Kamis, 30 Maret 2017

Romantika Hidup Bertetangga

Alhamdulillah, meski letaknya dilingkungan padat penduduk, kami dapat memiliki rumah, masih di Jakarta. Letaknya strategis, dekat kemana-mana. Ke PGC Cililitan misalnya, hanya ‘selangkah’ saja. Tinggal di kawasan padat penduduk seperti di Condet ini membuat kami harus banyak bertenggang rasa dengan para tetangga kiri kanan, depan belakang. Tidak bisa kami bersikap individualis dan semau gue seperti yang pernah kami terapkan di Kemang. Di Kemang, keluarga kami nyaris tinggal sendiri dalam arti tak mempunyai tetangga lantaran kiri kanan rumah adalah ruko dan belakang rumah ditinggali oleh orang bule.

Nah, karena di Condet banyak orang kitanya, maka sering terjadi tolong menolong diantara warganya. Yang sering terjadi adalah kita menolong mereka atau mereka menolong kita. Bila tetangga kehabisan garam, misalnya, mungkin ia biasa meminta ke kita. Itu hal yang wajar. Begitupun bila kita akan pergi lama, mungkin bisa menitipkan kunci (rumah) di tetangga, agar lampu depan rumah bisa di nyalakan saat menjelang malam

Banyak romantika yang kami rasakan selama tinggal di Condet. Hal-hal yang tidak mengenakkan, yang mungkin kami rasakan, harus kami telan, demi menjaga keutuhan hidup bertetangga. Ibaratnya, kita masih dibolehkan ribut dengan keluarga. Sedahsyat apapun konflik kita dengan keluarga, toh, saban tahun pasti kita akan bersilaturahmi dengan mereka saat lebaran tiba, dan konflik itu akan termaafkan. Memangnya bila kita marahan dengan keluarga, lalu putus hubungan dengan mereka? Tidak ada istilah bekas saudara. Namun yang perlu dicatat, jangan sampai ribut dengan tetangga, apalagi tetangga yang sudah lebih dulu tinggal di situ. Bila sampai ribut dengan tetangga, yang terjadi adalah, loe yang pindah dari lingkungan situ, atau loe yang akan dikucilkan oleh mereka. Kelar hidup loe!!

Hidup di lingkungan padat, dimana jarak antar rumah yang satu dengan yang lainnya saling berhimpitan tentu ada suka dukanya. Bila ada anak tetangga yang nangis, misalnya, akan dengan jelas kami dengar tangisannya. Begitupun bila ada tetangga di depan atau samping rumah yang ribut dengan suami/istrinya, kami juga bisa menguping keributan mereka. Untungnya kami belum pernah menyaksikan piring terbang akibat keributan tetangga kami. Ya, Itulah romantika bertetangga.

Nah, bicara mengenai kehidupan bertetangga, banyak hak dan kewajiban tak tertulis yang ada dalam masyarakat. Salah satunya adalah perihal undang mengundang dalam lingkungan masyarakat. Saya ingin membahas mengenai per-undangan ini lantaran kita sebagai warga masyarakat tentu pernah dan akan selalu melakukannya.

Selama tinggal di lingkungan RW. 07 Condet, kami sekeluarga telah tiga kali mengundang tetangga untuk acara kami. Terakhir, saat kami mengkhitankan si sulung. Agar acara itu diberkati Allah SWT, kami sengaja menggelar selamatan kecil-kecilan dengan mengumpulkan orang. Tanpa kehadiran tetangga pun sebenarnya kami bisa mengumpulkan kerabat hingga puluhan orang lantaran kami keluarga Betawi/Jawa. Namun itu tak kami lakukan. Kami sengaja mengundang tetangga dan bukan kerabat lantaran kami ingin berbaur dengan mereka.

Karena keterbatasan tempat/ruang di rumah kami, maka undangan pun tak banyak kami sebar, hanya untuk kapasitas 50 orang. Biasanya kalau kita mengundang sekitar 50 orang maka akan ada dua kemungkinan yang terjadi: Pertama, tamu yang datang bisa lebih dari 50, atau sialnya, bisa pula hanya 30-40 orang saja. Untuk jaga-jaga, maka Istri menyiapkan bingkisan sebanyak 70 orang. Begitulah, ternyata yang datang memenuhi undangan kami hanya sekitar 30-an tetangga saja. Ya, lumayanlah, lebih separuhnya yang datang, hiburku.

Saya coba ber-khusnudzon dan berbaik sangka, kenapa tetangga yang diundang, tak semuanya hadir. Pertama; Mungkin banyak tetangga yang masih harus masuk kerja. Maklum acaranya digelar pada hari Sabtu pagi, dimana tak semua tetangga di hari itu memperoleh jatah libur. Kedua; Mungkin saja undangan-nya tak sampai ke tuan rumah. Bisa jadi kertas undangan-nya tertiup angin ketika digeletakkan di meja serambi rumah, atau bisa pula tetangga punya kegiatan yang lebih penting ketimbang memenuhi undangan kami. Dari banyak alasan-alasan yang mengemuka, yang kami khawatirkan adalah tetangga tidak datang ke acara kami lantaran mereka memang tak suka atau tak merasa perlu dengan keluarga kami. Mungkin saja kami selama ini salah dalam bergaul dengan mereka. Mungkin kami dinilai masih asosial, sehingga tetangga pun segan tuk datang memenuhi undangan kami. Kalalu ini alasannya, wahh perlu diperbaiki lagi tingkah dan polah kami dalam bertetanga. Semoga bukan itu penyebabnya.

Begitulah adanya dengan kehidupan bertetangga. Akan selamanya kita membutuhkan mereka. Jadi, bila kita punya hajat, entah itu nyunatin atau ngawinin anak, dan hanya sedikit tetangga yang hadir, jangan salahkan ketidakhadiran mereka. Mungkin kita yang kurang gaul, asosial, individualis, atau tidak bertetangga dengan baik hingga para tetangga pun segan datang ke rumah kita.

Atau bahkan bila kita tertimpa musibah seperti kematian salah satu kerabat kita, dan kita minta tolong dengan mengundang tetangga untuk mensholati jenazah kerabat kita, lalu hanya sedikit warga (tetangga) yang mensholati-nya, maka jangan salahkan tetangga lainnya yang enggan mensholatinya. Jangan dibangun opini menyesatkan yang justru memperkeruh suasana. Jangan ditarik ke ranah politik atau Pilkada. Introspeksiah, kenapa para tetangga enggan mensholati kerabat kita?? Kalau kita selama bertetangga hidup baik dan rukun, jangankan disholati dirumah dengan segelintir orang yang mensholatinya, bahkan jenazah kita akan mereka arak untuk disholati, tidak hanya di musholla, bahkan di masjid dengan ribuan jemaah yang hadir. Semoga kita nantinya akan disholati oleh ribuan orang lantaran kebaikan yang kita tanamkan semasa hidup kita, amien..


Catatan: Sholat jenazah hukumnya fardu kifayah. Artinya bila ada satu orang saja yang mensholati jenazah tersebut maka umat Islam di wilayah/kawasan tsb tidak berdosa. Namun bila tidak ada seorangpun yang mensholati jenazah tersebut, maka seluruh umat islam di wilayah itu berdosa. It’s simple!!

Senin, 27 Maret 2017

Tentang Sepupuku

Mamiku adalah anak bontot, dari empat bersaudara. Berbeda dengan Mami yang hanya berputra empat orang, Ncang-ncang ku anaknya banyak. Jadilah aku, meski cuma empat bersaudara kandung, namun mempunyai saudara sepupu yang banyak. Orang tua kami memang sangat dekat satu dengan lainnya. Paling tidak sebulan sekali, diantara mereka, waktu mudanya, saat kami masih kanak-kanak, saling main ke rumah. Lantaran itulah aku dan para sepupuku sangat dekat.

Diantara sepupu-sepupuku, ada satu yang punya kelebihan dan talenta yang tidak dimiliki oleh yang lainnya. Ia, sebagaimana Mamiku, juga anak bontot di keluarganya. Entah sebab apa yang membuatnya punya kelebihan dan maqom yang tinggi, aku sendiripun tak tahu. Pasalnya, bila kita telisik satu persatu potensi yang ada padanya, hampir tak dijumpai nilai positif pun yang patut dijadikan acuan atau contoh untuk anak-anak kita. Gak percaya? mari kita kuliti sepupuku ini.

Kalau di reken dari tampang wajah, sepupuku ini (parasnya) jauh kemana-mana. Wajahnya hancur. Masih kalah ganteng denganku dan mungkin dengan abang-abangnya yang lain. Itu dari segi face. Nah, dari segi education, sepupuku ini gak pinter-pinter amat. Mungkin hanya berkat katrolan nilai, ia, konon akhirnya bisa lulus S1. Maklum, tempat ia kuliah, sebuah universitas apalah-apalah di Jakarta Selatan kebetulan juga di ampu oleh sepupuku yang lain. Entah bagaimana ia menyelesaikan S1-nya. Aku sendiri ragu bila ia sanggup membuat skripsi atau tugas akhir. Sewaktu kecil, setamat SD, untuk tes masuk Pesantren Darunnajah (DN) saja, ia tak lulus seleksi. Ia akhirnya berlabuh di pesantren cabang DN, di Parung. Jadi secara akademis, sepupuku ini memang tak cerdas. Mungkin hanya nasib baiklah yang membuat namanya tercantum sebagai lulusan bergelar SE, dan itupun bukan dari universitas bonafid sekelas trisakti atau Untar, apalagi ITB dan Unpad, jauhhhh bagai langit dan sumur.

Begitulah, meski wajah dan nilai akademisnya tak patut dijadikan acuan untuk dicontoh, namun ada banyak kelebihan dan prestasi lainnya yang dapat ia bangakan kepada kami, para sepupunya. Jujur saja, sejumlah prestasi dan kelebihannya itu tidak dimiliki olehku dan sepupu-sepupuku yang lainnya. Bahkan, sampai lebaran kuda pun, kami para sepupunya takkan pernah sanggup dan bisa menyainginya. Bukan itu saja, bila kami berserikat untuk mengumpulkan kekuatan dan potensi yang ada pada kami, tetap saja kami takkan sanggup mengalahkannya. Ia memang diberikan talenta yang berpebih. Banyak kebisaan (keahlian) yang ia miliki yang justru keahlian itu tak dimiliki oleh kami, para sepupunya. Agar seimbang, mari kita kuliti juga kelebihan sepupuku ini.

Jika kami hanya ahli bermain kelereng, ngaji qur’an, gaple-an, dan badminton, lantaran hanya permaianan itu yang sering dimainkan oleh anak-anak kampung seperti kami, maka ia punya keahlian yang jarang dimiliki oleh kami, bahkan oleh anak-anak gedongan di Kemang. Bilyard misalnya, permainan jenis ini tentu tak pernah kami rasakan sewaktu kecil. Boro-boro main bilyard, megang sticknya saja tak becus. Waktu muda, pernah aku diajarinya ‘nyodok’, namun tetap saja bidikan bola putih tak pernah dengan sempurna menimpa bola warna lainnya, lantaran pegangan stick-ku yang tak kokoh dan mantaf. Aku give up bila diajak nyodok. Nah, hebatnya sepupuku ini, sewaktu mudanya pernah menjuarai turnamen bilyard antar mahasiswa se DKI Jakarta.

Bosen bermain bilyard, lantaran seng ada lawan (tak ada lawan yang seimbang) Ia beralih ke golf. Tanah engkongnya yang di Ciganjur dan Pangkalan Jati yang telah dijual dan tersulap menjadi padang golf, ia sambangi. Bukan untuk ia beli kembali namun untuk ia rumput alias untuk bermain golf. Bersama kawan-kawannya para sosialita dan eksekutif papan atas Jakarta, ia rutin merumput tak hanya di sekitaran Jakarta namun juga merambah hingga Bali dan Luar Negeri. Hasilnya, ia sukses memenangi beberapa turnamen golf yang rutin diadakan. Sepengetahuanku, tak hanya bilyard dan golf yang ia kuasai. Beragam olahraga, hobby, dan kesenangan para orang kaya bin tajir di Jakarta pernah ia coba. Dan, ia selulu unggul. Ia pernah ikutan hobby ber-motorcross. Bosen disitu, ia beralih ke motor besar semacam Harley Davidson. Suntuk Di Harley, ia kini berlabuh di Triumph. Kalau kami hanya sanggup touring seputaran Pelabuhan Ratu saja, itupun dengan motor bebek. Nah, sepupuku ini level touring-nya menjelajah ke Sumatera, Lintas Sulawesi, Nusa Tenggara, bahkan hingga ke Eropa.

Aku, sebagaimana sepupu-sepupuku yang lain sebenarnya heran, apa sih kerjanya sepupuku ini? Kok pergaulan dan relasinya begitu luas, seluas Samudra Pacific. Perbandingannya, jika pergaulannya seluas samudera, maka pergaulanku hanya seluas kolam renang samping rumah. Sepupuku ini, siapa yang tak kenal dengannya. Dari selebritis kelas teri hingga se-level Raffi Ahmad adalah sohib dekatnya. Dari jajaran pengusaha kelas teri yang hanya punya satu dua apartemen di Kemang hingga level mafia migas kelas dunia juga akrab dengan sepupuku ini. Dari politisi kelas kampung macam Haji Topa, Ketua Forkabi di kampungku, hingga politisi level senayan/istana sekelas HR akrab ia gauli. Dengan anak-anaknya bahkan ia bergaul akrab. Dari ustadz model kampung kayak Ustadz Syamsuddin, hingga level ulama sekelas Habib Umar adalah kawannya. Belum lagi dari kalangan public figure yang tak terbilang jumlahnya tak luput dari kekeran radar pertemanannya. Tak ada yang ia tak kenal. Bukan cuma kenal, namun akrab dan terjalin relasi dan hubungan personal yang hangat diantara mereka.

Pernah suatu ketika kutanyakan ke sepupu-ku lainnya yang notabene adalah kakak-kakaknya. “Ehh Si Anu kerjanya apa sih? Kalo Si Anu kerjanya wartawan sich gak heran kalau punya relasi yang luas, lha Si Anu gw liat seringan di rumah kalo pagi. Usahanya pun cuma nyewain genset. Kok temen-temennya banyak banget. Orang-orang kaya dan berpengaruh di Indonesia. Saban bulan Si Anu gw perhatiin jalan-jalan mlulu ke Bali. Barusan abis dari Jepang dan Hongkong, duitnya kok banyak banget ya,” tanyaku.
Gw sendiir gak tau ‘Mat apa kerjaan si Anu.. gw aja yang abangnya heran dia kayak gitu,” ujar abang dari sepupuku itu


Itulah sepupuku. Meski tak ganteng dan berprestasi secara akademik, namun ia mampu menggenggam dunia. Jujur saja, bila berbicara didepannya, aku rada keder juga. Untungnya, --diantara sepupu-sepupuku yang lain--, hanya aku lah (alhamdulillah) yang pernah ke Amrik, negeri yang belum pernah ia singgahi. So, aku masih unggul satu lap darinya. Namun, bila ia telah ke Amrik, aku akan kalah segala-galanya. Oh ya, ngomong-ngomong siapa sih sepupuku itu? Penasaran…? Tampaknya ia hanya tertawa membaca kisahku ini. Sudahlah tak usah diungkap, toh para sepupuku yang lain tentu tahu siapa yang aku maksud, heheh

Minggu, 19 Maret 2017

Main Ke Lokasi Shooting Film Shooter

Bagi anda pecinta film action, tentu tak melewatkan tontonan dari salah satu film action terbaik sepanjang masa yakni: “Shooter”. Film yang dibintangi oleh Mark Walberg ini menceritakan tentang seorang mantan marinir AS, penembak jitu (Bob Lee) yang telah pensiun. Singkat cerita, Bob, karena keahliannya sebagai seorang sniper atau penembak jitu, didatangi oleh salah seorang pejabat militer Amerika untuk ambil bagian dari pengamanan tim Kepresidenan Amerika (Secret Service) dari ancaman pembunuhan. Saya tidak ingin bercerita tentang akhir dari jalannya cerita dalam film besutan sutradara Antoine Fuqua ini, namun saya ingin berbagi gambar tentang salah satu tempat yang dijadikan lokasi shooting film keluaran tahun 2007 itu. Ya, film ini memang banyak mengambil lokasi di beberapa negara bagian di Amerika, salah satunya adalah di kota Philadelphia, Pennsylvania.

Didepan alun-alun philadelphia, dimana liberty bell bersemayam
Dalam salah satu adegan, Bob mengobservasi Balai Kota atau alun-alun yang bakal digunakan oleh Presiden Amerika berpidato. Alun-alun ini menjadi salah satu tempat terbaik bagi pembunuh presiden untuk mewujudkan niatnya tersebut. Dalam setting film digambarkan, di sekitar panggung utama, ada banyak bangunan tinggi yang mengelilinginya, dan ini menjadi tantangan tersendiri bagi SS untuk meng-clear-kan lokasi sekitar alun-alun tersebut. Oh ya, Kota Philly, sebutan slank dari Philadelphia, di samping sebagai kota pelabuhan, juga terkenal sebagai kota tempat dikumandangkannya Kemerdekaaan Amerika dengan salah satu icon-nya adalah Liberty Bell. Banyak bangunan bernilai historis yang terdapat di alun-alun seluas lebih kurang 500 meter persegi itu.

Beruntung pada lawatan ke Amerika Serikat Maret 2016 silam, saya berkesempatan mengunjungi salah satu spot terbaik bagi pengambilan gambar film tersenut. Lokasinya tak jauh dari tempat saya menginap, sekitar beberapa blok, dekat dengan Reading Terminal Market, dan tempat-tempat yang menjadi highlight kota Philly. Lantaran ada waktu senggang, saya berkesempatan menengok ke salah satu lokasi pembuatan film ini. Inilah gambar-gambarnya..


Rabu, 15 Maret 2017

Pertemuan dengan beberapa counterpart di Helena, Montana

 
Di depan Kantor Gubernur Negara Bagian Montana
“You are a lucky
man.” seloroh Mr. Rob Livergood Assistant United States Attorney dari St. Louis, saat saya berpamitan dengannya dan tahu bila saya hendak menuju ke Helena, keesokan harinya, Sabtu 19 Maret 2016. Ya, Rob tampaknya cemburu, lantaran telah lama ia memendam keinginan untuk dapat menikmati keindahan kota berjuluk “Queen City of the Rockies”. Bahkan saking cemburunya padaku, ia berujar tak banyak orang Amerika yang bisa datang ke sana.

Dengan perwakilan dari CASA
Selama di Helena, kami dijadwalkan bertemu dengan beberapa lembaga dan counterpart yang memang harus kami temui seperti: Montana Supreme Court;  Court Appointed Special Advocates (CASA); Juvenile Probation Officer; Dan meninjau berbagai fasilitas lainnya.

Dengan Ali Bovingdon, Asisten Gubernur untuk masalah anak
Begitulah, sampai akhirnya saya dapat bertemu dengan Ms. Ali, pejabat yang membidangi masalah anak di Kantor Gubernur Negara bagian Montana. Kami menyoroti upaya Gubernur Steve Bullock untuk melindungi anak-anak dan menangani masalah keadilan anak. Dalam pertemuan ini kami juga membahas tentang “Protect Montana Kids Initiative Commission” yakni komisi yang menangani masalah perlindungan untuk anak, dimana Gubernur baru-baru ini mengatur, dan bekerja untuk meningkatkan transparansi dan melindungi anak-anak dalam suatu sistem yang terintegrasi. Komisi ini mencakup perwakilan dari berbagai organisasi, termasuk lembaga negara, organisasi nirlaba dan individu.
Dengan Bob Peake, Direktur Youth Court Servives
Ya, hampir sama dengan Pemprov DKI Jakarta dimana kami mempunyai Gugus Tugas yang menangani masalah (kekerasan) perempuan dan anak. Kedepannya, kami berupaya menjalin sinergi dan saling tukar pandangan tentang kebijakan perlindungan anak di Kota Jakarta dan di Montana.


Oh ya, dulunya, pada Abad ke-17, kota yang dibangun pada tahun 1864 ini pernah ramai dengan tambang emasnya. Lanskap Helena sendiri seperti piring, dikelilingi pegunungan dengan sebagian sisi tampak putih terselimuti oleh salju sisa musim dingin. Meski kami tiba di awal musim semi, namun dingin masih menyergap. Kota ini seperti Kota Bukittinggi, Sumetera Barat  yang dikelilingi oleh Pegunungan Bukit Barisan. Ya, kota kecil nan indah ini laksana serpihan surga yang tercecer di utara amerika.

Selasa, 14 Maret 2017

Dimana Makan Soto Betawi yang Asli..?

Soto. Makanan berkuah ini sangat terkenal bukan saja di Jakarta bahkan menjadi kuliner andalan daerah-daerah lain di Indonesia. Sebut saja yang terkenal dan banyak di jumpai di Jakarta seperti; Soto Kudus; Soto Lamongan; Soto Padang; Dan Soto Bogor. Nah, Jika daerah lain memakai nama kota sebagai nama soto-nya, namun tidak demikian dengan Jakarta. Makanan berkuah yang kental dengan aroma rempah dan santan ini tidak dinamakan dengan Soto Jakarta, namun merujuk pada etnis asli Jakarta yakni Betawi. Jadilah namanya “Soto Betawi”.

Bagi anda pecinta kuliner dan senang berburu sajian kuliner yang menggugah rasa dan selera, tentu tidak lah sulit untuk membedakan antara sop (betawi) dan soto (betawi). Meski sama-sama berkuah dan berkaldu --dengan bahan utama berisi irisan daging-- namun sop (betawi) dan soto (betawi) mempunyai perbedaan rasa dan aroma yang kontras. Biasanya sop (betawi)  berkuah bening, alias tanpa santan, sedangkan soto (betawi) memakai santan yang sangat kental. Namun, pakem ini tidak berlaku untuk penyebutan soto khas dari suatu daerah. Soto Kudus misalnya, ia berkuah bening. Demikian pula Soto Bogor dan Soto Lamongan. Semuanya nyaris tanpa santan. Nah, untuk kita para pecinta kuliner khas betawi, maka jangan sampai salah untuk membedakan penyebutan sop (betawi) dan soto (betawi) bila memesan makanan di rumah makan khas Betawi yang tersebar di Jakarta. Ingat, keduanya berbeda.

Soto Betawi, --selain gado-gado-- tentunya menjadi trade mark dan legacy aneka kuliner asli Jakarta. Dari namanya yang mewakili etnis, tentu akan lebih nikmat jika olahan soto ini dibuat langsung oleh orang Betawi asli. Untuk rasa memang tak mengenal kompromi. Rasa adalah nomor satu. Banyak pengunjung yang rela antri agar dapat menikmati lezatnya soto Betawi (asli) saat jam makan tiba. Ini bisa dilihat di beberapa warung makan Soto Betawi terkenal seperti di kawasan Pondok Pinang, Kebayoran, dekat kantor Fed**; Adapula warung soto Betawi Bang Husin, di Manggarai, Jakarta Selatan. Bila di Bang Husin, disajikan dalam mangkok, menariknya, warung soto Sambung Nikmat di Pondok Pinang disajikan dalam sebuah piring besar. Bagiku, lantaran porsinya jumbo, satu porsi piring besar ini bisa disantap oleh dua orang.

Makin terkenal warung soto-nya, makin mahal pula harga untuk se-porsi soto yang ditawarkan. Soto yang enak biasanya mempunyai kuah santan yang kental dengan rasa rempah-rempah yang ‘nendang’. Biasanya kisaran harganya antara 15 hingga 45 ribu per porsinya. Meski tergolong mahal, namun tak menyurutkan pecinta kuliner untuk berburu dan menyantap soto kegemaran mereka. Harga nomor sekian, asalkan rasanya enak. Meski begitu, adapula warung atau rumah makan yang menyajikan Soto Betawi bagi mereka yang berkocek tipis. Soal rasa, ya lumayan lah. Not bad. Untuk soto Betawi level ini biasanya dibanderol dengan harga kisaran 15 hingga 20 ribu per-porsinya.

Bagi anda yang ragu apakah warung soto tersebut asli betawi atau tidak, biasanya salah satu cirri-nya adalah adanya toples yang berisi racikan acar sebagai penambah selera atau kudapan penutup sehabis bersantap soto. Konon, acar ini disediakan sebagai penawar atau penetralisir rasa kuah santan yang menyengat. Acar ini terdiri dari timun dan wortel yang diiris kecil berbentuk dadu dengan campuran air cuka, cabe rawit, dan bawang merah mentah.

Uniknya, tidak seperti soto dari daerah lain di Nusantara, Soto Betawi (asli) tidak memakai ayam sebagai menu utamanya, namun selalu memakai daging sapi atau kerbau yang digoreng kering. Disamping itu, irisan kaki, babat, otak, torpedo, dan paru kerap disajikan sebagai pendamping dari daging, tergantung dari selera penikmat. Dengan olahan bumbu bersari santan kelapa kental dengan kuah berwarna kuning kemerah-merahan, Soto Betawi akan nikmat dimakan sewaktu jam makan siang ataupun malam hari.


Selain gorengan dari daging kerbau atau sapi, semangkuk atau satu porsi Soto Betawi akan berisi irisan tomat segar, daun bawang, potongan kentang goreng, plus taburan emping. Tak ketinggalan pula sebotol kecap manis dan seiris jeruk limau sebagai penambah citarasa. Soto Betawi selalu disajikan dengan seporsi nasi putih hangat dengan taburan bawang goreng diatasnya. Sungguh nikmat rasanya menyantap soto sambil ditemani oleh air teh tawar hangat. Mari berburu soto aseli Betawi!!

Minggu, 12 Maret 2017

Pertemuan dengan OJJDP

Hari ini berbeda dengan sebelumnya, meski masih dingin, namun terasa lebih hangat. Salah satu agenda kami pada 08 Maret 2016 yang telah disusun yakni pertemuan dengan pejabat dari Kementerian Kehakiman Amerika Serikat di Washington DC. Sebelum bertemu, seperti biasa kami akan melewati serangkaian pemeriksaan keamanan yang cukup ketat. Pasport dan undangan harus kami perlihatkan kepada security yang bertugas, lalu kami dipersilakan menunggu di sebuah ruangan khusus. Setelah memastikan segalanya Ok, kami pun akhirnya dapat bertemu dengan Jeffrey S. Gersh, selaku Deputy Administrasi pada Office of Juvenile Justice and Delinquency Prevention (OJJDP).

Apa sih OJJDP itu? OJJDP adalah Kantor yang mengurusi masalah remaja yang berhadapan dengan hukum. Kantor ini bersinergi untuk memperkuat sistem peradilan anak dan mendukung/membantu remaja dalam menghadapi kasus hukumnya.

OJJDP bekerja sama dengan para profesional dari berbagai disiplin ilmu untuk meningkatkan kebijakan dan praktik peradilan anak di Amerika Serikat. Oh ya, OJJDP ini merupakan komponen dari Office of Justice Programs di Kementerian kehakiman AS. Salah satu misi dari kantor ini adalah menyelesaikan dan mendukung negara, masyarakat lokal, dan yurisdiksi etnik dalam upaya mereka untuk mengembangkan dan melaksanakan program-program yang efektif bagi remaja. Kantor berusaha untuk memperkuat upaya sistem peradilan anak untuk melindungi keselamatan publik, juga bertanggung jawab untuk memberikan layanan yang memenuhi kebutuhan remaja dan keluarga mereka.


Sayang sekali karena terikat aturan dan kode etik, beberapa bahasan dalam pertemuan itu tak dapat saya publish (off the record). Hanya beberapa gambar –yang setelah diizinkan- boleh saya ambil sebagai kenang-kenangan.

Kamis, 09 Maret 2017

Rano, Sang Legenda Remaja Sepanjang Masa

Baru saja aku membaca kisah hidup Rano Karno yang dibukukan oleh penerbit Gramedia. Bukunya berisi kisah dan perjalanan hidup putra aktor legendaris Sukarno M. Noer,  dari sejak kecil, yang tinggal di gang sempit berbau (maaf) ta*, di kawasan Kemayoran, hingga ia menjadi Gubernur Banten menggantikan Atut. Meski aku dan Rano tidak seumuran, dan berbeda generasi, namun saat aku kecil, aku sangat akrab dengan film-film yang ia bintangi. Maklum saja, zaman aku SD hanya film yang dibintangi oleh Si Doel lah yang merajai jagat bioskop di tanah air. Film-film Rano sering pula di putar di TVRI, sebagai satu-satunya tipi pada masa itu. Jadi, tak mengherankan bila hanya Rano lah bintang dan idola remaja saat itu. Bukan profile Rano yang ingin aku ulas, namun aku ingin berbagi kisah tentang figur dan idola remaja pada masaku. Figur mereka tentu tak lepas dari film-film yang mereka bintangi.

Bagi remaja seusiaku, saat itu di tahun 90-an, kami nyaris tak punya figur idola remaja. Memang selepas era Rano, aku masih ingat, ada beberapa artis yang menjadi teen figure. Saking ngetop-nya, wajah mereka dengan mudah ditemukan di sampul buku tulis sekolah. Namun figur seperti Dina Mariana, Richi Ricardo ataupun Ongky Alexander, menurutku, (maaf) kualitas dan ketokohan mereka masih jauh dibawah Rano, cs. Sialnya lagi disamping krisis figur, tak ada satu pun film yang mewakili generasi kami. Kalaupun ada, palingan cuma sinetron serial “Rumah Masa Depan” yang dibintangi oleh Septhian Dwi Cahyo Cs dan serial “Aku Cinta Indonesia” (ACI).

Lain halnya bagi kakak-kakak-ku yang lahir di tahun 60-an, mereka masih sempat menyaksikan film dari kisah percintaannya  Rano Karno dan Yessy Gusman. Sebut saja misalnya film “Selamat Tinggal Masa Remaja”, ataupun “Ali Topan Anak Jalanan”. Rano, sang legenda remaja saat itu sering tampil di film-film ber-genre percintaan dan kisah kasih remaja di sekolah. Saat ini mungkin sosok Rano bisa diwakilkan oleh Reza Rahardian Si pemeran Habibie yang laris ditanggap sebagai pemeran utama film-film ber-genre anak muda.

Sama seperti generasi remaja tahun 80-an, begitupun halnya dengan remaja yang tumbuh di era tahun 2000-an, mereka punya kisah kasih romantis yang bisa diceritakan untuk anak cucunya. Mereka punya film “Ada Apa Dengan Cinta” (AADC) yang fenomenal, yang dibintangi oleh Dian Sastro, perempuan dengan kecantikan khas Jawa-nya, dan Nicholas Saputra sebagai icon remaja saat itu.

Bagiku yang lahir tahun 70-an, tentu sudah out of date tuk hanyut dalam kisah romantika Rangga dan Cinta, pasalnya saat film itu di luncurkan, aku baru saja tamat kuliah. Tak seumur dengan setting film AADC itu yang berseragam putih abu-abu anak remaja SMA. AADC adalah film-nya generasi adikku. Ya, saat film itu booming, adikku baru saja lulus SMU.

Sejujurnya aku iri dengan mereka yang lahir pada tahun 80-an dan 60-an. Betapa bahagianya mereka. Ada cerita dan kisah film atau tontonan yang bisa diceritakan diantara mereka. Ada tokoh yang menjadi idola, kebanggaan, dan pujaan mereka. Bagi mereka kelahiran tahun 60-an saat beranjak remaja, maka mereka hidup di tahun 80-an. Banyak film-film berkisah asmara anak muda hadir di tengah-tengah mereka. Saya masih ingat bintang idola remaja kelahiran 60-an antara lain: Rano Karno; Herman Felani; Lydia Kandau; dan Yessy Gusman. Film-film remaja yang dibintangi mereka pun banyak. Seperti; Selamat Tinggal Masa Remaja; Selamat Tinggal Duka; Masih Adakah Cinta, dan film-film roman picisan yang menjadi hits dan merajai blantika perbioskopan tanah air.

Bayangkan saja, anak remaja seusiaku, saat itu tak ada film percintaan remaja yang layak diobrolkan. Kalaupun ada hanya film-film sex murahan seperti: “Ratu Laut Selatan”, dengan bintang film sekelas; Febby Lawrence; Meriam Bellina; Yurike Prastica; Ataupun Sally Marcellina. Tak ada yang lain. Tahun 90-an itu, saat aku remaja, jagat perfilm-an di tanah air hanya dipenuhi dengan 3 (tiga) tema, yakni: Sex; Action (laga); Dan mistis. Judulnya pun tak jauh dari kata-kata yang ada dalam stensilan-nya Enny Arrow; seperti: Gairah Malam; Kenikmatan Tabu; ataupun Ranjang yang Ternoda. Masih untung tak selamanya judul-judul seperti itu merajai jagat perbioskopan nusantara; Film-film bermutu pun bukannya tak ada, namun segmen-nya terlalu luas untuk dibilang sebagai film anak muda/remaja. Film berjudul Perwira dan Ksatria yang dibintangi Dede Yusuf boleh juga dikatakan sebagai film yang mewakili genre remaja, namun film itu tidak se-booming film remaja generasi AADC.


Itulah zaman saat aku remaja. Meski tak ada kisah (film) yang patut diceritakan, namun aku bangga pernah menjadi anak yang tumbuh dan besar tanpa gadget dan masih menikmati aneka permainan khas anak kampung. Mungkin generasi-ku lah, generasi (remaja) terakhir yang selamat dari arus informasi dan hoax yang diakibatkan oleh kemunculan sosial media macam twitter, facebook dan kroni-kroninya. Dan, Rano Karno masih menjadi legenda, setidaknya bagiku..