Kamis, 27 April 2017

Cukup Ahok Menjadi Pembelajaran Bagi Kita

Pada dasarnya Indonesia adalah negeri yang terbuka, toleran dan menghargai segala perbedaan yang ada. Praktis, sepanjang berdirinya Republik, tak ada kerusuhan dan huru hara yang diakibatkan oleh perbedaan SARA yang terjadi merata di seluruh kawasan di Indonesia dalam skala luas. Kalaupun ada, sifatnya hanya kerusuhan lokal, dan mampu segera diredakan dengan pendekatan yang dinamakan kearifan lokal. Itulah sebabnya jauh sebelum Negara ini resmi berdiri, semboyan Bhinneka Tunggal Ika telah dipatrikan oleh para founding father sebagai slogan yang dilekatkan pada kaki burung Garuda. Mereka menyadari bahwa Indonesia terdiri dari beragam suku, agama, dan ras, dan itu tidak bisa dihilangkan atau diseragamkan. Keberagaman adalah takdir Indonesia itu sendiri.

Berbicara tentang kepemimpinan di Indonesia, kita tak mengenal kepemimpinan yang diwariskan, atau kepemimpinan yang telah di ‘jatahkan’ untuk etnis atau golongan tertentu. Semua warga Negara berhak menjadi pemimpin. Oleh karenanya, tak menjadi soal siapapun yang menjadi pemimpin di suatu wilayah, sepanjang yang bersangkutan mempunyai kemampuan leadership, bertingkah dan berprilaku santun, sopan, menghormati dan menghargai kearifan dan budaya lokal, maka ia akan diterima dengan baik oleh warga setempat. Mau bukti? Bali misalnya, sebagai wilayah yang mayoritas hampir 100% dihuni oleh warga beragama Hindu, pada tahun 70-an, bisa dengan damai menerima kepemimpinan Bapak Soekarmen sebagai gubernur mereka, meskipun beliau adalah seorang Muslim dan bukan orang asli Bali. Saat kepemimpinannya berlangsung, tak ada gejolak dan polemik yang terjadi di Bali. Segalanya berlangsung damai, aman, dan tentram. Begitupun dengan Aceh, Papua, NTT, Sulawesi Utara dan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Mereka menerima dengan baik kepemimpinan seseorang yang bukan berasal dari etnis ataupun kepercayaan yang sama dengan mereka.

Demikian pula dengan Jakarta, jauh sebelum Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang ber-etnis Tionghoa dan beragama Kristen menjabat Gubernur, Jakarta telah dipimpin oleh putra Manado yang juga beragama Kristen. Dalam catatan sejarah, tak pernah ada penolakan terhadap figure Henk Ngantung, meskipun ia menganut kepercayaan berbeda dengan mayoritas warga Jakarta. Betawi, sebagai etnis asli Jakarta welcome terhadapnya. Lalu, bagaimana dengan Ahok? Tidak seperti Soekarmen di Bali, yang stabil tanpa gejolak, kepemimpinan Ahok tidak berjalan mulus, ia mendapat penolakan dari sebagian warga Jakarta, utamanya etnis Betawi. Mengapa hal ini terjadi? Apakah penolakan ini murni masalah perbedaan agama yang dianut oleh sang gubernur dan warganya? Tampaknya tidak demikian halnya.

Dari berbagai analisa yang disampaikan oleh beberapa lembaga survey, faktor dominan kekalahan Ahok dalam Pilkada 19 April lalu adalah ketakutan warga Jakarta terhadap figur Ahok itu sendiri. Ketakutan-ketakutan ini dapat berupa: Takut di gusur. Ketakutan akan digusur dari tempat tinggalnya; Ketakutan di gusur tempat usahanya; Takut di larang. Larangan-larangan yang mengekang terhadap hajat yang bersentuhan dengan rakyat kecil, seperti wacana larangan sepeda motor melintasi jalan Sudirman-Thamrin, misalnya, ataupun kebijakan-kebijakan lainnya yang justru pro kalangan menengah atas, bukan kepada rakyat kecil.

Disamping itu, Ahok lemah secara leadership. Ia tidak mempunyai kemampuan leadership yang mumpuni. Sebagai pemimpin, ia tidak mengayomi seluruh warga sebaliknya justru menebar ketakutan dan intimidasi kepada warganya. Banyak statemen dan kebijakan gubernur yang justru kontra produktif untuk merangkul masyarakat. Larangan takbir keliling; Larangan ber-sholawat di Monas; Larangan pemotongan hewan qurban di sekolah, misalnya, adalah sebagian contoh nyata bagaimana gubernur tidak sensitif terhadap keadaan dan budaya dari warga asli yang ia pimpin (Betawi). Dari situlah muncul bibit-bibit ketidakpercayaan kepada kepemimpinan gubernur. Ia melupakan dan mengabaikan kearifan lokal dari bangsa Indonesia umumnya dan etnis Betawi pada khususnya. Meminjam istilah kasar yang diucapkan oleh sesepuh masyarakat Betawi Bapak Eddy Marzuki Nalapraya; “Bacot loe jaga! Yang merefleksikan ungkapan kekesalan warga Betawi terhadap langkah dan ucapan yang sering dikemukakan oleh Ahok.

Ahok tampaknya tak menyadari bahwa ia adalah minoritas. Ia terlalu jumawa dan sombong. Ia tidak menjaga budi pekertinya. Dulu, sewaktu mahasiswa, dalam berbagai kesempatan memimpin atau me-moderatori rapat, diskusi atau berdialog dengan para rekan-rekan saya calon pemimpin bangsa, sering saya utarakan kepada mereka bahwa: “Yang merasa mayoritas JANGAN sombong dan jumawa! Sedangkan yang minoritas, HARUS tahu diri!’ Bila teori saya ini diterapkan, maka tak mustahil kepemimpinan Ahok akan di nilai oleh seluruh warga Jakarta dengan khusnul khotimah, berakhir baik. Ia akan selalu dikenang oleh warga Jakarta seperti mereka mengenang Ali Sadikin (Bang Ali) sebagai Bapak Pembangunan Jakarta.


Paska Pilkada dimana warga Jakarta telah memutuskan vonisnya dengan menarik mandat Ahok dan menyerahkannya kepada pasangan Anies-Sandi, marilah kita akhiri gonjang ganjing dan hiruk pikuk yang terjadi di Jakarta. Suka atau tidak, cukuplah figur dan kepribadian Ahok, dengan segala plus minus-nya menjadi pembelajaran bagi kita semua dan mereka yang ingin menjadi pemimpin, bahwa jangan sekali-kali mengabaikan kearifan lokal dalam suatu wilayah. Selalu ingat mantra lama yang masih terbukti keampuhannya, yakni: “Dimana Bumi Dipijak, Disitu Langit Dijunjung.” Mari gandeng tangan menata Jakarta dan Indonesia dengan semangat persatuan dan kesatuan. 

Senin, 24 April 2017

Berkaca Dari Cerita Semut, Tak Susah Memahami Kisah Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW.

Syahdan, tersebutlah kisah tentang komunitas semut disuatu tempat, di kawasan Sentul, Jawa barat. Para semut tinggal di suatu lembah yang tersembunyi, di kelilingi oleh tanaman perdu dan rumput-rumput ilalalng. Kawasan yang dihuni oleh komunitas semut ini sangat terlindungi dari gangguan mahluk-mahluk lainnya. Jarang ada binatang maupun manusia yang pernah singgah ke lembah tersembunyi itu. Kalaupun ada manusia yang kesana, tentulah para pencari kayu bakar ataupun kelompok pecinta alam.

Sama seperti bangsa manusia, mereka pun suka kongkow dan ber-sosialita. Ada suatu tempat favorit sebagai meeting point mereka untuk ngobrol sekaligus melepas penat setelah seharian mencari makan atau bekerja di sekitar rumah-rumah mereka. Saban pagi atau sore, para semut itu berkumpul di suatu tempat membicarakan urusan mereka. Tempat ini semacam alun-alun kota. Kebetulan disana terdapat semacam bangunan yang enak untuk dijadikan sandaran atau berteduh.

Diantara komunitas semut itu, ada beberapa ekor semut yang cukup berpengaruh diantara semut-semut lainnya. Karena ketokohan dan pengaruhnya, masing-masing semut menjadi pelindung bagi kelompok semut yang lemah diantara mereka. Semut itu semacam God Father yang melindungi semut-semut lemah dari ancaman semut-semut lainnya yang lebih besar dan kuat. Nah, diantara tokoh-tokoh semut itu terdapat seekor semut yang disenangi oleh semut-semut lainnya. Ia disenangi lantaran tak pernah berbohong, dapat dipercaya, atau bahasa kerennya mempunyai integritas yang tinggi, selalu bersikap ramah, adil dan menolong kepada semut-semut lainnya. Ia juga memiliki tutur kata halus, berbudi pekerti baik, dan, satu lagi, ia dikenal sebagai keturunan dari keluarga semut yang terpandang. Terpandang bukan karena kekayaannya, namun terpandang karena ketokohannya diantara bangsa semut-semut lainnya. Kita panggil saja semut ini dengan sebutan Semut Ireng.

Nah, pada suatu pagi yang cerah, di saat komunitas semut itu berkumpul seperti biasanya di ‘alun-alun kota,’ Semut Ireng ini bercerita kepada bangsanya.
“Hai bangsaku aku baru saja pergi ke tempat yang sangat jauh dari sini. Tempat itu sangat menarik dan bagus, belum pernah aku lihat tempat sebaik tempat itu. Aku menyebrangi sungai yang airnya jernih. Disana juga aku melihat taman-taman yang indah, yang tak ada di sekitar tempat kita ini. Aku juga melihat teman-teman kita, para semut lainnya sedang berjalan-jalan menyusuri jalan yang aku lewati.”  
“Ahh masa, yang benar saja? Aku tak percaya pada ceritamu, Semut Ireng. Aku lihat kamu tadi malam tidur di rumah istrimu, lalu bagaimana mungkin kamu pergi ke suatu tempat yang kau ceritakan itu. Untuk keluar dari lembah ini saja, kita butuh perjalanan satu purnama penuh, lalu bagaimana mungkin kamu dapat pergi ke suatu tempat seperti yang kau ceritakan itu? Kau pembohong besar, bulshit!! (kata bulshit juga dikenal di komunitas semut, yang berarti omong kosong, heheh..)

Lalu, terjadilah kehebohan di komunitas semut itu atas cerita dan pengakuan si Semut Ireng. Mereka menudingnya telah gila. Namun tak semua semut menuduhnya berbohong, ada satu teman Semut Ireng, yang mempercayai ceritanya.
Kalaupun Semut Ireng bercerita atau membual yang lebih heboh dari cerita ini, aku pasti mempercayainya. Sepanjang kehidupanku, tak pernah aku temui semut sejujur Si Ireng di lembah ini. Maka, mana mungkin ia mempertaruhkan kredibiltasnya, hanya untuk cerita yang kalian katakana bohong ini. Aku beriman dan percaya pada kisahnya,” ujar satu teman si Ireng.

Pembaca, bila memakai logika para semut tentu takkan mungkin ia pergi ke suatu negeri yang jauh hanya dalam hitungan setengah malam saja. Namun, bila memakai logika mahluk yang bernama manusia, apa yang dialami Semut Ireng itu tidak lah mustahil. Menurut logika manusia, kisah yang terjadi pada Semut Ireng ini bisa dikisahkan sebagai berikut:

Pada saat Semut Ireng tidur, ia dibangunkan oleh sosok mahluk besar bernama manusia. Sosok itu memegang tubuh kecil Semut Ireng dengan hati-hati dan meletakkannya ke sebuah mobil. Lalu dengan kecepatan tinggi mobil itu melaju ke jalan tol Jagorawi, dan melewati beberapa kawasan yang tak pernah di lihat oleh Semut Ireng. Nah, tibalah mobil itu di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Disana telah menunggu pesawat jet pribadi yang memang telah disiapkan untuk membawa orang itu beserta Semut Ireng ke suatu wilayah/negeri yang jauh, yang  belum pernah dilihat oleh bangsa semut.

Dengan kecepatan supersonik pesawat jet pribadi itu terbang, melintasi Pulau Sumatera, Lautan Hindia, terus berputar hingga sampailah pesawat itu ke Pegunungan Himalaya, di Nepal. Di puncak bukit, di dataran tinggi itu, pesawat mendarat. Lalu orang yang membawa Semut Ireng itu turun bersamanya. Dan Semut Ireng itu bertemu dengan mahluk-mahluk lainnya yang mendiami pegunungan Himalaya. Sampai akhirnya Semut Ireng itu bertemu dan berbicara dengan Penciptanya, di puncak gunung Himalaya.

Dalam perjalanan dari Halim ke Himalaya itu, Semut Ireng sangat takjub dengan apa yang dilihatnya. Tak sampai subuh, pesawat itu sudah terbang kembali ke Halim dan orang itu membawa kembali si Semut Ireng ke rumahnya kembali ke komunitasnya.

Lalu Semut Ireng mulai bercerita seperti cerita diawal tulisan ini. Itulah kisah perjalanan ‘Isra’ Mi’raj’ si Semut Ireng dari Sentul hingga Halim, di Jakarta, lalu ia terbang ke pegunungan Himalaya di Nepal. Peristiwa yang menimpa Semut Ireng itu bisa dikatakan kejadian yang luar biasa dan merupakan peristiwa yang tergolong suprarasional dan metafisika bagi bangsa semut. Namun, lain halnya bagi bangsa manusia, atau bagi alam pikiran manusia. Kejadian yang menimpa Semut Ireng itu tidaklah sulit untuk dipahami. Ia begitu mudah untuk dicerna. Sama halnya dengan kisah Isra’ Miraj-nya Nabi Muhammad SAW. Peristiwa itu tentu sulit untuk dipahami oleh akal manusia biasa. Akan tetapi, dari percontohan dan cerita tentang Semut Ireng diatas, kisah yang dialami Nabi Muhammad SAW tidak lah sulit untuk dipahami. Ia nyata adanya, bukan isapan jempol belaka..

"Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram (di Makkah) ke Masjidil Aqsha (di Palestina) yang telah Kami berkahi sekelilingnya. Agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Al-Isra’ ayat 1)


Sumber photo: http://islamidia.com/kenapa-rute-isra-miraj-lewat-palestina-ini-penjelasan-detailnya/

Kamis, 20 April 2017

Mari Jadikan Anies-Sandi Gubernur Kita Bersama

Keriuhan Pilkada DKI Jakarta baru saja usai. Beruntung kita mengenal metode hitung cepat atau Quick Count hingga tidak perlu menunggu terlalu lama untuk mengetahui siapa pemenang dari perhelatan 5 tahunan ini. Dari hasil hitung cepat yang disajikan oleh berbagai lembaga survey, tampak dengan jelas dan meyakinkan, kemenangan pasangan Anies-Sandi atas pasangan yang diusung oleh koalisi PDIP, Golkar dan Nasdem. Dan segera, setelah publik mengetahui hasil hitung cepat tersebut, beragam, komentar, ucapan dan pendapat dari warga masyarakat bermunculan. Ada yang pro atau berpendapat positif, ada pula yang masih nyinyir.

Bagi mereka yang jagoannya menang, tentu komentar yang berupa puja puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah pemimpin baru, di panjatkan tak henti-hentinya oleh mereka. Nyaris seluruh isi timeline di media sosial dihiasi oleh kalimat-kalimat penyejuk, pembakar semangat dan harapan menyongsong era baru. Ungkapan dan komentar tersebut sebagai wujud perasaan gembira dan rasa syukur yang meraka rasakan. Tak hanya di media sosial, di dunia nyata pun, keriuhan dan kegembiraan segera tampak begitu masyarakat mengetahui psangan Anies-Sandi menang, ribuan rakyat melakukan sujud syukur, bahkan banyak diantara mereka menangis terharu menandakan sudah lama mereka mengidam-idamkan mempunyai pemimpin  yang santun, cerdas, amanah, dan bersih.

Nah disisi yang berbeda, bagi pendukung pasangan Ahok-Djarot, atau pasangan yang kalah, kesedihan tentu mereka rasakan. Banyak diantara mereka yang seolah tak percaya bahwa Ahok-Djarot kalah dengan selisih  suara yang sangat signifikan. Untuk menghilangkan kesedihan itu, mereka pun membangkitkan semangat dengan komentar dan pendapat, yang kebanyakan membesarkan hati dengan mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas upaya, dedikasi dan hasil kerja yang telah ditorehkan oleh Ahok-Djarot untuk masyarakat Jakarta selama ini.

Namun apakah hiruk pikuk Pilkada telah berakhir, setidaknya di media sosial? Tampaknya ‘perang’ di media sosial masih terus berlanjut, baik haters maupun lovers ataupun pengamat partisan masih beradu panggung. Seharusnya, setelah 19 April 2017, pukul 14.00, tensi keriuhan Pilkada ini berangsur menurun, namun yang terjadi, masih saja timeline dihiasi oleh perang opini. Patut disayangkan, dari beragam pendapat yang menghiasi timeline itu, ada saja yang masih bersikap nyinyir dan segan untuk mengakui keunggulan dan kemenangan pihak Anies-Sandi.
Horeee gw mo’ ambil rumah DP 0 rupiah.”
 “Siap-siap deh perda syariah diberlakukan.”
Padahal, seperti kita ketahui, pasangan Anies-Sandi dilantik saja belum, kok sudah ditagih janjinya dan di fitnah macam-macam. Mereka beralasan, hal tersebut bukan menagih janji namun mengingatkan Anies-Sandi akan janjinya. Namun apakah elegant mengutarakan hal itu mengingat masa kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama masih tersisa 6 purnama lagi. Justru ke-nyinyiran-lah yang tampak.

Bahkan, tak hanya itu, muncul pula peramal-peramal dan cenayang masa depan yang sudah dapat memperdiksi masa depan Jakarta lima tahun kedepan, seperti:
“Jakarta bakalan banjir dan macet kembali”. Lho, bukankah sejak dulu juga Jakarta identik dengan macet dan banjir. Justru bila tidak macet, pasti ada yang salah dengan Jakarta. Hanya ada 2 peristiwa yang membuat Jakarta tak macet yakni pas lebaran dan kerusuhan.
“Jakarta akan kembali di rampok oleh mafia anggaran”
“Jakarta bakalan menjadi banjakan sarang korupsi”
“Jakarta akan menjadi sarang radikalisme”
Begitulah predikasi dan ramalan-ramalan seram lainnya, yang prediksi ini hanya fitnahan belaka dan justru kontra produktif untuk upaya merekatkan kembali Jakarta yang selama ini terkotak-kotak. 

Kini pesta telah usai. Kehidupan tak berhenti hingga di tanggal 19 April 2017. Marilah kita hadapi hari esok, lusa, dan mendatang dengan kerja nyata demi kemajuan Jakarta. Kepada seluruh warga Jakarta, khususnya pendukung Ahok-Djarot, jangan berkecil hati. Kalian masih punya kesempatan untuk membuktikan kepada dunia bahwa Ahok-Djarot adalah pemimpin yang baik. Kini kita tagih dan usut janji-janji kampanye yang telah mereka ucapkan sejak tahun 2012 agar seluruh janji-janji itu tergenapi. Tak ada kata terlambat. Mumpung masih ada waktu 6 bulan, segera tuntaskan segala janji-janjinya, bia ada janji-janji itu yang belum terselesaikan. Ya, terlepas dari plus minus dan pro kontra, pasangan Ahok-Djarot telah berbuat yang terbaik untuk Jakarta. Telah ada program dan prestasi yang mereka banggakan sebagai legacy bagi penerus mereka. Kepada pasangan Ahok-Djarot, selamat kami ucapkan. Kalian telah membuat kami bangga pada Jakarta.

Dan akhirnya, kemenangan pasangan Anies-Sandi sejatinya adalah kemenangan akal sehat, kemenangan hati nurani dan kemenangan semua warga Jakarta yang selama ini mendambakan keadilan. Kini, marilah kita songsong Jakarta dengan semangat membangun, berjabat dan bergandengan tangan erat dengan menghilangkan kotak-kotak yang selama ini menjadi sekat diantara kita. Dengan semangat persatuan dan kesatuan dalam bingkai NKRI kita jadikan Jakarta sebagai barometer kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman, nyaman, damai dan tentram bagi kita semua. Maju kotanya, bahagia warganya, semoga terwujud.


Sumber Foto: http://www.klasemen.co/nasional/peristiwa/1617/berita-terkini-begin-bocoran-strategi-anies-baswedan-dan-sandiaga-uno-hadapi-putaran-2-pilkada-dki/

Tentang Sepupuku (3)

Mami sangat dekat dengan semua ponakannya. Namun diantara keponakan-keponakan mami, hanya anak-anak Wak Iyom lah yang paling dekat dengannya. Bukan mami pilih kasih, namun lantaran anak-anak Wak Iyom tinggalnya dekat dengan mami. Bila sepupu-sepupuku yang lain memanggil mamiku dengan panggilan “Encing” atau “Ncing Omah”, maka anak-anak Wak Iyom, semuanya, memanggil mamiku dengan panggilan Ibu. Mamiku sudah dianggap ibunya sendiri, pengganti ibu mereka yang wafat. Ini bukti betapa dekatnya mereka dengan mamiku.

Semasa hidupnya, Wak Iyom sangat aktif berkegiatan di luar rumah. Beliau berbeda dengan kakaknya Maemunah, ataupun adiknya, yakni mamiku, yang seringan di rumah. Mungkin kalau zaman sekarang, beliau ini typikal wanita karier. Ia pernah berkarier di kantor kelurahan, sebagai staf potensial di Kelurahan Bangka. Mungkin bila umurnya tak pendek, Wak Iyom ini bakalan diangkat sebagai PNS Pemprov DKI Jakarta dan bukan tak mungkin akan menjadi walikota selevel Sylviana Murni, perempuan Betawi yang berkarier dari bawah. Wak Iyom memang wanita multi talent. Tipe pekerja keras. Sayang, Tuhan lebih sayang pada Wak-ku ini. Ia wafat dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih membutuhkan belaian kasih sayangnya.

Begitulah, selepas kematian Wak Iyom, anak-anaknya diasuh oleh nenekku. Hasil didikan dan asuhan nenekku membuahkan hasil positif. Tak ada dari anak-anak wak iyom yang keleleran tak terurus dan menjadi beban masyarakat. Semuanya berhasil jadi orang. Dan, buah tak jatuh jauh dari pohonnya. Polah, tingkah, dan jejak Wak Iyom ini diteruskan oleh salah satu putrinya. Ada satu anaknya yang mewarisi bakatnya dalam bekerja. Penasaran ingin mendengar kisahnya? Oke, sedikit aku ingin menceritakan tentang sepupuku yang satu ini.

Sepupuku ini bukan lah teman sepermainanku, usianya jauh diatasku sekitar 10 tahunan. Ia seumuran dengan Bang Ojih Amin dan Bang Udin Naseh. Meski usia kami terentang jarak yang tak pendek, namun hubungan keluargaku dengannya sangat dekat. Meski jarak rumah nenekku dengan rumah mamiku tak dekat, namun hampir saban hari sepupuku ini mampir ke rumah mamiku. Ya, wajar saja karena mamiku adalah bibinya. Segala macam persoalan yang terjadi tentu diadukan pada mamiku yang secara emosional dekat dengannya. Sepulang kerja, misalnya, ia kerap mampir ke rumah mamiku untuk memandikan adikku yang bontot, yang masih kecil. Selepas itu, ia kerap membantu mamiku di dapur. Diusianya yang masih remaja, ia memang telah mulai bekerja banting tulang membiayai hidupnya. Itu terjadi tahun 85-an, ketika aku masih SD

Garis tangan dan nasib seseorang memang unik. Sepupuku ini, bila bukan karena didikan nenekku, khususnya dan saudara-saudara ibunya, mungkn takkan pernah jadi orang. Selepas Tsanawiyah, ia diarahkan nenekku untuk terus berkarier atau melanjutkan pendidikan ke jenjang agama. Ke Aliyah, tepatnya. Namun ia menampik, ia lebih memilih pindah jurusan dan bersekolah di SMA umum. Nenek tentu kecewa, namun beliau tak mengekang keinginannya. Ia bebaskan cucunya meniti jalannya, sambil terus mengarahkannya.

Nah, selepas SMA, kebetulan ada tetangga kontrakan rumah nenek yang bekerja sebagai PNS di kementerian. Dia punya anak perempuan. Anaknya ini pengen juga dimasukkan sebagai PNS. Harap maklum, zaman dulu, jadi PNS sangat mudah, asal ada yang bawa, pasti keterima. Berbeda dengan sekarang, yang butuh seleksi dan sikut sana sikut sini, bahkan ada yang berani sampai nyogok ratusan juta. Lantaran si anak butuh teman untuk pulang pergi bareng, maka tawaran bekerja jadi honorer di kementerian tersebut ditawarkan kepada nenekku. Dengan sigap nenekku mengajukan cucunya yang baru tamat SMA untuk bisa bekerja menemani anak tetangga kontrakan itu.

Sampai akhirnya sepupuku ini mulai bekerja sebagai pegawai honorer rendahan yang tugasnya hanya baca Koran dan mengetik berkas, yang kadang tak perlu diketik, heheh.. Ya, meski gajinya sebagai abdi Negara sangat sedikit, namun ia tak bergeming untuk pindah haluan, melamar bekerja ke tempat lainnya. Ia menekuni pekerjaanya dengan sabar dan telaten. Sebagai tambahan untuk uang jajan, sewaktu remaja, sepupuku ini cukup kreatif, ia membuat es rujak. Bumbu asinan rujak yang berisi kedondong, dan bangkoang, di iris tipis tipis dan dibungkus kedalam pelastik lalu dimasukkan ke dalam freezer. Es rujak ini dijajakan oleh Budi, orang kontrakan rumah. Dagangan sepupuku cukup laris, hampir tak tersisa. Rasanya seger, manis asem asin.

Lantaran sepupuku sudah bekerja, hanya di hari minggulah aku sering bertemu dengannya. Aku masih ingat, ketika aku berkisar di kelas 5 dan 6 Sekolah Dasar, kebetulan waktu itu lagi doyan-doyannya membaca. Segala macam Koran, buku, dan majalah aku baca. Lantaran minimnya buku yang tersedia, sepupuku ini paham kebutuhanku. Ia tahu kehausanku akan buku. Suatu hari ia berkata: “Mat, kakak punya buku bagus-bagus di kantor, kamu mau dibawain buku tentang apa? besok kakak bawain deh
Oh ya,” seruku dengan bersemangat.
Ketika itu aku sangat tertarik membaca kisah perjuangan pahlawan-pahlawan nasional Indonesia. Kupesan padanya agar dibawakan buku-buku biografi dari Ahmad Yani; Adam Malik; Soekarno; Syahrir; dan Bung Hatta. Benar saja, besoknya ia bawa kumpulan buku yang aku minta. Betapa girang hati ini mendapatkan buku-buku yang, bahkan, kutaksir anak-anak lain seusiaku pasti belum pernah membacanya. Bukunya tebal-tebal, ratusan halaman. Sehabis kulahap buku-buku itu, dibawakannya lagi aku buku yang lain. Ya, aku sangat berhutang budi padanya. Berkat bawaan buku-buku itu, kegemaranku membaca kisah biografi tokoh terkenal terus berlanjut hingga sekarang.

Aku masih ingat, saking sayangnya padaku, semasa pacaran dengan suaminya sekarang, lantaran butuh orang ketiga, maka sepupuku ini mengajaku nonton film. Pacarnya pun mengajak adiknya. Jadilah kami berempat menonton film “Pengkhianatan G30S/PKI”. Film ini belum pernah tayang di televisi, hanya tayang di bioskop. Kami nonton di Adi Theater, di Blok A. Ini adalah pertama kalinya aku tahu gedung bioskop. Sehabis nonton, karena pacarnya orang Padang, kami makan sate padang di parkiran depan pasar.

Oh ya, kehidupan dan kisah asmara sepupuku ini bagaikan kisah Galih dan Ratna di film tahun 80-an, yang dibintangi oleh Rano Karno dan Yessy Gusman. Kisah asmara sepupuku ini tidak direstui oleh nenek kami. Nenek menetang keras hubungan mereka. Lantaran tak peroleh restu, mereka pun seringan back street. Namun cinta tak menghalangi mereka untuk meyakinkan nenek. Nenek selalu bilang: “Kenapa sih loe suka ama Padang? Padahal anak sini yang demen loe kan banyak?” Bagi kami orang Betawi kalau bisa sebaiknya menikah dengan orang yang sesuku atau paling tidak Jawa atau Sunda tak masalah. Sebaliknya, jangan orang seberang (Sumatra/Sulawesi, dsb). Saat itu di lingkungan kami ada ledekan kalau orang Padang itu bengkok, entah apa-nya yang bengkok, heheh…

Pokoknya gw gak demen dah ama padang”. Kalimat itu sering diucapkan nenek ketika marah dan meledek sepupuku. Sepupuku menghadapinya dengan sabar. Kadang kala ia memberi argument kepada nenek bahwa jangan melihat seseorang dari suku-nya. “Lha nenek aja kawin ama china”, begitu kerap ia men-skak neneknya. Mendengar ucapan itu, nenek nyaris tak berkutik, KO. Beliau nyerah. Mungkin karena si Padang ini pendekatannya nyaris sempurna kepada mami dan nenek, akhirnya beliau merestui hubungan antara sepupuku dan si Uda. Mereka pun menikah. Tanda nenek merestui hubungan itu, beliau pun menggelar pesta yang meriah bagi mereka, pesta 2 hari 2 malam.

Begitulah, waktu terus bergulir. Tampaknya dewi fortuna masih terus melingkupi sepupuku ini. Kariernya terus menapak. Sejujurnya, menurut penilaianku, sepupuku ini biasa-biasa saja. Orangnya pintar sih, tapi tak pintar-pintar amat. Standar lah. Ibaratnya, bila ada requirement atau persyaratan, ia sekadar masuk syarat saja. Meski demikian, seperti yang pernah diucapkan Oom Ded padaku bahwa orang pintar akan kalah dengan orang yang beruntung. Nah, sepupuku ini ditakdirkan sebagai orang yang beruntung. Mau bukti? Mari kita runut satu persatu:

Pertama; Setamat SMA, bila anak-anak yang lain melanjutkan kuliah, ia memutuskan untuk bekerja ketimbang kuliah. Bekerja pun ditawarkan orang, tanpa sengaja. Ajukan lamaran, langsung diterima bekerja. Kedua; saat berkarier dan menjadi PNS, ia mengambil S2 di UI, itupun dengan biaya talangan alias minjam sana-sini sebelum diganti oleh Negara. Nah, teman S2 sepupuku ini adalah seorang menteri di tempatnya bekerja. Maka selepas S2, lantaran temen sekelas sang menteri, sepupuku ini langsung mendapat promosi menjadi pejabat eselon 4. Lepas dari sana, tampaknya keberuntungan tak mau lepas darinya, kariernya terus meroket hingga mencapai level eselon 2. Itu semua terjadi, disamping tentunya dengan sedikit kepintaran plus dibumbui dengan keberuntungan, maka klop sudah pencapaian sepupuku ini. Ia kini menjabat direktur di kantor yang cukup prestisius.

Kini, dengan jabatan sekelas Wakil Walikota di Jakarta, tampaknya mimpi Wak Iyom telah digenapkan oleh sepupuku ini. Seperti Wak Iyom yang berkarier dari bawah, Ia menapaki kariernya setapak demi setapak hingga menjadi orang dan dipanggil “Ibu” oleh anak buahnya.  Oh ya, ngomong-ngomong siapa sih sepupuku itu? Penasaran…? Tampaknya ia hanya tertawa membaca kisahku ini. Sudahlah tak usah diungkap, toh para sepupuku yang lain tentu tahu siapa yang aku maksud, heheh


Kamis, 13 April 2017

Haji Maidih

(Ki-Ka) Haji Husin Mugni; Haji Asmari; Haji Maidih; Haji Abdul Razak.
Haji Maidih telah lama wafat. Beliau kukenal sebagai orang tua yang suka memakai sorban. Sorban yang sering ia kenakan itu telah lusuh dan kucel, berpadu dengan pakaiannya yang juga telah tipis dan pudar termakan usia. Biasanya, ia mengenakannya bila menghadiri undangan selamatan atau arwahan. Nah, selain sorban, menariknya, bila pergi kemanapun, ia selalu membawa senter. Senter ini ia gunakan sebagai penunjuk jalan. Batu baterai-nya hampir saban hari d-‘chas’ di teriknya matahari. Padahal menurutku, tanpa senterpun, jalan-jalan yang ia lalui di sekitaran Kampung Kebon, Kemang, sudah berlampu semua. Sudah terang. Keadaan sekitar tahun 80-an saat itu, tentu kontras dengan yang dijumpai Kong Maidih, sapaan akrabku padanya, ketika ia muda, saat lampu belum ada, dan jalan masih beralaskan tanah. Aku tak ingin bercerita banyak tentangnya. Namun ada beberapa kalimat yang mengusik pikiranku tatkala kami ngobrol ngalor-ngidul dengan ayah dari Haji Matalih ini.

Baba-nya Ji Damin ntu, diculik waktu zaman NICA. Gak balik-balik”. Itulah kalimat yang sering ia ucapkan kala tahu aku adalah ponakan Haji Madamin... (to be continue)
(kisah tentang penculikan kakek-ku akan kuceritakan pada alinea berikutnya)

Kamis, 06 April 2017

Tentang Uwak-ku (1)

Berbeda dengan ayahnya yang tinggi, perawakannya gempal, alias pendek dan sedikit gemuk. Bila berjabat dan mencium tangannya, akan terasa basah lantaran keringat yang membasahi tangannya. Kalau ia berjalan, kadang meludah, mengeluaran reak. Bila anak-anak sekarang tak tahu gambaran tentangnya, maka lihatlah ke putra pertamanya. Gesture dan tindak tanduknya persis diturunkan oleh Fachruroji. Begitulah sekilas gambaran Madamin, panggilan ringkas orang-orang Kampung Kebon, Kemang, pada uwak-ku yang bernama Muhammad Amin. Lantaran beliau abang dari mamiku, aku biasa memanggilnya Ncang Amin.

Ia sudah yatim di usia yang belum akil baligh, masih kanak-kanak. Ayahnya wafat, hilang tanpa diketahui dimana jasadnya. Kehilangan figure ayah tentu sangat membekas dalam jiwa dan kepribadian Ncang Amin. Meski ibunya menikah dengan lelaki lain, seperti yang banyak dilakukan janda Betawi saat itu, namun figur ayah kandung tentu berbeda dengan ayah tiri. Dan Ncang Amin beserta adik-adiknya tentu merasakan itu.

Lantaran anak tertua, beliau dipaksa untuk dapat mengayomi adik-adiknya. Ncang Amin menurutku sukses bertindak sebagai seorang abang yang baik. Ia patut dijadikan prototype bagaimana seharusnya seorang abang bertindak kepada adik-adiknya. Beliau bisa diandalkan oleh adik-adiknya. Saat mamiku butuh uang misalnya, Ncang Amin dapat meminjamkannya. Tak hanya itu, saat mamiku baru saja melahirkan dan air susu (ASI) nya sedikit, Ncang Amin dengan sigap menyuruhku agar saban pagi mengambil susu di rumahnya. Di rumahnya memang banyak sapi perah yang dipelihara.

Karena keterbatasan ekonomi keluarga akibat ditinggal mati suaminya, nenek-ku harus dapat survive menghidupi anak-anaknya bahkan hingga membiayai sekolah mereka, meskipun tak peroleh pendidikan yang memadai. Di keluarga nenek-ku hanya Ncang Amin lah yang memperoleh pendidikan lebih tinggi ketimbang adik-adiknya. Bila yang lain hanya sampai tamat SD, maka Ncang Amin melaju hingga hanya tamat pada tingkatan Tsanawiyah (SLTP). Disamping karena faktor ekonomi, waktu itu pendidikan tinggi (formal) memang kurang menjadi prioritas bagi masyarakat Betawi. Bagi orang tua, yang penting, si anak ahli dan pintar masalah agama. Sebagai anak lelaki satu-satunya di keluarga itu, ia diharapkan menjadi orang yang shaleh.

Sama seperti pemuda Kemang kebanyakan, Ncang Amin berprofesi sebagai pemerah susu. Ada banyak sapi yang ia pelihara untuk diambil susunya. Untuk memberi pakan sapi, ia bahkan sengaja membeli mobil kijang bak terbuka untuk mengangkut rumput. Ia cukup totalitas dalam menekuni profesinya sebagai pemerah sapi. Mungkin karena lelah mengurusi sapi-sapi-nya ia pernah harus dioperasi lantaran penyakit turun berok-nya. Waktu itu kami bersama Wak Hong Nio sempat menjenguknya ketika ia dirawat di RS Ridwan Meuraksa, di Kwitang.

Sayangnya, ia tak cukup kuat untuk terus bergelut dengan dunia persapian. Padahal, dari usaha ini ia sanggup menyekolahkan delapan orang anaknya hingga sarjana. Selepas operasi, di saat usianya beranjak tua, ia memutuskan pensiun dari usaha pemerahan sapi. Ia beralih untuk buka toko di depan rumahnya, menjual aneka sembako dan kebutuhan hidup. Ia menjadi pedagang dan penjaga warung, seperti yang dilakukan oleh paman dari pihak ayahnya.

Semasa hidupnya, Ncang Amin sering sekali bertandang ke rumah. Hampir tak mengenal waktu beliau main ke rumah. Kadang malam, siang ataupun pagi, selepas shubuh. Seringnya sih pagi, sekalian jalan-jalan olahraga pagi. Beragam obrolan yang dibicarakan oleh ayahku. Mulai dari urusan umat hingga politik. Buyaku lah yang kerap menjadi partner bicaranya.

Aku sangat dekat dengan Ncang Amin, hampir saban hari kita bertemu. Selepas sekolah, aku kadang bertandang ke rumah Ncangku, sekadar numpang minum selepas main bola di lapangan dekat rumahnya. Kalau beruntung, kadang aku bisa ikut pergi nengokin Kak Mameh yang nyantren ke Jatiwaringin. Dengan mobil toyoto kodok bak terbuka, aku duduk dibelakang. Kadang juga aku ikut nyari rumput di sekitar warung buncit. Saat itu jalan-jalan naek mobil di bak terbuka adalah hiburan yang cukup menyenangkan bagi anak kecil seusiaku. Lain waktu ketika beliau datang ke rumah selepas magrib atau sore hari kadang kala aku ngintilin ikut kemana ia pergi. Pernah aku ikut ke rumah wak ku yang lain di Kebayoran Lama. Aku, yang dasarnya memang senang dibonceng motor vespa-nya, minta ikut. Kebetulan Ncang Amin sendirian dan mengajakku ikut. Mungkin ia butuh teman jalan.

Saban minggu atau hari libur tak pernah sekalipun aku absen bermain ke rumahnya. Nah, tiap makan siang, entah masakan ini menjadi kegemaran Ncang Amin atau kebetulan saja, selalu yang disuguhkan dan tersaji dimeja makan adalah sayur kuning daging iga atau sayur tangkar. Kalaupun bukan sayur tangkar, biasanya adalah sayur goreng asem. 

Belum terlalu tua ia berpulang ke rahmatullah. Mungkin belum genap 60 tahun. Seminggu sebelum wafat, aku masih sempat menemuinnya di rumah. Meski masih sakit, tampak beliau agak segaran. Kami (aku, buyah, dan ibu) dijamunya dengan ayam bakar -- yang dijual dekat Marinir Cilandak --pemberian salah satu ponakannya yang lain. Dalam pertemuan itu selalu terselip obrolan betapa ia sangat merindukan salah satu anaknya yang belum juga tiba ke rumah.
“Salamah kapan dateng,..? tanyanya selalu pada orang rumah.
Ya putrinya ini boleh dibilang putri kesayangan. Ia ditunggu-tunggu lantaran tinggalnya tidak di Jakarta, tapi di Pendopo, Sumatera Selatan. Tatkala putrinya tiba, tak berapa lama wafatlah ia menyusul ayah, ibu, adik, dan kakeknya. Innalilahi wa inna ilayhi rojiun… Begitulah sekelumit kisah tentang Ncangku.


Senin, 03 April 2017

Tentang Sepupuku (2)

Wak Iyom dan Anaknya.
Entah aku harus memanggil apa kepada kakak mamiku ini. Dalam kehidupanku, tak sekalipun aku pernah menyapa namanya. Bila uwak-uwak-ku yang lain aku panggil dengan sapaan Ncang Amin dan Nyak Mun, tidak dengan kakak mamiku ini. Ingatanku tentangnya hanya sedikit, bahkan nyaris tak ada. Pasalnya, saat beliau mangkat, aku masih berusia puluhan bulan, belum banyak interaksi yang aku lakukan dengannya. Nah, kali ini aku ingin menceritakan kisah tentangnya dan anak-anaknya secara berseri. Untuk mudahnya, maka aku panggil beliau Wak Iyom, sapaan untuk Romlah, kakak mamiku.

Semasa mudanya, hubungan mamiku dan Wak Iyom sangat dekat. Maklum, Wak Iyom adalah kakak langsung mamiku, setelah Ncang Amin, lalu Nyak Mun. Saking dekatnya hubungan mereka, setelah Wak Iyom wafat, cincin emas bertahtakan berlian(?) milik Wak Iyom dikenakan oleh mamiku. Anak-anak Wak Iyom tak ada yang tahu bila cincin ibu mereka dipakai oleh mamiku. Baru ketika anak-anak Wak Iyom dewasa dan berumah tangga, ibuku membuka rahasia kepada mereka bahwa cincin yang selama ini ia kenakan adalah milik Wak Iyom. Oleh mamiku, cincin itu di alih (estafet) kan kepada Sri, anak Wak Iyom nomor tiga. Tentu mamiku mempunyai pertimbangan tertentu mengapa cincin emas itu diberikan kepada Sri dan bukan kepada Fauziah atau Lily.

Wak Iyom meninggal di tahun 1978. Masih berusia muda, sekitar 35-an. Beliau wafat sebab sakit yang dideritanya. Sejenis tumor/kanker, aku pun tak tahu pasti, namun penyakit itu cukup ganas untuk ukuran penyakit di kampungku saat itu yang kebanyakan kena penyakit asma dan cika. Berulang kali beliau keluar masuk rumah sakit untuk dioperasi. Selepas operasi, bukannya sembuh, namun tumor itu berpindah pindah dan terakhir ada di kepala, sampai-sampai kepala Wak Iyom di gunduli, dan memakai wig. Aku pernah melihat wig-nya. Aku masih sempat ingat dan menyaksikan saat-saat menjelang kematiannya, ketika ia tergolek lemah di dipan kamarnya yang temaram. Mamiku yang dekat dengannya tak sampai hati melihatnya..

Karena masih kecil, tak ada bayangan sedikitpun yang terlintas di benakku mengenai sosok dan profile Wak Iyom, apakah ia ramah, baik, ataukah bagaimana. Meski secara fisik dan psikologis aku tak dekat dengannya, namun saban tahun aku tak pernah melewatkan untuk menziarahi makamnya. Bersama anak-anakku, Razi dan Ranza, aku kenalkan mereka dengan salah satu neneknya. Tatkala bersimpuh dimakamnya, kedua anak-anakku tertawa dan tersenyum dengan riangnya. Tampaknya mereka tahu bahwa jasad yang bersemayam dibawah sana, semasa hidupnya adalah pribadi yang menyenangkan, ramah dan baik bagi anak dan para keponakannya. Terharu aku menyaksikan tingkah polah anak-anakku di pusara Wak Iyom.

Mami, seperti juga Ncang Amin dan Nyak Mun pasti sangat dekat dengan semua ponakannya. Meski semuanya dekat, namun bagi mamiku, ada salah anak Wak Iyom yang paling ia sayang. Saking sayangnya, bahkan sayangnya menyamai sayangnya mami kepada kami, anak-anaknya. Ya, sepupuku ini pantas diberi kasih sayang lebih lantaran kisah pilu yang sering menerpanya. Ia ditinggal mati ibunya, Wak Iyom saat usianya belum genap 4 lebaran. Ia masih terlalu kecil untuk dipaksa berpisah dari belaian dan kasih sayang seorang ibu. Maka, wajar bila mamiku menaruh perhatian yang lebih padanya lantaran dari anak-anaknya Wak Iyom, ia yang paling kecil, dan masih sangat butuh perhatian dan lindungan seorang ibu.

Sepupuku ini memang terlemah diantara saudara-saudarnya yang lain. Bukan itu saja, waktu kecil, bahkan hingga saat ini, ia masih sering sakit-sakitan, badannya ringkih, mungkin karena kurang asupan ASI dari ibunya, dulu. Sepeninggal ibunya, tanggung jawab kepengasuhan sepupuku ini diemban oleh nenek kami. Nah, mamiku, lantaran anak bontot, sangat dekat dengan ibunya (nenek). Meski sepupuku ini tinggal dengan nenekku, namun hampir saban hari ia main ke rumah kami. Begitulah, mamiku menjadi ibu baginya. Mengenang masa-masa itu, wajar bila tak hanya mami yang iba padanya, saudara-saudara yang lainpun demikian adanya.

Dan, bila kedua kakaknya yang lain masih beruntung lantaran masih mempunyai ayah, maka sepupuku ini tak beribu dan berayah sejak ia berusia enam belas tahun. Ayahnya, Suhaimih, adalah orang yang berpangaruh di Kelurahan Bangka. Orang-orang menyebutnya Mandor Imih. Saat itu, bila kita menjumpai kesulitan di kelurahan/kecamatan lantaran birokrasi yang ngejelimet, bilang saja kalau kita adalah keponakannya Mandor Imih, dijamin urusan di pemerintahan lancar.

Semasa kecil --disamping dengan hafiz-- aku dan sepupuku ini sering main bareng. Dari cucu-cucunya Kong Muti, hanya kami bertiga; Aku, ia, dan Suhartini (Tini) Naseh, yang satu lating. Di SD, bertiga kami main bersama-sama. Namun bila selapas SD aku dan Tini masih bersama hingga ke Pesantren Darunnajah, ia menyempal. Nah, barulah ketika tamat Tsanawiyah (SMP), aku berpisah dengan Tini dan kembali bersamanya di Jombang, Jawa Timur.

Banyak kisah menarik yang terjadi padanya sewaktu di Jombang. Ia seringkali kerasukan mahluk halus. Aku kasihan padanya, sudah yatim piatu, ehh sering pula diganggu oleh jin. Tak terbilang berapa kali ia kesurupan. Dan, sudah berapa kali pula guru agama kami mengusir jin itu, namun hari ini lepas, minggu besok sepupuku ini kembali kesurupan lagi. Bila ia kesurupan di kelas, ia meronta-ronta tak jelas, oleh teman-teman, tubuhnya digotong ke perpustakaan, lalu dipanggillah ustaz. Setelah jin itu berhasil dikeluarkan, badannya lemas, mukanya pucat pasi. Tak tega aku melihatnya. Bisa berhari-hari ia tak masuk kelas lantaran harus diinapkan di rumah guruku yang ahi mengusir jin itu.  

Setamat dari Jombang, kami kembali bersama. Aku di Unpad, ia, lantaran tak secerdasku, heheh.. nyangkut di IKIP Bandung. Jadilah minimal saban bulan bila kebetulan aku main ke Lembang, pulangnya pasti mampir ke kost-annya di kawasan Geger Kalong. Bukan karena aku rindu padanya, namun aku sedang memantau kali-kali aja ada teman kost-an-nya atau teman kampusnya yang bisa dijadiin gebetan. Sayangnya, baik di kost-an maupun teman-teman kampusnya, tak ada satupun teman wanitanya yang kutaksir. Semua temannya, wajahnya, 11 12 dengannya. Apes..


Bagaikan kisah ratapan anak tiri di film-film jadul tahun 80-an, begitulah sedikit cerita tentang kehidupan sepupuku. Banyak duka ketimbang tawa lantaran ia tak berayah dan beribu. Namun, yang aku salut dan berikan ajungan jempol padanya, meski yatim piatu, ia tetap tabah menjalani kehidupan ini. Ia tidak terpuruk meratapi nasib namun menghadapi hidup dengan tegar dan kokoh. Kini ia bahagia dengan suami dan anak-anaknya serta saudara-saudara lain yang selalu menyayangi dan mengasihinya. Oh ya, ngomong-ngomong siapa sih sepupuku itu? Penasaran…? Tampaknya ia hanya menangis sedih membaca kisahku ini. Kisahku ini mungkin membangkitkan kesedihan dan duka yang mendalam baginya. Ia mungkin teringat ibunya yang telah lama tiada namun bahagia di sana. Sudahlah hapuskan air matamu, duhai sepupuku. Jadikan kisah ini sebagai dongeng pengantar tidur bagi anak-anak mu. heheh