Senin, 04 April 2016

Americaaa.. I'm Coming..

Saat tiba dan menginjakkan kaki di benua Amerika, tepatnya di negara Amerika Serikat, ada perasaan kaget dan shock culture. Maklum saja, ini adalah kunjungan pertama saya ke negeri yang paling jauh dari Indonesia. Kaget dan keki* bercampur menjadi satu. Sebelumnya, bermimpi pun tidak untuk bisa ke Amerika. Selama ini (bendera) Amerika hanya ada dalam pandangan sekelabatan mata saja bila harus pergi ke Balaikota Pemprov DKI Jakarta lantaran ada urusan kerja, yang otomatis akan melintas di depan Kedubes Amerika, di Medan Merdeka Selatan, Jakarta. Kantor Balaikota persis bertetangga dengan ‘Amerika’ yang hanya dipisahkan oleh Istana Wapres. Maka, gak nyangka kalau akhirnya aku bisa mendarat dengan selamat dan tiba di Amerika Serikat. Saat tiba, di Bandara Dallas/Fort Worth International Airport, sebagai pintu gerbang masuk ke Amerika Serikat, badan sudah di terpa dengan hawa dingin yang menusuk tulang. Saat itu diawal bulan Maret 2016, negara-negara yang berada dibagian utara, seperti Amerika memasuki awal musim semi, ini berarti musim dingin baru saja berlalu.

Begitu turun dari pesawat American Airlines, kami para penumpang pesawat dari Narita, Tokyo, langsung bergegas menuju bagian imigrasi. Ini adalah salah satu pos imigrasi bagi mereka, yang biasanya datang --dari penerbangan-- dari bandara di Japan, China, Korea, Taipei atau Hongkong. Dallas adalah kota hub atau Bandar Udara Jangkar. Dari sini penerbangan lanjutan untuk menjelajah dan menuju destinasi selanjutnya ke kawasan lain di Amerika Serikat tersedia. Lantaran lokasinya berada di tengah-tengah, maka Dallas/Fort Worth International Airport sangat strategis. Dari Dallas kita bisa ke kawasan utara amerika (Montana, Salt Lake City, Wyoming, dsb) ataupun ke selatan (Florida. Miami, dsb). Bisa juga ke wilayah pantai barat amerika (Los Angeles, San Francisco, Portland, dsb) ataupun pantai timur (New York, Washongton DC, Philadelphia, Boston, dsb). Amerika memang luas. Bandingkan saja dengan Indonesia yang terentang dari Sabang samapi Merauke, mereka mempunyai 4 pembagian zona waktu.

Di pos pemeriksaan imigrasi ini kami dipilah-pilah berdasarkan maksud dan tujuan datang ke Amerika. Ada jalur khusus untuk bisnis, ada pula jalur khusus untuk turis atau rombongan tour wisata. Nah, karena saya ke Amerika atas undangan Kemenlu AS, maka saya tidak melalui kedua lajur tersebut, melainkan menuju lajur Exchange, Jalur ini khusus ditujukan bagi mereka yang mau sekolah di Amerika ataupun mereka yang datang untuk kunjungan pertukaran.

Setelah diarahkan oleh petugas, langsung aku menuju ke jalur exchange. Tiba giliranku maju ke meja imigrasi, petugas yang kebetulan laki-laki (sengaja aku tulis masalah gender, karena bila peng-interview laki atau perempuan akan berpengaruh padaku dalam menjawab pertanyaan yang diajukan). Seperti biasa, terjadilah proses introgasi atau tanya jawab.
“Mau apa datang ke Amerika?” kira-kira begitulah tanyanya
Your State invite me to come here, to attend International Visitor Leadership Program,” jawabku dengan pede-nya.
What?” Selidiknya. Tampaknya ia kurang mudeng tentang program IVLP atau memang sengaja ingin mengorek keterangan yang lebih mendetail tentang kunjunganku ke Amerika.

Lalu kujelaskan secara panjang lebar. Disambarnya dengan menanyakan itinerary-ku dan dimana aku tinggal selama di Amerika. Nah inilah keribetan pertama yang muncul. Di kertas ketibaan yang dibagikan saat jelang pesawat landing di Dallas, aku tidak jelas dalam menulis alamat hotelku di DC. Petugas tampaknya tidak merasa puas bila hanya nama hotel saja yang kutulis, ia butuh alamat lengkapnya. Sialnya, buku atau berkas yang diberikan saat briefing di Kedubes USA di Jakarta justru tertingal di Jakarta. Kepanikan sesaat melandaku, namun segera aku menoleh kebelakang, ke teman programku yang kebetulan masih dalam antrian imigrasi. Sejurus kemudian aku burujar. “Let me ask to my friend, plisss,”
Tanpa minta persetujuannya aku langsung mundur kebelakang dan meminta buku program pada temanku. Beruntung ia membawanya. Lalu setelah membaca buku program tersebut, yang tentu tertera namaku, beserta kontak-kontakku selama di Amerika, petugas imigrasi langsung men-cap pasporku sambil berkata: “Welcome to Amerika”.

Jiahhhh, akhirnya. Lega!! Kami bertiga berhasil lolos dari proses imigrasi dengan ‘mudahnya’. Namun tidak demikian dengan salah satu teman programku. Ia harus digiring masuk ke bilik selanjutnya untuk diadakan intensive interview. Usut punya usut ternyata nama temanku itu yang dipermasalahkan. Temanku hanya mencantumkan satu suku kata pada namanya, yakni Sunoko, tanpa embel-embel. Ini yang membuat mereka, para petugas imigrasi mengintrogasi temanku lebih lanjut. Dalam perspektif mereka, nama temanku itu ada kejangalan. Tidak lazim dalam passport hanya ada satu suku kata. Ini bisa diindikasikan bahwa seseorang –menurut pandangan Amerika-- menyembunyikan asal-usul dan latar belakang keluarganya. Biasanya, paling tidak ada 2 nama yakni nama depan dan nama belakang atau nama keluarga. Setelah dijelaskan panjang lebar dan tentu dengan pendekatan cultural bahwa banyak di Indonesia atau budaya Indonesia seseorang hanya menyandang satu nama atau satu suku kata untuk namanya, akhirnya mereka percaya dan mempersilahkan temanku lewat setelah menahannya hampir sekitar seperapat jam.

Gara-gara masalah nama, urusan di imigrasi jadi terkendala. Dan ini bukan yang pertama. Berikutnya saat pemeriksaan di bandara kota-kota/states di Amerika Serikat yang kami kunjungi pun, passport temanku kadang bermasalah. Ya, mereka menyelidik dan tergelitik untuk mencari tahu kenapa hanya satu suku kata pada nama itu. yang tertera di paspor

Kini, setelah urusan Si Sunoko beres, kami, berempat, para peserta IVLP program Child Walfare 2016 bisa melenggang memasuki Amerika untuk kemudian melanjutkan perjalanan kami ke Kota Washington DC. Americaaa here i came..


*bahasa Betawi; maknanya campuran antara impressed dan excited 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar