Sebelum bertolak ke Phili, belum ada gambaran
dalam benakku, macam apakah kota yang aku singgahi untuk 5 (lima) hari kedepan.
Namun sebelumnya, saat pembekalan program IVLP di Jakarta, aku sudah diberikan
gambaran bila kota-kota yang berada di pantai timur Amerika atau east coast kebanyakan dihuni oleh kulit
berwarna dalam arti banyak pendatang dan imigran yang tinggal dan bekerja di
sana. Ditambahkan juga bahwa Phili pernah menajdi ibukota dari USA sebelum
dipindah ke DC. Ya, hanya itu gambaran sekilas yang diberikan, tak lebih.
Hari sudah lepas siang, namun hawa dingin
masih terasa, di awal sepuluh hari pertama, di bulan Maret 2016. Selepas
mengunjungi Capitol Hill, di Washington DC, kami langsung dibawa oleh sopir
menuju ke jalan Interstate 95 atau
jalan lintas negara bagian ke arah Phili, nama slank dari Kota Philadelphia di negara bagian Pennsylvania. Aku
ingin menggambarkan, bila DC adalah Jakarta, maka selepas Jalan Gatot Subroto,
kami masuk tol dalam kota menuju tol Cikampek lalu berbelok ke Tol Cipularang
menuju ke arah Bandung. Ya, DC dan Phili hanya berjarak sekitar 200-an
kilometer. Meski kami berangkat sebelum jam pulang kerja, namun kepadatan
kendaraan ke arah ‘luar’ kota DC cukup ramai. Sama seperti di tol Cikampek, beberapa
kali mobil kami tersendat, saat tiba di junction
menuju kota lain, namun itu tak lama, sopir hanya perlu mengerem sejenak untuk
kemudian menginjak pedal gas bertanda jalan kembali lancar.
Perjalanan itu kami tempuh sekitar 3 (tiga)
jam-an, dengan sebelumnya sempat mampir makan siang –yang agak telat- di rest area, pinggiran Maryland. Kami tiba
saat sore di batas akhir senja. Aku tinggal di hotel yang hanya sejarak satu
batang hisapan rokok dari pusat belanja dan kuliner. Hotelnya Club Quarters Philadelphia
1628 Chestnut Street Philadelphia, Pennsylvania. Dari hotel hanya berjalan
sekitar 15 menit ke Reading Market Terminal, ke ‘Alun-Alun’ Kota atau ke tempat
‘persemayaman’ Liberty Bell. Untuk cari makan pun, hanya berjarak selemparan
batu saja.
Aku ingin berbagi cerita dengan kota yang
diapit oleh sungai Delaware dan Schuylkill ini. Saat berkendara melintasi
kawasan dan jalan-jalan yang ada di kota berpopulasi 1,6 juta ini ada satu
pemandangan yang cukup unik yang kujumpai. Di setiap tembok –entah tembok besar
atau kecil- selalu tergambar lukisan dan karya seni bernilai tinggi. Lukisan
itu beragam bentuk dan coraknya. Ada lukisan gedung-gedung kota, ada pula
lukisan yang menggambarkan keceriaan anak-anak. Philly bisa disebut kota dengan
sejuta mural. Hampir disetiap sudut kota dimana tembok berdiri, tak lepas dari
sentuhan seni mural. Mural itu kebanyakan bertema keluarga bahagia dan masa
depan.
Philly, seperti kota-kota
besar lainnya di dunia, tentu menghadapi problematika perkotaan yang kompleks,
seperti kenakalan remaja, narkoba, dan tentu saja penyandang masalah sosial
lainnya. Graffity dan corat coret tembok sudah menjadi pemandangan yang jamak
yang hampir dijumpai di setiap tembok di kota-kota besar di dunia. Pelakunya
siapa lagi kalau bukan remaja usia sekolah, yang butuh penyaluran berkegiatan.
Banyaknya remaja yang bermasalah tentu menjadi tantangan komunitas masyarakat
setempat untuk mengarahkan mereka. Nah, untuk mengatasi aksi corat-coret yang
gak puguh itu maka lahirlah MuralArtsProgram di tahun 1986.
Program yang dirintis oleh Jane Golden ini
mencoba mengarahkan remaja agar dapat berkreasi dengan baik. Lembaga inilah yang
menginisiasi aktivitas per-mural-an di Philadelphia. Disamping itu lembaga ini
juga menawarkan program pendampingan kepada para remaja bermasalah dengan
melakukan pelatihan ber-mural. Remaja-remaja yang bermasalah di kota berjuluk
the Athens of America ini akan dibimbing dan diarahkan untuk dapat berkreasi
dan berkegiatan yang posistif sebagai bekal mereka memasuki kehidupan dewasa. Dengan
bimbingan para seniman, para remaja ini diarahkan agar tidak melakukan hal-hal negatif.
Seni menggambar atau melukis diatas tembok
ini dikenal dengan mural. Mural yang ada di Philly tidak sekadar mengecat
tembok dengan aneka gambar dan tema, namun setiap mural mempunyai tema dan
filosofi tesendiri. Bahkan saking artistiknya, setiap mural di cat dan di
design oleh seniman-seniman –dengan dibantu para remaja- yang memang khusus menekuni
dunia per-mural-an sehingga tidak sembarang orang bisa dengan bebas ber-mural
ria. Tak berlebihan bila Philly pernah mendapat penghargaan American Government Award lantaran
kesuksesannya dalam program innovasi ‘per-mural-an’ di seantero Philly. Tak
kurang sekitar 600-an tembok-tembok di setiap sudut Philadelphia sukses
di-mural-kan. Keberhasilan ‘muralisasi’ ini lantaran lembaga melibatkan
partisipasi aktif dari komunitas dan lingkungan yang ada di Philly. Masyarakat
merasa memiliki muralnya. Makanya, seni mural di kota berjuluk “city of brotherly love” ini mendapat sokongan penuh dari pemerintah kota.
Bila konsep Philly diterapkan di Jakarta, tak
mustahil tembok-tembok dan tiang-tiang penyangga yang berisi coretan dan
grafitty yang tak jelas bentuk dan seninya akan terlihat indah. Sebelumnya, aku
pernah melihat tiang-tiang penyangga di sepanjang koridor tol Cawang Tj. Priok
di lukis dengan mural yang cukup ciamik. Mural tersebut bertemakan perlindungan
anak dan perempuan yang diinisiasi oleh kantor pemberdayaan masyarakat setempat
bekerjasama dengan PT.CMNP selaku pengelola tol. Nah, bila di setiap komunitas
dan perusahaan yang ada dalam satu wilayah bersinergi -dan tentu dengan
bimbingan seniman-, niscaya tembok dan tiang-tiang di Jakarta akan semakin
hidup dan bernuansa artistik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar