Saat tiba dan menginjakkan kaki di benua
Amerika, tepatnya di negara Amerika Serikat, ada perasaan kaget dan shock culture. Maklum saja, ini adalah
kunjungan pertama saya ke negeri yang paling jauh dari Indonesia. Kaget dan
keki* bercampur menjadi satu. Sebelumnya, bermimpi pun tidak untuk bisa ke
Amerika. Selama ini (bendera) Amerika hanya ada dalam pandangan sekelabatan mata
saja bila harus pergi ke Balaikota Pemprov DKI Jakarta lantaran ada urusan
kerja, yang otomatis akan melintas di depan Kedubes Amerika, di Medan Merdeka
Selatan, Jakarta. Kantor Balaikota persis bertetangga dengan ‘Amerika’ yang
hanya dipisahkan oleh Istana Wapres. Maka, gak
nyangka kalau akhirnya aku bisa mendarat dengan selamat dan tiba di Amerika
Serikat. Saat tiba, di Bandara Dallas/Fort
Worth International Airport, sebagai pintu gerbang masuk ke Amerika Serikat, badan
sudah di terpa dengan hawa dingin yang menusuk tulang. Saat itu diawal bulan
Maret 2016, negara-negara yang berada dibagian utara, seperti Amerika memasuki
awal musim semi, ini berarti musim dingin baru saja berlalu.
Begitu turun dari pesawat American Airlines,
kami para penumpang pesawat dari Narita, Tokyo, langsung bergegas menuju bagian
imigrasi. Ini adalah salah satu pos imigrasi bagi mereka, yang biasanya datang --dari
penerbangan-- dari bandara di Japan, China, Korea, Taipei atau Hongkong. Dallas
adalah kota hub atau Bandar Udara Jangkar. Dari sini penerbangan lanjutan untuk
menjelajah dan menuju destinasi selanjutnya ke kawasan lain di Amerika Serikat
tersedia. Lantaran lokasinya berada di tengah-tengah, maka Dallas/Fort Worth International Airport sangat strategis. Dari Dallas kita bisa ke kawasan
utara amerika (Montana, Salt Lake City, Wyoming, dsb) ataupun ke selatan (Florida.
Miami, dsb). Bisa juga ke wilayah pantai barat amerika (Los Angeles, San Francisco,
Portland, dsb) ataupun pantai timur (New York, Washongton DC, Philadelphia, Boston,
dsb). Amerika memang luas. Bandingkan saja dengan Indonesia yang terentang dari
Sabang samapi Merauke, mereka mempunyai 4 pembagian zona waktu.
Di pos pemeriksaan imigrasi ini kami
dipilah-pilah berdasarkan maksud dan tujuan datang ke Amerika. Ada jalur khusus
untuk bisnis, ada pula jalur khusus untuk turis atau rombongan tour wisata.
Nah, karena saya ke Amerika atas undangan Kemenlu AS, maka saya tidak melalui
kedua lajur tersebut, melainkan menuju lajur Exchange, Jalur ini khusus
ditujukan bagi mereka yang mau sekolah di Amerika ataupun mereka yang datang untuk
kunjungan pertukaran.
Setelah diarahkan oleh petugas, langsung aku
menuju ke jalur exchange. Tiba giliranku maju ke meja imigrasi, petugas yang
kebetulan laki-laki (sengaja aku tulis masalah gender, karena bila peng-interview
laki atau perempuan akan berpengaruh padaku dalam menjawab pertanyaan yang
diajukan). Seperti biasa, terjadilah proses introgasi atau tanya jawab.
“Mau apa datang ke Amerika?” kira-kira
begitulah tanyanya
“Your State
invite me to come here, to attend International Visitor Leadership Program,”
jawabku dengan pede-nya.
“What?”
Selidiknya. Tampaknya ia kurang mudeng
tentang program IVLP atau memang sengaja ingin mengorek keterangan yang lebih
mendetail tentang kunjunganku ke Amerika.
Lalu kujelaskan secara panjang lebar. Disambarnya
dengan menanyakan itinerary-ku dan dimana aku tinggal selama di Amerika. Nah
inilah keribetan pertama yang muncul. Di kertas ketibaan yang dibagikan saat jelang
pesawat landing di Dallas, aku tidak jelas dalam menulis alamat hotelku di DC.
Petugas tampaknya tidak merasa puas bila hanya nama hotel saja yang kutulis, ia
butuh alamat lengkapnya. Sialnya, buku atau berkas yang diberikan saat briefing
di Kedubes USA di Jakarta justru tertingal di Jakarta. Kepanikan sesaat
melandaku, namun segera aku menoleh kebelakang, ke teman programku yang
kebetulan masih dalam antrian imigrasi. Sejurus kemudian aku burujar. “Let me ask to my friend, plisss,”
Tanpa minta persetujuannya aku langsung mundur
kebelakang dan meminta buku program pada temanku. Beruntung ia membawanya. Lalu
setelah membaca buku program tersebut, yang tentu tertera namaku, beserta
kontak-kontakku selama di Amerika, petugas imigrasi langsung men-cap pasporku
sambil berkata: “Welcome to Amerika”.
Jiahhhh, akhirnya. Lega!! Kami bertiga berhasil
lolos dari proses imigrasi dengan ‘mudahnya’. Namun tidak demikian dengan salah
satu teman programku. Ia harus digiring masuk ke bilik selanjutnya untuk
diadakan intensive interview. Usut punya usut ternyata nama temanku itu yang
dipermasalahkan. Temanku hanya mencantumkan satu suku kata pada namanya, yakni
Sunoko, tanpa embel-embel. Ini yang membuat mereka, para petugas imigrasi
mengintrogasi temanku lebih lanjut. Dalam perspektif mereka, nama temanku itu
ada kejangalan. Tidak lazim dalam passport hanya ada satu suku kata. Ini bisa
diindikasikan bahwa seseorang –menurut pandangan Amerika-- menyembunyikan
asal-usul dan latar belakang keluarganya. Biasanya, paling tidak ada 2 nama
yakni nama depan dan nama belakang atau nama keluarga. Setelah dijelaskan
panjang lebar dan tentu dengan pendekatan cultural bahwa banyak di Indonesia
atau budaya Indonesia seseorang hanya menyandang satu nama atau satu suku kata
untuk namanya, akhirnya mereka percaya dan mempersilahkan temanku lewat setelah
menahannya hampir sekitar seperapat jam.
Gara-gara masalah nama, urusan di imigrasi jadi
terkendala. Dan ini bukan yang pertama. Berikutnya saat pemeriksaan di bandara
kota-kota/states di Amerika Serikat yang kami kunjungi pun, passport temanku
kadang bermasalah. Ya, mereka menyelidik dan tergelitik untuk mencari tahu
kenapa hanya satu suku kata pada nama itu. yang tertera di paspor
Kini, setelah urusan Si Sunoko beres, kami,
berempat, para peserta IVLP program Child Walfare 2016 bisa melenggang memasuki
Amerika untuk kemudian melanjutkan perjalanan kami ke Kota Washington DC. Americaaa
here i came..
*bahasa Betawi; maknanya campuran antara
impressed dan excited
Tidak ada komentar:
Posting Komentar