Disampingnya
tampak tumpukan kardus besar yang berisi pakaian hangat, selimut, dan kebutuhan
pribadi lainnya. Ia kulihat bersandar pada dinding pagar pembatas taman.
Sesekali ia berdiri dan berucap dengan suara yang cukup jelas terdengar:”..give me your pennies, please.” Lelah,
kembali ia bersandar dengan meletakkan botol gelas plastik sebagai wadah tempat
menampung coin-coin pemberian orang-orang yang iba, yang lewat di depannya.
Begitulah, kuamati aktivitas pengemis itu dari tempatku bersantap siang di
sekitaran Dupont Circle, Washington DC.
Pandangan
kualihkan ke sudut lain, masih di lokasi yang sama, terlihat pemuda, yang
kutaksir masih berusia 30-an, berbadan tegap tanpa cacat. Ia bediri menyandar
pada tiang lampu pengatur lalu lintas di persimpangan jalan, persis di depan toko
buku dekat Dupont Circle. Ia kuperhatikan meracau tak jelas. Mungkin mabok,
atau bisa jadi stress berat, lantaran ditinggal kekasih pergi, entahlah. Sesekali
ia duduk. Sama dengan temannya di taman lingkar Dupont, tampak kertas karton
bertuliskan: “Homeless, Need Money. Give Penny $ Please!” tergeletak dengan
posisi tegak di dekat selangkangannya
Saat
itu awal bulan Maret, musim dingin baru saja usai. Mereka, para pengemis dan
penyandang masalah sosial atau lazim disebut homeless lantaran tidak punya rumah sedang keluar untuk menyambut
datangnya musim semi setelah tinggal di shelter-shelter dan pusat penampungan
yang mereka diami selama musim dingin. Hampir 3 purnama mereka tinggal disana. Dan
kini, saatnya cuci mata mencari kesegaran suasana kota.
Jujur
saja, kaget juga aku saat baru sehari tiba di Ibukota Amerika, tatkala
melangkah mengukur jalan, di sepanjang Pennsylvania Avenue, melihat dan menjumpai
pengemis di jalan-jalan utama DC. Kagetku tentu beralasan. Tadinya kukira di
negara maju macam Amerika ini mustahil ada pengemis, namun yang kulihat adalah
sebaliknya. Ada pengemis juga disana. Mungkin inilah suatu keniscayaan hidup,
dimanapun adanya. Entah itu negara kaya ataupun miskin (berkembang), selalu
saja ada yang berkecukupan dan ada pula yang miskin (homeless).
Di
DC dan Philadelphia, mereka, para kaum homeless,
sangat mudah ditemukan. Jalan saja ke persimpangan jalan yang ramai, dimana
banyak orang berhenti untuk menunggu lampu warna hijau menyala, tanda boleh
menyebrang, atau bisa juga di taman-taman kota dengan lokasi view yang bagus,
tempat dimana banyak orang berkumpul menikmati hangatnya mentari, niscaya di
sana akan ada para homeless. Biasanya mereka berada di setiap perempatan.
Para
gelandangan itu tidak berasal dari ras atau etnis tertentu saja, namun semua
ras ada. Menariknya, baik di DC, Philly, St. Louis, dan Salt Lake City, tidak
ada satupun gelandangan pengemis yang menyandang kecacatan tubuh, seperti
banyak kita jumpai di Jakarta, semuanya sehat sempurna. Sehat dan kuat untuk
bekerja. Bila melihat kondisi ini, tentu tak ada iba dalam diriku, namun
anehnya, ada saja yang memberikan uang receh ke mereka. Namun itulah adanya.
Entah apa yang menyebebkan mereka menjadi pengemis. Belum ada penelitian
kualitatif yang di rilis yang bisa menjelaskan kenapa orang Amerika bisa jadi
pengemis dan menggelandang di jalan-jalan.
Penasaran,
aku coba menyelidik. Dari beberapa sumber yag kutanyai, biasanya mereka menjadi
homeless karena bercerai atau
berpisah dengan pasangannya. Lantaran bercerai, maka seluruh harta gono gini dibagi habis. Bagi pasangan
yang bernasib sial, mungkin mereka akan terusir dari rumah dan tempat
tinggalnya. Inilah yang menjadikan mereka homeless
atau menggelandang, seperti yang kujumpai di Philly, dimana ada wanita umur
sekitar 30 tahun dengan perut buncit tanda hamil, duduk di pojok antara jalan
Chesnut dan jalan 13. Di pahanya terpangku kertas karton tercetak tebal: “Homeless, need money”.
Oh
ya, meski menggelandang, mereka tidak mengganggu, atau mengancam para pejalan
dengan kontak fisik, mereka hanya berkata-kata saja. Mereka tampaknya tahu
hukum. Sekali mereka mengganggu, mereka akan berhadapan dengan petugas hukum.
Dan, sepanjang mereka berada di areal publik, tak ada seorangpun yang berhak
melarang mereka duduk, berdiri atau ngetem
disana, even petugas ‘trantib’-nya
kota DC. Ya, Amerika sangat menjunjung tinggi kebebasan individu dan tentu juga
perlindungan terhadap setiap warga negaranya.
Sebagai
negara adidaya, Amerika Serikat tentu sanggup melakukan apa saja. Dengan
uang yang ada, program dan kebijakan apa
pun yang digulirkan tentu akan mudah diwujudkan. Begitupun dengan kebijakan pengentasan
kemiskinan atau penanganan terhadap mereka yang menyandang masalah sosial,
misalnya, tentu akan mudah di terapkan. Dan memang itu telah dilakukan. Banyak
shelter dan tempat atau rumah aman bagi para penyandang tunawisma dibangun di pinggiran
kota. Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk menyediakan tempat yang aman dan
nyaman bagi kaum homeless yang ada di Amerika. Namun yang terjadi adalah para
homeless malahan keluar dari ‘rumah-rumah’ mereka untuk –mungkin- cuci mata ke
pusat kota. Dan.
Meski
keberadaan gelandangan itu tak mengganggu dan mengancam secara fisik kepada
para pejalan kaki, namun tentu keberadaan mereka merusak keindahan kota atau
bahasa sederhananya mengganggu pandangan mata. Dan itulah yang kulihat di
kota-kota yang kusinggahi di Amerika, bahkan pemerintah kota (county) seakan
tak berdaya menghadapi mereka. Inilah Amerika. Semuanya ada.