Kamis, 10 Desember 2015

KH. Zainuddin MZ, ‘Wali’-nya Para Dai

Orang yang tidak terlalu dekat dengan beliau banyak yang salah dalam mengartikan makna 2 (dua) hurup dibelakang namanya. Kebanyakan mereka, tanpa cek dan ricek kepada kerabat dan kroni-nya menulis atau mengartikan kepanjangan “MZ” dengan “Muhammad Zein”. Para juru warta pun 11, 12. Entah dari mana mereka mendapatkan sumbernya. Misalkan saja, saat menulis tentang wafatnya lelaki kelahiran 2 Maret 1952 ini, para wartawan tanpa konfirmasi ulang melabelkan MZ dengan penyebutan yang seragam yakni “Muhammad Zein”. Lantas, betulkah demikian??

Lahir sebagai pasangan dari Turmudzi dan Zainabun, bocah kecil ini sejak dari orok memang selalu ingin tampil di muka. Ketika ada kesempatan dimana banyak orang bertamu ke rumahnya, sontak si Udin kecil, ---menurut penuturan ayah penulis--, kerap naik ke meja berkoar-koar seperti orator yang sedang berpidato. Saat ditanya apa cita-citanya, dengan lugas ia menyahut: “Udin mau jadi garong.” Garong? Macam mana pula kalimat ini bisa terlintas di benak anak yang belum makan bangku sekolahan. Rupanya, zaman dulu masih marak terjadi garong, begal dan perampokan di kampung-kampung betawi. Waktu itu masih kental dengan aroma dan aura revolusi, zaman masih rada susah. Nah, Saking girangnya Turmudji, pemuda kampung Gandaria yang sehari-harinya kerja di PLN memperoleh anak, maka disematkanlah nama Zainuddin Hamidi kepada anak lelaki satu-satunya. Si Udin menjadi anak satu-satunya, lantaran ia tak berumur panjang hingga tak bisa menyaksikan keberhasilan dan ‘kebesaran’ penerus silsilah keluarga klan Turmudzi. Tuhan mengambilnya saat si Udin baru belajar ngomong. Sejak itu ia menjadi yatim, lalu tak berapa lama, karena masih muda usia, sang ibu pun menikah dengan pria lain.

Lantas, bila nama Zainuddin Hamidi tidak terkenal ketimbang Zainuddin MZ, tentu ada sebabnya. Hidup sebagai yatim tentu menjadi beban tersendiri baginya yang jauh dari belaian kasih sayang dan didikan langsung dari sang ayah kandung. Jika pergi bermain ‘keluar’ kampung, orang sering bertanya, “Anak siapa loe tong*?” tentu yang dimaksud adalah bapak loe siapa? Ini lantaran orang betawi menganut mazhab patrilineal, dimana keturunan sang anak dinasabkan ke sang ayah. Maka dalam panggilan sehari-hari nama belakang (yang tidak merujuk nama ayah) sering gak kepake, yang dipanggil adalah nama depan si anak lalu disusul dengan nama sang ayah.
“Siapa tuh anak yang bangor*”? Tanya tetangga yang terusik tidur siangnya lantaran suara berisik si Udin saat bermain.
“Itu si Udin anaknya Turmudzi,” jawab tetangga sebelah.
 “Ooh Si Udin Turmudzi’ sahut yang lainnya. 
Akhirnya lama kelamaan yang terkenal si Zainuddin Turmuzi alias si Udin anaknya Turmudzi. Setelah si Udin dewasa, maka untuk lebih bekennya ditulislah oleh si Udin, namanya, menjadi Zainuddin MZ alias Zainuddin turMudZi. Rupanya saat itu Zainuddin sudah tahu makna positioning dan membangun brand image. Maklum saja, nama Zainuddin di deretan nama-nama orang Jakarta sangat pasaran, (lihat:)) Lalu untuk membedakannya dengan cerdik si Udin menambahkan dua hurup menjadi Zainuddin MZ, tak beda dengan Qori International yang terkenal pada masa itu, Muammar ZA (Zainal Asyikin).

Mulai menjadi pesohor dan dikenal orang saat kaset-kaset rekaman ceramahnya laris di pasaran. Waktu itu tahun 80-an, Selain Muammar ZA, Qori internasional tentunya, tak banyak dai yang bisa tembus ke dapur rekaman. Gaya bicaranya runtut, mudah dicerna dan akrab dengan romantika kehidupan masyarakat marginal pada umumnya. Alm. KH. Idham Chalid, mantan Ketua MPR RI, sang guru Zainuddin MZ saat belajar di tingkat Tsanawiyah/Aliyah (setingkat SMP/SMA) pernah mengisahkan bahwa si Udin pintar ngebanyol dan ngedongeng. Beliau sangat bangga mempunyai murid Zainuddin. Ia mampu membawa harum nama perguruan Darul Maarif. Saking terkenalnya di sekolah, lantaran pintar dan jago ngomong, si Udin di daulat menjadi Ketua Pelajar (semacam OSIS) di Darul Maarif.

Saat usianya belum genap 20 tahun, ia sudah di tanggap oleh warga sekitar Darul Maarif (Cipete, Cilandak dan Gandaria) untuk mengisi khutbah Jum’at dan ceramah keagamaan. Gaya bahasaya mudah dipahami masyarakat, komunikatif dan tak lepas dari sense of humor. Spontanitasnya dalam melempar banyolan-banyolan berisi dan cerdas, juga kritik yang ‘mengena’ tanpa yang dikritik merasa tersakiti menjadi kelebihannya dalam berpidato.
Misalkan saja istilah Hardolin; Dahar, modol, ulin, (makan, ber*k, jalan-jalan) tatkala ia me-labelkan orang yang tiap hari kerjaannya hanya makan minum saja tanpa berbuat hal-hal positif dalam hidupnya.
Atau tentang pergaulan muda-mudi zaman sekarang yang terlalu bebas; “Iya kalo sepatu disedengin gak pa pa, lha anak perawan orang disedengin ya berabe urusannya..”

Tahun 90-an saat masa keemasannya, ia mampu menyihir seluruh audiensi yang ada di stadion sepakbola, alun-alun terbuka, lapangan besar, bahkan Stadion Utama Senayan untuk diam tanpa suara menyimak isi ceramahnya. Bayangkan, satu stadion utama dan alun-alun penuh dengan ratusan ribu orang mampu ia sihir hanya untuk mendengar untaian kata-katanya. Ratusan ribu orang itu diam, senyap tanpa suara dan kadang tertawa saat ia tampil di mimbar. Hingga kini, belum ada orang yang sanggup melakukan itu selain Bung Karno. Ada aura dan langgam yang tidak dapat ditiru oleh orang lain, meski oleh putranya sekalipun. 

Ia sanggup menyihir jutaan pendengarnya karena ia lahir dan hidup ditengah-tengah  masyarakat betawi, dikampung yang heterogen.  Ia dibesarkan oleh kerasnya lingkungan tempat ia tinggal di kawasan padat dan kumuh, di gang Cemara, Gandaria, Kebayoran. Wajar saja bila ia mampu menyerap saripati kehidupan rakyat dan masyarakat kebanyakan. Lihat saja pemilihan diksi dan kata dalam kalimat dan isi ceramahnya. Misalkan saja setelah tabik kepada umat, ia berkata “Segala puji bagi Allah, Tuhan yang maha pengasih namun tidak pilih kasih, yang maha penyayang, yang sayangnya tak terbilang..”
Atau tatkala ia mengisahkan tentang  wudhu. “Kalo kita punya wudhu, gelantungan di (bus) PPD, hati-hati kita jangan sampai kesenggol ama perempuan, Tapi kalo gak punya wudhu, boro-boro hati-hati, malahan pas sopir ngerem, kita pora-pora nyenggol.
Kalimat yang rada konyol dan lucui pun kerap terselip dalam ceramahnya, seperti: “Elu ngajarin gw sholat. Lha, loe sunat aja gw yang pangku..”
Kadang kala isi ceramahnya rada puitis dan sentimental misalkan saat mengulas tentang cinta. “Jika cinta telah bicara, tiang gantungan laksana lambaian tangan bidadari, yang jauh akan terasa dekat..” Atau: “Perjuangan bukanlah jalan lurus dengan hamparan karpet merah bertabur bunga di kiri kanan.” 

Keterlibatannya dalam berpolitik praktis dimulai saat usianya masih relatif muda. Pada Pemilu 1977 dan 1982 ayah 4 (empat) orang putra ini sempat menjadi jurkam PPP. Vote getter, bahasa kerennya. Keahlianya dalam menyihir pendengar dimanfatkan betul oleh elit partai berlambang Ka’bah saat itu untuk mendongkrak suara. Meski aktif di Partai, namun ‘pekerjaan’ utamanya sebagai dai tak pernah ia tinggalkan.

Akibat friksi internal yang tajam dengan para pengurus DPP PPP, di penghujung tahun 2000, MZ, beserta rekan-rekan PPP lainnya mencoba menawarkan ‘jalan baru’ bagi PPP. Akibat tak kunjung mencapai titik temu dengan elite di DPP PPP, maka dengan keberanian dan percaya diri yang mantap, diproklamirkanlah Partai Persatuan Pembangunan Reformasi (PPP Reformasi), tandingan dari PPP. Karena terbentur UU, maka untuk dapat mengikuti Pemilu 2004, PPP Reformasi berubah menjadi Partai Bintang Reformasi. Disinilah cucu dari Haji Sa’umin dari Gandaria menjadi satu-satunya anak Betawi yang mampu dan didaulat menjadi Ketua Umum Partai sekaligus Calon Presiden 2014 dari PBR. Partainya sukses meraih popular vote sebanyak 2 juta suara dengan 11 anggota DPR RI berhasil ia antarkan di Senayan,  suatu prestasi yang patut diapresiasi bagi peraih Doktor (HC) dari Universitas di Malaysia ini. 

Sayang, perjalanan politik suami dari Hj. Kholilah ini tak bertahan lama. Akibat terlalu ‘polos dan lugu’ dalam berpolitik, ia merasa jengah dengan ‘kemunafikan’ para politisi. Lalu keputusan untuk mundur dari hingar bingar dunia politik, kembali ke ummat, menekuni dunia dakwah yang sempat ia tanggalkan menjadi pilihan akhirnya.

Banyak umat merasa kehilangan saat kematianya. Waktu Sang Khalik memanggilnya di Selasa pagi 05 Juli 2011 umat tersentak, kaget bagai petir di siang bolong. Masih segar diingatan mereka saat ia mengisi ceramah dan menyapa pemirsa di televisi dengan suaranya yang khas. Ia wafat meninggalkan nama besar. Ia ‘wali’-nya para dai. Ia suhu-nya para muballigh. 

Sumber: seperti yang dikisahkan oleh (Alm) Haji Hamdani bin Salim kepada penulis.

*entong, sebutan untuk anak di kampung Betawi

Bangor, nakal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar