Selasa, 24 Mei 2016

Para Pengemis Yang Tahu Hukum & Aturan

Disampingnya tampak tumpukan kardus besar yang berisi pakaian hangat, selimut, dan kebutuhan pribadi lainnya. Ia kulihat bersandar pada dinding pagar pembatas taman. Sesekali ia berdiri dan berucap dengan suara yang cukup jelas terdengar:”..give me your pennies, please.” Lelah, kembali ia bersandar dengan meletakkan botol gelas plastik sebagai wadah tempat menampung coin-coin pemberian orang-orang yang iba, yang lewat di depannya. Begitulah, kuamati aktivitas pengemis itu dari tempatku bersantap siang di sekitaran Dupont Circle, Washington DC.

Pandangan kualihkan ke sudut lain, masih di lokasi yang sama, terlihat pemuda, yang kutaksir masih berusia 30-an, berbadan tegap tanpa cacat. Ia bediri menyandar pada tiang lampu pengatur lalu lintas di persimpangan jalan, persis di depan toko buku dekat Dupont Circle. Ia kuperhatikan meracau tak jelas. Mungkin mabok, atau bisa jadi stress berat, lantaran ditinggal kekasih pergi, entahlah. Sesekali ia duduk. Sama dengan temannya di taman lingkar Dupont, tampak kertas karton bertuliskan: “Homeless, Need Money. Give Penny $ Please!” tergeletak dengan posisi tegak di dekat selangkangannya

Saat itu awal bulan Maret, musim dingin baru saja usai. Mereka, para pengemis dan penyandang masalah sosial atau lazim disebut homeless lantaran tidak punya rumah sedang keluar untuk menyambut datangnya musim semi setelah tinggal di shelter-shelter dan pusat penampungan yang mereka diami selama musim dingin. Hampir 3 purnama mereka tinggal disana. Dan kini, saatnya cuci mata mencari kesegaran suasana kota. 

Jujur saja, kaget juga aku saat baru sehari tiba di Ibukota Amerika, tatkala melangkah mengukur jalan, di sepanjang Pennsylvania Avenue, melihat dan menjumpai pengemis di jalan-jalan utama DC. Kagetku tentu beralasan. Tadinya kukira di negara maju macam Amerika ini mustahil ada pengemis, namun yang kulihat adalah sebaliknya. Ada pengemis juga disana. Mungkin inilah suatu keniscayaan hidup, dimanapun adanya. Entah itu negara kaya ataupun miskin (berkembang), selalu saja ada yang berkecukupan dan ada pula yang miskin (homeless).

Di DC dan Philadelphia, mereka, para kaum homeless, sangat mudah ditemukan. Jalan saja ke persimpangan jalan yang ramai, dimana banyak orang berhenti untuk menunggu lampu warna hijau menyala, tanda boleh menyebrang, atau bisa juga di taman-taman kota dengan lokasi view yang bagus, tempat dimana banyak orang berkumpul menikmati hangatnya mentari, niscaya di sana akan ada para homeless. Biasanya mereka berada di setiap perempatan.

Para gelandangan itu tidak berasal dari ras atau etnis tertentu saja, namun semua ras ada. Menariknya, baik di DC, Philly, St. Louis, dan Salt Lake City, tidak ada satupun gelandangan pengemis yang menyandang kecacatan tubuh, seperti banyak kita jumpai di Jakarta, semuanya sehat sempurna. Sehat dan kuat untuk bekerja. Bila melihat kondisi ini, tentu tak ada iba dalam diriku, namun anehnya, ada saja yang memberikan uang receh ke mereka. Namun itulah adanya. Entah apa yang menyebebkan mereka menjadi pengemis. Belum ada penelitian kualitatif yang di rilis yang bisa menjelaskan kenapa orang Amerika bisa jadi pengemis dan menggelandang di jalan-jalan.

Penasaran, aku coba menyelidik. Dari beberapa sumber yag kutanyai, biasanya mereka menjadi homeless karena bercerai atau berpisah dengan pasangannya. Lantaran bercerai, maka seluruh harta gono gini dibagi habis. Bagi pasangan yang bernasib sial, mungkin mereka akan terusir dari rumah dan tempat tinggalnya. Inilah yang menjadikan mereka homeless atau menggelandang, seperti yang kujumpai di Philly, dimana ada wanita umur sekitar 30 tahun dengan perut buncit tanda hamil, duduk di pojok antara jalan Chesnut dan jalan 13. Di pahanya terpangku kertas karton tercetak tebal: “Homeless, need money”.

Oh ya, meski menggelandang, mereka tidak mengganggu, atau mengancam para pejalan dengan kontak fisik, mereka hanya berkata-kata saja. Mereka tampaknya tahu hukum. Sekali mereka mengganggu, mereka akan berhadapan dengan petugas hukum. Dan, sepanjang mereka berada di areal publik, tak ada seorangpun yang berhak melarang mereka duduk, berdiri atau ngetem disana, even petugas ‘trantib’-nya kota DC. Ya, Amerika sangat menjunjung tinggi kebebasan individu dan tentu juga perlindungan terhadap setiap warga negaranya.

Sebagai negara adidaya, Amerika Serikat tentu sanggup melakukan apa saja. Dengan uang  yang ada, program dan kebijakan apa pun yang digulirkan tentu akan mudah diwujudkan. Begitupun dengan kebijakan pengentasan kemiskinan atau penanganan terhadap mereka yang menyandang masalah sosial, misalnya, tentu akan mudah di terapkan. Dan memang itu telah dilakukan. Banyak shelter dan tempat atau rumah aman bagi para penyandang tunawisma dibangun di pinggiran kota. Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk menyediakan tempat yang aman dan nyaman bagi kaum homeless yang ada di Amerika. Namun yang terjadi adalah para homeless malahan keluar dari ‘rumah-rumah’ mereka untuk –mungkin- cuci mata ke pusat kota. Dan.


Meski keberadaan gelandangan itu tak mengganggu dan mengancam secara fisik kepada para pejalan kaki, namun tentu keberadaan mereka merusak keindahan kota atau bahasa sederhananya mengganggu pandangan mata. Dan itulah yang kulihat di kota-kota yang kusinggahi di Amerika, bahkan pemerintah kota (county) seakan tak berdaya menghadapi mereka. Inilah Amerika. Semuanya ada. 

Rabu, 18 Mei 2016

Menengok Ke Philly, Inilah Role Model Pengelolaan Tanah Kosong Di Tengah Pemukiman.

Sebagai kota dengan jumlah penduduk yang banyak, Philadelphia, seperti kota-kota besar di Amerika Serikat lainnya tentu dihadapkan dengan permasalahan penyediakan perumahan yang layak huni bagi warganya. Dengan keterbatasan lahan yang ada di perkotaan, maka pemerintah pun membuat perumahan yang sederhana ukurannya, Dan biasanya, dikhususkan bagi kalangan menengah. Meskipun kecil, namun pemukiman atau kawasan perumahan di kota dengan panggilan Philly ini sangat tertata dengan baik. Beraturan. Jarak antara bangunan dengan jalan raya dibuat lurus laksana bujur sangkar kotak-kotak. Jalan lingkungan disekitarnya pun lumayan lebar, muat untuk ukuran empat lajur mobil.  

Lantaran berukuran kecil, kulihat kawasan perumahan sederhana di Philly dibuat tanpa mempunyai halaman depan. Bentuk, ukuran, dan luasnya pun nyaris seragam. Kutaksir tiap-tiap rumah luasnya hanya sekitar 50 meter persegi, dengan tanpa adanya garasi atau lahan kosong. Akibatnya, banyak mobil yang terparkir di pinggir jalan di depan rumah-rumah mereka.

Ada hal menarik yang kujumpai saat berkunjung ke kota tempat Liberty Bell ini bersemayam pada pertengahan Maret 2016 silam. Meski tiap rumah tidak memiliki lahan atau halaman depan, namun tidak menyurutkan mereka untuk melakukan kegiatan tanam menanam, atau lebih dikenal dengan istilah urban farming, berkebun di tengah kota.

Kegiatan urban farming atau berkebun di tengah kota yang dilakukan oleh masyarakat perkotaan tampaknya telah mewabah dan merambah kota-kota besar di dunia, tak terkecuali bagi kota berpenduduk 1,6 juta jiwa ini. Hampir disetiap lingkungan perumahan yang kutemui terdapat sebidang tanah kosong yang dkhususkan untuk mewadahi mereka yang mempunyai hobi bercocok tanam. Tadinya aku sempat terkecoh, dari kejauhan kulihat sebidang tanah tanpa bangunan itu -meski berpagar-, seolah tak terurus, Namun, saat kudekati ternyata ada aktivitas bercocok tanam disana.

Kulihat beberapa wanita sedang mencabut rerumputan kecil yang ada di sekitar tanaman berjenis daun bawang. Ada pula yang sibuk menyemai benih baru. Sehari-hari mereka merawat dan menyemai benih untuk kemudian menyiraminya dengan air. Kuperhatikan semua tanaman yang berisi aneka bunga, sayuran, dan tumbuhan khas negara 4 musim, di areal seluas 500 meter itu, tumbuh dengan suburnya. Ya, awal Maret, memang tengah memasuki awal musim semi, waktu yang cocok untuk mulai menyemai benih dan bercocok tanam.

Mereka terlihat sangat bersemangat mengolah tanah, dalam upaya penghijauan lingkungan disekitar tempat tingggalnya. Keseriusan mereka ini untungnya di back up oleh pemangku kebijakan disana. Meski lahan di Philly serba terbatas, namun ada beberapa kavling tanah milik pemerintah yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan urban farming.

Pemerintah kota Philadelphia memfasilitasi warga untuk bercocok tanam dengan menyewakan tanah-tanah miliknya kepada para penduduk sekitar perumahan. Ongkos sewanya pun terbilang murah. Tanah pemerintah seluas kira-kira 500 meter ini dibagi menjadi beberapa bagian atau kavling. Tiap kavling luasnya sekitar 30 meter persegi. Luas itu cukup untuk satu keluarga menanam aneka jenis tanaman, sayuran, dan bunga. Tiap orang yang hendak menggarap satu kavling itu cukup membayar sekitar 30 dollar per tahunnya.

Untuk meng-organize kegiatan urban farming ini, mereka berkumpul dan membentuk komunitas yang bernama “Community Garden”. Ada gubuk kecil, semacam sekretariat untuk mereka berkumpul. Di gubuk seluas 25 meter persegi itu juga digunakan sebagai tempat menaruh aneka perabot pertamanan. Kulihat sekop dan pacul tergeletak disudut gubuk. Adapula berjenis-jenis pupuk kompos. Juga tampak aneka benih dan bibit tanaman. Tiap anggota bisa memanfaatkannya fasilitas yang ada. Setiap hari, selalu saja ada anggota komunitas -yang kebanyakan ibu-ibu rumah tangga- menggarap jatah kavling miliik mereka.

Di Jakarta, sebenarnya mengolah tanah ‘nganggur’ ini telah diterapkan, seperti tampak di sudut jalan, di perapatan Pramuka, By-Pass. Penggarap tanah tersebut menanami tanah kosong itu dengan aneka macam sayuran yang bernilai ekonomis. Selain di Pramuka, ada lagi beberapa tanah milik pengembang di pinggiran Jakarta yang kulihat dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Sayangnya, aku belum mendapati model Philly di tengah pemukiman padat penduduk di Jakarta. Ya, mungkin lantaran tanah disekitarnya tidak ada yang kosong. Atau, kalaupun ada tanah kosong, itu milik pribadi (warga), dan biasanya disewakan untuk parkiran kendaraan warga perumahan.


Solusinya, bila ada tanah milik negara yang ‘tidur’ atau belum termanfaatkan, ditengah-tengah pemukiman, alangkah baiknya bila model sewa lahan di kota Philadelphia ini bisa dijadikan benchmark, bagaimana konsep urban farming diterapkan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, ketimbang tanah itu digunakan hanya untuk lahan parkir mobil! 

Senin, 16 Mei 2016

Museum-Museum di Washington DC

Tidak selamanya kami, peserta International Visitor Leadership Program (IVLP) pergi pagi pulang sore, dalam arti full seharian bertemu counterpart di kantor. Adakalanya jam 02.pm, acara tukar pikiran dan sharing pengalaman dengan mereka sudah selesai. Ini berarti ada sisa waktu free. Begitulah, suatu hari di awal Maret 2015, setelah pertemuan dengan para rekan sejawat di Washington DC, Amerika, hari masih siang, masih ada waktu untuk kelayapan. Mengisi waktu yang kosong, aku memutuskan untuk tidak langsung pulang ke hotel melainkan pergi jalan-jalan menyusuri sudut-sudut kota.

Ya, waktuku di ibukota Amerika Serikat ini tak lama, cuma lima hari. Aku harus memanfaatkan waktu yang ada untuk meng-eksplore kota beratus pohon sakura ini. Berbekal peta saku yang kudapatkan dari hotel, aku mulai mempelajari titik dimana aku berdiri saat ini. Rencananya, siang ini aku akan mendatangi beberapa museum yang ada di sekitaran Washington Monument, sebagai center atau landmark-nya kota DC. Sebelumnya, saat masih di Indonesia memang telah kupelajari sedikit tentang kota DC, dimana disebutkan bahwa kota ini, selain sebagai ibukota Amerika, juga banyak bertebaran museum-museum dengan koleksi yang bagus dan gratis!

Selepas meeting di bilangan Jalan K, aku meminta kepada supir untuk menurunkanku di sisi timur White House. Sengaja titik ini kupilih, lantaran disekitarnya banyak spot menarik yang bisa aku potret. Perjalananku dimulai dengan mengunjungi beberapa museum yang ada di sisi Jalan Jefferson SW. Sengaja aku memulai dari titik ini agar sekalian bisa mengarah ke barat, ke arah pulang. Tujuan akhir dan patokanku adalah Abraham Lincoln Memorial. Dari memorial ini, hanya sekitar 900 meter belok ke utara menuju tempatku menginap.

Ada banyak museum di sepanjang Jalan Madison NW dan Jalan Jefferson SW. Kedua jalan ini laksana rel kereta api yang bersisian dengan taman di tengah-tengahnya, yang dikenal dengan National Mall. Aku mulai berjalan dari arah timur, mengambil sisi sebelah selatan, mulai dari Jalan 4, dimana ruteku bermula dan akan diakhiri di pertemuan dengan Jalan 23. Jaraknya? Ya cukup jauh juga lantaran aku akan memotong sebanyak 19 blok jalan imaginer yang akan kulalui siang ini.  Jika tiap blok selebar 200 meter luasnya, maka tinggal dikalikan saja.

Museum yang pertama kumasuki adalah Newseum, sebuah museum yang memotret beragam kejadian dan peristiwa bersejarah yang diabadikan oleh para jurnalis mancanegara, seperti misalnya peristiwa 9/11; Runtuhnya tembok berlin; Ataupun berita-berita yang pernah menjadi headlines pemberitaan di dunia, seperti pembunuhan JFK, perang Arab Israel, tumbangnya Uni Sovyet, dsb. Museum ini terletak di hook, di persimpangan jalan Pennsylvania Avenuae NW dan jalan 6NW, berhadap-hadapan dengan National Gallery of Art.

Dengan tiket masuk sekitar US$ 22, aku larut dalam kenangan dan peristiwa masa lalu yang diabadikan dalam beragam foto, dan tulisan. Menariknya disini juga akan kita dapati beragam benda dan barang-barang yang terkait dengan suatu peristiwa, seperti potongan tembok berlin yang kokoh berdiri, juga ada mobil yang digunakan teroris untuk meledakkan bom, Ada pula antena yang terpasang di puncak menara kembar WTC yang roboh pada peristiwa 9/11.

Puas melihat-lihat isi dalam Newseum, kuayunkan langkah keluar menuju ke Air&Space Museum. Museum yang berisi tentang dunia penerbangan dan antariksa ini menampilkan beragam foto dan cukilan dari potongan pesawat-pesawat yang pernah ada di dunia. Misalkan saja ada kokpit pesawat yang pernah digunakan dalam penerbangan komersial pertama. Adapula kokpit pesawat tempur yang digunakan sekutu dalam Perang Dunia II. Museum ini memang sepertinya di create sebagai tempat belajar mengenai dunia dirgantara dan angkasa luar. Banyak anak-anak sekolah yang datang di museum dalam jaringan Smitshonian ini, ya semacam studi wisata. Melihat mereka asyik dan kagum pada koleksi yang ada di musem itu, timbul rasa sedih-ku. Aku ingat anak di rumah. Sayang, aku tak mengikutsertakan putraku, Mangkurachmat, untuk berbagi kebahagian menjelajahi Air & Space Museum ini.

Setelah puas, lalu aku keluar, ke arah barat ke Hirshhorn Museum. Musem dengan bangunan berbentuk lingkaran ini memanjakanku dengan berbagai karya seni dan instalasi kontemporer. Isi koleksinya sangat antik, unik dan membangkitkan keinginan untuk berkarya dan berkreasi. Seni instalasinya sangat ciamik. Sangat menantang. Tak banyak yang berkunjung kesini. Maklum, hanya mereka yang berselera seni tinggi saja yang betah lama-lama disini.

Lalu aku ke Museum Smithsonian Caste, National landmark. Sama dengan Air & Space Museum, & Hirshhorn Museum, Smithsonian Caste masuk dalam jaringan Smithsonian, yakni jaringan yang terdiri dari 19 museum dan galeri serta 9 (Sembilan) pusat riset dan taman satwa nasional yang saling terintegrasi.


Lelah? Tentu saja. Rasanya cukup sudah aku menjelajah museum-museum itu, kini aku melangkah pulang, menyusuri jalan Independence, hingga bertemu pada Monument Washington yang tinggi menjulang. Aku terus ke barat, menyusuri taman disisi Reflection Pool hingga sampai pada Lincoln Memorial. Pegal kaki dan lelah lantaran berjalan untungnya terpuaskan dengan suguhan pemandangan dan spot yang menarik yang banyak kujumpai dalam perjalanan pulang mengukur jalan di keremangan sore, dalam batas akhir senja. 

Kamis, 12 Mei 2016

Di DC, Harga Sepotong Ikan Salmon & Pancake, Bisa Sama.

Biasanya dimana banyak menjamur rumah kost, disitu pula banyak rumah makan bertebaran. Sama seperti kost-kostan, masing-masing rumah makan tentu mencoba memberikan layanan terbaiknya. Disamping rasa yang enak, tentu harga yang miring yang menjadi andalan mereka, pemilik rumah makan, dalam menarik pelanggan. Dan, bagi sebagian pelanggan, ada satu lagi yang menjadi incaran-nya yakni, bebas mengambil nasi sesukannya, atau sistem prasmanan. Bagi anak kost, tentu model rumah makan prasmanan lebih disukai ketimbang model rumah makan padang atau sistem touch screen ala warteg, pasalnya mereka bebas mengambil lauk dan menciduk nasi sepuas-puasnya.

Sistem ini banyak dijumpai di rumah-rumah makan yang ada di sekitar kampus di Jawa Barat.. Kita dipersilakan untuk mengambil nasi sepuasnya, begitupun sayur dan aneka lauk. Biasanya sebelum bersantap, kita akan memperlihatkan dulu piring yang berisi nasi dan lauknya kepada penjaga, Dari situ si penjual akan tahu dan menaksir harga untuk sepiring makanan itu. Harganya tentu beda-beda, tergantung banyaknya porsi yang kita ambil, karena memang sistemnya self service.

Atau bisa juga, bersantap dulu sepuasnya kemudian menyebut nama lauk yang kita makan. Nah, biasanya ini diterapkan oleh rumah makan model rumahan atau dalam arti rumah makan yang dikelola ibu kost untuk melayani kebutuhan makan para penghuni kost-nya. Ibu kost biasanya menerapkan aturan yang longgar alias tak terlalu perhitungan dalam menerapkan kebijakan harga. Siapa yang mau makan, bebas mengambil nasi dan lauk sepuasnya, harganya pun harga kekeluargaan.

Tadinya kupikir kebijakan prasmanan atau self service ini hanya ada di rumah makan di Jawa Barat, seperti waktu zaman aku kuliah dulu di Jatinangor. Ternyata, model prasmanan ini ada pula di Washington DC dan Philadelphia, Amerika Serikat. Meski keduanya menerapkan sistem prasmanan, namun ada keunikan yang kujamin tidak ada di restoran atau rumah makan manapun di Indonesia! Mau tahu keunikannya? Ini dia.

Bicara masalah sistem makan dan sitem bayar makan, ada yang menarik di beberapa
rumah makan di Amerika, setidaknya ada dua kota yang kutemui, yang menerapkan cara penghitungan pembayaran yang unik untuk aneka lauk yang kita pilih. Ya, lauk dan makanan yang kita ambil secara self service atau pramanan akan ditimbang dulu untuk menentukan harga makanan itu, baru boleh kita santap. Ditimbang? Iya, apapun jenis makan itu, entah itu jenis daging, ikan, gorengan, steam-an, berbahan gandum, tepung, aneka kacang-kacangan, makanan berkelas atau murahan, semuanya yang tersaji di piring kita akan ditimbang.

Aku rada bingung juga dengan konsep ini, pasalnya berat sekerat daging dan sepotong tahu atau tempe akan ditimbang dan diperlakukan sama, dengan harga yang sama. Bagiku, daging tentu lebih berkualitas ketimbang tahu, begitupun satu butir telur akan beda kualitasnya ketimbang sekerat beef atau seekor ikan salmon. Disinilah uniknya. Bagaimana mereka, pengelola rumah makan, mengkalkulasi harga lantaran semua jenis makanan diperlakukan sama, dihitung harganya berdasarkan beratnya.

Dasar orang Indonesia, tentu aku gak mau rugi. Aku pilih makanan yang menurutku mempunyai prestige yang tinggi seperti salmon, beef ataupun sayuran yang berkelas dan gak ada di Indonesia. Sengaja aku hindari memilih daging ayam, ataupun sayuran yang umum, yang banyak ada di tanah air. Toh, semuanya ditimbang dan disamaratakan harganya tanpa memandang jenis dan kualitas makanannya.

Dengan sistem ini aku harus pandai-pandai berstrategi. Bagaimana menyiasati cara makan lezat, terkesan mewah, dan berkualitas dengan harga yang relative murah. Disinilah aku harus mengira-ngira mana lauk yang aku harus ambil banyak, dan mana jenis lauk yang cukup diambil sedikit saja. Rata-rata biaya makan untuk model timbangan seperti ini berkisar antara 8 hingga 13 dollar sepiringnya. Ya, sekali lagi tergantung beratnya.


Selepas bersantap, saat melihat kasir penjaga menimbang makanan yang dipesan oleh temanku, kepikiran juga dalam hati, sepertinya model makan di timbang ini belum ada atau belum diterapkan di rumah-rumah makan di Indonesia. Jika model ini diterapkan, mungkin akan menjadi rumah makan yang special dan unik dimata para pecinta kuliner tanah air. Model timbangan ini tentu menjadi bahan obrolan menarik bagi para penikmat wisata kuliner, dan tentu saja menjadi media promosi yang gratis bagi rumah makan itu. Jika konsep ini diterapkan, entahlah apakah pengusaha rumah makan akan untung atau sebaliknya justru akan merugi. Ya, sepertinya ini layak dicoba. 

Selasa, 10 Mei 2016

Seperti Apa Rasanya Nonton Ballet?

Di gedung itu sepertinya cuma aku seorang yang bertampang tak rupawan. Tubuh kecil, dengan balutan jas penahan dingin yang tebal, terlihat gempal. Walaupun demikian, aku tergolong orang yang beruntung, meski bertampang pas-pasan, (pas dilihat rada ganteng juga, hehe..) aku bisa masuk dalam golongan sosialita high class yang tidak sembarang orang bisa masuk ke gedung itu. Maklum, tiket masuknya rada mahal, sekitar 90 dollar. Dengan uang sebesar itu rasanya sayang untuk dihabiskan hanya dengan menonton pertunjukan selama 3 jam. Namun lantaran tiket sudah ditangan, jadilah malam itu aku laksana pangeran tampan yang sedang berpetualang mencari kesenangan. Ya, sabtu malam di pertengahan Maret 2016 itu aku akhirnya bisa nonton pertunjukan, berbaur dengan mereka yang well educated dan well manner.

Sejujurnya, aku orang rumahan. Jarang pergi keluar untuk nonton, baik itu nonton bola ataupun nonton bioskop. Tontonan yang pernah kulihat secara langsung adalah pertandingan-pertandingan olahraga yang ada di Jakarta, utamanya sepakbola. Waktu kecil bahkan aku sudah diajak nonton pertandingan Indonesia lawan tim asing di GBK. Pernah pula aku nonton live pertandingan Tennis, Squash, dan Basket saat bertugas sebagai LO pada PON XIV tahun 1996, di Jakarta. Jadi hanya dua jenis tontonan itu saja yang pernah kutonton yakni nonton bola dan nonton bioskop. Selebihnya tak ada.

Nah, sewaktu di Philadelphia, memenuhi undangan dari Kemenlu Amerika dalam program IVLP aku berkesempatan menonton sesuatu yang tak ada di Indonesia. Ya, tontonan model begini sangat artistik, menarik, dan dijamin takkan ada di Indonesia. Nonton pertunjukan balet. Balet, seperti kita tahu adalah bukan budaya atau tarian Indonesia. Jadi tak kan pernah ada nonton pertunjukan kolosal balet di Indonesia.

Balet berasal dari budaya barat. Yang kulihat balet itu mungkin sejenis teaterikal dan pertunjukan lenong yang sering di adakan di tanah Betawi. Balet seperti yang kusaksikan di Philly adalah bentuk opera dan tari-tarian dimana semua pemainya berjalan, berputar dan berlari dengan menjinjit kedua kakinya. Tak ada dialog dalam pertunjukan itu, semuanya menari dan hanya tersenyum riang gembira dengan iringan instrument bernuansa klasik

Begitu masuk ruang pertunjukan, suasana mewah dan meriah langsung tampak dihadapanku. Tercium oleh hidungku, mereka yang hadir menyaksikan performance dari Philadelphia Ballet semuanya wangi-wangi. Kaum prianya tampan-tampan dengan pakaian parlente, umumnya berjas. Adapun yang wanita, semuanya terlihat cantik-cantik dengan gaun yang sensual dibaluri oleh aroma wangi parfum yang sangat menggoda. Pakaian yang mereka kenakan semuanya bagus-bagus, necis-necis. Dari tampilan dan caranya berjalan, berbicara, dan berpakaian, jelas terlihat yang hadir semuanya, termasuk aku tentunya, ber-well educated.

Saat tiba di Academy of Music di Jalan Broad 240 S, Philadelphia dan masuk ke lobby, aku langsung diarahkan ke blok-blok ruangan kursi sesuai dengan nomor tiket yang kuperoleh. Aku duduk di deretan tengah, di bawah bukan dibalkon atas. Dari sini aku dengan jelas melihat tampilan tata panggung yang mewah dan terkesan wah. Panggung seluas lebih kurang 200 meter itu berhias ornament seni yang bernilai tinggi dengan patung-patung ditiap sudutnya.

Begitu layar pertunjukan dibuka, muncullah sepasang pemain ballet menari, sekitar 10 menit lamanya. Kemudian, masuklah sekitar 60 hingga 80 orang pemain. Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan beragam usia, bahkan anak-anak pun diikutsertakan dalam pertunjukan ballet ini. Maklum saja, tema yang dimainkan pada malam itu adalah kisah percintaan sepasang remaja di sebuah desa yang tidak direstui oleh orangtua. Ya, sebuah tema yang klasik.

Saat layar tersingkap, baru kutahu, ternyata para pemain ballet itu tidak hanya didominasi usia kanak-kanak atau remaja, bahkan usia dewasa pun ada, bahkan banyak. Mereka bermain sesuai dengan peran yang diberikan. Ada yang memerankan tokoh orang tua, dan banyak pula yang memerankan remaja dan anak muda. Mereka berseragam warna warni dengan kostum yang colorful. Ada banyak kostum yang digunakan. Para peballet menari berdasarkan kelompoknya. Tiap kelompok ada sekitar 8 pemain, dengan pakaian yang sama, berwarna cerah yang eye catching.  

Meski baru pertama kali nonton ballet, namun aku tidak merasakan kesulitan yang berarti dalam mencerna jalannya cerita. Aku banyak terpukau dengan tampilan para penari yang begitu gemulai berjinjit dengan gerakan yang sangat lincah. Aku seakan dibawa kedalam alam khayal, tempat dan suasana dimana tanpa ada duka dan lara. Sejenak, aku seakan dibawa ke alam surgawi, dimana para bidadari sedang menari.


Selepas pertunjukan, para ‘bangsawan’ keluar gedung dengan masih menyisakan aroma harum dibadannya. Aku berada ditengah-tengah mereka, sendiri. Kuayunkan langkah meninggalkan gedung dalam balutan hawa dingin yang menusuk tulang. Malam itu, aku seakan terbangun dari mimpi sekejap tentang dunia yang penuh warna-warni keindahan dari lakon Don Quixote yang menawan. Malam ini aku tertidur, dan besok terhampar realita. Dan realita hidup yang akan kuhadapi mungkin tak seindah tampilan dalam pertunjukan balet. 

Senin, 02 Mei 2016

Perlunya physical face yang waardig. –Menengok Icon Kota di Amerika

Saat melantik Ali Sadikin sebagai gubernur Jakarta di April 1966, Soekarno, di ujung senja kekuasaanya, berpesan pada Ali agar menjadikan kota ini mempunyai physical face yang waardig (wajah penampilan yang berharga) bagi Indonesia*. Untuk mewujudkan hal tersebut Jakarta harus mempunyai national pride, sesuatu yang menjadi kebanggaan nasional, sesuatu yang abadi, yang akan dikenang oleh umat manusia. Itulah visi kedepan seorang Soekarno yang sudah dapat menggambarkan akan seperti apa kota ini seharusnya dibangun.

Bung Karno, sebagai seorang pecinta wanita, seni dan keindahan, tentu mengharapkan kota Jakarta dibangun dengan memperhatikan aspek estetika dan sentuhan seni yang bernilai. Kita tahu, tahun 60 dan 70-an Jakarta laksana sebuah desa di kampung. Cuma bedanya, desa ini sangat luas. Big Village, itulah julukan yang disematkan media barat pada Jakarta. Tak ada keteraturan didalamnya, serba semrawut. Keindahan kota hanya dapat dipancarkan oleh sebidang ruang yang bernama bundaran HI dengan hotel Indonesia-nya, tak lebih dari itu. 

Nah, Jakarta sekarang tentu berbeda dengan zaman Bung Karno. Banyak perubahan yang terjadi. Namun, bila kita bandingkan Jakarta dengan kota-kota dari negara maju lainnya di dunia, tentu bagai langit dan sumur. Sangat jauh berbeda.

Dalam lawatan muhibahku ke negara Paman Sam Maret 2016 silam, aku terpesona dengan setiap tampilan, icon, dan penataan kota-kota yang kusinggahi. Akan selalu ada kekhasan dan ciri khusus yang melekat dalam masing-masing kota. Semuanya berbeda dengan aneka rupa, bentuk dan corak.

Washington DC misalnya, diwakilkan oleh Washington Monument yang menjulang tinggi -persis seperti Monas-, dengan jalan-jalan yang tertata rapi dan deretan bangunan yang sejajar tingginya. Sebagai pusat pemerintahan Amerika Serikat, DC menampilkan banyak karya monumental berupa patung-patung pahlawan dan monument peringatan perang yang pernah dilakoni bangsa Amerika. DC layak menyandang julukan sebagai kota peringatan atau kota yang tak pernah lupa akan jasa para pahlawan dan pendiri Amerika.

Terbang ke barat, ke St. Louis, di kota berjuluk The Lau ini dulunya adalah wilayah Perancis. Oleh Jefferson, tanah di tepi sungai Mississippi itu dibeli. Di Tanah Lusiana ini ada sebuah icon kota yang sangat menawan dan artistic. Icon itu bernama “The Arch Gateway”, yang berbentuk oval setengah lingkaran. The Arch sendiri dibangun untuk mengenang visi Presiden Jefferson sebagai penanda dan peringatan akan ekspansi dan perluasan wilayah Amerika ke arah barat.

Beranjak ke Philadelphia atau Philly, kota ini di cirikan dengan Liberty Bell-nya. Bell ini adalah lonceng tanda peringatan kemerdekaan Amerika di tahun 1776, dimana Philly adalah kota tempat naskah kemerdekaan Amarika ditandatangani. Kini Liberty Bell menjadi icon Philly dan di tempatkan di Independence National Historical Park, dekat alun-alun kota.

Begitupun dengan Salt Lake City, Ibukota negara bagian Utah ini terkenal dengan mayoritas penganut ajaran mormon.  Gereja mormon di pusat kota layak di sandingkan dengan kuil Taj Mahal, di India sebagai icon kota berpenduduk 187 ribu jiwa ini.

Itulah Amerika, dari timur ke barat kota yang kusambangi mempunyai bentuk dan ciri khas yang unik, yang tidak dimiliki oleh wilayah atau kota lainnya. Keunikan tersebut terefleksikan dari monument, tugu atau karya seni yang bernilai sejarah yang diabadikan dan ditempatkan di pusat kota. Tiap kota berupaya berlomba memunculkan ke-khasan dalam kotanya. Kekhasan itu yang selalu ditonjolkan, dan menjelma menjadi icon dan landmark kota.

Beruntung kita punya Soekarno, presiden yang berjiwa seni dengan visi jauh ke depan. Di zamannya, di Jakarta dibangun Monas; Patung Tugu Tani; Patung Pancoran; dan Tugu Selamat Datang. Istananya pun, -baik di Bogor maupun di Jakarta- bertaburan karya-karya seni dari seniman top mancanegara. Bayangkan, bila Bung Karno tak berbuat itu, mungkin kota ini kehilangan ‘ruh’nya. Tak ada estetika dan patung-patung bernilai seni di Jakarta. Mungkin yang ada hanya bangunan tinggi menjulang dengan pemukiman kumuh di kiri kanannya.

Selain monas di Jakarta, Jembatan Suramadu di Surabaya, adakah kota-kota lainnya di Indonesia yang mempunyai physical face yang waardig yang menjadi kebanggan warga kota akan kotanya? Bila belum, maka, menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai bagian warga kota untuk menciptakan sesuatu yang, bahkan bisa menjadi national pride, agar umat manusia seribu tahun lagi akan terus mengingat dan mengenang dit heft jij gedaan. Ini yang kita warisi untuk anak cucu kita kelak. Ini yang akan kita persembahkan untuk generasi mendatang. Kalau bukan kita yang memulai, siapa lagi?


*dinukil dari buku Bang Ali Demi Jakarta, karya Ramadhan, KH.