Bagi anda yang pernah di opname di rumah sakit, tentu akan
menyaksikan momen saat pergantian (aplusan)
perawat. Tatkala tiba waktu aplusan,
perawat lama akan mendampingi perawat baru berkeliling menengok para pasien. Perawat
yang lepas tugas akan menjelaskan kondisi dan perkembangan terakhir pasien sebelum
diserahterimakan kepada perawat yang menggantikannya. Begitupun dalam aplusan tugas lainnya. Satpam di suatu
perusahaan akan menyerahkan buku besar (stambook)
yang berisi laporan atas kondisi ‘kamtib’
yang ada di perusahaan. Gunanya tentu agar petugas yang baru tahu kondisi real
terakhir yang ia akan hadapi saat bertugas kedepan. Inilah yang dinamakan serah
terima tugas.
Nah, bila pada level bawah (perawat di rumah sakit, dan
satpam di perkantoran) ada kebiasaan serah terima tugas, tentu pada level
pemerintahan (sipil maupun militer) lebih canggih lagi. Bila terjadi pergantian
pejabat, maka di pemerintahan dikenal dengan istilah “Sertijab” atau serah
terima jabatan. Maksudnya tentu agar pejabat baru mengetahui medan tugas serta
apa yang mesti dikerjakan olehnya. Sertijab ini juga semacam perpisahan pejabat
lama dan perkenalan pejabat baru kepada para staf kantornya. Sertijab ini bisa
juga dimaknai sebagai kesinambungan kerja, dimana, jangan sampai terjadi, yang
akan dikerjakan oleh pejabat baru, justru telah digarap oleh pejabat lama,
misalnya. Tentu, yang paling utama dari acara serah terima jabatan ini adalah
ada pengoperan atau pengalihan tanggung
jawab dan wewenang dari pejabat lama ke pejabat baru.
Namun sayangnya kebiasaan baik itu
tampaknya belum berlaku secara menyeluruh di tempatku bekerja. Kalau boleh
dikatakan belum membudaya dan belum membiasa. Hanya pada jabatan di level-level
tertentu saja yang men-tradisikan acara serah terima jabatan (sertijab).
Biasanya, setelah si pejabat baru di lantik di Balaikota, maka pejabat lama
yang digantikannya pun terkena rotasi, (entah itu mutasi, promosi atau demosi).
Pejabat lama pindah ke selatan, pejabat baru masuk di utara. Nah, kedua pejabat
ini tidak janjian untuk bertemu di kantor untuk menserahterimakan tugas,
tanggung jawab, dan jabatannya. Keduanya langsung berkantor di kantor barunya
masing-masing.
Begitulah, si pejabat baru, keesokan
harinya masuk kantor baru. Ia melapor kepada Kepala Kantor/Dinas. Oleh Pejabat
atau staf yang membidangi masalah kepegawaian, ia diantar ke ruang kerjanya,
dan mulailah ia bekerja. Ya, kalau ia sudah paham pekerjaannya lantaran telah
lama menguasai bidang itu, tentu tak jadi masalah. Namun, bila ia orang baru,
tentu ia akan ‘bengong’ dan meraba-raba tugas dan pekerjaan apa yang harus ia
lakukan. Nah, menyiasati hal itu
mulailah ia bertanya-tanya kepada staf (senior)-nya yang lebih paham masalah di
bidang itu. Dan, jadilah si staf senior ini ‘mengajarkan’ bos-nya.
Begitulah yang terjadi. Tampaknya kita
harus membudayakan dan membiasakan trasisi sertijab ini. Tradisi ini harus
diwajibkan, dan menjadi satu kesatuan dalam proses pelantikan jabatan. Contoh
yang bagus dapat kita lihat dalam dunia militer. Biasanya, setelah pejabat baru
dilantik, tak berapa lama akan digelar sertijab, dimana pejabat lama menyerahkan
panji kehormatan kepada atasannya untuk kemudian menyerahkannya kepada pejabat
baru. Begitulah tradisi dan atau kebiasaan baik yang berlaku di militer.
Inilah yang tidak terjadi kemarin, usai
Anies Rasyid Baswedan dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta. Setelah prosesi
pelantikan di istana, seharusnya Djarot Syaiful Hidayat, selaku gubernur lama
(2017) menyambut gubernur baru di Balaikota untuk melaksanakan serah terima
jabatan dengan Anies. Disamping itu, akan terlihat elok bila Djarot mengantarkan
dan memperkenalkan Anies kepada para staf dan pejabat dinas yang ada di Pemprov
DKI Jakarta, yang akan membantunya nanti. Mungkin moment dimana Djarot memperkenalkan Anies kepada lingkungan kerja
di Balaikota akan menjadi headline
yang menyejukkan dan tertulis di media dengan judul; “Djarot Menggandeng Tangan
Anies, Memperkenalkan Balakikota”. Dan, kira-kira begini obrolan keduanya saat
di Balaikota:
“Pak
Anies, ini loh pak Andri Yansyah yang ngurusin transportasi di Jakarta.
Pokoknya, kalau ada apa-apa dengan kemacetan Jakarta, jewer aja pak Andri,”
ujar Djarot memperkenalkan Andri Yansyah Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
“Oh,
iya, makasih Pak Djarot, sudah dikenalkan sama Pak Andri,’ jawab Anies
dengan senyum mengembang.
Dalam sertijab itu tentu ada penyampaian
pesan dan harapan dari pejabat lama sebagai refleksi atas kerja, pengabdian,
dan karya yang telah dihasilkan pada 5 tahun yang lalu. Tentu saya berkeyakinan
bahwa dalam momen sertijab itu pejabat lama (PL) akan berkata (entah tersirat
atau tersurat) kepada pejabat baru (PB):
PL: “Pak,
ini loh hasil pekerjaan yang telah kami selesaikan selam kami menjabat. Dan ini
yang belum selesai, kalau bisa mohon
perkenan ini diselesaikan, sayang lho, sudah nanggung, hampir 80 persen
selesai.”
PB: “Oh
ya, tentu akan kami selesaikan nantinya. Kalau pun ada perubahan tentu akan
kami sempurnakan ke arah yang lebih baik”.
Kalalu sudah seperti ini, maka semuanya
akan legawa. Yang telah menjabat rela
melepas jabatannya dengan tenang, sedangkan pejabat baru tahu apa yang akan
dikerjakan dan warisan apa yang mesti diselesaikan. Jalannya pemerintahan pun
akan berkesinambungan. Itulah hikmah sesunguhnya dari serah terima jabatan.
Meski menghadiri dan melaksanakan serah
terima jabatan bukan suatu keharusan, namun inilah suatu tata krama yang
seharusnya dilakukan oleh seorang ksatria. Tampaknya level ‘kenegarawan’ Djarot
hanya sampai tingkat kabupaten. Ia tidak dapat menempatkan diri sebagai seorang
tokoh yang layak dijadikan panutan.
Bahkan saking
geram-nya dengan tindakan Djarot --saat menyaksikan tayangan televisi tatkala
ia asyik berlibur di Labuhan Bajo--, istri-ku sempat bergumam bahwa dia
(Djarot) type orang yang tak punya tata krama yang tinggi. “Memangnya liburan gak bisa diundur sehari,
kan dia (djarot) sudah tau kalau hari senin itu Anies dilantik,” ujar
istriku. Maklum, istri saya sangat njawani
sekali, ia wanita Klaten, Jawa Tengah, perasaan dan pembawaannya memang halus.
Aku hanya tersenyum mendengar gumamannya. Tampaknya istriku begitu naïf dengan menganggap
bahwa tiap orang Jawa pasti santun dan bertata krama yang tinggi.
Maka ingatlah, kekuasaan itu ada batasnya. Tak
selamanya kita mengangkangi jabatan dan kekuasaan. Ada masanya kita akan surut
(fade away). Hari ini dilantik, maka
esok atau kapan saja, kita akan menyerahkan jabatan itu kepada pengganti kita.
Tak ada yang abadi. Yang abadi adalah sifat ksatria kita yang akan kita
wariskan pada anak cucu kita kelak.