Selasa, 22 Mei 2018

Kami yang Bekerja di Pulau


Beberapa kali kapal cepat bermesin lima buah merk Suzuki 250 yang kami tumpangi berhenti, dengan mesin tetap menyala. Gelombang sedang tinggi. Biasanya setelah angkat sauh dari Dermaga Marina, satu jam lewat sekian menit, kapal akan merapat di dermaga Pulau Pramuka. Namun kali ini sudah lewat satu setengah jam, kapal belum ada tanda-tanda mendekat,  Pramuka masih jauh terlihat.  Setelah dirasa aman, kapal mulai mengambil ‘ancang-ancang’ memilih jalur yang ‘ramah’ dari terjangan ombak. Kembali mesin bergemuruh menerjang ombak-ombak yang datang menghantam buritan. Para penumpang kembali terjungkal-jungkal. Beruntung tak lama, gelombang tinggi mereda, dermaga Pramuka pun semakin dekat. Akhirnya sampai juga di pulau, tempat dimana kantor bupati Kabupaten Administrasi Jakarta Kepulauan Seribu berada. Syukur Alhamdulillah kami selamat. Nasib tak beruntung dialami kapal milik instansi sejawat yang jalan tak berselang lama dengan kami. Kapal itu tenggelam, karam diterjang ganasnya ombak Laut Jawa. Beruntung semua penumpangnya selamat.

Biasanya kami berangkat Senin pagi, dan kembali ke darat, rabu atau kamis sore, tergantung kebutuhan dan beban kerja melayani warga pulau. Namun ada pula pegawai yang memilih untuk pulang pergi. Artinya, pergi pagi hari, dan pulang dengan kapal predator milik swasata sekitar jam 15. Biasanya, yang seperti ini tiket perjalanannya sudah dianggarkan oleh kantor. Namun, tak banyak dinas (kantor) yang mengalokasikan biaya perjalanan tersebut, tergantung kebutuhannya. Bagi pegawai yang berdinas sebagai pamong, guru, atau tenaga kesehatan, dan melayani langsung masyarakat, biasanya mereka lebih lama stay di pulau. Diatas kertas, jadwal kerja seperti itu, namun cuaca atau kebutuhan orang pulau kadang tak bisa dikira. Jika cuaca buruk, bersiaplah tinggal lebih lama di pulau menunggu ombak reda. Praktis, waktu mereka untuk berkumpul dengan keluarga di darat menjadi berkurang. Itulah resiko dan pengorbanan (baca: pengabdian) pegawai bagi negara, pengorbanan yang harus dinikmati. #eaa

Dalam bekerja, kami terserak di beberapa pulau. Ada yang ditugaskan di ujung nun jauh di utara, di pulau Sebira. Ada pula yang ‘cukup beruntung’ di tempatkan di pulau Untung Jawa yang letaknya hanya setengah jam dari daratan. Rumusnya, dimana ada penduduk, disitulah kami bertugas. Selain dua pulau itu, pulau-pulau yang menjadi medan tugas kami adalah pulau Panggang, Pulau Kelapa; Pulau Harapan; Pulau Tidung; Pulau Pari; Pulau Lancang, dan pulau-pulau lain disekitarnya.

Bagi kami yang ditempatkan di pulau, jangan berharap bakal segera ditarik ke darat bila konduite dan kinerja kami tak optimal. Kalau hanya bekerja menurut rata-rata orang kerja maka hanya ada dua penantian untuk meninggalkan pulau, yakni menunggu pensiun atau menunggu mati (tenggelam). Tak ada pilihan yang menyenangkan memang, namun itulah garis dan suratan takdir yang harus kami jalani. Bila koneksi dan channel tak banyak, jangan berharap akan dilirik pejabat di darat (balaikota) untuk segera ditarik ke darat. Terimalah nasib, bersiap menunggu usia pensiun tiba atau –paling apes-- ajal menjemput untuk keluar dari pulau. Asal kalian tahu, ditugaskan di pulau itu berat, tak banyak pegawai yang kuat, biar kami saja yang memikulnya! Kalian gak kan kuat!

Kami yang bertugas di pulau tentu maklum, kerja (ditugaskan) di darat pasti lebih bergengsi, lebih menantang, more complex ketimbang di pulau. Bila ada pilihan, hampir semua pegawai mungkin akan menghindar bila ditawari berkarier di pulau. Camat Kramat Jati, misalnya tentu lebih mentereng ketimbang jabatan yang sama di kecamatan Kepulauan Seribu Utara, meskipun keduanya sama-sama eselon tiga. Begitupun kepala rumah sakit Pasar Rebo lebih ada dignity ketimbang mengepalai rumah sakut sejenis yang ada di pulau Pramuka. Begitulah, meski pangkat, tunjangan dan gaji relatif tak jauh berbeda, namun gensi kerja atau menjadi pejabat di darat akan mempunyai makna yang bisa membuat dada bertepuk lebih nyaring ketimbang berkarier di pulau.

Namun menariknya, setelah dijalani bulanan hingga berbilang tahun, ternyata menurut rekan-rekan kami yang lama berkarier di pulau, kerja di pulau itu enak, tidak ‘dikejar-kejar’ seperti bila kerja di darat. Kerja bisa dibawa nyantai sembari liburan. Kalau sudah cinta pulau, dijamin takkan mau bila ditarik ke darat. Pulau bagi mereka sudah seperti rumah kedua. Seminggu tak dinas ke pulau seperti setahun tak pulang kampung ‘tuk berlebaran. Sayangnya, tak banyak model pegawai ‘aneh’ macam gini. Rata-rata bila ditawari balik ke darat, pasti kami ngucap syukur.

Sore hari selepas jam kerja, kami biasanya bermain dipinggir pantai, berenang, ataupun sekedar membasahkan telapak kaki agar tersapu ombak laut yang tenang. Yang hobi snorkling, tentu tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Keindahan ikan-ikan di perairan sekitar pulau Pramuka, Harapan, Tidung, dan Pulau Karya sangat layak untuk dicumbu. Oh ya, hanya berjarak hisapan sebatang rokok, Pulau Karya dapat ditempuh dengan menumpang ojek kapal bertarif tiga ribu perak dari Pramuka. Pulau Karya ini adalah pulau tanpa penduduk yang memang diperuntukkan untuk mess pegawai dan aktivitas sebagian roda pemerintahan. Selain renang, memancing adalah kegiatan yang cukup banyak membantu untuk mengatasi kejenuhan bekerja.

Kadang kami tertawa geli ketika mendengar celotehan tamu/mitra kerja ketika kami undang hadir ke Pulau. “Wah, enak ya pak Rachmat, kerja sambal liburan..”
Whattt, loe piker gw piknik?? Grrgrrr.. Begitulah, bagi orang luar melihat kami enak, namun coba saja sebulan bolak balik pulau-darat, dijamin badan renteg
Salam dari pulau!



Pelajaran Kesetiaan Itu Kita Dapat Dari Mursjid


Setelah resmi menyatakan berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia, Pak Harto menyalami semua yang hadir di Istana. Ia salami Presiden (pengganti) BJ Habibie, para lelaki bertoga (Ketua dan Wakil ketua MA), dan beberapa pejabat negara berpakaian safari yang hadir dan menyaksikan peristiwa bersejarah itu. Setelah bersalaman dengan mereka, Pak Harto meninggalkan ruangan tempat upacara, dan dengan bergegas, beberapa orang mengikutinya, termasuk putri kesayangannya, Mba Tutut. Ia lalu beranjak ke ruang Jepara, dimana berkumpul para pimpinan MPR/DPR. Setelah bicara sebentar, ia meninggalkan ruangan itu, langsung keluar menuju beranda istana. Dengan langkah pasti ia turuni kediaman resminya, yang telah ia tempati selama lebih kurang 32 tahun, digamit oleh putrinya yang berkerudung.

Entah, apakah karena terikat oleh aturan protokoler atau ada sebab lain, tak tampak Presiden (pengganti) BJ Habibie mendampinginya saat menuju ke mobil kepresidenan yang telah diubah platnya menjadi plat sipil. Dalam foto-foto sejarah tak tampak pejabat yang menemaninya membuka pintu atau sekadar melambaikan tangan dan berucap: “Selamat jalan pak…!”

Sedetik kemudian, praktis curahan pemberitaan media beralih ke Habibie, sang presiden yang baru. Pak Harto? Tentu diberitakan, namun porsinya bukan sebagai presiden, tapi sebagai mantan presiden dengan pemberitaan ber-tone negatif terkait penyelenggaraan negara yang ia pimpin. Korupsi oleh kroni-kroninya, menjadi bahasan utama media. Sejak saat itu, ia menjadi sosok yang sepi dan sendiri. Ditinggalkan oleh lawan bahkan kawan seperjuangan. 

Beruntung, diantara sekian banyak orang yang meninggalkannya, masih ada sosok yang setia hingga akhir. Meski tahu kapal pasti karam, dan sang nahkoda akan tenggelam bersama kapalnya, ia memilih menemani sang nahkoda bahkan hingga maut memisahkan keduanya. Darinya kita bisa belajar akan arti sebuah kesetiaan. Siapa dia?

Usai Pak Harto mengucapkan kata berhenti, terlihat dalam lintasan kamera sejarah, ada satu pejabat yang masih ngintilin mantan pengusa Orde Baru itu. Dialah Saadilah Mursjid (SM). SM masih mengikuti Pak Harto menuruni tangga istana, terus berlanjut ikut hingga ke kediaman pribadinya di Jalan Cendana. Secara profesional, tak ada kewajiban dari SM untuk melu Pak Harto. Memang, secara kedinasan saat itu ia menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara, tangan kanan sang presiden, Tapi, waktu ia mendampingi Pak Harto menuruni istana, ia bukanlah apa-apanya Pak Harto lagi. Saudara bukan, apalagi keponakan Pak Harto! Kabinet telah demisioner. Bos baru telah dilantik.

Namun itulah yang dapat kita ambil pelajaran dari sosok SM. Ia tak memandang seseorang hanya dalam kacamata hubungan atasan dan bawahan, antara bos dan anak buah, namun lebih dari itu. Ia tahu bahwa persahabatan tak diukur hanya oleh sebatas title dan status diantara dua anak manusia. Kesetiannya dengan Pak Harto menjadikannya seorang sahabat yang tak ada tandingannya.

Dimasa kejayaan Orde Baru, tak banyak yang tahu sosok pria kelahiran 7 September 1937 ini. Ia tenggelam diantara nama-nama besar dan tenar pejabat-pejabat orde baru; Sebut saja; BJ. Habibie, Harmoko, Moerdiono, Akbar Tanjung, Try Sutrisno, LB Moerdani, dan seabrek nama-nama beken lainnya. Menurut Wikipedia, Mursyid mulai menjabat menteri, yakni sebagai Menteri Sekretaris Kabinet pada tahun 1988. Dan ia bukanlah satu-satunya pejabat ‘kesayangan’ Pak Harto. Masih banyak ‘senior’-nya yang mempunyai kedekatan emosional, baik dari jabatan maupun kekeluargaan dengan bapak 6 orang anak ini.  Namun mereka, begitu tahu kapal Soeharto akan karam, beramai ramai meninggalkannya.

Bila dihitung sejak menjabat dan menjadi orang dekat pak Harto (1988) praktis hanya sekitar 10 tahun ia dekat dengan pak Harto. Jika beliau tega’an dan tak menjiwai arti penting sebuah kesetiaan, tentu ia akan mengikuti para ‘senior’nya (mereka yang lebih lama bergaul dengan pak harto) untuk balik kanan, dan meninggalkan sang jendral.

Biarlah, sang jendral menyelesaikan masalahnya sendiri, saya gak mau ikut-ikutan. Bukan apa-apa, takut saya terserat masalahnya. Mungkin itu yang ada di benak mereka.yang meninggalkan Pak Harto. Tak mau ikut-ikutan menanggung beban kesalahan kolektif. Biarlah itu ditanggung Si Bos.

Kesetiaan memang menjadi barang langka dalam hidup ini. Suami/istri tak selamanya setia pada pasangannya. Begitu pasangannya meninggal dunia, ia akan mencari pendamping baru. Begitu pun bos, sering tak setia pada anak buahnya. Ketemu anak buah yang pintar, (anak buah) yang lama akan ditendang. Anak buah pun demikian pula, ketemu bos yang baru, bos lama dicuekin.

Hari ini, tepat 20 tahun reformasi. Diantara kepingan-kepingan peristiwa yang mengiringi perjalanan reformasi itu, tentu ada pelajaran yang bisa kita petik. Dan, kita yang masih hidup akan selalu disuguhkan dengan pelajaran dari model kesetiaan yang ditunjukkan oleh Saadilah Mursjid.
Terima kasih Pak Mursjid!

Selasa, 13 Februari 2018

Cerita Banjir di Condet


Banjir kembali menerjang sebagian Jakarta. Banjir pada Senin, 5 Februari 2018, bisa disebut sebagai siklus lima tahunan. Kenapa demikian? Saya yang tinggal di Kawasan Condet, Jakarta Timur, yang relatif lebih aman ketimbang di daerah hilir seperti Rawajati, Manggarai, dan sekitarnya, pada sore kemarin kembali merasakan Banjir. Tahun-tahun sebelumnya, pemukiman kami selamat. Terakhir kena, di tahun 2007 dan 2012.

Karena sudah terbiasa ngalamin banjir, kami nyantai saja ngadapinya. Beruntung sejak pagi peringatan dini telah dikeluarkan sehinga kami siap menyambut datangnya banjir kiriman. Sebelum ‘tamu’ dari Bogor tiba, tetangga kami yang rumahnya hanya berjarak selemparan batu dari bibir sungai Ciliwung telah siap siaga. Barang-barang elektronik sudah diungsikan ke tetangga yang rumahnya bertingkat. Pakaian-pakaian sudah dikosongkan dari lemarinya. Simpanan emas, dollar, dan rupiah yang tak seberapa, telah dikempit dan dimasukkan dalam kutang ibu-ibu.

Nah, setelah prosesi angkut-angkut barang kelar dikerjakan, warga pemukiman kami nongkrong di tanggul bibir sungai, untuk memantau ketinggian air sungai. Sambil menghisap rokok, mereka mulai dapat memprediksi kapan kira-kira air sungai akan menerjang pemukiman kami. Memprediksi seberapa besar ketinggian banjir yang mungkin akan terjadi. Dengan Handy Talky, beberapa pengurus RW berkoordinasi dengan rekan-rekan mereka yang ada di hulu dan hilir sungai.

Begitulah sampai tibalah saatnya ‘tamu-tamu’ itu mulai berdatangan. Air mulai masuk menggenangi jalan di kawasan pemukiman kami sekira setelah shalat ashar. Lambat laun air mulai meninggi, dan puncaknya terjadi pada pukul 23.00 WIB. Semua badan jalan di Jalan Ciliwung/Buluh, yang melingkupi RW.16, Kelurahan Cililitan, terkena limpahan air cokelat Ciliwung. Ya, pemukiman kampung kami memang berbatasan langsung dengan kali Ciliwung. Di sebelah timurnya adalah Jalan Condet Raya. Beruntung banjir semalam tidak separah banjir di tahun 2012. Hanya mampir sebentar. Dan, sekira menjelang shubuh, banjir telah surut.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan banjir di kawasan kami tak terlalu lama. Pertama adalah; Jembatan di Kalibata yang menghubungkan Jakarta Selatan dan Jakarta Timur, sudah dibongkar, diganti dengan fly over yang tinggi, sehingga sampah yang biasanya menyangkut di badan jembatan dapat bebas mengalir sampai ke hilir, sampah terus hanyut hingga ke Manggarai.

Sampah ini memang momok yang menakutkan bagi kami. Isinya macam macam, ada ranting hingga dahan pohon yang hanyut, pempers bayi, bahan-bahan dari stereoform, bahkan hingga spring bed. Belum lagi sampah rumah tangga yang terbawa hanyut dari hulu. Nah, kalau sampah ini nyangkut di jembatan Kalibata, maka aliran air akan terhambat, akibatnya air dari hulu tidak dapat terus melaju melainkan ‘mampir’ di pemukiman kami, di Condet.

Kedua, telah rampungnya sudetan di Banjir Kanal Barat, sehingga air dari hulu Ciliwung yang masuk ke Pintu Air Manggarai dapat terbagi dan tidak terkonsentrasi di satu titik. Ketiga, tidak adanya pasang air laut. Dan terakhir, semalam Jakarta tidak di guyur lebat. Kalau sampai hujan, perfect!

Yang juga patut disyukuri adalah, tak ada korban jiwa dan harta akibat hanyut dibawa banjir, semalam. Kalaupun ada kerugian, itu hanya berupa sisa lumpur yang melekat di dinding dan ubin rumah. Dan pagi tadi, warga sudah mulai mebersihkan rumahnya, mengeluarkan sisa air kiriman dengan gayung. Setelah itu menyiramnya dengan air bersih.

Pagi ini kiriman air dari Bogor telah berangsur surut. Sayangnya, bagi mereka yang rumahnya memang permukaannya berada lebih rendah dari kali, air masih belum surut, meskipun ketinggiannya berangsur menurun. Begitulah banjir semalam yang terjadi di pemukiman kami. Kini kami bersiap untuk memantau kembali permukaan air sungai, karena kami tak tahu apakah si ‘tamu’ masih ingin datang ke rumah kami atau tidak.


Minggu, 04 Februari 2018

Menempatkan Becak di Jakarta

Meski sama-sama beroda tiga, namun becak dan bajaj berbeda. Bajaj dianggap manusiawi karena digerakkan dengan mesin. Sedangkan becak, dianggap kurang manusiawi lantaran dikayuh oleh kaki, betis, dan paha. Kebayang gak, bila becak melaju di jalan menanjak, dengan peluh keringat membasahi muka dan badannya, karena tak kuat mengayuh, Si abang becak mendorong becaknya, sedangkan Si penumpang, alih alih turun membantu meringankan beban berat Si abang becak, justru hanya duduk manis, menikmati ‘kesengsaraan’ Si abang becak.  Inilah mungkin yang dimaksud tidak memanusiakan manusia atau kurang manusiawi.

Wacana Gubernur Anies Baswedan untuk menghidupkan lagi becak di Ibukota mendapat tanggapan pro dan kontra dan warga kota. Yang kontra beranggapan bahwa becak, adalah salah satu yang menjadi sumber ketidak tertiban berlalu lintas. Bukankah saat ini tanpa becak pun, gang-gang dan jalan-jalan kecil di pelosok Jakarta masih semrawut. Semrawut dengan mobil milik warga yang parkir di pingir jalan lantaran tak punya lahan parkir. Semrawut dengan kaki lima yang buka lapak dan berjualan di pinggir jalan yang sempit. Lha, gimana kalau ada becak, bisa tambah semrawut gang-gang dan jalan-jalan kecil di perkampungan Jakarta.

Gubernur Anies dalam argumennya menuturkan bahwa becak hanya akan ada di perumahan atau perkampungan, dan tidak boleh masuk ke jalan protokol. Anies mencontohkan, warga yang membuka warung di rumah membutuhkan becak untuk membawa barang belanjaannya yang dibeli dari pasar. Selama ini disukai atau tidak becak telah hadir ditengah-tengah masyarakat. Di kawasan Jakarta Utara seperti di Warakas misalnya, becak digunakan untuk menarik penumpang. Di sekitar tempat pelelangan ikan di Jakarta, becak digunakan untuk mengangkut hasil tangkapan nelayan. Ini adalah kondisi becak yang terjadi saat ini. Sudahkah becak di Jakarta dimanusiawikan? Inilah yang akan menjadi impian dan tantangan bagi Anies, menjadikan becak lebih manusiawi di Jakarta.

Namun, sebelum impian itu menjadi nyata, perlu upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk menerapkan regulasi perbecakan. Dengan kajian yang mendalam melibatkan seluruh komponen masyarakat, pasti akan terjawab keraguan-keraguan masyarakat tentang dampak negatif dari hadirnya becak di Jakarta. Bila di cerna dengan pikiran jernih, wacana dan ide yang dilontarkan oleh Gubernur Anies cukup menarik. Kenapa becak tidak dilegalkan saja? Ditata dan diatur dikawasan mana saja yang boleh ada becak. Ada batasan maksimal, berapa becak yang boleh beroperasi di kawasan itu. Intinya adalah pengaturan! 

Nah, selain sebagai sarana transportasi di perkampungan, yang tak kalah menariknya adalah bagaimana menjadikan becak sebagai salah satu daya tarik wisatawan. Sama seperti Monument Washington, di Washington DC, Amerika Serikat, dengan National Mall, yang terbentang dihadapannya, Monas pun mempunyai tata ruang yang hampir sama. Kebayang gak, selama ini dari parkiran mobil/motor menuju ke Tugu Monas, kita harus berjalan kaki, meskipun telah tersedia mobil wara wiri gratis. Nah, bila di sekitaran monas disiapkan becak, bisa menjadi daya tarik wisatawan. Syaratnya tentu ada pada penampilan dan modifikasi becak itu sendiri agar sesuai dengan pangsa pasar wisata. Tampilan becak bisa ditiru dinegara-negara maju.

Sebagai bahan perbandingan, kita bisa menoleh kehadiran becak di Negara-negara yang lebih maju dari Jakarta. Di Washington DC, Amerika Serikat misalnya, becak telah ada. Saat saya berkunjung ke DC, saya menemukan becak yang disewakan. Becak disana sungguh menarik, eye-catching. Tampilan becaknya gak kumel. Abang becaknya pun bajunya rapih dan bersih. Berbeda dengan di Indonesia, becak di DC posisi pengayuh atau abang becak ada di muka, sedangkan penumpangnya ada di belakang. Permasalahannya adalah, bagaimana mengatur kebaradaan becak agar tertata dan terlihat rapih dan teratur. Di DC, kebaradaan becak hanya ada di sekitar objek-objek wisata yang banyak terserak di sekitar National Mall,  yang mana di sekitarnya terdapat spot-spot menarik yang menjadi daya tarik destinasi wisatawan mancanegara, seperti Monument Washington, Gedung Putih, dan musem-museum menarik lainnya.


Bila di DC, becak wisata bisa diterapkan, lantas apa yang salah dengan ide dan wacana Gubernur Anies untuk menghidupkan becak? Bila saja becak wisata dapat beroperasi di sekitaran Monas, tentu akan menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan yang hendak berkeliling monas. Selain ke Monas, dengan becak wisatawan dapat menyusuri jalan di sekitaran Medan Merdeka, mengunjungi spot-spot menarik yang ada di sana. Berkunjung ke beberapa museum yang ada di sekitarnya. Saya percaya, bila ini di terapkan secara professional niscaya akan menjadi pilihan wisata yang menarik. Jadi, jangan anggap becak sebagai suatu aib bagi transportasi Jakarta, tinggal di poles sedikit niscaya profesi penarik becak akan termanusiakan. Dan, satu lagi, impian Anies menjadikan becak di Jakarta sekelas becak di DC, nyata adanya. 

Jakarta Jangan Meninggalkan Sejarahnya

Upaya untuk menghargai jasa para pahlawan tentu patut diapresiasi. Salah satu pengingatnya adalah dengan penamaan jalan. Ali Sadikin (Bang Ali) misalnya, sebagai gubernur legendaris di Jakarta, meskipun yang bersangkutan belum ditetapkan sebagai pahlawan, namun jasa dan kontribusinya terhadap kemajan kota Jakarta sangat besar. Beliau lah peletak dasar pembangunan dan kemajuan Jakarta. Oleh sebagian kalangan, Bang Ali, pernah diusulkan untuk diabadikan namanya sebagai jalan di Jakarta. Cari punya cari, ketemulah Jalan yang cocok, lokasinya dekat dengan Balakikota, bekas kantornya. Jalan yang membentang dari mulai Tugu Tani hingga Tanah Abang ini dinominasikan sebagai jalan Ali Sadikin menggantikan Jl. Kebon Sirih. Sayangnya, seiring berjalannya waktu usulan itu menguap.

Kini, tanpa ada angin dan petir, usulan untuk mengganti nama jalan di Jakarta kembali mencuat. Permasalahannya adalah apakah penamaan jalan dengan salah satu tokoh (pahlawan) itu harus mengganti nama jalan yang telah ada, yang telah mempunyai nilai histroris, dan melegenda di kalangan masyarakat Jakarta? Inilah permasalahnya.

Sebagai kota pelabuhan, Jakarta kaya akan warisan sejarah. Beragam suku bangsa bermukim diwilayah seluas 661,5 Km2 ini. Untuk menjaga ingatan kolektif masyarakat, biasanya penamaan jalan di Jakarta terkait dengan peristiwa, tokoh, etnis/suku, ataupun geografis daerah itu. Di Jakarta kita mengenal Jalan Kampung Melayu, untuk melabelkan nama etnis yang banyak menetap di kawasan itu. Jl. Warung Buncit misalnya, dulunya disitu ada warung kepunyaan Bu Encit (etnis tionghoa). Warungnya, kalau meminjam istilah zaman now digunakan sebagai tempat hang out (ngumpul), untuk tempat transit dan kongkow-kongkow para pejalan dan pedagang yang melintasi ruas dari Pasar Minggu menuju ke tengah kota. Oleh masyarakat setempat, ruas itu dinamakan Warung Buncit. Begitupun Jl. Mampang (nama jenis pohon) Prapatan Raya dan Kemang Raya, di Jakarta Selatan. Dulunya banyak pohon Kemang (sejenis mangga) yang berserakan di sepanjang jalan mulai dari Antasari hingga Ampera Raya.

Nah, mengingat Jakarta sebagai kota yang punya nilai sejarah tinggi, maka wacana pergantian nama jalan itu harus dikaji secara mendalam. Boleh saja merubah nama jalan, namun dengan pertimbangan dan kajian yang melibatkan beberapa stakeholder, budayawan, dan tokoh masyarakat Betawi. (Maaf), jangan mentang-mentang (meminjam isilah Betawi) Buncit dan Mampang bukan seorang pahlawan, dan hanya sekadar nama bekas toko, nama buah, atau pohon, lalu dengan serta merta gampang menggantinya, semudah kita mengganti celana. Ingat, kawasan itu punya sejarah. Merubahnya berarti merubah sejarah.  Jadi, kalau mau merubah, ya, lihat-lihat dulu, oom.

Sebenarnya, bila kita mau capek sedikit menelisik jalan-jalan di Jakarta, banyak jalan-jalan di Jakarta yang rancu dan membingungkan warganya. Mau contoh? Seruas jalan di depan Stasiun Jatinegara, misalnya, dinamakan Jalan Bekasi Barat. Bagi orang luar Jakarta yang baru datang atau turun dari kereta, tentu bertanya-tanya, dimana Bekasinya? Padahal Bekasi masih sekitar 30-an kilo ke arah timur dari Jatinegara. Berbatasan dengan jalan itu, bukan masuk kota/Kabupaten Bekasi, namun ada jalan Bekasi Timur, lalu (ujug-ujug) ada jalan bernama I Gusti Ngurah Rai, mulai dari Cipinang/Klender hingga masuk ke perbatasan Bekasi. Tak hanya itu, jalan dengan penamaan “Bekasi” pun tak cuma di sekitar Jatinegara, ada banyak! Di kawasan Pulogadung hingga masuk ke Cakung, ada Jalan Raya Bekasi. Jalannya sangat panjang, mulai dari Perintis Kemerdekaan hingga berbatasan dengan Kabupaten Bekasi. Adapula jalan Raya Bekasi Timur, mulai dari Flyover Klender hingga Terminal Pulogadung.

Saking rancunya nama “Bekasi”, bila berkorespondensi maka harus lengkap mencantumkan keterangan wilayah/kawasan setelah kata “Bekasi”. Bekasi mana? Bekasi Jatinegara, Bekasi Klender, Bekasi Cakung, atau Bekasi Pulo Gadung? Jadi, bila mau dirubah, inilah salah satu contoh nama jalan yang harus ditata dan ditertibkan agar tak membingungkan warga.

Begitupun Jalan Raya Bogor. Jalan yang bermula dari PGC di Cililitan ini sangat panjang melintasi Kramat Jati, Pasar Rebo, Cijantung, lalu masuk ke wilayah Depok, Cibinong, hingga ke kota Bogor. Jalan ini memang jalan yang bernilai historis. Inilah jalan pertama yang dibangun di pulau Jawa. Dulu dinamakan jalan Pos atau Jalan Deandels. Bila kita berniat mengganti jalan ini, tentu akan mempunyai konsekwensi sejarah. Namun bila dirasa jalan itu membingungkan lantaran panjangnya, bisa saja jalan itu dirubah dengan nama pahlawan, dimulai dari PGC hingga Pertigaan Pasar Induk Kramat Jati, misalnya. Agar akar sejarah tidak hilang, selebihnya tetap dinamakan jalan Raya Bogor.

Jakarta memang berbeda dengan Washington DC. Di DC, hanya jalan-jalan besar (avenue) yang memakai nama tokoh atau kota tertentu. Disana kita akan menemukan jalan Pennsylvania. Nah, nama jalan lainnya diatur berdasarkan hurup seperti A, B, C, dst, ataupun berupa angka seperti jalan 1, jalan 2, 3, dst yang merujuk kepada petunjuk dari satu blok berpindah ke blok sebelah atau blok lainnya. Jalan dibagi/belah menjadi blok dan sektor. Misalkan saja namanya: Jalan 1SW, artinya jalan 1 dalam sektor South West. Maka tentu di blok berikutnya jalan 2SW, begitu seterusnya. Blok pun demikian. Bila di depan kita jalan Blok A, tentu setelahnya jalan Blok B, C, D berurutan dalam jejeran blok yang memancang. Sebagai orang baru, tentu kita tak akan menyasar selama jalan-jalan (kaki) di ibukota Amerika Serikat itu.


Kedepan, tampaknya kita memang harus duduk satu meja untuk merumuskan dan mengkaji ulang penamaan jalan-jalan di Jakarta. Jangan sampai terjadi jalan yang membingungkan tetap dipertahankan, dan sebaliknya jalan yang punya nilai historis dan legenda menjadi hilang. Amerika besar karena sejarahnya, kitapun ingin besar karena tak melupakan sejarah kita. 

Senin, 15 Januari 2018

Ajaklah Mereka Jalan-jalan!

“Ayah, mengapa kita tak mengajak Nenek”? Itulah salah satu pertanyaan yang dilontarkan anak saya tatkala kami berlibur ke Bali, hanya berempat. Ya, untuk kali ini kami memang tak mengajak Nenek atau Mbah Kung berlibur bersama, karena Bali, sudah terlalu mainstream bagi mereka. Hampir semua tempat di Bali sudah mereka kunjungi. Pertanyaan itu tercetus lantaran hampir setiap liburan keluarga, pasti Nenek (ibu saya) ikut. Kami merasa berlibur tanpa kehadiran Nenek terasa ada yang kurang. Selain Nenek, secara bergantian kami juga mengajak Mbah Kung (bapak dari istri saya). Kadang juga keduanya kami ajak bersama-sama.

Mungkin bagi banyak orang, pergi berlibur dengan mengajak orang tuanya akan menambah pengeluaran dan merepotkan lantaran harus membawa orang (nenek/kakek) yang sudah sepuh dan lanjut usia. Saya katakan, itu tak benar! Pasti akan ada uang dan rezeki untuk membelikan mereka tiket. Dan, memang selalu ada, tak pernah kami kehabisan uang karena ngajak Nenek atau Mbah Kung. Selama berlibur, tak pernah mereka sakit atau bikin repot. Kalaupun capek, mereka biasanya hanya duduk menunggu di bangku taman, melihat cucu-cucunya berenang atau bermain.

Saya katakan ke istri, selagi Nenek atau Mbah Kung mau diajak pergi dan fisiknya kuat, pasti akan saya ajak. Ini merupakan janji dan bentuk bakti serta kecintaan saya pada mereka. Saya sadar, saya tidak dapat kasih apa-apa ke mereka. Kasih uang? Mereka punya. Kasih kejutan saban bulan? Saya bukan tipe pria romantis. Ngajak makan di restoran? Gak selalu menu di restoran sesuai dengan selera mereka yang berlidah kampung. Maka hanya (ngajak) berlibur-lah yang bisa saya banggakan sebagai amal bakti saya pada mereka.

Saya tahu, tak semua istri akan merasa nyaman jalan-jalan dengan mengajak mertuanya, apalagi mertua perempuan. Manusiawi memang. Ada rasa cemburu bagi istri karena kita lebih perhatian ke ibu kita. Namun syukur alhamdulilah istri saya tak demikian adanya. Bahkan, pernah suatu kali kami berlibur tanpa mengajak Nenek atau Mbah Kung, ada rasa yang kurang sempurna. Kurang rame. Justru kehadiran mereka membuat liburan keluarga tambah semarak. Ada yang bisa di’bully’ oleh anak-anak saya. Ya, Nenek dan Mbah Kung-nya, hehe..

Saya katakan kepada istri, selagi saya ada uang, kuat dan sehat, tentu akan selalu saya ajak mereka berlibur, naik pesawat, pergi ke tempat-tempat yang belum pernah mereka injak, sesering mungkin. Mengapa? Saya tahu dimasa mudanya mereka kurang piknik. Jarang jalan-jalan. Mereka terlalu letih untuk bekerja, dan keseringan berpikir bagaimana membiayai kita agar tetap bisa sekolah. Bahkan, untuk jalan-jalan ke Ancol atau Kebun Binatang, Ragunan pun bisa dihitung dengan jari. Kini, jangankan itu, Bali, Puncak, dan Bandung rasanya sudah bosan.

Saya percaya, salah satu obat mujarab untuk selalu tetap sehat dan bugar adalah dengan jalan-jalan. Bagi orang yang sudah sepuh macam Nenek dan Mbah Kung, kebanyakan berdiam di rumah (jarang jalan-jalan) tentu akan membuat mereka gampang stress. Saya meyakini, jalan-jalan bisa menenangkan pikiran, membuat badan dan perasaan (psikis) mereka akan selalu sehat terjaga.

Saya tidak akan menunggu punya uang banyak untuk mengajak Nenek dan Mbah Kung jalan-jalan. Saya bilang ke istri, ketimbang Nenek dan Mbah Kung sakit karena pikiran stress, lebih baik uang itu kita habiskan untuk mengajak mereka menginap di hotel, dimana anak-anak bisa berenang disana. Lebih baik uang itu kita belikan tiket pesawat untuk pergi ke tempat yang jauh dari rumah, yang belum pernah mereka samperin. Melihat suasana dan hal-hal baru di negeri orang, yang tak pernah mereka lihat dan jumpai di kampung atau rumah.

Saya bisikkan ke telinga anak-anak, selagi Nenek dan Mbah Kung masih ada, selama itu pula kita akan jalan-jalan bersama mereka. Ini juga saya tekankan pada istri. Saya bilang ke istri, bahwa saya ingin mencontohkan pada anak-anak bagaimana saya berbuat pada Nenek dan Mbah Kung mereka. Kalau saat ini saya dan istri hanya sanggup mengajak jalan-jalan orang tuanya paling jauh ke Singapura dan Kuala Lumpur, tentu kami berharap kelak anak-anak kami akan mengajak kami jalan-jalan keliling Eropa, Amerika, bahkan Kutub Utara, ke tempat-tempat yang belum pernah kami singgahi, ke negeri yang selama ini hanya terlihat di film-film atau foto-foto di instagram milik selebritis terkenal dunia.

Saya percaya karma atau hukum timbal balik itu nyata dan ada. Bila kita berbuat baik pada orang tua kita, anak-anak kita pun kelak akan berbuat baik, menjadi anak yang sholeh/ah dan memperhatikan kita, ketika kita sudah tua nantinya. Dan, bila kini kita mengajak berlibur orang tua kita, akan tiba masanya, ketika kita tua dan menjadi kakek/nenek, pasti anak-anak kita akan mengajak kita jalan-jalan. Mereka mencontoh dan melihat apa yang kita perbuat pada Nenek dan Mbah Kung-nya.



Minggu, 07 Januari 2018

Imitate the spirit of sharing from Granite City.

Some volunteers I saw were busy loading bottles of milk, meat and vegetables into the walking basket, as I see when shopping at a supermarket, in Jakarta.. There's also that-because he's old, I've been for about sixty years-just sitting and taking down the expenses and receiving the incoming goods. Yes, it seems he is in charge of the bookkeeping department. In the corner I watched a grandmother sitting on a lounger waiting for her name to be called. The atmosphere in the room measuring 4X6 meters was like a queue at the Public Service. A few moments later, the name of the grandmother was called, and the volunteer came up with a basket full of various food needs for the grandmother.

When I turned, there was a 5 pound rice, bread, processed meat/fish like sardines, vegetables, and fruits and some bottles of liquid milk, all in the basket. I'm afraid, the super-complete foods - that's enough for one week ahead. Luckily, I can freely observe the activities in this 'department store' because in the schedule #IVLP today, one of the activities listed in my agenda is as a volunteer. My job is to help them pack and sort things out.

Who are they and why am I labeling a 'department store'? Here's the story. In my trip to the United States, in March 2016, ago. I had the opportunity to visit an area on the edge of the state of Illinois, in Granite City, bordering St. Louis. Here, there is a local social organization called Granite City Community Care Center, Inc. The institute specifically caters to marginalized, social troublemakers, such as the homeless, as well as the poor families around Granite City. No less than 3000 people per month can be served Center or about 100 people per day who regularly came to this 'department store'.

The Center itself is like a department store that provides a variety of necessities of life for the poor in vicinity. And everything is given free or free. A wide variety of food, drink and live furnishings are available and complete. There is a large warehouse that is specially prepared to accommodate diverse necessities of life, ranging from clothing to all ages, from children to the elderly with a variety of modes for all seasons, even toys are available. Center itself has an office together with a warehouse to store various needs of citizens, both clothing and food.

To accommodate thousands of clothing donated by residents, the Center prepared a kind of 'boutique' on the top floor of an area of ​​approximately 200 square meters. The clothes-apparently still worthy of use, may be used only once or even have never been worn at all-, sorted by type, size, and designation. There are summer outfits, there are also clothes for winter. Also, separating clothes, both for children and adults. And of course, men and women's clothing.

Besides, food needs are also provided. The supply of food was obtained in addition to donations from donors in the form of food, as well as donations in the form of money bought in the form of food. To accommodate and store all the food, the Center prepares several refrigerators (refrigerator) or cold storage as the size of a large wardrobe. Various processed ingredients such as meat, fruits, vegetables and milk into the refrigerator.

Those who come to the Center are the poor who live nearby, not even that, some are coming from the next area. I was surprised when I saw those who came mostly driving. However, my rushing companion explained that car ownership is not something fancy in America. Because the car has such a primary needs for most Americans, such as the ownership of motor vehicles for the poor in Jakarta. Here, the rich and poor indicators are not determined by car ownership, but the extent to which they can live independently to make ends meet.

To get help from the Center, they are recorded by volunteers and given a kind of social security card. On the card was recorded the names of family members. Although the impression of "wow" and royalty in giving (charity) is seen in this Center, unfortunately, the value of this policy, whether consciously or not, will make them (spouses of social problems) become spoiled and lulled by the ease of obtaining assistance in the form of goods or food, which is indeed abundant. It seems that the policy came out of the grip that I believe this is better teaching fishing than fishing. However, the Center may have its own consideration. And, it may be that those people who are helped are really citizens who should always be helped like elderly parents who disable to work anymore.


The spirit of sharing is indeed one of the strengths of Americans. They do not hesitate to help someone who really needs help. This spirit seems to be fading and difficult to implement in Jakarta. Either, perhaps because the level of care of the citizens of the city is less or it could be no one who can move and to organize the potential that exists in the community. And the model of social institution such 'department store' like Granite City Community Care Center, inc this when applied in our environment will be super power magnitude. Hopefully!

Kamis, 04 Januari 2018

Kunjungan Pihak Kedubes USA ke Kantor

Saat itu selepas Sholat Jumat. Maret, sekira awal-awal bulan. Waktu itu kami (saya dan Pak Jum, selaku Kabid PP dan PA) sedang padat-padatnya kegiatan dan kerjaan. Ya, meski masih awal tahun anggaran, dalam arti, belum ada kegiatan yang bisa dilaksanakan, tidak lantas hari kami kosong tanpa kerjaan. Justru di bulan Februari dan Maret 2015 itu, kami disibukkan dengan proyek pengerjaan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak, (RPTRA) yang menjadi ‘anak emas’ atau program unggulannya Bu Vero, selaku Ketua TP PKK Prov. DKI Jakarta. Hampir tiap hari, saya dan Pak Jum (tentu Bu tantri, --selaku Kasubid LPA juga--, namun beliau lebih banyak di kantor dan mengurusi kerjaan lain, seperti kasus Pupellla dsb) pontang panting menginisiasi proyek tersebut lantaran ini adalah pilot project untuk pembangunan ratusan RPTRA berikutnya. Harap maklum, kami hanya berdua saat itu lantaran Ewi, partner saya, sedang cuti melahirkan. Jadilah tiap hari, kami, berpindah tempat dari satu palagan ke palagan lainnya –berkoordinasi-- hanya untuk menyiapkan RPTRA ini.
                     
Seperti biasa, sehabis sholat Jum’at ditegakkan, saya makan siang. Namun, kali ini Pak Jum ikut serta. Jadilah kami makan bersama di Soto Mas Hari, Cempaka Putih. Nah, ditengah-tengah santap makan itu, Bu Evi mengabarkan bahwa orang dari Kedutaan Amerika sudah datang di Kantor. Oh ya, sebelumnya memang saya sudah denger selentingan kabar bahwa akan ada pihak dari Kedubes USA yang mau datang ke kantor untuk membicarakan masalah kerjasama atau apalah namanya dengan Bidang PP. Jujur, saya tidak terlalu antusias dan berprasangka macam-macam dengan kehadiran mereka. Alih-alih merasa senang atau sudah ada gambaran akan ada good news dari kehadiran mereka, yang ada dibenak saya –saat itu-- mungkin pertemuan biasa saja. Walhasil, selepas makan, bergegas lah kami ke kantor menemui mereka.

Merasa ini adalah pertemuan tingkat pejabat, maka saya pun tidak terlalu aktif atau sengaja melibatkan diri. Biarkan saja Pak Jum beserta para Kasubid menemui mereka. Namun tatkala saya bersiap membuka file di komputer, seraya berdiri dari ruangannya yang memang terlihat dari posisi duduk saya, Pak Jum memanggil saya. “Mas Rachmat, tolong kemari.” Saya tahu maksud panggilannya. Tentu saya diminta untuk menerjemahkan maksud dan kehendak para pihak (Pak Jum Cs, serta Kedubes USA) dalam berkomunikasi. Ya, meski pihak Kedubes Amerika menyertakan Bu Kus Wahyuni sebagai penerjemah dari Ms. Stephanie M Stallings, namun tampaknya Pak Jum mempercayakan saya untuk mendampinginya. Meski bahasa Inggris saya tidak bagus-bagus amat, namun saya yakin bahasa Inggris saya tentu bisa mengimbangi eksen amerika-nya Ms Stephanie, hehe.. 

Di ruang Pak Jum, selain para Kasubid yang hadir tampak pula 2 (dua) orang wanita. Satu orang kita (Indonesia), dan yang lainnya bule cantik. Mereka memperkenalkan diri. Kami pun balas memperkenalkan diri. Lalu, tanpa basa-basi saya tanya maksud kedatangan mereka. Dengan sigap, Ms Stephanie selaku Political Officer Kedubes Amerika di Jakarta menjelaskan apa itu International Visitor Leadership Program (IVLP). Inti pembicaraan yang saya tangkap adalah pihak Kedubes USA akan mengundang atau meminta 1 (satu) nama dari Bidang PP dan PA untuk berkunjung ke USA mengikuti program dimaksud. “Wah program apa lagi tu,” batinku. Selepas penjelasan, terjadi dialog. Ya semacam tanya jawab mengenai program dan semacamnya. Namun saya enggan menelisik lebih jauh tentang apa itu IVLP, takut semakin mupeng. Jujur, mendengar penjelasan dari Ms. Stephanie M Stalling, hatiku berdetak kencang. Widihh ke Amerika.. Gratis, selama 3 minggu. Ckck.. Namun saya sadar, siapa lah saya yang hanya staf biasa di kantor. Kalaupun saya ada kelebihan dan potensi ketimbang staf lainnya tapi itu pun masih jauh untuk membayangkan bahwa saya lah yang nantinya ditunjuk pergi ke Amerika mengikuti seleksi program IVLP tersebut.

Pertemuan yang singkat itu pun usai. Saat escort (mengantar) mereka kembali ke parkiran mobil, tak lupa Ms. Stephanie dan Bu Kus Wahyuni mengingatkan sekali lagi bahwa mereka sangat berharap --dengan segera-- agar Bidang PP dan PA dapat menunjuk 1 (satu) nama tersebut. ASAP! Mereka memberikan waktu seminggu. Namun, yang namanya birokrasi tetaplah ribet dan terlalu prosedural. Nampaknya pihak Kedubes USA belum terlalu familiar dengan jalur dan jenjang birokrasi yang harus kami lalui. Tidak semudah itu menentukan dan menunjuk satu nama untuk diikutkan dalam seleksi IVLP 2016. Dan itu mungkin yang terlintas di pikiran Pak Jum. Tidak mudah menentukan siapa yang layak ke Amerika. Menunjuk si A tentu harus ada dasarnya, tidak asal tunjuk saja. Sadar akan itu, segera atas inisiatif pribadi dan arahan pak Jum, saya menulis nota dinas ke Bu Dien, selaku Kepala BPMPKB. Ya, semacam laporan agar beliau memberikan disposisi dan arahan.

Sesudah pertemuan terlihat masing-masing Kasubid mulai saling ‘ledek-ledekan’.
Wah enak neh kalo kita bisa ke Amerika,” sahut A.
Pak Jum, saya saja ya yang ke Amerika-nya, sekalian ngecengin bule sana,” canda Si B.
Aduh saya juga mau.. saya aja ya,” teriak yang lain.
Pak Jum tentu berada dalam posisi dilematis. Meng-iya-kan Kasubid yang ini tentu akan menyakiti Kasubid yang itu. Mendisposisikan ke Subid A tentu gak enak dengan Subid B.

Dari penjelasan Ms Stephanie tergambar bahwa program IVLP untuk tahun 2016 ini akan mengambil tema “Sistem Peradilan Anak.” Nah, mengacu pada tema tersebut tampaknya Subid saya lah yang punya chance besar untuk ditunjuk. Saya sendiri, tentu saja berharap-harap cemas. Ya, selain Pak Jum tentunya, masih ada Bu Tantri yang menjadi atasan saya yang mempunyai peluang terbesar untuk diikutkan dalam seleksi IVLP 2016 ini. Saya berusaha realistis dengan menyodorkan pilihan agar Pak Jum saja yang ke Amerika, saya akan menjadi cadangannya, mengingat persyaratan usia yang harus di bawah 45 tahun, sedangkan Pak Jum sudah kepala 5. Pertimbangannya, bila Pak Jum gagal diproses seleksi administrasi, maka saya berpeluang menggantikannya. Namun Pak Jum tidak bereaksi atas usulanku. Tampaknya beliau menunggu arahan dan disposisi dari Bu Dien.

Beberapa hari kemudian keluarlah disposisi dari Bu Dien. Ia menyambut baik tawaran tersebut. Namun celakanya ia tidak serta merta mengarahkan agar bidang PP menunjuk satu nama, melainkan meminta agar pihak Kedubes USA bersurat ke Gubernur DKI Jakartta. Beliau berpandangan bahwa kerjasama ini (pengiriman utusan IVLP) sudah menyangkut G to G. Jadi, bukan level-nya Kaban untuk menindaklanjutinya.
Wahh.. bakalan lama dan ribet lagi neh urusan. Padahal pihak sana (Kedubes) hanya meminta Bidang PP&PA untuk mengirim 1 (satu) saja nama untuk ikutan seleksi. Ya, cuma mengirim nama dan di-email ke mereka. It’s so simple. Kenapa harus melibatkan Gubernur..? batinku.

Tanpa membuang waktu, langsung saja saya ber-sms dengan Bu Kus, mengabarkan bahwa pihak Pemprov DKI Jakarta membutuhkan surat dari Kedubes USA sebagai dasar dan legal standing menentukan atau menominasikan 1 (satu) nama untuk diikutkan dalam seleksi program tersebut. Beruntung, Bu Kus mau menerima penjelasan saya. Sejurus kemudian surat itu sampai ke kantor melalui fax. Segera saya menindaklanjutinya dengan mengirimnya langsung ke ajudan Gubernur, tanpa melalui ‘calo’ atau perantara.

Akhirnya setelah menunggu kurang lebih semingu, keluar lah disposisi dari Gubernur. Nah, disinilah perasaan galau dan deg-degan terjadi. Ya, sejak awal saya yang mengawal proses ini, --menghubungi para ajudan dan sekretariat Gubernur hingga Sekda-- namun hingga saat ini belum ada kepastian siapa yang akan ditunjuk sebagai nominasi mengikuti seleksi program IVLP 2016 ke USA. Meski secara tidak resmi saya sudah ber-email (atas arahan Pak Jum) ke Ms Stephanie, me-info-kan bahwa nama saya yang dinominasikan untuk mengikuti program tersebut, namun dalam email itu jelas saya memberi note bahwa nama saya masih tentative, dalam arti masih bersifat sementara, sembari menunggu arahan dan disposisi dari Gubernur.


Ada yang bilang kalau rezeki takkan kemana. Syukur Alhamdulillah disposisi itu turun berjenjang, dari Gubernur ke Kekda lalu ke Kepala BPMPKB, kemudian ke Kabid PP & PA. Akhirnya, Pak Jum secara resmi menominasikan saya untuk mengikuti seleksi program tersebut. Segera, dengan hati berbunga, saya buat surat dari BPMPKB Prov. DKI Jakarta, --officially-- yang menginformasikan bahwa saya lah yang dinominasikan untuk mengikuti proses seleksi IVLP 2016, ke email Ms. Stephanie. Alhamdulillah, satu tahapan langkah menuju ke Amerika telah dilalui.

Pesta dan Bahagia dari Kegagalan.

Akibat mengikuti proses lelang jabatan di BPTSP awal tahun 2015 lalu --maka karena system itu-- aku harus hengkang dari BPMPKB yang telah menempaku lebih kurang selama 5 tahun ini. Sejak awal Mei 2015 aku sudah tidak berkantor di Ahmad Yani, By Pass. Banyak kenangan dan romantika yang kuperoleh selama ini. Suka serta duka. Kejenuhan dan kedinamisan. Semuanya hadir silih berganti.

Jujur, rada kaget juga saat tahu bahwa listing gajiku per Mei 2015 sudah tidak tercantum lagi di BPMPKB. Ini berarti, secara de jure aku bukanlah pegawai BPMPKB. Kemana gerangan nyangkutnya? Walhasil, aku harus cari tahu dan menyelidiki ada dimana daftar gajiku itu. Beruntung seorang kawan memberikan clue. “Mat, mungkin gaji loe nyangkut di BPTSP, kan loe pernah daftar ikutan lelang di BPTSP.”
“Oh iya, mungkin juga ya,” batinku.

Akhirnya, selepas upacara hari Kebangkitan Nasional di IRTI Monas, bersama Pak Jum aku meluncur ke gedung BPTSP mencari tahu akar masalah dan sebab musabab status kepegawaianku. Nah, ternyata dugaan temanku benar adanya. Listing gajiku sudah ada di BPTSP. Menurut cerita dari Staf kepegawaian BPTSP, bahwa mereka telah berulangkali coba mengontakku, namun hasilnya selalu nihil. Bahkan pihak kepegawaian BPTSP telah menghubungiku sejak pertengahan awal Maret, namun sayangnya nomor HP yang mereka peroleh salah. Terjadi kekeliruan dan keterbalikan angka.

Jujur, saat mengikuti proses lelang jabatan, dan gagal, ada perasaan sedih dan kecewa. Kenapa aku bisa gagal? Padahal, aku telah mengidam-idamkan posisi dan jabatan itu. Terbayang saat hadir di acara pelantikan pejabat teman dan bersua dengan rekan-rekan yang lulus dan terlantik hari itu. Ada perasaan sedih. Mereka dilantik, kenapa aku gagal?  Bahkan rekan se-kantorku pun banyak yang ikut terlantik. Hanya aku seorang yang tidak terlantik. Sedih rasanya kalau mengingat itu. Bagimanapun juga kegagalan adalah hal yang pahit. Kegagalan bukan untuk di rayakan.

Namun, jalan takdir dan suratan nasib telah ditentukan. Bisa saja aku lulus dan dilantik, tapi apakah itu nantinya membuatku bahagia? Bisa saja aku peroleh nilai yang baik dalam proses seleksi, namun apakah itu membuatku nyaman dengan posisi dan jabatan yang aku peroleh? Allah SWT telah menggariskan-ku gagal, dan mencukupkan-ku hanya sebagai staf.

Kalau aku set back, aku bersyukur ditakdirkan gagal. Ada beberapa kejadian yang membuat aku mensyukuri kegagalan dan ketidakberhasilan-ku. Lho kenapa kegagalan layak disyukuri dan dirayakan? Ini hikmahnya. Andaikata aku lulus dan dilantik, maka akan terjadi:

Pertama; Aku menyesal dengan posisi dan jabatanku saat ini. Kedua; Aku terbebani dengan jabatan-ku dan tidak enjoy dengan semua itu.
Banyak teman bercerita dan berkeluh kesah kepadaku lantaran mereka tidak nyaman dan tidak enjoy dengan posisi sebagai pejabat saat ini.
“Enakan loe, mas, jadi staff. Nyesel gw ikutan lelang dan jadi pejabat,” kata si A, temenku.
“Masih enakan di kantor lama, disini gak bisa kemana-mana” kata si B, juga temanku.
“Ah, banyakan nombokin, gw, uang pribadi banyak kepake, enakan loe, mas jadi staf, nyantai gak ada beban,” sungut si C, masih temanku.
Pada intinya, semua teman yang aku kenal, menyesal ikut lelang jabatan dan jadi pejabat.

Meski aku gagal dalam lelang jabatan di BPTSP --lantaran kuota yang terbatas-- namun bila saja aku peroleh nilai lumayan baik, niscaya aku akan menjadi pejabat di tempat lain (ikut pelantikan berikutnya) tentu aku telah hengkang dari BPMPKB sekitar bulan Februari. Artinya semenjak Februari aku mungkin menjadi pejabat di kelurahan atau di sekolah. Dan, aku akan bergelut dengan suasana dan budaya kerja baru, yang berbeda dari tempatku kerja selama ini.

Mungkin ini yang orang sebut, bila rezeki, gak kan kemana. Saat aku gagal ikutan lelang, seharusnya, --sebagai konsekwensinya-- aku harus pindah ke BPTSP sebagai staf. Nah, dengan sistem itu, santer terdengar bahwa aku akan dipindahkan ke BPTSP. Tapi kapan? Bulan besok, 3 bulan lagi atau bahkan tidak sama sekali. Gosip berseliweran. Banyak pula ‘ledekan’ yang terdengar, “eh kapan pindah ke BPTSP?” Kata temanku. Aku pun tidak tahu persis kapan bisa segera pindah ke BPTSP. Aku hanya pasif menunggu telpon dari mereka. Dan, dilalahnya, staf kepegawaian di BPTSP gagal menghubungiku lantaran nomor yang mereka peroleh dari BKD, salah.

Mujur tampaknya. Dengan gagalnya mereka menghubungiku, akibatnya aku masih tertahan di BPMPKB hingga akhir April. Sepanjang masa itulah terjadi berbagai peristiwa, kegiatan, dan pekerjaan yang bisa mengubah segalanya. 2 (dua) bulan ‘bonus’ di BPMPKB membuatku berkesempatan jumpa dengan pihak Kedubes USA. Mungkin akan lain cerita bila mereka –staf BPTSP-- berhasil menghubungiku di bulan Maret itu, kesempatan ke USA akan terbang. (kisahnya dirubrik terpisah).


Beranjak dari kejadian itu, banyak hikmah yang aku petik. Ternyata berbaik sangka dengan Allah SWT itu suatu keniscayaan. “Ana ‘inda dzonni abdi, Aku menurut persangkaan hambaku,” begitu yang kerap kudengar dari ustazdku saat mengurai hikmah berbaik sangka dengan Rabb. Ada hikmah yang terkandung di balik suatu peristiwa. Aku selalu berpikir positif atas kegagalanku. Mungkin memang jalanku harus seperti ini dan tetap menjadi staf. Kembali ter-ngiang di telinga saat Ustazku mengutip firman Allah SWT, yakni, boleh jadi sesuatu yang kamu nilai baik, ternyata jelek di mata Tuhan. Dan sesuatu yang kamu nilai jelek, bisa jadi, ternyata baik di mata Tuhan.