Rabu, 27 April 2016

Mencontoh Semangat Berbagi Dari Granite City.

Beberapa tenaga volunteer kulihat sedang sibuk memasukkan beberapa botol susu, daging dan sayuran kedalam keranjang berjalan, persis seperti yang biasa kulihat bila berbelanja di supermarket, di Jakarta. Adapula yang –karena usianya sudah tua, kutaksir sekitar 60-an tahun- hanya duduk dan mencatat pengeluaran dan menerima barang yang masuk. Ya, tampaknya ia bertugas di bagian pembukuan. Di pojok kuamati seorang nenek yang duduk di kursi panjang, menunggu namanya dipanggil. Suasana di ruang berukuran 4X6 meter itu tak ubahnya antrian di Puskesmas. Tak berapa lama nama nenek itu dipanggil, dan muncullah volunteer tadi dengan sekeranjang penuh berisi aneka kebutuhan pangan untuk si nenek.

Sepintas kulirik ada beras ukuran 5 kilo, roti yang panjang dan bulat, olahan daging/ikan sepertinya sejenis sarden, sayuran, dan buah-buahan serta beberapa botol susu cair, semuanya masuk dalam keranjang. Kutaksir, aneka makanan -yang super lengkap- itu cukup untuk satu minggu kedepan. Beruntung, aku bisa leluasa mengamati aktivitas dalam ‘toserba’ ini lantaran dalam jadwal #IVLP hari itu, salah satu kegiatan yang di arahkan padaku adalah sebagai tenaga volunteer. Tugasku membantu mereka mengepak dan memilah-milah barang yang ada.

Siapakah mereka dan kenapa ku-labelkan ‘toserba’? Ini ceritanya. Dalam lawatanku ke Amerika Serikat pada Maret 2016 silam. Aku berkesempatan mengunjungi suatu kawasan di pinggiran Illinois, di Granite City yang berbatasan dengan kota St. Louis. Disini, ada satu lembaga sosial lokal yang bernama Granite City Community Care Center, Inc. Lembaga ini secara khusus melayani para kaum marginal, para penyandang masalah sosial, seperti para homeless, juga keluarga tidak mampu yang ada di sekitar Granite City. Tak kurang sekitar 3000-an orang per bulannya mampu dilayani Center atau sekitar 100 orang per-hari yang secara rutin setor muka ke ‘toserba’ ini.

Center itu sendiri tak ubahnya semacam Toko Serba Ada atau Toserba yang menyediakan beragam kebutuhan hidup bagi warga yang tak mampu di sekitarnya. Dan semuanya diberikan secara free alias gratis. Beragam jenis makanan, minuman dan perabotan hidup tersedia dengan lengkap dan banyak. Ada tempat semacam gudang besar yang secara khusus disiapkan untuk menampung beragam kebutuhan hidup, mulai dari pakaian untuk segala usia, dari anak-anak hingga untuk manula dengan beragam mode untuk segala musim, bahkan sampai mainan anak-anak pun tersedia. Center sendiri berkantor menyatu dengan gudang tempat menyimpan aneka kebutuhan warga, baik sandang maupun pangan.

Untuk menampung ribuan pakaian hasil sumbangan para warga, maka Center menyiapkan semacam ‘butik’ di lantai atas seluas kira-kira 200 meter persegi. Pakaian-pakaian itu -yang terlihat masih sangat layak pakai, mungkin hanya dipakai sekali saja atau bahkan ada yang belum pernah dipakai sama sekali-, dipilah-pilah berdasarkan jenis, ukuran, dan peruntukannya. Ada pakaian summer, ada pula pakaian untuk musim panas. Juga dipisahkan pakaian untuk anak-anak, dewasa, dan tentu saja pakaian pria dan wanita.

Disamping itu kebutuhan pangan pun disediakan. Pasokan makanan itu diperoleh selain dari sumbangan para donator berupa makanan, juga sumbangan berupa uang yang dibelikan dalam bentuk makanan. Untuk menampung dan menyimpan semua makanan itu, Center menyiapkan beberapa lemari es (kulkas) atau cold storage se-ukuran lemari pakaian yang besar-besar. Beragam bahan olahan darti mulai daging, buahan, sayuran dan susu masuk ke dalam lemari pendingin.

Mereka yang datang ke Center adalah para warga miskin yang tingggal disekitarnya, bahkan tidak hanya itu, ada pula yang datang dari kawasan sebelah. Aku sempat kaget saat melihat mereka yang datang kebanyakan bermobil. Namun, buru-buru pendampingku menerangkan bahwa kepemilikan mobil bukanlah sesuatu yang mewah di Amerika. Pasalnya, mobil sudah semacam kebutuhan primer bagi kebanyakan penduduk Amerika, seperti kepemilikan kendaraan bermotor bagi para warga miskin di Jakarta. Motor itu biasanya digunakan untuk mengojek dan mencari nafkah. Dan mobil-mobil yang kulihat hanya sekelas sedan seken seharga 20 jutaan rupiah.. Di sini, ukuran kaya dan miskin bukan ditentukan dari kepemilikan mobil, namun sejauh mana mereka dapat hidup secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Untuk memeperoleh bantuan dari Center, mereka didata oleh para volunteer dan diberikan semacam kartu jaminan sosial. Pada kartu itu tercatat nama-nama anggota keluarga. Meski kesan “wah” dan royal dalam memberi (charity) terlihat di Center ini, Namun sayangnya, kunilai kebijakan ini, -sadar atau tidak- akan membuat mereka (para penyandang masalah sosial) menjadi manja dan terlena karena adanya kemudahan dalam memperoleh bantuan berupa barang atau makanan, yang memang melimpah. Tampaknya kebijakan tersebut keluar dari pakem yang selama ini kuyakini bahwa lebih baik mengajari memancing ketimbang memberinya ikan. Namun boleh jadi Center mempunyai pertimbangan tersendiri. Dan, bisa jadi memang, orang-orang yang dibantu itu adalah benar-benar warga yang harus selalu dibantu seperti para orang tua jompo yang tak sanggup lagi untuk bekerja.

Semangat berbagi ini memang salah satu kekuatan warga Amerika. Mereka tak segan-segan membantu seseorang yang memang membutuhkan pertolongan. Semangat ini yang tampaknya mulai pudar dan sulit diterapkan di Jakarta. Entah, mungkin karena tingkat kepedulian warga kota yang kurang atau bisa jadi tidak ada seseorang yang bisa menggerakkan dan meng-organize potensi yang ada dalam masyarakat. Dan model lembaga sosial ala ‘toserba’ seperti Granite City Community Care Center, inc ini bila diterapkan dalam lingkungan kita akan luar biasa magnitude-nya. Semoga.

Senin, 25 April 2016

St. Louis, Darinya Gerbang Masa Depan ke Barat Bermula.

Sungainya tidak lebar. Kutaksir hanya selebar Sungai Brantas yang membelah Kertosono dan Jombang, di Jawa Timur. Kuamati aliran airnya tenang, namun kurasa cukup dalam dan menghanyutkan. Tampak kapal tongkang pengangkut batubara melintas dari hulu menuju hilirnya. Ya, sama seperti Sungai Mahakam di Kalimantan Timur, Sungai Mississippi tampaknya menjadi alur pelayaran untuk beragam kebutuhan, utamanya mengangkut sumber daya mineral. Dan, Kota St. Louis berada persis di sisi Sungai Mississippi.

Dulunya kota ini bernama Lousiana. Oleh Presiden Amerika, Thomas Jefferson, kota ini dibeli dari Perancis di tahun 1803. Jefferson mempunyai obsesi ingin memperluas wilayah Amerika jauh hingga ke barat. Maklum, saat itu kawasan di timur dirasa cukup padat, hingga dirasa perlu membuka dan mengembangkan kawasan barat yang masih luas. Lantaran posisinya bersisian dengan Sungai Mississippi, maka kota ini tumbuh berkembang sebagai kota niaga dan industry. Nyebrang ke arah timur, kita akan masuk wilayah negara bagian Illinois. St. Louis sendiri masuk ke dalam negara bagian Missouri.

Kota ini menurutku tak terlalu gemerlap. Lalu lintasnya tak seramai kota-kota di pesisir pantai timur Amerika. Maklum St. Louis berada di tengah-tengah America Serikat. Ia tidak mempunyai garis pantai. Kemana-mana jauh tentunya. Banyak yang menyangka St. Louis adalah ibukota-nya Missouri, namun itu keliru. Missouri ber-ibukota di Jefferson City. Sering kulihat beberapa pengendara motor besar hilir mudik melintasi jalan-jalan utama St. Louis. Pemandangan yang tak kujumpai di kota Philly maupun di DC. Mungkin mereka berkendara antar negara bagian. Bisa jadi mereka sedang touring. Oh ya, kota ini juga rawan serangan badai tornado. Dibandara sempat kulihat bunker tempat perlindungan dari badai.

Yang menarik dari St. Louis adalah The Gateway Arch. Menara melengkung ini adalah icon dari kota berpenduduk 318 ribu jiwa. Saat kunjunganku pada pertengahan Maret 2016 silam tampak kesibukan para pekerja menyelesaikan pembangunan taman di sekitar St. Louis Gateway Arch. Sayang, aku datang di waktu yang tak tepat, sehingga tak berhasil melihat pemandangan kota St. Louis dari puncak Arch Gateway. Namun dari beberapa sumber yang kuperoleh, untuk naik ke puncak Arch setinggi 192 meter ini memerlukan waktu sekitar 4 menitan.

The Gateway Arch sendiri dibangun untuk mengenang visi Jefferson sebagai penanda dan peringatan akan ekspansi dan perluasan wilayah Amerika ke arah barat. The Arch juga bisa dimaknai sebagai perlambang gerbang masa depan menuju ke (kawasan) barat. Sebelumnya memang pembangunan Amerika banyak terpusat di kota-kota di pesisir Timur (east coast).

Bila kebanyakan menara bentuknya berupa tiang tinggi menjulang lurus ke atas, oleh sang arsitek pemenang sayembara, Eero Saarinen, menara ini dirancang dengan bentuk menjulang lalu melengkung persis seperti gerbang. Ya temanya memang gerbang masa depan. Sayang sang arsitek tidak sempat melihat hasil rancangannya terwujud. Ia keburu meninggal di tahun 1951. Akhirnya, baru di tahun 1963 The Arch dapat dibangun dan rampung di tahun 1967.

Menara ini memang unik bentuknya. The Arch sangat sederhana tanpa embel-embel hiasan atau relief di dinding-dindingnya. Ia adalah menara melengkung terbesar di dunia terbalut dari stainless steel. Gateway Arch berada membelakangi sungai Mississippi di sisi timur dan melambangkan harapan atau menghadap ke arah barat, ke kota St. Louis. Persis berada lurus di depannya sebuah gedung megah beratap hijau. Gedung itu adalah Old Courthouse sebuah gedung pengadilan dengan patung artistic di depan bangunannya.

Selama di kota The Lou ini, aku menginap di Hotel Drury Plaza yang hanya berjarak selemparan batu saja dari Old Courthouse dan The Arch. Beruntung aku mendapatkan posisi kamar yang menghadap ke timur. Dari kamar hotel, setiap paginya aku dapat menikmati sunrise yang memantulkan sinar kemerahan dari sungai Mississippi. Paduan ini sangat indah dengan siluet dari the Arch. Saban sore pula tampak kulihat kapal-kapal niaga berlayar hilir mudik membelah sungai sepanjang 3730 Km ini.


Sayang, aku hanya menetap selama 4 (empat) hari di kota berjuluk Gateway to the West ini. Belum banyak sisi kota seluas 160 Km2 yang kutelusuri. Bahkan kota ini terlampau luas untuk kususuri dengan hanya berjalan kaki. Jarak antar blok sangat luas, tidak sependek DC ataupun Philadelphia, yang memang friendly untuk dinikmati dengan berjalan kaki. Memang tak berlebihan bila St. Louis adalah kota yang luas dengan jalan-jalan yang luas pula. Ia adalah perlambang keluasan, jalan ke arah barat, jalan dimana tanah harapan masih terbentang luas.

Rabu, 20 April 2016

Ruang Publik Terbuka di Amerika, Sejumput Keindahan Untuk Semua Orang

Di Jakarta, saat kita berkendara dari arah Thamrin menuju Senayan, terlihat berdiri kokoh menghormat, patung Jenderal Sudirman. Begitu pun bila kita berada di bundaran Medan Merdeka, akan tempak patung MH Thamrin, tokoh Betawi legendaries. Sayangnya patung kedua tokoh bangsa itu berada di tepi jalan raya yang ramai, bukan di taman yang luas dan nyaman. Meskipun ada, seperti patung berkuda Pangeran Diponegoro, patung RA Kartini, dan patung dada MH Thamrin, di taman monas, namun tak banyak taman-taman kota dengan patung pahlawan di dalamnya.

Aku ingin berbagi cerita tentang taman dan patung saat lawatanku ke kota-kota besar dan kecil di penjuru Amerika Serikat, memenuhi undangan pemerintah Amerika dalam program pertukaran International Visitor Leadership Program (IVLP) selama tempo 3 (tiga) pekan di Maret 2016 silam. Ada hal menarik yang kulihat saat berkunjung ke kota Washington DC; Philadelphia; St. Louis; Helena; dan Salt Lake City. Semua kota dan tempat yang kukunjungi sangat teratur, indah, bersih, dan nyaman. Keindahan kota-kota di Amerika Serikat direfleksikan dengan kehadiran taman-taman dan ruang publik yang nyaman, bersih, dan bernilai estetik. Dan, yang membuatku excited adalah hampir seluruh taman dan ruang terbuka publik dihiasi dengan patung-patung monument, dan instalasi seni bernilai tinggi.

Taman-taman kota itu luas dengan bangku-bangku taman yang bertebaran di sudut-sudutnya. Kulihat banyak warga memanfaatkan taman itu untuk bermain, memadu kasih dengan pacar, atau sekadar untuk duduk melepas lelah. Maklum saja, di Amerika, kita akan dibiasakan berjalan kaki –lantaran tidak ada budaya bersepeda atau ngangkot- untuk menuju ke suatu tempat yang hanya dipisahkan oleh beberapa blok saja.  


Menariknya, keberadaan taman kota tidak hanya digunakan untuk sekadar menikmati taman dan keindahan kota, Bahkan –ironisnya- taman itu juga dimanfaatkan untuk mengemis dan ‘tempat tinggal’ para homeless yang mencari kehangatan mentari di awal musim semi, seperti tampak di banyak taman-taman di DC. Begitulah adanya taman-taman di Amerika, dimana fungsi keindahan taman bisa dinikmati oleh siapa pun tanpa memandang status sosialnya. Siapapun berhak memanfaatkannya, bahkan ‘petugas trantib’ pun tak berani mengusir para homeless itu untuk keluar dari taman. Taman adalah wilayah publik, setiap orang berhak memanfaatkannya, dan, Amerika sangat menjunjung tinggi kebebasan dan hak-hak individu.

Taman-taman kota dengan patung-patung yang menghiasinya adalah sejumput dari keindahan kota yang selalu dihadirkan di setiap taman yang ada. Patung itu bisa berwujud para pahlawan atau presiden Amerika Serikat terdahulu, bisa pula berupa instalasi seni atau patung hewan khas suatu kawasan atau wilayah. Tampaknya seni dan budaya mendapat perhatian dan tempat tersendiri di Amerika.

Dari 5 (lima) kota yang kukunjungi, DC paling banyak dijumpai patung para pahlawan pendiri Amerika. Tak heran, mengingat DC adalah ibu kota dan etalase Amerika. Pemerintah pusat (Federal) sangat memberikan perhatian yang lebih kepada para pendiri bangsa. Jasa mereka sangat di apresiasi. Tercatat ada beberapa yang dibuatkan monumen secara khusus, seperti (tugu peringatan) Abraham Lincoln Memorial yang sedang duduk menghadap Monumen Washington. Ada pula tugu peringatan dari Thomas Jefferson yang berada dekat Tidal Basin. Yang juga menarik adalah, selain kedua tokoh tersebut, kebanyakan patung para tokoh yang ada di taman-taman kota di Amerika itu sedang menunggang kuda. Boleh jadi kuda melambangkan patriotosme dalam berperang, sehingga dibuat patung-patungnya.

Lain lagi di Philadelphia. Sebagai kota dengan jumlah lahan hijau yang terbatas, Philly, memanfaatkan seoptimal mungkin ruang terbuka yang ada untuk taman-taman kota dan ruang publik hijau. Taman-taman kota itu dihiasi dengan patung-patung dan seni instalasi yang bernilai artistik karya seniman terkemuka. Pemerintah kota Philly mempunyai kebijakan bahwa setiap pengembang atau pengusaha yang hendak membangun gedung, harus mengalokasikan dana sekitar 5% dari total biaya pembangunan untuk membangun karya seni bagi keindahan kota. Kebijakan ini tentu disambut positif, dan diterapkan oleh seluruh komunitas yang peduli dengan pembangunan di Philly.


Berkaca dari taman-taman kota di Amerika, tampaknya kebijakan dalam penataan taman-taman dan ruang publik terbuka di Indonesia perlu di re-orientasi, agar taman tidak sekadar taman dengan hamparan pohon, tumbuhan, dan tanaman hias semata, namun bagaimana meng-create taman yang bersih, nyaman, dan mempunyai jiwa atau isi. ‘Isi’ itu bisa direfleksikan dengan kehadiran karya seni baik berupa patung, monument, maupun instalasi seni yang mencerminkan semangat warga negara dalam menghargai seni dan (juga) menghormati jasa para pahlawannya. 

Senin, 18 April 2016

Philly, Kota Seribu Mural

Sebelum bertolak ke Phili, belum ada gambaran dalam benakku, macam apakah kota yang aku singgahi untuk 5 (lima) hari kedepan. Namun sebelumnya, saat pembekalan program IVLP di Jakarta, aku sudah diberikan gambaran bila kota-kota yang berada di pantai timur Amerika atau east coast kebanyakan dihuni oleh kulit berwarna dalam arti banyak pendatang dan imigran yang tinggal dan bekerja di sana. Ditambahkan juga bahwa Phili pernah menajdi ibukota dari USA sebelum dipindah ke DC. Ya, hanya itu gambaran sekilas yang diberikan, tak lebih.

Hari sudah lepas siang, namun hawa dingin masih terasa, di awal sepuluh hari pertama, di bulan Maret 2016. Selepas mengunjungi Capitol Hill, di Washington DC, kami langsung dibawa oleh sopir menuju ke jalan Interstate 95 atau jalan lintas negara bagian ke arah Phili, nama slank dari Kota Philadelphia di negara bagian Pennsylvania. Aku ingin menggambarkan, bila DC adalah Jakarta, maka selepas Jalan Gatot Subroto, kami masuk tol dalam kota menuju tol Cikampek lalu berbelok ke Tol Cipularang menuju ke arah Bandung. Ya, DC dan Phili hanya berjarak sekitar 200-an kilometer. Meski kami berangkat sebelum jam pulang kerja, namun kepadatan kendaraan ke arah ‘luar’ kota DC cukup ramai. Sama seperti di tol Cikampek, beberapa kali mobil kami tersendat, saat tiba di junction menuju kota lain, namun itu tak lama, sopir hanya perlu mengerem sejenak untuk kemudian menginjak pedal gas bertanda jalan kembali lancar.

Perjalanan itu kami tempuh sekitar 3 (tiga) jam-an, dengan sebelumnya sempat mampir makan siang –yang agak telat- di rest area, pinggiran Maryland. Kami tiba saat sore di batas akhir senja. Aku tinggal di hotel yang hanya sejarak satu batang hisapan rokok dari pusat belanja dan kuliner. Hotelnya Club Quarters Philadelphia 1628 Chestnut Street Philadelphia, Pennsylvania. Dari hotel hanya berjalan sekitar 15 menit ke Reading Market Terminal, ke ‘Alun-Alun’ Kota atau ke tempat ‘persemayaman’ Liberty Bell. Untuk cari makan pun, hanya berjarak selemparan batu saja.
  
Aku ingin berbagi cerita dengan kota yang diapit oleh sungai Delaware dan Schuylkill ini. Saat berkendara melintasi kawasan dan jalan-jalan yang ada di kota berpopulasi 1,6 juta ini ada satu pemandangan yang cukup unik yang kujumpai. Di setiap tembok –entah tembok besar atau kecil- selalu tergambar lukisan dan karya seni bernilai tinggi. Lukisan itu beragam bentuk dan coraknya. Ada lukisan gedung-gedung kota, ada pula lukisan yang menggambarkan keceriaan anak-anak. Philly bisa disebut kota dengan sejuta mural. Hampir disetiap sudut kota dimana tembok berdiri, tak lepas dari sentuhan seni mural. Mural itu kebanyakan bertema keluarga bahagia dan masa depan.

Philly, seperti kota-kota besar lainnya di dunia, tentu menghadapi problematika perkotaan yang kompleks, seperti kenakalan remaja, narkoba, dan tentu saja penyandang masalah sosial lainnya. Graffity dan corat coret tembok sudah menjadi pemandangan yang jamak yang hampir dijumpai di setiap tembok di kota-kota besar di dunia. Pelakunya siapa lagi kalau bukan remaja usia sekolah, yang butuh penyaluran berkegiatan. Banyaknya remaja yang bermasalah tentu menjadi tantangan komunitas masyarakat setempat untuk mengarahkan mereka. Nah, untuk mengatasi aksi corat-coret yang gak puguh itu maka lahirlah MuralArtsProgram di tahun 1986.

Program yang dirintis oleh Jane Golden ini mencoba mengarahkan remaja agar dapat berkreasi dengan baik. Lembaga inilah yang menginisiasi aktivitas per-mural-an di Philadelphia. Disamping itu lembaga ini juga menawarkan program pendampingan kepada para remaja bermasalah dengan melakukan pelatihan ber-mural. Remaja-remaja yang bermasalah di kota berjuluk the Athens of America ini akan dibimbing dan diarahkan untuk dapat berkreasi dan berkegiatan yang posistif sebagai bekal mereka memasuki kehidupan dewasa. Dengan bimbingan para seniman, para remaja ini diarahkan agar tidak melakukan hal-hal negatif.

Seni menggambar atau melukis diatas tembok ini dikenal dengan mural. Mural yang ada di Philly tidak sekadar mengecat tembok dengan aneka gambar dan tema, namun setiap mural mempunyai tema dan filosofi tesendiri. Bahkan saking artistiknya, setiap mural di cat dan di design oleh seniman-seniman –dengan dibantu para remaja- yang memang khusus menekuni dunia per-mural-an sehingga tidak sembarang orang bisa dengan bebas ber-mural ria. Tak berlebihan bila Philly pernah mendapat penghargaan American Government Award lantaran kesuksesannya dalam program innovasi ‘per-mural-an’ di seantero Philly. Tak kurang sekitar 600-an tembok-tembok di setiap sudut Philadelphia sukses di-mural-kan. Keberhasilan ‘muralisasi’ ini lantaran lembaga melibatkan partisipasi aktif dari komunitas dan lingkungan yang ada di Philly. Masyarakat merasa memiliki muralnya. Makanya, seni mural di kota berjuluk “city of brotherly love” ini  mendapat sokongan penuh dari pemerintah kota.

Bila konsep Philly diterapkan di Jakarta, tak mustahil tembok-tembok dan tiang-tiang penyangga yang berisi coretan dan grafitty yang tak jelas bentuk dan seninya akan terlihat indah. Sebelumnya, aku pernah melihat tiang-tiang penyangga di sepanjang koridor tol Cawang Tj. Priok di lukis dengan mural yang cukup ciamik. Mural tersebut bertemakan perlindungan anak dan perempuan yang diinisiasi oleh kantor pemberdayaan masyarakat setempat bekerjasama dengan PT.CMNP selaku pengelola tol. Nah, bila di setiap komunitas dan perusahaan yang ada dalam satu wilayah bersinergi -dan tentu dengan bimbingan seniman-, niscaya tembok dan tiang-tiang di Jakarta akan semakin hidup dan bernuansa artistik.


Menemukan kehalalan di Amerika

Seumur hidupku, bepergian ke luar negeri hanya sampai ke Singapura dan Kuala Lumpur saja, belum pernah melangkah jauh. Takut kesasar. Lagi pula aku rada susah dalam soal makan. Beruntung, kedua negara itu masih serumpun, jadi cita rasa makanan-nya pun gak beda dengan seleraku. Cocoklah untuk lidah melayu macamku ini. Nah, ketika diberi kesempatan pergi jauh ke seberang samudera, ke Amerika sana, rasa khawatirku pun muncul. Khawatir gak bisa makan. Istriku bahkan sempat menyarankan untuk membawa campuran kentang, tempe dan teri (digoreng kering) sebagai tambahan lauk. Namun usul itu aku tolak lantaran takut jenis makanan itu tak bisa masuk atau lolos di pemeriksaan imigrasi.

Dalam booklet, yang berisi itinerary dan agenda program IVLP selama di Amerika Serikat, yang kuperoleh setiap kali check in di suatu hotel, ada secarik kertas yang bertuliskan nama-nama restoran yang direkomendasikan untuk dicoba. Rekomendasi ini mulai dari yang berharga di bawah 10 dollar sampai pada kisaran 15 hingga 20 dollar untuk sekali makan. Dalam rekomendasi itu juga dicantumkan jenis-jenis masakan atau hidangan dengan cita rasa khas suatu kawasan atau negara. Seperti; restoran middle east cuisine, north africa cuisine, asia/oriental cuisine, south asia cuisine, dan western cuisine.

Lantaran beberapa peserta IVLP ada yang muslim, maka oleh panitia dari Departement of State USA, disertakan pula nama-nama restoran yang mencantumkan label halal. Namun, restoran model ini tidak banyak di Amerika. Makum, muslim di Amerika Serikat adalah minoritas. Biasanya restoran dari kawasan Asia Selatan dan Afrika Utara, yang memang berpenduduk mayoritas muslim, memasang label halal. Sementara restoran bergaya oriental ada yang halal dan adapula yang ‘abstain’ atau tingkat kehalalannya tidak ter-verifikasi.

Bicara mengenai halal atau tidaknya produk makanan dan olahan di Amerika, tentu tidak bisa dipersandingkan atau vis a vis dengan labelisasi halal haram ala MUI-nya Indonesia. Di Indonesia, akan banyak variable yang harus diaudit untuk menentukan makanan tersebut di-labeli halal atau tidak. Seperti (bila hewani); Cara penyembelihannya, prosesnya, pengolahannya, dan sebagainya. Sementara di Amerika Serikat tentu berbeda, lantaran tidak ada lembaga resmi pemerintah yang diberi wewenang untuk men-sertifikasi produk tersebut halal atau tidak. Kehalalan suatu produk/makanan biasanya ditentukan sendiri oleh si pemilik atau chef rumah makan tersebut.


Selama di Amerika Serikat, bila kebetulan ada rumah makan halal di dekat hotel atau tempat meeting, tentu itu jadi pilihan utamaku. Namun jika lokasinya sangat jauh, apa boleh buat, restoran ‘remang-remang’ pun (yang tak mencantumkan halal/haram) terpaksa aku sambangi. Aku tidak fanatik dalam ‘memburu’ restoran berlabel halal. Bagiku, selagi tak menyantap babi, bacon, pork atau sejenisnya di menu makanan yang tersaji, tentu aku makan. Untuk amannya, selain sayuran biasanya aku memesan olahan laut seperti udang dan salmon. Kadang olahan ayam atau beef.

Saat berada di Washington DC kebetulan tempatku menginap letaknya strategis. Aku tinggal di Hotel One Cicle yang berseberangan dengan Universitas George Washington. Hotel itu dekat kemana-mana. (ya, didekat-dekat-in aja, lha wong disana gak ada angkot, hehe). Dari hotel ke rumah makan berlabel halal cukup di tempuh dengan jalan kaki selama 10 menit. Ada 2 (dua) rumah makan halal. Satu restoran south asian dan lainnya masakan oriental. Pilihanku adalah restoran Dynansti, di kawasan Dupont. Lokasinya persis di belakang kantor Kedutaan Besar RI di DC. Restoran ini cukup ramai, yang datang tidak hanya Asia, namun banyak juga warga African American yang bersantap. Menariknya, beragam menu olahan asia ini tak asing untuk lidah Indonesia.

Menu favoritku tiap kali memesan adalah indonesian fried rice with shrimp. Nasi gorengnya cukup enak, tak beda dengan rasa di Indonesia. Aku curiga sang koki diajari cara memasak dan meramu nasi goreng ala Indonesia oleh salah seorang staf Kedubes kita yang ada disana. Atau boleh jadi staf Kedubes Indonesia itu punya saham dan royalty untuk menu nasi goreng Indonesia yang dibuat, hehe..

Biasanya, dimana banyak komunitas muslim bermukim di suatu wilayah atau negara bagian (state) tentu tak sukar menemukan rumah makan halal. Di Salt Lake City, Saint Louis, Philadelphia, dan Washington DC, rupanya banyak komunitas muslim yang tinggal. Tak sulit mencari Islamic Center, masjid, atau rumah makan halal disana. Kebanyakan imigran yang berdiam di negara-negara bagian tersebut (kecuali DC) berasal dari afrika utara dan kawasan konflik di timur tengah. Mereka datang dan mencari suaka di negara impian ini. Di Philly misalnya, ada beberapa food stall halal di sekitar ‘alun-alun’ kota.

Restoran dan rumah makan berlabel halal biasanya mendapat pasokan produk makanannya dari komunitas muslim yang ada disekitarnya. Daging (kambing dan sapi) misalnya, disembelih dan diolah dengan cara Islam. Mengolahnya pun dengan cara yang syar’i atau sesuai ajaran Islam. Produk halal yang disajikan, tidak bercampur dengan yang haram, seperti olahan dari daging babi, misalnya. Demikianlah, komunitas Muslim setempat menjual produk-produk halal untuk para warga muslim yang ada di sekitarnya.

Adanya muslim disuatu wilayah di negara adidaya ini tentu menjadi berkah tersendiri bagi orang -dengan latar belakang muslim- sepertiku, sehingga tak perlu repot mencari dan berburu makanan halal di negara liberal macam amerika ini. Meski di AS jumlah warga muslim adalah minoritas, namun muslim mampu menunjukkan jati dirinya dengan kehadiran beberapa restoran dan food stall halal di sudut-sudut kota. Kehadirannya laksana oase di padang gurun yang luas. Dan bagiku, itu cukup sebagai penanda bahwa ada Islam di pelosok wilayah Amerika.


Rabu, 13 April 2016

Minuman yang Selalu Dingin

Telah menjadi kelaziman, sesaat setelah kita memesan makanan, sambil menunggu hidangan siap untuk disajikan, sang pramusaji atau pelayan di rumah makan atau restoran, selalu menanyakan tentang minuman apa yang kita inginkan. Teman-temanku kebanyakan memesan es teh manis, es jus, ataupun teh panas manis sebagai air minum pendamping santapan. Aku sendiri punya pilihan baku. Biasanya teman-temanku yang lama mengenalku dan sering makan bareng pasti akan memilihkan tawar hangat untukku. Begitulah, masing-masing punya pilihan menu dan minumannya.

Tidak hanya di Jakarta. Kebiasaan itu hampir merata di tiap-tiap rumah makan, di kota-kota di Indonesia. Kalaupun berbeda hanya pada penyebutan istilah saja. Bila kita ke Medan, Sumatera Utara, mungkin sering terdengar pelayan menyebutkan “teh tong”. Teh tong merupakan istilah yang biasanya disematkan untuk minuman teh tanpa gula dan es. Di Batam lain lagi. Ada istilah “teh obeng”. Teh obeng tidak lain adalah es teh manis. Bila kita ingin teh manis panas, biasanya disebut “teh O”. Namun, kalau kita hanya pesan teh tawar maka sebut saja “teh O kosong”.

Well. aku tidak ingin bercerita tentang budaya atau istilah minum meminum di Indonesia, namun kali ini saya ingin bercerita tentang minuman sebagai pendamping dari hidangan saat kita bersantap di Amerika!

Aku berada di Amerika selama hampir satu purnama. Ada kebiasaan yang menurutku sangat absurd dan rada aneh. Biasanya, setelah kami, para peserta IVLP dari Indonesia memesan makanan, sambil menunggu makanan siap dihidangkan, sang pramusaji atau pelayan di rumah makan, dengan sigapnya, -seolah sudah standar baku- menyajikan minuman air putih SELALU dengan es. Ini menarik. Bila kita berada di negara bergurun di timur tengah ataupun di wilayah tropis yang beriklim panas, sajian minuman dingin tentu sangat diharapkan. Namun, saat ini aku tinggal di negara 4 musim, dan kebetulan saat kunjunganku ke USA, jatuh di penghabisan musim dingin, yang berarti suhu udara masih dikisaran 5 (lima) derajat Celcius bahkan pernah dibawah 0 derajat Celcius. Bayangkan, suhu dingin tapi selalu disajikan minuman dingin, dan selalu dengan Es. Tanpa es saja air putih di Amerika itu sudah sangat dingin. Lha, sudah dingin, masih ditambah pula dengan es. Alamak!!

Lantaran sudah tahu kebiasaan para pelayan restoran disana, selalu, bila si pelayan mendekat kepadaku, akan kubilang: “mineral without ice, plisss!” Meski without ice tetap saja air putih itu terasa dingin. Saking jengkelnya, sering pula aku memesan air putih very hot!! Ya, takutnya dikasih yang hangat-hangat kuku, maka sekalian saja aku nikmati air putih super panas sebagai penghangat badan di suhu minus 0 derajat.

Oh ya, satu lagi yang kuamati. Untuk ukuran gelas minuman-nya pun juga ukuran jumbo. Tidak pernah kutemukan ukuran gelas se-ukuran gelas di Indonesia (sebesar buah belimbing), selalu dengan gelas (plastic) ukuran jumbo.

Tatkala kebiasaan itu (minum air dingin) kutanyakan kepada Pak Hengki, teman dudukku, -meski ia lama tinggal di Amerika- namun jawaban yang ia berikan tidak memuaskanku. Di udara dingin kok masih minum air dingin plus ditambah es. (maaf) Sinting! Hehhe.. Akhirnya, aku sampai pada kesimpulan yang konyol, bila aku dan mungkin saudara-saudaraku berdarah biru, mungkin saja mereka, orang Amerika berdarah panas.  

State Owned @Montana


Sewaktu zaman Pak Harto masih presiden, bila kita berpapasan dengan Volvo berplat akhiran hurup BS, ada rasa ‘takut’ dan takjim. Oleh temanku, BS diplesetkan sebagai Bantuan Setneg. Jadi, jangan coba-coba berurusan dengan BS. Dulu, jangankan melihat orang (baca;pejabat) yang berada di dalam mobil itu, baru lihat tongkrongan mobilnya saja kita akan respek dan hormat. Bahkan, bersentuhan dengan mobilnya saja merupakan suatu kebanggan yang tak terkira. 

Bicara mengenai mobil dinas atau mobil milik negara, disamping berplat merah, ada pula yang ber-plat hitam. Plat merah tentu dengan mudah dikenal sebagai property negara. Namun untuk plat hitam, butuh ‘keahlian khusus’ untuk memcirikannya sebagai milik negara. Plat hitam biasanya ditandai dengan akhiran hurup RFS, RFD, RFR, atau RF-RF lainnya. Meski tidak ber-plat merah, polisi yang bertugas di jalan raya akan tahu bila penumpang didalamnya mesti orang penting. Ya, minimal jabatannya eselon 2. Plat merah, biasanya digunakan sebagai kendaraan operasional, atau kendaraan sejuta umat bagi pegawai di instansi tersebut. Mobilnya pun bukan sedan. Lazimnya berjenis van dengan kursi ditengah dan dibelakang. Kebanyakan digunakan untuk mobil jemputan karyawan atau untuk dinas operasional kantor. 

Sebagai pegawai pemerintah, ada banyak konsekwensi yang harus aku rasakan bila mengendarai mobil plat merah. Ada beban dan tanggung jawab moral yang tak ringan. Aku pribadi sangat risih bila harus berkendaraan dinas lantaran tak bisa bebas berlaku semaunya. Diantaranya adalah, tidak boleh berkendara dengan ceroboh; harus mengisi bahan bakar dengan jenis tertentu; dan, ribetnya, gak boleh sembarangan berhenti di dekat-dekat tempat hiburan (bioskop, panti pijat, mall atau tempat karoke-an), meskipun bila ban bocor, yang tak mau kompromi. Apa kata dunia bila dilihat masyarakat ada plat merah terparkir persis di depan tempat karoke-an atau di sebuah mall, meskipun pengendarannya sedang operasi atau menunaikan tugas kedinasan. Ya, inilah moral obligation yang membebaniku saat membawa mobil dinas. 

Sejatinya mobil dinas hanya terbatas digunakan untuk dan/ke tempat-tempat yang baik-baik saja. Ke kantor, ke instansi pemerintah ataupun kunjungan ke warga masyarakat. Aib membawa kendaraan dinas untuk sesuatu yang tak ada hubungannya dengan kedinasan. Namun, banyak kujumpai di akhir pekan, mobil dinas digunakan untuk menghadiri resepsi pernikahan. Bahkan, banyak pula mobil dinas dipakai untuk liburan keluarga ke puncak. Padahal, aktivitas-aktivitas itu sudah diluar kedinasan dan pastinya itu adalah urusan pribadi. Ironis. 

Disamping ada ‘beban’, sebaliknya ada sebagian sejawatku, pengguna plat merah atau mobil dinas berplat RFS yang memanfaatkan ‘keuntungan’ tersebut, dengan merasa –seolah-olah- ‘bebas’ berkendara se-enaknya di jalan raya, tanpa menghiraukan aturan dan rambu lalu lintas yang berlaku. Mereka seakan menikmati privilege khusus seperti tanpa malu melaju di jalur busway, berhenti dan parkir seenaknya di rambu larangan berparkir. Lalu, bila melanggar dan diberhentikan polisi, biasanya mereka berdalih dengan seribu satu alasan. Aku sendiri, bila kebetulan ke-gap dengan polisi, aku dan temanku di samping kemudi melontarkan ucapan: ‘Izin Ndan, mohon diskresi, buru-buru neh, ada tugas kantor/negara ketemu pak Mentri”, (padahal tugas apa juga tak jelas, dan kondisi negara gak se-genting yang dibayangkan, hehe..). 

Jadi, kembali ke pribadi pengguna. Bila attitude-nya bagus, maka ada perasaan terbebani dalam mengendarai mobil dinas. Pasalnya, sekecil apapun kesalahan yang kita lakukan di jalan raya, maka akan menjadi buah bibir dan cibiran di masyarakat. Terlebih, masyarakat sekarang sangat kritis. Sering mereka berkeluh, aparat/PNS kok kelakuannya negatif. Aparat/PNS kok melanggar. Padahal, kita kan juga manusia biasa, bukan malaikat. 

Nah, saat aku berkunjung ke Amerika Serikat dalam rangkaian program IVLP di bulan Maret 2016 lalu, ada yang menarik yang berhasil aku jepret disana. Waktu itu, selepas mengunjungi instansi yang mengurusi masalah anak di negara bagian Montana, AS, tanpa sengaja mata ini menangkap deretan mobil yang terparkir rapi. Bukan parkiran rapi yang menarik mataku, namun ada satu mobil yang menarik perhatianku diantara jejeran mobil lainnya, yakni mobil berplat “state owned” 

Lalu, kutanyakan maksud dari tulisan di plat itu kepada Pak Hengky, Liaison Officer (LO) kami, Ia menerangkan bahwa itu adalah mobil ‘plat merah’-nya Montana. “Ooo, mobil dinas rupanya,” gumamku. Ya, di Montana, AS, mobil dinas atau mobil kantor ditandai dengan ciri yang kasat mata yakni ada tulisan state owned di plat mobil tersebut. Sehingga orang yang melihatnya akan tahu bahwa mobil itu adalah property negara. Tak semua pejabat di Montana mendapatkan mobil dinas. Anggota ‘DPRD’-nya Montana, misalnya, mereka tak mendapatkan jatah mobil dinas seperti anggota DPRD di beberapa Kab/Kota di Indonesia.

Mobil bertuliskan “State Owned” milik suatu departemen atau instansi biasanya diperuntukkan bagi mobil layanan kepada masyarakat dan pengguna-nya bisa siapa saja asalkan memang pegawai pemerintah di bagian atau divisi tersebut, tak mesti si pejabat atau bos di kantor itu. Jadi, mobil itu tidak dikuasai oleh orang per orang namun dikuasai oleh kantor dan untuk keperluan kantor, dan memang seperti itu semestinya.


Seperti kekayaan alam atau kekayaan lainya yang dimiliki oleh negara, mobil plat merah semestinya dikuasai dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kepentingan dan keperluan negara, dan bukan dikuasai secara pribadi oleh si bos atau pegawai tertentu, apalagi dipakai untuk menghadiri resepsi pernikahan.

Senin, 11 April 2016

Ada Cita Rasa Indonesia Di Philadelphia


Philly atau Philadelphia, berada di negara bagian Pennsylvania. Kota ini memang kota yang multicultural. Beragam ras dan bangsa ada disini. Bahkan orang Indonesia pun gak mau ketinggalan dalam mengadu nasib dan peruntungannya di kota seribu satu mural ini, ditaksir ada sekitar 5000-an warga Indonesia yang bekerja –baik legal maupun illegal- di pabrik-pabrik dan sektor informal yang tersedia. Tak sulit menemukan mereka. Saat aku belanja di Reading Terminal Market, kujumpai beberapa kasir dan pelayan toko asal Pluit, Jakata dan kota-kota di Indonesia lainnya. Kusempatkan waktu untuk mengobrol dengan mereka.. Saat sore, selepas jam kerja, rupa warna dan raga orang-orang lalu lalang di depan hotel-ku. Hilir mudik, sibuk dengan urusannya. Bahkan, pengemis pun tak kalah ‘sibuk’ nya, banyak yang nongkrong di lokasi-lokasi strategis. Dengan modal sobekan karton bertuliskan “Homeless, Give your pennies, please. Need Food” seakan melambaikan iba ‘tuk dikasihani.

Lantaran banyaknya orang kulit berwarna (baca:asia), maka tak sukar menemukan makanan Asia di kota yang pernah menjadi ibu kota dari Amerika serikat ini. Di Reading Terminal Market, ‘Pasar Modern’ nan khas yang ada di Phili, misalnya, banyak stand makanan dari Thai, India, dan China.  Nah, sewaktu berada di Philadelphia, rupanya Pak Hendki dan Mba Nunu, LO kami selama di Amerika, tahu kerinduan kami akan masakan Indonesia. Dibawanya kami untuk menikmati dan mencicipi cita rasa nusantara ke sebuah rumah makan yang sudah terkenal di kalangan warga Indonesia yang bermukim di sekitar kawasan pantai timur Amerika. Restoran Hadena namanya. Lokasinya di 1754 S Hicks Street, Philadelphia Restoran ini dimiliki dan dikelola oleh imigran asal Surabaya yang telah lama bermigrasi ke Amerika. Kami menyapanya dengan panggilan Oom. Si Oom mengaku telah ada di Amerika sekitar tahun 70-an, dimana awalnya sempat bekerja sebagai staf di KJRI Indonesia di New York.

Saat aku memasukinya, terlihat ornament khas Indonesia berupa patung dan beberapa ukiran dari Jawa. Tampak pula meja kursi yang tertata persis seperti rumah makan sederhana di Jawa. Nah, untuk penyajian makanan, gak beda dengan sajian tata letak makanan ala Warteg. Terhampar di bilik kaca aneka masakan dan olahan. Semua makanan dan sayuran khas Indonesia (Jawa) tersaji. Ada sayur lodeh; Sop, Sayur Asem; Oseng-oseng kacang panjang; Tempe goreng; Gulai Telor/Ikan; Rendang; Kerecek; Kering tempe dan teri; Gudek; Bahkan soto, dan gado-gado. Semuanya tampak menggugah selera. Pilihan menu nasi ramesan di Hadena ini lumayan banyak dan variatif. Harganya pun relatif murah, berada di kisaran 10 an dollar.

Mungkin kalau kita berada di tanah air, hidangan demikian akan terlihat biasa saja dalam pandangan mata. Namun saat ini aku sedang berada di Amerika, jarak yang beribu-ribu mile dari Jakarta, adalah hal yang amazing dan excited menemukan ada makanan khas nusantara terhampar di depan mata.

Puas melihat hidangan yang ada, barulah aku menentukan pilihan. Aku memesan sayur lodeh dengan telor dan tempe kering, plus sambal terasi. Tadinya kupikir rasa sambalnya biasa saja, seperti sambal olahan dalam botol. Namun dugaanku salah. Ternyata sambalya asli sambal olahan tangan (sambal dadak) dengan rasa terasi Indonesia yang khas. Saat aku tanyakan dimana mendapatkan ini semua, Si Oom menjawab bahwa pencarian aneka bumbu dan rempah dilakukan secara bergerilya, dalam arti tidak di satu lokasi saja namun merambah state lain hingga ke Los Angeles, dimana banyak bermukim warga Indonesia. Adakalanya rempah dan bahan-bahan masakan itu sengaja di boyong dari Indonesia bila kebetulan Si Oom atau kerabatnya ‘mudik’ ke Indonesia. Saat aku bersantap siang, tampak beberapa warga kulit putih yang sedang menikmati hidangan khas Jawa ini. Kulirik pula ada seorang pria Indonesia sedang memesan makanan untuk di to go atau dibawa pulang.

Setelah kenyang bersantap siang, kami menyempatkan diri mampir ke minimarket khas Indonesia yang lokasinya gak terlalu jauh dari Hadena Resto. Namanya Pandawa. Saat masuk, aku melihat aneka tulisan berbahasa Indonesia. Tulisan ini tampaknya sengaja ditampilkan mengingat hampir 90 persen pengunjung Pandawa adalah warga Indonesia yang banyak bermukim di South Philly.

Toko ini menyajikan hampir semua jenis makanan dan kebutuhan masak Indonesia. Aneka rupa bumbu dan penyedap cita rasa khas Indonesia dengan mudah kita temukan disini. Ada saos sambel, kecap manis, dan sebagainya. Aneka snack kering dan kerupuk (dalam kemasan) nampak tergantung di dinding toko. Ada pula keripik, kacang, kue, permen dan aneka kue basah lainnya yang menggoda ‘tuk dicicipi. Bukan itu saja, bahkan ada nasi padang bungkusan, nasi kuning, nasi rames(an), lontong sayur, nasi pecel, dan bumbunya pun tersedia. Untuk kudapan teman minum teh di sore hari pun tersedia, seperti aneka gorengan, kue lopis, juga makanan hasil kukus. Ada pula bakmi, empek-empek dan sebagainya Singkatnya, bagi mereka yang rindu olahan masakan tanah air, bisa berbelanja di toko Pendawa ini.

Toko Pendawa menerapkan sistem konsinyasi atau titipan. Semua barang dan makanan diolah dan dipasok oleh warga Indonesia yang ada di Philli. Jadi tak aneh bila cita rasa dan olahan yang di jual di Pendawa di jamin 100 persen cita rasa Indonesia. Dari (titipan) warga, (diolah dan dimasak) oleh warga, dan untuk (disantap) warga Indonesia yang ada di Phili.


Inilah Philadelphia. Tampaknya warga Indonesia memanfaatkan betul peluang bisnis yang ada. Banyaknya orang Indonesia di Phili adalah peluang bagi bisnis kuliner. Orang Indonesia tentu lebih memilih makanan Indonesia ketimbang kuliner dari negara lain. Kehadiran masakan dan olahan Indonesia pastinya akan menjadi obat penawar rindu mereka dengan tanah airnya, juga dengan kulinernya. Dan kerinduan itu terobati oleh kehadiran Hadena dan Pendawa di Philadelphia. 

Kamis, 07 April 2016

Meski Di Amerika, Sarapan Nasi Perlu.


Biasanya di pagi hari, menu sarapanku adalah lontong sayur atau nasi uduk. Gonta ganti.  Atau bisa pula diselingi dengan sayur (asem, sop, lodeh) dicampur dengan tempe goreng dan nasi hanngat. Sayur matang tersebut aku beli di warung makan depan rumah yang khusus menjual makanan siap santap yang telah dibungkus. Sebungkusnya 5 (lima) ribu rupiah. Cuma itu yang tersaji di warung atau lapak makanan deket rumah,. Lapak itupun hanya ada di pagi hari, yang memang sengaja dijajakan untuk ngebantu orang kantoran sepertiku yang gak sempet makan atau meramu nasi goreng, sekalipun. Keberadaan lapak makanan di pagi hari cukup membantuku. Ya, kita sama-sama saling membantu. Mereka terbantu menggulirkan uangnya untuk tambahan jajan anak-anaknya, aku pun terbantu hingga tak perlu repot meminta istri membuatkan nasi goreng atau sekadar ceplok dadar telor.

Nah, saat aku di Amerika mengikuti program IVLP selama 3 (tiga) pekan, mau tak mau pola dan menu sarapanku pun berubah. Tak ada lagi lontong sayur ataupun nasi uduk semur jengkol. Kini yang ada dan selalu tersaji di ruang makan hotel adalah kentang rebus, roti (bisa dipanggang), telur dadar, dan pancake, serta daging olahan. Ya, hampir saban hari seperti itu. Gak berubah. Kalau satu dua kali nyoba, tentu masih ada rasa exciting-nya dan enak disantap. Namun bila telah menjadi rutinitas sarapan selama 3 (tiga) pekan, ya bosen juga.

Gimana caranya biar gak bosen? Selalu ada jalan dan cara bagi orang Indonesia katro sepertiku untuk mencari celah dan menyiasatinya. Biasanya aku menghangatkan lauk pauk makan malam yang tersisa untuk disantap keesokan paginya. Untuk makan malam, sengaja aku memilih resto China atau resto Asia di tiap kota yang kusinggahi, yang kadang menjual nasi. “Do you have steam rice?” Selidikku pada pramusaji, tatkala melihat magic jar di sudut tempat menaruh aneka makanan. Jadilah aku memesan nasi putih plus ayam atau beef poured with sweet sauce sebagai menu pelangkap.

Ngomong-ngomong kok bisa ada sisa? Iya, mesti ada sisa. Di sini, di Amerika, satu porsi makanan cukup untuk dua kali makan orang Indonesia yang berusus pendek dan kecil sepertiku. Porsi Amerika itu jumbo, lantaran body mereka pun diatas rata-rata tubuh orang Indonesia. Jadi, wajar bila pramusaji di semua food court atau di rumah makan menyendokkan lauk pauk dengan porsi yang banyak. Nah, lantaran sering gak sanggup menghabiskannya, timbullah ide kreatif untuk membungkus makanan yang dibeli supaya bisa disisakan untuk dimakan keesokan paginya. Beruntung, ditiap hotel yang kusinggahi selalu ada microwave, benda ini sangat membantu. Jadi gak perlu repot untuk urusan hangat-menghangatkan makanan. Thanks to you, Micro.

Meski selama di Amerika Serikat aku menghabiskan malam rata-rata 4 (empat) hari di suatu hotel, untuk kemudian pindah ke negara (state) lainnya, namun tetap saja format dan standard baku per-sarapan di amerika seperti itu. Gonta-ganti hotel, tetap saja SOP-nya gak berubah. Boro-boro nyari nasi pecel atawa salad khas america, seperti di kampung istriku di Klaten, nyari nasi goreng atau porridge made in hotel saja impossible.

Di saat sarapan, tatkala sedang mengunyah kentang yang terasa hambar di mulut, sering aku termenung dan lalu bersyukur. Beruntung, aku, keluargaku dan teman-temanku berwarga negara dan tinggal di Indonesia. Dengan uang 10 (sepuluh) ribu rupiah ditangan, bisa peroleh sarapan yang super lezat dan nikmat. Dengan uang sebesar itu kita bisa membeli nasi pecel, atau bubur ayam atau nasi uduk lengkap dengan semur jengkolnya, plus teh manis panas. Bandingkan dengan mereka yang tinggal di Amerika, yang saban hari hanya ber-sarapan kentang, telor, roti dan daging olahan. Semuanya nyaris tanpa racikan aneka rempah dan bumbu-bumbu penyedap rasa. Hambar. Vivat dunia kuliner Indonesia…


Rabu, 06 April 2016

Di Amerika, Hotel Membuatku Bisa Berhemat

Selain dekat kemana-mana, apa sich yang menarik dari suatu hotel –selain- tentu saja layanan dan fasilitas yang ditawarkan? Tergantung tujuannya. Kalau untuk berbulan madu, lokasi yang jauh dari pusat keramaian dengan pemandangan indah, serta fasilitas dan pelayanan prima yang ditawarkan tentu menjadi pilihan utama. Aku sendiri, bila kebetulan harus bepergian dan menginap di suatu kota, biasanya memilih hotel dengan lokasi yang strategis, atau dekat kemana-mana agar kesukaanku dalam meng-explore, dan melihat sesuatu yang baru di tempat yang kukunjungi dapat terpenuhi. Tempat-tempat yang banyak diperguncingkan orang tentu lebih menarik perhatian untuk kulihat ketimbang lama-lama berdiam diri di kamar hotel. 

Dalam kunjunganku ke Amerika baru-baru ini, dimana paling lama hanya 5 (lima) malam aku beristirahat di satu hotel. Selebihnya, aku harus kembali ber-packing dan bersiap untuk pindah ke kota selanjutnya, yang berarti harus check in kembali di hotel yang baru. Selama di Amerika Serikat, hotel yang disediakan oleh Kemenlu AS lumayan cozy. Standar bintang 4. Semuanya berada di pusat kota, dan –kebetulan- dekat kemana-mana. Dekat ke pusat-pusat keramaian, tempat-tempat yang menarik, dan, yang penting, nyari makan pun gampang.

Segera setelah landing di Washington DC, pihak panitia penyelenggara menginapkanku di Hotel One Washington Circle. Lokasinya persis berseberangan dengan Universitas George Washington. Dari namanya yang circle, hotel ini tepat berada disisi lingkaran jalan/tugu Washington. Hanya butuh waktu sekitar 15 menit berjalan kaki untuk sampai ke Gedung Putih, ke kawasan Abraham Lincoln Memorial, museum-musem yang ada di sekitarannya ataupun ke Kedubes Republik Indonesia yang berlokasi di 2020 Massachusetts Avenue.

Hotel yang kutinggali di DC sangat nyaman, yang ku taksir kalau di Jakarta seharga bintang 5. Semua fasilitas tersedia lengkap. Disamping standar fasilitas bintang 4, di dalam kamar, ada pula ruang masak. Ya, ruang masak dengan kompor gas yang siap untuk dinyalakan. Peralatan masak pun tersedia. Jadi, tinggal beli beras atau mie instan, kita bisa memasak dan menggoreng telor dan daging untuk bekal makan malam.

Begitupun saat aku di Phili atau Philadelphia. Aku tinggal di hotel yang hanya berjarak selemparan batu dari pusat belanja dan kuliner. Hotelnya Club Quarters Philadelphia 1628 Chestnut Street Philadelphia, Pennsylvania. Namun sayangnya fasilitas di hotel ini tidak selengkap One Washington Circle. Tidak ada ruang masak. Kamarnya pun kecil.

Bagiku, yang namanya hotel bintang 4 dimanapun berada, entah itu di Indonesia atau di negeri pewayangan lainnya, tentu punya standar fasilitas dan pola layanan yang sama dan baku. Dan itu biasa saja, tanpa ada kesan yang berarti bagiku. Namun, ada satu hal menarik yang membuatku terkesan selama tinggal di hotel-hotel di Amerika. Ada yang unik dan beda dalam fasilitas kamar hotel di Amerika. Selama 5 (lima) kali gonta ganti hotel, ada satu benda atau fasilitas yang selalu ada dan tergantung di sudut pojok ruang tempat gantungan baju.

Di hotel manapun yang pernah kuinapi, baik itu di negeri pewayangan ataupun negeri impian, biasanya fasilitas dan barang-barang standard yang terlihat dimata adalah sandal hotel, kantong plastik untuk laundry, gantungan baju, kotak deposit, mini bar, alat tulis, teh/kopi beserta gelasnya, handuk, dan perlengkapan mandi. Hanya itu. Namun di Amerika, selain benda-benda tersebut, ada satu benda yang tampaknya menjadi benda yang mesti ada di dalam per-standard-an hotel di Amerika. Ya. Di setiap hotel yang kusinggahi selalu tersedia setrikaan beserta alas untuk menyetrika. Amazing! Justru sandal hotel yang gak pernah ada di kamar hotel-hotel yang kuinapi.

Kedua benda itu sangat membantu selama kegiatanku mengikuti IVLP. Maklum saja, bila aku menggunakan jasa binatu untuk mencuci dan men-setrika pakaianku selama di Amerika, tentu akan mengeluarkan biaya yang tidak murah. Ketimbang dana itu dialokasikan untuk jasa laundry, lebih baik uangnya kusimpan untuk sekadar membeli oleh-oleh. Lumayan, ada penghematan, meskipun pihak penyelenggara telah mengalokasikan dana harian untuk laundry. Toh di kamar sudah ada setrikaan beserta alas untuk menyetrika-nya. Jadi, buat apa me-laundry. Kugunakan fasilitas itu. Beruntung aku sudah membawa deterjen bubuk dari Indonesia, jadi tinggal rendam cucian, kucek, jemur di kamar mandi, kering, lalu di setrika di kamar. Beres.


Selain setrikaan, ada satu lagi benda yang membantuku selama tinggal di negeri Paman Sam, yakni Microwave. Barang ini sangat sangat membantuku. Dengan adanya microwave, dapat menghemat pengeluaranku. Aku tidak perlu jajan makanan untuk bekal sarapan lantaran sisa makan malam (makanan yang kubungkus di malam hari) dapat kuhangatkan untuk sarapan pagiku.