Senin, 18 April 2016

Philly, Kota Seribu Mural

Sebelum bertolak ke Phili, belum ada gambaran dalam benakku, macam apakah kota yang aku singgahi untuk 5 (lima) hari kedepan. Namun sebelumnya, saat pembekalan program IVLP di Jakarta, aku sudah diberikan gambaran bila kota-kota yang berada di pantai timur Amerika atau east coast kebanyakan dihuni oleh kulit berwarna dalam arti banyak pendatang dan imigran yang tinggal dan bekerja di sana. Ditambahkan juga bahwa Phili pernah menajdi ibukota dari USA sebelum dipindah ke DC. Ya, hanya itu gambaran sekilas yang diberikan, tak lebih.

Hari sudah lepas siang, namun hawa dingin masih terasa, di awal sepuluh hari pertama, di bulan Maret 2016. Selepas mengunjungi Capitol Hill, di Washington DC, kami langsung dibawa oleh sopir menuju ke jalan Interstate 95 atau jalan lintas negara bagian ke arah Phili, nama slank dari Kota Philadelphia di negara bagian Pennsylvania. Aku ingin menggambarkan, bila DC adalah Jakarta, maka selepas Jalan Gatot Subroto, kami masuk tol dalam kota menuju tol Cikampek lalu berbelok ke Tol Cipularang menuju ke arah Bandung. Ya, DC dan Phili hanya berjarak sekitar 200-an kilometer. Meski kami berangkat sebelum jam pulang kerja, namun kepadatan kendaraan ke arah ‘luar’ kota DC cukup ramai. Sama seperti di tol Cikampek, beberapa kali mobil kami tersendat, saat tiba di junction menuju kota lain, namun itu tak lama, sopir hanya perlu mengerem sejenak untuk kemudian menginjak pedal gas bertanda jalan kembali lancar.

Perjalanan itu kami tempuh sekitar 3 (tiga) jam-an, dengan sebelumnya sempat mampir makan siang –yang agak telat- di rest area, pinggiran Maryland. Kami tiba saat sore di batas akhir senja. Aku tinggal di hotel yang hanya sejarak satu batang hisapan rokok dari pusat belanja dan kuliner. Hotelnya Club Quarters Philadelphia 1628 Chestnut Street Philadelphia, Pennsylvania. Dari hotel hanya berjalan sekitar 15 menit ke Reading Market Terminal, ke ‘Alun-Alun’ Kota atau ke tempat ‘persemayaman’ Liberty Bell. Untuk cari makan pun, hanya berjarak selemparan batu saja.
  
Aku ingin berbagi cerita dengan kota yang diapit oleh sungai Delaware dan Schuylkill ini. Saat berkendara melintasi kawasan dan jalan-jalan yang ada di kota berpopulasi 1,6 juta ini ada satu pemandangan yang cukup unik yang kujumpai. Di setiap tembok –entah tembok besar atau kecil- selalu tergambar lukisan dan karya seni bernilai tinggi. Lukisan itu beragam bentuk dan coraknya. Ada lukisan gedung-gedung kota, ada pula lukisan yang menggambarkan keceriaan anak-anak. Philly bisa disebut kota dengan sejuta mural. Hampir disetiap sudut kota dimana tembok berdiri, tak lepas dari sentuhan seni mural. Mural itu kebanyakan bertema keluarga bahagia dan masa depan.

Philly, seperti kota-kota besar lainnya di dunia, tentu menghadapi problematika perkotaan yang kompleks, seperti kenakalan remaja, narkoba, dan tentu saja penyandang masalah sosial lainnya. Graffity dan corat coret tembok sudah menjadi pemandangan yang jamak yang hampir dijumpai di setiap tembok di kota-kota besar di dunia. Pelakunya siapa lagi kalau bukan remaja usia sekolah, yang butuh penyaluran berkegiatan. Banyaknya remaja yang bermasalah tentu menjadi tantangan komunitas masyarakat setempat untuk mengarahkan mereka. Nah, untuk mengatasi aksi corat-coret yang gak puguh itu maka lahirlah MuralArtsProgram di tahun 1986.

Program yang dirintis oleh Jane Golden ini mencoba mengarahkan remaja agar dapat berkreasi dengan baik. Lembaga inilah yang menginisiasi aktivitas per-mural-an di Philadelphia. Disamping itu lembaga ini juga menawarkan program pendampingan kepada para remaja bermasalah dengan melakukan pelatihan ber-mural. Remaja-remaja yang bermasalah di kota berjuluk the Athens of America ini akan dibimbing dan diarahkan untuk dapat berkreasi dan berkegiatan yang posistif sebagai bekal mereka memasuki kehidupan dewasa. Dengan bimbingan para seniman, para remaja ini diarahkan agar tidak melakukan hal-hal negatif.

Seni menggambar atau melukis diatas tembok ini dikenal dengan mural. Mural yang ada di Philly tidak sekadar mengecat tembok dengan aneka gambar dan tema, namun setiap mural mempunyai tema dan filosofi tesendiri. Bahkan saking artistiknya, setiap mural di cat dan di design oleh seniman-seniman –dengan dibantu para remaja- yang memang khusus menekuni dunia per-mural-an sehingga tidak sembarang orang bisa dengan bebas ber-mural ria. Tak berlebihan bila Philly pernah mendapat penghargaan American Government Award lantaran kesuksesannya dalam program innovasi ‘per-mural-an’ di seantero Philly. Tak kurang sekitar 600-an tembok-tembok di setiap sudut Philadelphia sukses di-mural-kan. Keberhasilan ‘muralisasi’ ini lantaran lembaga melibatkan partisipasi aktif dari komunitas dan lingkungan yang ada di Philly. Masyarakat merasa memiliki muralnya. Makanya, seni mural di kota berjuluk “city of brotherly love” ini  mendapat sokongan penuh dari pemerintah kota.

Bila konsep Philly diterapkan di Jakarta, tak mustahil tembok-tembok dan tiang-tiang penyangga yang berisi coretan dan grafitty yang tak jelas bentuk dan seninya akan terlihat indah. Sebelumnya, aku pernah melihat tiang-tiang penyangga di sepanjang koridor tol Cawang Tj. Priok di lukis dengan mural yang cukup ciamik. Mural tersebut bertemakan perlindungan anak dan perempuan yang diinisiasi oleh kantor pemberdayaan masyarakat setempat bekerjasama dengan PT.CMNP selaku pengelola tol. Nah, bila di setiap komunitas dan perusahaan yang ada dalam satu wilayah bersinergi -dan tentu dengan bimbingan seniman-, niscaya tembok dan tiang-tiang di Jakarta akan semakin hidup dan bernuansa artistik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar