Seumur hidupku, bepergian ke luar negeri hanya
sampai ke Singapura dan Kuala Lumpur saja, belum pernah melangkah jauh. Takut
kesasar. Lagi pula aku rada susah dalam soal makan. Beruntung, kedua negara itu
masih serumpun, jadi cita rasa makanan-nya pun gak beda dengan seleraku. Cocoklah untuk lidah melayu macamku ini.
Nah, ketika diberi kesempatan pergi jauh ke seberang samudera, ke Amerika sana,
rasa khawatirku pun muncul. Khawatir gak
bisa makan. Istriku bahkan sempat menyarankan untuk membawa campuran kentang,
tempe dan teri (digoreng kering) sebagai tambahan lauk. Namun usul itu aku
tolak lantaran takut jenis makanan itu tak bisa masuk atau lolos di pemeriksaan
imigrasi.
Dalam booklet,
yang berisi itinerary dan agenda program
IVLP selama di Amerika Serikat, yang kuperoleh setiap kali check in di suatu hotel,
ada secarik kertas yang bertuliskan nama-nama restoran yang direkomendasikan
untuk dicoba. Rekomendasi ini mulai dari yang berharga di bawah 10 dollar
sampai pada kisaran 15 hingga 20 dollar untuk sekali makan. Dalam rekomendasi
itu juga dicantumkan jenis-jenis masakan atau hidangan dengan cita rasa khas
suatu kawasan atau negara. Seperti; restoran middle east cuisine, north africa cuisine,
asia/oriental cuisine, south asia cuisine, dan western cuisine.
Lantaran beberapa peserta IVLP ada yang
muslim, maka oleh panitia dari Departement of State USA, disertakan pula nama-nama
restoran yang mencantumkan label halal. Namun, restoran model ini tidak banyak
di Amerika. Makum, muslim di Amerika Serikat adalah minoritas. Biasanya restoran
dari kawasan Asia Selatan dan Afrika Utara, yang memang berpenduduk mayoritas
muslim, memasang label halal. Sementara restoran bergaya oriental ada yang
halal dan adapula yang ‘abstain’ atau tingkat kehalalannya tidak ter-verifikasi.
Bicara mengenai halal atau tidaknya produk
makanan dan olahan di Amerika, tentu tidak bisa dipersandingkan atau vis a vis
dengan labelisasi halal haram ala MUI-nya Indonesia. Di Indonesia, akan banyak variable yang harus diaudit untuk
menentukan makanan tersebut di-labeli halal atau tidak. Seperti (bila hewani);
Cara penyembelihannya, prosesnya, pengolahannya, dan sebagainya. Sementara di
Amerika Serikat tentu berbeda, lantaran tidak ada lembaga resmi pemerintah yang
diberi wewenang untuk men-sertifikasi produk tersebut halal atau tidak.
Kehalalan suatu produk/makanan biasanya ditentukan sendiri oleh si pemilik atau
chef rumah makan tersebut.
Selama di Amerika Serikat, bila kebetulan ada
rumah makan halal di dekat hotel atau tempat meeting, tentu itu jadi pilihan utamaku. Namun jika lokasinya
sangat jauh, apa boleh buat, restoran ‘remang-remang’ pun (yang tak
mencantumkan halal/haram) terpaksa aku sambangi. Aku tidak fanatik dalam
‘memburu’ restoran berlabel halal. Bagiku, selagi tak menyantap babi, bacon, pork atau sejenisnya di menu
makanan yang tersaji, tentu aku makan. Untuk amannya, selain sayuran biasanya
aku memesan olahan laut seperti udang dan salmon. Kadang olahan ayam atau beef.
Saat berada di Washington DC kebetulan
tempatku menginap letaknya strategis. Aku tinggal di Hotel One Cicle yang berseberangan
dengan Universitas George Washington. Hotel itu dekat kemana-mana. (ya, didekat-dekat-in aja, lha wong disana
gak ada angkot, hehe). Dari hotel ke rumah makan berlabel halal cukup di tempuh
dengan jalan kaki selama 10 menit. Ada 2 (dua) rumah makan halal. Satu restoran
south asian dan lainnya masakan oriental. Pilihanku adalah restoran Dynansti,
di kawasan Dupont. Lokasinya persis di belakang kantor Kedutaan Besar RI di DC.
Restoran ini cukup ramai, yang datang tidak hanya Asia, namun banyak juga warga
African American yang bersantap. Menariknya, beragam menu olahan asia ini tak asing
untuk lidah Indonesia.
Menu favoritku tiap kali memesan adalah indonesian fried rice with shrimp. Nasi
gorengnya cukup enak, tak beda dengan rasa di Indonesia. Aku curiga sang koki
diajari cara memasak dan meramu nasi goreng ala Indonesia oleh salah seorang
staf Kedubes kita yang ada disana. Atau boleh jadi staf Kedubes Indonesia itu
punya saham dan royalty untuk menu nasi goreng Indonesia yang dibuat, hehe..
Biasanya, dimana banyak komunitas muslim
bermukim di suatu wilayah atau negara bagian (state) tentu tak sukar menemukan
rumah makan halal. Di Salt Lake City, Saint Louis, Philadelphia, dan Washington
DC, rupanya banyak komunitas muslim yang tinggal. Tak sulit mencari Islamic
Center, masjid, atau rumah makan halal disana. Kebanyakan imigran yang berdiam
di negara-negara bagian tersebut (kecuali DC) berasal dari afrika utara dan
kawasan konflik di timur tengah. Mereka datang dan mencari suaka di negara impian
ini. Di Philly misalnya, ada beberapa food
stall halal di sekitar ‘alun-alun’ kota.
Restoran dan rumah makan berlabel halal
biasanya mendapat pasokan produk makanannya dari komunitas muslim yang ada disekitarnya.
Daging (kambing dan sapi) misalnya, disembelih dan diolah dengan cara Islam.
Mengolahnya pun dengan cara yang syar’i atau sesuai ajaran Islam. Produk halal
yang disajikan, tidak bercampur dengan yang haram, seperti olahan dari daging
babi, misalnya. Demikianlah, komunitas Muslim setempat menjual produk-produk
halal untuk para warga muslim yang ada di sekitarnya.
Adanya muslim disuatu wilayah di negara
adidaya ini tentu menjadi berkah tersendiri bagi orang -dengan latar belakang
muslim- sepertiku, sehingga tak perlu repot mencari dan berburu makanan halal
di negara liberal macam amerika ini. Meski di AS jumlah warga muslim adalah
minoritas, namun muslim mampu menunjukkan jati dirinya dengan kehadiran
beberapa restoran dan food stall halal di sudut-sudut kota. Kehadirannya
laksana oase di padang gurun yang luas. Dan bagiku, itu cukup sebagai penanda bahwa
ada Islam di pelosok wilayah Amerika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar