketimuran, rasanya kurang sreg bilamana melepas kepergian tamu tanpa memberikan buah tangan atau hadiah dan cinderamata kepada sang tamu/pejabat. Nah, disinilah ke-lebay-an yang tidak perlu terjadi, bermula.

Sebenarnya perkara memberikan buah tangan kepada para tamu adalah hal yang biasa dan wajar-wajar saja. Namanya juga tamu ya harus dihormati. Sejak kecil kita ditanamkan untuk menghormati tamu. Namun apakah tamu yang notabene pejabat publik harus pula --dengan berlebihan-- dihormati? (baca: dilayani). Lucunya ada ‘persyaratan’ khusus yang harus diberikan sebagai buah tangan untuk sang pejabat ini. Entah berasal dari mana dan dari siapa sehingga ide dan inisiatif yang bersifat ‘khusus’ ini harus ada dan terpenuhi. Namun, saya mengira pasti ini inisiatif pejabat kantor yang ingin dinilai ‘lebih’ oleh sang pejabat sebagai atasan langsungnya.

Sebelumnya saya selaku staf wara wiri mendapat tugas mencari parcel buah sebagai buah tangan ‘tuk acara nantinya. Disinilah lucunya. Rekan saya melalui SMS berpesan agar membeli 4 (empat) parcel buah-buahan, namun syaratnya, 1 (satu) parcel hanya berisi buah pisang emas dan anggur, sisa yang lainnya aneka buah campuran. “Walah, pisang emas, kayak apa sich pisang emas? Tanyaku.” Itu lho pisang yang kecil, tapi bukan pisang lampung,” terang rekanku. “Nyari anggur sich gampang, tapi pisang emas, gimana neh nyarinya,” batinku.

Menindaklanjuti ‘arahan’ tersebut, mulailah saya berkeliling mencari toko buah yang lengkap, dengan harapan tentu ada pisang emas tersaji, karena syaratnya HARUS pisang emas, tidak bisa diganti dengan pisang lainnya. Setelah berkeliling ke dua toko buah besar, pisang emas seperti yang disyaratkan tidak kunjung didapat. Melaporlah saya ke teman yang ngasih perintah. “Lapor.. mohon izin, Ndan, memangnya harus pisang emas ya..? Ini saya sudah keliling toko buah nyari pisang emas tapi kagak nemu, gimana??” tulisku dalam SMS. Tak berapa lama jawaban pun muncul “Iya Rachmat, harus pisang emas. Pokoknya loe cari sampe ketemu!!”

Waduh gawat juga,” batinku. Akhirnya setelah muter-muter ke beberapa toko buah, ketemu lah pisang emas yang di cari, itu pun bukan pisang yang segar atau baru. Tapi ketimbang tidak ada, terpaksalah pisang emas itu dibeli. Setelah di-dandani layaknya parcel yang keren, dibawalah ke-empat parcel itu ke tempat acara. Nah, tiba lah pada sesi pemberian parcel, dengan kata lain, acara ceremony sudah hampir kelar. Dengan sigap panitia yang disiapkan ‘tuk menyorongkan parcel ke mobil sang pejabat pun beraksi. Skenarionya, begitu mobil sang pejabat tiba, maka panitia segera bersiap-siap mendekati ajudan sang pejabat. Lantaran dalam ‘tata aturan protokoler’ termaktub bahwa tidaklah etis memberikan buah tangan langsung kepada sang pejabat, melainkan harus via ajudan, itu SOP (standar operasi prosedur) yang harus dicamkan oleh panitia. Tatkala panitia memasukkan parcel ke mobil, sekonyong-konyong ajudan sang pejabat berkata: “Bu, Bapak gak suka dikasih bingkisan seperti ini. Percuma juga Ibu ngasih karena gak kan di gubris oleh Bapak. Tolong jangan dibiasain ya, Bu..” Mendengar ‘keributan’ itu, bos ku langsung turun tangan, dan setelah bernego basa-basi, dengan ‘terpaksa’ parcel pun berhasil masuk ke mobil sang pejabat.
Nah lho! Sebenarnya ide siapa sich ‘tuk ngasih parcel berisi pisang emas dan anggur?” tanyaku kepada rekan. “Iya neh lebay banget,” sahut rekan ku.

Saya jadi tertegun dan gak habis pikir, kok bisa ya ada oknum pegawai yang sampai tahu hal mendatail tentang sang pejabat itu. Dari mana ia tahu kalau sang pejabat suka pisang emas dan anggur? Bagi saya, It’s ok bila beliau memang suka pisang emas, namun apakah perlu repot-repot men-service sang pejabat seperti itu, sampai pontang panting mencari pisang emas, seperti sang suami mencari buah mangga muda ‘tuk istrinya yang sedang ngidam. Bukankah itu ciri-ciri penjilat atasan. Ciri-ciri orang yang ber-ABS (Asal Bapak Senang). Hari gini masih menjilat atasan. OMG.


Saya percaya, walau pisang dan anggur itu berhasil masuk ke mobil sang pejabat, namun tentu beliau tidak meminta untuk di-service secara berlebihan, bahkan beliau menentang cara-cara feodal seperti itu. Dari kejadian tersebut menjadi pelajaran bagi kita untuk mengikis habis budaya melayani pejabat. Jangan sebentar-sebentar melayani pejabat, ingat bro bukan jamannya lagi pejabat itu dilayani dan minta dilayani. Di akhir kisah, pejabat yang menyuruh saya mencari pisang emas tersebut dimutasi oleh sang pejabat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar