Pernah saya mendengar pembicaraan antara
satpam dan PRT tetangga saat ngerumpi
di sebelah rumah. “Eh, tau gak pak
Bagyo sekarang sudah jadi pejabat eselon III (tiga) lho di Pemda DKI, bandingkan dengan Pak Herman yang baru saja
diangkat jadi pejabat eselon IV (empat) di Kemenlu”. Ujar Satpam Pak Bagyo.
“Wah hebat dong Pak Herman, sudah eselon 4 (empat), ketimbang Pak Bagyo yang
baru eselon III (tiga)”. Sahut Si Minah PRT tetangga, sotoy.
Tentu dialog sederhana tersebut salah kaprah
dalam memahami makna eselon. Disangkanya, makin tinggi angkanya, makin tinggi
pula kedudukan dan prestige jabatan tersebut. Padahal tidak. Berbeda dengan
golongan, makin kecil (angka) eselon-nya, maka makin tinggi jabatan individu.
Jika ia berada di eselon IV (empat), misalnya, maka akan ada 3 (tiga) bos
(atasan) yang harus ia lapori. Dan, pelaporan-nya pun berjenjang. Ia harus melapor
dan bertanggung jawab kepada eselon III (tiga), kemudian eselon III (tiga)
melapor kepada atasannya, pejabat eselon II (dua), begitu seterusnya.
Bagi masyarakat yang awam tentang urusan
ke-pemerintah-an, tentu tidak familiar dengan struktur jabatan di pemerintahan.
Jenjang jabatan di pemerintahan tentu berbeda dengan --bila kita bekerja-- di
perusahaan swasta. Karena sifatnya yang kompleks dan dengan organisasi yang
besar, maka jenjang kepangkatan dan hierarki komando di pemerintahan
(sipil/militer) akan terentang dengan panjang. A memberikan arahan ke B; B
turun ke C; C men-disposisi-kan ke D; D berkoordinasi ke E; Ini sering disebut
dengan alur birokrasi. Jadi memang demikianlah adanya, harus berjenjang.
Terlalu birokratis, kalau kata masyarakat sekarang. Dalam dunia kepemerintahan, sering kita
mendengar kata eselon untuk mengklasifikasikan dan menjenjangkan kepangkatan
dan karier seseorang di pemerintahan.
Eselon adalah tingkatan dalam jabatan struktural.
Di pemerintahan, tingkatan atau level tertinggi berada pada posisi eselon I (satu)
sebagai top management, terus
berjenjang ke bawah hingga level lower managemet
yakni eselon IV (empat). Seperti di perusahaan-perusahaan swasta multinasional
dimana top management dijabat oleh
Presiden Direktur (Presdir), dibantu dengan para direktur. Lalu di bawah Direktur
ada Senior Manager kemudian Manager hingga Supervisor, sebagai lower management Nah, untuk posisi
eselon IV (empat) b ini bisa
disamakan dengan level supervisor jika di swasta.
Pangkat dan golongan boleh sama, namun eselon
bisa saja berbeda. Seperti ilustrasi percakapan diatas, Pak Herman dan Pak
Bagyo sama-sama memiliki pangkat dan golongan IV (empat) a/ Pembina. Namun, Pak Bagyo jelas mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi ketimbang Pak Herman. Pak Bagyo menjabat sebagai Camat di
Kecamatan Palmerah, Jakarta, sedangkan Pak Herman ‘cuma’ sebagai Kepala Sub
Bidang di Kementerian Luar Negeri. Walaupun pangkat dan golongan sama, namun
Pak Bagyo adalah eselon III (tiga), lebih tinggi ketimbang Pak Herman yang
‘hanya’ eselon IV (empat).
Jabatan struktural itu sendiri bermakna suatu
kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang
Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam rangka memimpin suatu satuan kerja organisasi
kepemerintahan.
Untuk lebih jelasnya mungkin bisa saya
gambarkan bagan struktur organisasi pemerintahan bila disandingkan dengan
struktur di perusahaan multinasional yang besar.
Eselon
|
Jabatan di Pemerintahan
|
Jabatan di Perusahaan
|
Level
|
Eselon I a
|
Direktur Jendral
|
Presiden Direktur
|
Top Management
|
Eselon I b
|
Sekda
|
Managing Director
|
Top Management
|
Eselon II a
|
Direktur/Walikota/Kepala Dinas di
Provinsi/Direktur
|
Direktur
|
Top Management
|
Eselon II b
|
Sekretaris Kota/ Wakil Direktur
|
Deputy Director
|
Midle Management
|
Eselon III a
|
Kepala Bagian/Camat/Kepala Sub-Direktorat
|
General Manager
|
Midle Management
|
Eselon III b
|
Wakil
|
Senior Manager
|
Midle Management
|
Eselon IV a
|
Lurah/Kepala Sub Bidang
|
Manager
|
Low Management
|
Eselon IV b
|
Wakil
|
Supervisor
|
Low Management
|
Lalu, mengapa ada embel-embel a dan b? a dan b diberikan sebagai pembeda tingkat kederajatan dan ‘gengsi’
dari pemegang (pejabat) eselon tersebut. Biasanya untuk posisi wakil/deputy akan
diberikan eselon tingkat b. Nah,
bos-nya atau kepalanya memegang eselon
tingkat a.
Kelazimannya, dalam satu unit organisasi di pemerintahan
pusat dan daerah (Kementerian/Pemerintah Daerah), level tertinggi itu dijabat
oleh Dirjen/Sekjen/atau Sekda. Nah, para pembantu mereka tentu tingkatannya berada
di level 2 (dua) alias eselon II (dua). Biasanya para asisten atau pembantu
mereka itu menduduki posisi Direktur atau Kepala Dinas.
Berbeda dengan di pemerintahan sipil, pada
sistem kemiliteran, yang bertanda pangkat di atas bahu dengan sisi-sisinya
berwarna merah maka ia adalah sang Komandan atau memegang pasukan dan anak
buah. Jika tidak ada sisi-sisi merahnya, maka ia tidak memegang anak buah atau
tidak memegang komando. (lihat gambar).
Perlu diingat, bahwa Menteri atau Gubernur adalah
jabatan politis, bukan jabatan struktural. Jabatan struktural yang tertinggi di
Kementerian adalah Sekjen atau Dirjen. atau sebutan yang setingkat seperti
Deputy Menteri dsb. Mereka inilah yang disebut pejabat eselon I (satu) a. Sedangkan
di Pemerintah Daerah jabatan tertinggi adalah Sekretaris Daerah (Sekda) sebagai
eselon 1 (satu) b, lalu dibantu oleh para Asisten Sekda, Kepala Dinas atau Kepala
Badan/Biro (eselon II). Di bawah eselon II (dua) ada eselon III (tiga) sampai
dengan eselon IV (empat). Jika menjumpai istilah kepala bagian atau Camat, menunjukan
bahwa pejabat tersebut eselon III (tiga). Bila Kepala Sub Bidang atau Lurah,
yang bersangkutan menduduki posisi eselon IV (empat a. Pembantu Lurah, dalam
hal ini Sekretaris Kelurahan (Sekel) dan Kepala Seksi akan menduduki posisi
eselon IV (empat) b.
Untuk kepangkatan militer bisa dilihat di: http://archive.kaskus.co.id/thread/8921230/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar