Minggu, 29 Oktober 2017

Makna Penting Dibalik Sertijab

Bagi anda yang pernah di opname di rumah sakit, tentu akan menyaksikan momen saat pergantian (aplusan) perawat. Tatkala tiba waktu aplusan, perawat lama akan mendampingi perawat baru berkeliling menengok para pasien. Perawat yang lepas tugas akan menjelaskan kondisi dan perkembangan terakhir pasien sebelum diserahterimakan kepada perawat yang menggantikannya. Begitupun dalam aplusan tugas lainnya. Satpam di suatu perusahaan akan menyerahkan buku besar (stambook) yang berisi laporan atas kondisi ‘kamtib’ yang ada di perusahaan. Gunanya tentu agar petugas yang baru tahu kondisi real terakhir yang ia akan hadapi saat bertugas kedepan. Inilah yang dinamakan serah terima tugas.

Nah, bila pada level bawah (perawat di rumah sakit, dan satpam di perkantoran) ada kebiasaan serah terima tugas, tentu pada level pemerintahan (sipil maupun militer) lebih canggih lagi. Bila terjadi pergantian pejabat, maka di pemerintahan dikenal dengan istilah “Sertijab” atau serah terima jabatan. Maksudnya tentu agar pejabat baru mengetahui medan tugas serta apa yang mesti dikerjakan olehnya. Sertijab ini juga semacam perpisahan pejabat lama dan perkenalan pejabat baru kepada para staf kantornya. Sertijab ini bisa juga dimaknai sebagai kesinambungan kerja, dimana, jangan sampai terjadi, yang akan dikerjakan oleh pejabat baru, justru telah digarap oleh pejabat lama, misalnya. Tentu, yang paling utama dari acara serah terima jabatan ini adalah ada pengoperan atau pengalihan tanggung jawab dan wewenang dari pejabat lama ke pejabat baru.

Namun sayangnya kebiasaan baik itu tampaknya belum berlaku secara menyeluruh di tempatku bekerja. Kalau boleh dikatakan belum membudaya dan belum membiasa. Hanya pada jabatan di level-level tertentu saja yang men-tradisikan acara serah terima jabatan (sertijab). Biasanya, setelah si pejabat baru di lantik di Balaikota, maka pejabat lama yang digantikannya pun terkena rotasi, (entah itu mutasi, promosi atau demosi). Pejabat lama pindah ke selatan, pejabat baru masuk di utara. Nah, kedua pejabat ini tidak janjian untuk bertemu di kantor untuk menserahterimakan tugas, tanggung jawab, dan jabatannya. Keduanya langsung berkantor di kantor barunya masing-masing.

Begitulah, si pejabat baru, keesokan harinya masuk kantor baru. Ia melapor kepada Kepala Kantor/Dinas. Oleh Pejabat atau staf yang membidangi masalah kepegawaian, ia diantar ke ruang kerjanya, dan mulailah ia bekerja. Ya, kalau ia sudah paham pekerjaannya lantaran telah lama menguasai bidang itu, tentu tak jadi masalah. Namun, bila ia orang baru, tentu ia akan ‘bengong’ dan meraba-raba tugas dan pekerjaan apa yang harus ia lakukan. Nah, menyiasati hal itu mulailah ia bertanya-tanya kepada staf (senior)-nya yang lebih paham masalah di bidang itu. Dan, jadilah si staf senior ini ‘mengajarkan’ bos-nya. 

Begitulah yang terjadi. Tampaknya kita harus membudayakan dan membiasakan trasisi sertijab ini. Tradisi ini harus diwajibkan, dan menjadi satu kesatuan dalam proses pelantikan jabatan. Contoh yang bagus dapat kita lihat dalam dunia militer. Biasanya, setelah pejabat baru dilantik, tak berapa lama akan digelar sertijab, dimana pejabat lama menyerahkan panji kehormatan kepada atasannya untuk kemudian menyerahkannya kepada pejabat baru. Begitulah tradisi dan atau kebiasaan baik yang berlaku di militer.

Inilah yang tidak terjadi kemarin, usai Anies Rasyid Baswedan dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta. Setelah prosesi pelantikan di istana, seharusnya Djarot Syaiful Hidayat, selaku gubernur lama (2017) menyambut gubernur baru di Balaikota untuk melaksanakan serah terima jabatan dengan Anies. Disamping itu, akan terlihat elok bila Djarot mengantarkan dan memperkenalkan Anies kepada para staf dan pejabat dinas yang ada di Pemprov DKI Jakarta, yang akan membantunya nanti. Mungkin moment dimana Djarot memperkenalkan Anies kepada lingkungan kerja di Balaikota akan menjadi headline yang menyejukkan dan tertulis di media dengan judul; “Djarot Menggandeng Tangan Anies, Memperkenalkan Balakikota”. Dan, kira-kira begini obrolan keduanya saat di Balaikota:
Pak Anies, ini loh pak Andri Yansyah yang ngurusin transportasi di Jakarta. Pokoknya, kalau ada apa-apa dengan kemacetan Jakarta, jewer aja pak Andri,” ujar Djarot memperkenalkan Andri Yansyah Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
Oh, iya, makasih Pak Djarot, sudah dikenalkan sama Pak Andri,’ jawab Anies dengan senyum mengembang.

Dalam sertijab itu tentu ada penyampaian pesan dan harapan dari pejabat lama sebagai refleksi atas kerja, pengabdian, dan karya yang telah dihasilkan pada 5 tahun yang lalu. Tentu saya berkeyakinan bahwa dalam momen sertijab itu pejabat lama (PL) akan berkata (entah tersirat atau tersurat) kepada pejabat baru (PB):
PL: “Pak, ini loh hasil pekerjaan yang telah kami selesaikan selam kami menjabat. Dan ini yang belum selesai, kalau bisa mohon perkenan ini diselesaikan, sayang lho, sudah nanggung, hampir 80 persen selesai.”
PB: “Oh ya, tentu akan kami selesaikan nantinya. Kalau pun ada perubahan tentu akan kami sempurnakan ke arah yang lebih baik”.

Kalalu sudah seperti ini, maka semuanya akan legawa. Yang telah menjabat rela melepas jabatannya dengan tenang, sedangkan pejabat baru tahu apa yang akan dikerjakan dan warisan apa yang mesti diselesaikan. Jalannya pemerintahan pun akan berkesinambungan. Itulah hikmah sesunguhnya dari serah terima jabatan.

Meski menghadiri dan melaksanakan serah terima jabatan bukan suatu keharusan, namun inilah suatu tata krama yang seharusnya dilakukan oleh seorang ksatria. Tampaknya level ‘kenegarawan’ Djarot hanya sampai tingkat kabupaten. Ia tidak dapat menempatkan diri sebagai seorang tokoh yang layak dijadikan panutan.

Bahkan saking geram-nya dengan tindakan Djarot --saat menyaksikan tayangan televisi tatkala ia asyik berlibur di Labuhan Bajo--, istri-ku sempat bergumam bahwa dia (Djarot) type orang yang tak punya tata krama yang tinggi. “Memangnya liburan gak bisa diundur sehari, kan dia (djarot) sudah tau kalau hari senin itu Anies dilantik,” ujar istriku. Maklum, istri saya sangat njawani sekali, ia wanita Klaten, Jawa Tengah, perasaan dan pembawaannya memang halus. Aku hanya tersenyum mendengar gumamannya. Tampaknya istriku begitu naïf dengan menganggap bahwa tiap orang Jawa pasti santun dan bertata krama yang tinggi.


Maka ingatlah, kekuasaan itu ada batasnya. Tak selamanya kita mengangkangi jabatan dan kekuasaan. Ada masanya kita akan surut (fade away). Hari ini dilantik, maka esok atau kapan saja, kita akan menyerahkan jabatan itu kepada pengganti kita. Tak ada yang abadi. Yang abadi adalah sifat ksatria kita yang akan kita wariskan pada anak cucu kita kelak. 

Rabu, 25 Oktober 2017

Haruskah Mengadu Langsung Ke Gubernur Anies Baswedan?

Dulu, saat Jakarta masih dipimpin oleh Fauzi Bowo (Foke), tak tampak kerumunan warga yang menghadang sang gubernur --begitu tiba di kantornya-- untuk mengadukan permasalahnnya. Apakah ini indikasi tak ada masalah dalam kehidupan warga? Tentu tidak! Masalah dan urusan warga yang butuh pemecahan dari aparat pemerintah Provinsi DKI Jakarta tentu ada. Mulai dari ngurus KTP/KK; Akte Kelahiran/Kematian; Izin domisili; sampai pada permasalahan saluran air (got) yang mampet. Lalu apakah untuk urusan yang ‘remeh temeh’ itu warga mengadu ke Balaikota (Foke)? Tidak, saat itu cukup diselesaikan oleh Pak Lurah dan stafnya saja.

Beda dengan Foke. Dimasa Ahok menjabat sebagai gubernur, ia terlalu one man show. Ibaratnya, bila tanpa Ahok maka pemerintahan Provinsi DKI Jakarta akan berhenti. Itulah yang terjadi saat itu, setiap permasalahan, baik itu besar atau kecil, warga maunya ngadu langsung ke gubernur tanpa terlebih dahulu mengadu ke para stafnya (pejabat dibawahnya). Jadilah saban hari kantor Balaikota kebanjiran warga yang datang mengadu ke gubernurnya. Dari (permasalahan) yang ecek-ecek, hingga yang memang Ahok sendiri yang harus turun tangan untuk mengeluarkan arahan (disposisi). Sayangnya, tak semua yang datang ke Balaikota memang membutuhkan arahan dan pemecahan langsung oleh gubernur. Banyak juga yang datang hanya untuk sekadar mencari popularitas (sensasi), diliput media, bahkan ada warga Bekasi yang mengadu ke Gubernur DKI Jakarta, ckck.. dan, --tentu-- ber-selfi dengan gubernur.


Dan inilah kesalahan sistem yang dibangun oleh Ahok. Seharusnya ada mekanisme pengaduan yang tertata dengan baik, sehingga permasalah itu dapat tersaring, hingga permasalahan tertentu (berat dan penting) saja yang bisa naik hingga ke level gubernur. Maka menjadi pertanyaan, apakah aparat pemerintahan di tingkat bawah tidak bekerja, sehingga permasalahan warga harus sampai ke gubernur? Rasanya tidak! Tak ada permasalahan, even berat sekalipun yang tak dapat kami tangani. Selama ini sistem pelayanan kepada warga telah berjalan dengan baik. Masing-masing jenis pelayanan/perizinan ada tingkatannya. Contoh, untuk urusan nutup jalan buat acara ngawinin anak, maka izinnya cukup di tingkat kelurahan, agar nantinya Satpol PP tingkat kelurahan berkoordinasi dengan Bhabinkamtibmas Polsek. Begitupun kalau ada warga yang hendak membangun apartemen atau sarana olahraga (lapangan futsal) maka kewenangan perizinan itu tentu ada di tingkat kota. Semuanya sudah ter-sistem dengan baik.

Selama saya bekerja di lapisan bawah pemerintahan, tepatnya di kelurahan, saban hari tak kurang puluhan warga datang ke kantor kelurahan. Beragam permasalahan dan aduan yang mereka bawa ke kami, aparat pemerintah di kelurahan. Ada yang datang hanya bersandal jepit, dengan busana ala ‘dasteran’, adapula yang datang dengan harum parfum yang menggoda, memakai busana kerja dengan sepatu tersemir mengkilap, menandakan dari kalangan mana mereka berasal. Dengan profesional kami layani mereka tanpa pilah-pilih dalam memperlakukan mereka. Intinya, semua yang datang harus tertib, ngantri, menunggu pelayanan.  

Dari berbaur dan merasakan terjun langsung dalam pelayanan warga masyarakat di level terbawah pemerintahan (kelurahan), saya jadi tahu pattern atau pola permasalahan di masyarakat. Masalah yang ada dalam kehidupan mereka tak jauh dari urusan ekonomi, yakni minta keringanan. Keringanan dalam urusan apapun. Nah, permasalahan utama yang sering terjadi dalam masyarakat dapat saya bagi kedalam empat bidang, yakni; Pendidikan; Kesehatan; Kependudukan; dan Pertanahan (Perumahan).

Pendidikan misalnya, warga datang untuk meminta keringanan SPP; Meminta agar di catat sebagai warga tidak mampu untuk memperoleh KJP (Kartu Jakarta Pintar). Kesehatan pun demikian, warga meminta surat keterangan keringanan biaya rumah sakit; Meminta dibuatkan KJS (Kartu Jakarta Sehat) atau BPJS Kesehatan. Untuk masalah kependudukan: Mengurus KK/KTP; Domisili/pindah; Surat Keterangan Kelahiran/Kematian, Surat Pengantar Nikah, dsb. Adapun terkait pertanahan/perumahan: Balik nama/keringanan pembayaran PBB; Jual beli tanah/rumah; Meminta jatah rusun; Izin mendirikan/merenovasi bangunan (IMB), dsb. Tak ada yang keluar dari tuntutan (permintaan) seperti itu. Tak ada permasalahan yang aneh-aneh, seperti permintaan memindahkan sarang lebah/tawon dari rumah salah satu warga, yang, tentu untuk masalah ini, kami, pihak kelurahan harus berkoordinasi dengan Dinas Pemadam Kebakaran, hehe..

Nah, laksana penyakit, maka aduan atau masalah yang dihadapi warga masyarakat levelnya hanya sakit ‘demam (radang tengorokan) biasa’, dan cukup diselesaikan di tingkat kelurahan saja. Lha, bila setiap ‘demam biasa’ warga mengadu ke gubernur, lalu untuk apa fungsi Kelurahan/Kecamatan dan Kantor Walikota? Gubernur tentu tak mesti meng-handle permasalahan yang ecek-ecek, justru gubernur dituntut untuk bekerja secara professional. Mengeluarkan kebijakan pro rakyat yang bersifat makro (global) sebagai guidance bagi bawahannya. Memonitor kerja bawahannya. Jika ada yang tak beres dengan arahan dan kebijakan gubernur, maka ia akan ‘menjewer’ bawahannya. Begitulah seharusnya managemen kepemimpinan yang baik dan benar. Ada pembagian tugas dan wewenang.

Anies dan Sandi tampaknya tahu betul bagaimana menjadi pemimpin yang baik, dan ini telah diterapkan oleh keduanya. Pendelegasian wewenang, tugas dan tanggung jawab, misalnya. Anies dan Sandi yang paham hal itu tentu tidak ingin show off dengan menampilkan kesan ke masyarakat bahwa bawahan mereka tidak bisa bekerja dan hanya mereka berdua yang hero dan smart. Untuk itulah mekanisme pengaduan itu perlu dibuat agar fungsi Kelurahan, Kecamatan, Kantor Walikota, serta seluruh Badan dan Dinas di pemerintahan Provinsi DKI Jakarta bisa berfungsi dan bekerja secara optimal sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) sehingga tidak semua masalah diadukan ke Balaikota, ke kantor gubernur.

Dan, justru disinilah Gubernur Anies Baswedan ingin mewargakan warga Jakarta. Menempatkan warga Jakarta sebagai raja dan tuan di rumahnya sendiri. Dan, bahwa bila ada permasalahan warga, maka mereka cukup datang hanya sampai kantor Kelurahan/Kecamatan saja. Jadi, buat apa ke (Balaikota) Gubernur bila permasalahan itu dapat ditangani oleh Lurah, Camat, Walikota atau Kepala Dinas? Namun, bila mereka semua ‘angkat tangan’, maka Gubernur Anies-lah yang akan turun tangan langsung dan memberikan arahan atau disposisi pada mereka. Inilah (sistem) yang dibangun oleh Gubernur Anies Baswedan.

Kebijakan ini tentu bukan untuk membatasi warga masyarakat bertemu atau mengadukan permasalahan (curhat) kepada gubernur idolanya, tidak! Gubernur Anies Baswedan selalu welcome terhadap warga yang datang. Namun ini dimaksudkan agar perangkat pemerintahan Kota Jakarta bekerja dengan sistem yang tertata baik. Sebagai pemimpin, Anies percaya bahwa semua pegawai pemerintah provinsi DKI Jakarta mulai dari tingkatan terendah hingga Sekda akan bekerja secara sungguh-sungguh untuk kemajuan kota Jakarta. Melayani warga Jakarta dengan sepenuh hati dan seoptimal mungkin demi kesejahteraan warga Jakarta.

Akhirnya, mari kita bantu pekerjaan Gubernur Anies Baswedan dengan tidak membebani beliau dengan urusan yang ecek-ecek, yang sejatinya urusan itu bisa diselesaikan di kantor kelurahan saja. Mari kita bantu Gubernur Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno agar konsentrasi bekerja untuk meningkatkan harkat dan martabat kita sebagai warga Jakarta.

Sumber Foto:
https://news.detik.com/berita/3690397/anies-persilakan-warga-mengadu-seperti-era-ahok-djarot
http://megapolitan.kompas.com/read/2016/10/21/13151281/di.tengah.antrean.di.balai.kota.warga.bekasi.mengadu.ke.ahok


Senin, 09 Oktober 2017

Cium Tangan; Bahkan Mafioso Italia Pun Melakukannya

Tak hanya para mafioso di Italia sana yang lazim mencium tangan sebagai tanda tunduk, hormat dan pemasrahan diri pada para godfather atau pelindungnya, dalam masyarakat muslim di Indonesia, kebiasaan cium tangan ini sudah menjadi adat atau kelaziman yang banyak kita jumpai dalam keluarga. Biasanya, cium tangan kerap dilakukan oleh orang muda kepada yang paling tua. Anak kepada orang tuanya, murid kepada gurunya, istri kepada suaminya, dan bahkan yang lebih ‘gila’ lagi, bawahan kepada atasannya. Cium tangan ini sebagai wujud tanda bakti, penghormatan, kepasrahan dan penyerahan diri dari yang mencium tangan kepada yang diciumi tangannya.

Dari kecil, oleh orang tua, saya diajarkan untuk mencium tangan kepada para ncang, ncing, dan kerabat keluarga orang tua saya, terlebih kepada guru-guru yang mengajar saya di sekolah. Ciuman di telapak tangan yang diajarkan oleh orang tua saya tentu berbeda dengan ciuman tangan anak milenial zaman sekarang. Anak zaman sekarang kebanyakan meletakkan tangan orang yang diciumnya di dahi, atau dipipinya. Jarang yang meletakkan tangan di hidungnya, seperti waktu saya kecil dulu.

Cara dan gaya cium tangan ini tampaknya telah berubah mengikuti mode dan perkembangan zaman. Anak zaman sekarang tak lagi diajarkan bagaimana mencium tangan dengan sempurna. Memang, tak ada aturan baku (manner) dalam tata cara mencium tangan. Cium tangan yang sering saya lakukan ke orang tua atau guru saya tentu berbeda dengan cium tangan gaya mafioso Italia, ataupun cara cium tangan para pembesar (pangeran) dari Eropa terhadap tuan putri-nya.

Itulah yang terjadi. Setelah hampir lebih dari seperempat abad tak bersua dan mencium tangannya, barulah pada Ahad, 08 Oktober 2017, kemarin, tanganku kembali dapat mencium tangannya. Ada getaran dan aura berbeda yang kurasakan, namun getaran dan wangi tangannya itu masih sama saat pertama kali saya mencium tangannya sekitar pertengahan tahun 1988. Meski genggaman tangannya tak sekeras dulu, namun kelembutan tangannya masih kurasakan. Tak banyak yang berubah dari menantu KH. Abdul Manaf Mukhayar ini. Meski bicaranya pelan dan tak selantang dulu, namun logat Cirebon-nya masih tampak kental terdengar di telingaku saat kami duduk bersanding berdua.

Dahulu, saat itu kami para pelajar atau santri Pondok Pesantren Darunnajah, Ulujami, Kebayoran Lama (waktu itu belum menjadi bagian dari Kecamatan Pesanggrahan) begitu mudahnya berjabat tangan dengannya. Bahkan, saking mudahnya, sehari bisa lima kali cium tangan, bolak balik! Pasalnya, hampir saban shalat rawatib beliau meng-imami kami, para santrinya. Tak (jarang) pernah absen! Nah bila pengen berjabat dan mencium tangannya, maka datanglah di awal waktu sholat dan duduk persis dibelakang mihrab imam. Selepas shalat, beberapa santri yang berada dekat posisi imam berebutan untuk ngalap berkah dan mencium tangannya. Dan itu menjadi kebahagian tersendiri bagi para santri baru, seperti kami. Bagi santri lama, mereka cukup tahu diri, jarang yang mengambil shap dimuka, dan sengaja memberikan ‘previllage’ itu untuk para santri junior.

Meski saya dan teman-teman semasa tiga tahun awal pertama di Darunnajah tak pernah sekalipun diajar di kelas oleh beliau, namun kehadirannya dalam meng-imami shalat kami, lima kali dalam sehari, sudah cukup dan sangat besar efeknya dalam menguatkan mental belajar kami. Kehadiran Kyai jebolan Pondok Gontor ini semacam pelecut dan penambah spirit kami dalam mengarungi kehidupan. Asal tahu saja, tak banyak Kyai pimpinan pondok pesantren yang sanggup mengimami para santri-nya lima kali dalam sehari alias total full mengelola dan mengasuh santri-santrinya, even pesantren besar sekelas Tebuireng dan Gontor sekalipun.

Begitulah. Selepas ‘pergi’ di tahun 1991, lantaran tak kuat dengan gigitan bangsat di Pesantren, saya tak pernah sekalipun mencium kembali tangannya. Rada malu juga tatkala saya berucap di dekat telinganya bahwa ini adalah pertemuan kembali saya dan ayah setelah seperempat abad lebih. Ayah berkata lirih: “Kenapa tak main ke pondok dan bertemu ustaz (ayah)?”
Jlebb.. jawaban yang menohok sekaligus membuat diri ini terasa malu didepannya. Ya, meski saya pernah beberapa kali menyambangi pesantrennya, namun untuk bertemu “Sang Ayah” rasanya malu dan sungkan. Apalah artinya saya yang waktu itu masih remaja, masih begajulan. Maqom beliau terlalu tinggi untuk ditemui, padahal ia selalu membuka diri dan mudah ditemui oleh siapa saja, apalagi oleh santrinya sendiri. Maafkan saya ayah yang tak mau menemui ayah sewaktu kunjungan ke pondok.

Oh ya, dulu kami memanggilnya dengan sebutan Kyai Mahrus, sapaan hangat dari KH. Mahrus Amin. Dan, entah sejak kapan pangilan “Kyai Mahrus” berubah menjadi ayah. Panggilan “ayah’ ini dibiasakan dan dibahasakan oleh temen-teman saya yang lebih dekat dengan beliau ketimbang saya. Saya pun awalnya agak kikuk memanggilnya ayah. Namun tatkala saya mendengar teman-teman memanggil ayah kelahiran 14 Februari 1940 ini dengan panggilan sayang ayah, saya pun ikut. Ya, mungkin lantaran kami para santri yang sudah lulus lebih menganggap beliau ini selayaknya ayah kami. Kecuali ayah dalam nasab (biologis), KH. Mahrus Amin adalah ayah dalam segala hal. Mulai dari tempat mengadu, berkeluh kesah, dimintai nasehat, wejangan, sampai tempat kami menumpahkan emosi kami padanya. Suka, duka, sedih, dan gembira.


Maka seperti kepada orang tua dan guru-guru saya yang lainnya, begitupun yang Anda lihat dalam foto yang saya tampilkan, itulah bukti penyerahan diri saya pada figur yang saya hormati, Ayah Mahrus. Lantas, sebagai tanda hormat dan cinta kasih anda, sudahkah anda mencium tangan ayah, bunda, dan orang-orang terkasih di sekeliling Anda??

Kamis, 05 Oktober 2017

Mungkin Ini Sepele, Namun Jangan Sampai Luput Dibawa

Untuk urusan santap makan tampaknya orang Indonesia punya selera yang tinggi. Belum puas dengan olahan bumbu yang telah di racik oleh sang koki atau chef, --sebelum menyantapnya, dengan mencicipi sedikit-- biasanya kita akan menambahkan rasa penyedap (bisa di tambah manis, asin ataupun pedas) kedalam piring atau mangkok makanan, tergantung selera masing-masing.  Barulah hidangan itu kita makan.
Nasi Goreng dari restoran Dynasti, DC

Maka di setiap rumah makan di tanah air, selain kecap (manis/asin), saos tomat dan saos pedas, kadang pula ada garam, ataupun merica yang biasanya tersaji di meja makan. Semua penyedap rasa itu semacam ‘aksesoris’ wajib yang harus ada dan tergeletak diatas meja, di samping tempat untuk menaruh seperangkat sendok/garpu. Bahkan ada pula tambahan kerupuk atau emping tersaji disudut meja makan. Baik itu restoran kelas kaki lima ataupun restoran elite, di Jakarta  ataupun di daerah lainnya, begitulah gambaran mejanya.

Santapan ala mediterania, North Africa
Sebelum berangkat ke Amerika, berulang kali kubaca dan kupelajari kisah perjalanan dari beberapa orang yang ada di blog mereka. Dari situ banyak informasi dan masukan yang kudapatkan, seperti hal-hal kecil yang mungkin sepele yang luput dari pikiran. Colokan listrik misalnya. Disana, model colokannya beda dengan di Indonesa, bentuknya lancip seperti obeng dengan ‘duamata’. Nah, yang pertama kucari dan amankan dalam tas kecilku tentu colokan itu, Jangan sampai gara-gara lupa bawa, hape tak ter-charger. Benda kedua yang kupersipakan dan kubawa adalah detergent. Ya, untuk menghemat pengeluaran, aku sengaja tidak menggunakan jasa laundry di hotel. Nyuci sendiri menjadi pilihan bijak. Meski disana banyak tersedia detergent namun dari literature yang kubaca, ukurannya sangat besar dan tak ada yang seukuran sachet atau sekali pakai. Maka di Jakarta, kubeli detergent yang ukuran kecil, agar begitu selesai nyuci, langsung dibuang tanpa sisa. Beres! Nampaknya tak ada barang remeh temeh namun penting yang luput kubawa. Packing pun dimulai, semuanya masuk ke koper besar dan tas selempang kecil untuk menaruh dokumen-dokumen penting seperti passport dan tiket perjalanan.

Salmon panggang ala Thailand di Reading Market, Philly
Begitulah hingga mendaratlah aku di tanah impian. Nah, begitu tiba waktu makan dan mulai mencicipi pola dan budaya makan Amerika, kejadian juga akhirnya. Ternyata ada satu barang yang luput kubawa. Apa itu? Kecap manis! Ceritanya, waktu pertama kali makan malam, oleh pemandu aku diajak untuk menikmati santap malam di restoran Chinese yang halal, deket dengan Dupont Circle. Mereka sengaja mengajakku ke sana lantaran restoran itu sudah terkenal di kalangan para indonesianis yang tinggal di Washington DC. Beragam menu dengan olahan nasi tersedia. Dan, yang paling favorit tentu saja nasi goreng. Rasanya khas seperti nasi goring (nasgor) yang dijual di restoran-restoran mahal di tanah air. Nah, inilah mulanya. Saat hendak menyantap nasgor, ada rasa yang kurang pas di lidah. Kurang manis. Bila nyantap nasgor di Jakarta, biasanya aku pasti menambahkan kecap manis sebagai penyedap rasa olahan nasgor. Namun yang kulihat tak ada kecap manis tersedia di meja makan ataupun di dapur mereka. Tampaknya mereka tak mengenal rasa Kecap model AB* atau Bang*. Kalaupun ada, bentuk dan rasanya seperti selei manis. Hanya itu. Karena bentuknya seperti jel dan tidak cair, jelas rasanya jadi aneh bila dicampur dengan nasi atau masakan lainnya.

ala vietnam, udang. @St Louis
Apa boleh buat meski tanpa kecap manis, nasgor itu kuhabiskan. Meski habis namun santapanku kurang lahap, kurang nikmat. Malam itu aku belum begitu ‘sakau’ lantaran makan tanpa kecap. Baru pada waktu makan berikutnya, disaat masakan dan makanan itu membutuhkan penyedap rasa dari kecap, mulailah aku mengutuk diri, kenapa waktu di tanah air tak sempat beli kecap botol. Sekiranya aku bawa tentu cita rasa dan kelezatan santapanku akan dahsyat.

Tak hanya di DC, di kota-kota lain pun demikian adanya. Tak ada kecap manis. Hanya ada saos tomat dan sejenis saos cabe (pedas), berbentuk sachet kecil. Sialnya, kecap model (rasa dan bentuk) seperti di tanah air tak kujumpai di toko-toko yang menjual kebutuhan masak. Yang ada hanya produk olahan dari berbagai macam daging dan keju. Kalaupun ada saos, rasa dan bentuknya sangat beda. Biasanya digunakan untuk penambah cita rasa olahan makanan dari Eropa (Italia) atau Afrika Utara.

Ketiadaan kecap ini menjadi masalah bila aku bersantap di rumah makan asia. Dimana selalu tersedia rice dalam salah satu menunya. Menu dan olahan yang disajikan pun sesuai dengan lidah Indonesia. Dan bagiku, kecap manis tentu harus ditambahkan sebagai penyedap rasa. Selama di Amerika, memang tidak selamanya kami memakan masakan asia (oriental). Hanya sesekali saja. Sering kali kami mencoba menu dan masakan berbeda dari berbagai Negara dan budaya. Hari ini makan di restoran Jepang, besok nyicipin makanan ala timur tengah, lusa nyoba makanan afrika utara, (mediterania) lain waktu nyoba makanan asia barat (India, Pakistan, dsk), dan kembali kemakanan amerika (barat). Memang bila kita bersantap dengan makanan style America, kecap manis tak perlu digunakan. Steak misalkan, hanya cukup saos sambal dan tomat. Begitupun sandwich atau burger. Sama seperti Amerika, olahan dari Afrika Utara pun yang rasanya kayak nano nano tidak membutuhkan kecap manis.
Ala Jepang


Begitulah, bagi Anda yang gak bisa lepas dari masakan asia jangan lupa bawa botol kecap/saos agar selera makan anda tak terganggu, hehe..

Selasa, 03 Oktober 2017

Seni Memimpin Rapat

Sebagai staf senior, sering kali saya ditugaskan untuk menghadiri rapat mewakili pimpinan. Beragam rapat saya ikuti. Mulai dari rapat yang sifatnya ecek-ecek, seperti membahas teknis pelaksanaan suatu kegiatan, sampai pada rapat yang rada serius, seperti menentukan rancangan suatu kebijakan. Sayangnya, tidak semua rapat yang saya ikuti terkait bidang dan keahlian saya. Banyak pula disposisi untuk menghadiri rapat, yang datang ke meja saya, yang materinya atau bahasannya tidak saya pahami atau bukan fak saya. Menghadiri rapat kayak gini, saya mengambil sikap mendengarkan dan mencatat, atau bahasa kaum sufi-nya: sami’na wa ato’na, tanpa bisa memberikan pandangan atau masukan. Nah, lantaran sering ditugaskan ikut rapat itulah saya bisa tahu banyak karakter dan sikap pejabat dalam memimpin rapat.

Rapat di jajaran birokrasi tentu berbeda dengan di perusahaan swasta. Rapat di pemerintahan dipimpin oleh pejabat yang menggawangi masalah itu. Asal tahu saja, tak ada rapat yang bisa dipimpin oleh staf senior macam saya, misalnya, meskipun saya sangat ahli dibidang tersebut, atau bahasa kerennya senior expert. Rapat tetap harus dipimpin oleh level pejabat. Biasanya, bila rapat membahas mengenai suatu kebijakan stategis yang mesti diambil atau diputuskan, maka rapat akan dipimpin langsung oleh pejabat level tinggi, bahkan bisa langsung diambil alih oleh gubernur itu sendiri –tentunya dengan didampingi oleh pejabat teknis yang menguasi bidang itu-- untuk memimpinnya.

Mau tahu bagaimana alur rapat yang dipimpin oleh gubernur? Melalui pintu khusus, gubernur akan masuk ke ruang rapat. Beliau menyapa yang hadir, lalu gubernur memberikan arahan atau pandangan secara global. (Jangan dulu berpikir bahwa gubernur akan selalu tahu atau menguasai permasalah itu, tidak! Beliau juga manusia, tak semua masalah ia kuasai dengan baik. Ada panduan atau pointer rapat yang telah disiapkan oleh pejabat/staf yang menguasai teknis permasalahan tersebut. Dari sini gubernur sebelumnya membaca dan mempelajarinya --tentu di ruangannya, agar tak kelihatan bodoh di depan anak buahnya, hehe-- untuk kemudian memimpin dan mengarahkan secara langsung jalannya rapat). Dari arahan itu terbukalah cakrawala dan wawasan peserta rapat akan permasalahan yang sedang dibicarakan. Lalu mulailah para pejabat berbicara dengan tak lupa didahului kata: “mohon izin!” Dari sini, muncullah silang pendapat dan argument untuk kemudian disaring dan diputuskan dalam rapat tersebut.

Bila gubernur memimpin langsung hingga selesai rapat, maka hari itu juga keputusan final bisa diambil tanpa menunggu kembali arahan dari sang gubernur. Namun bila sang gubernur hanya memberi arahan singkat, lalu keluar ruang rapat, maka hasil rapat yang diputuskan akan dibuatkan surat berupa nota dinas yang meminta gubernur untuk memberikan disposisinya. Diakhir paragraf nota dinas HARUS tertulis kalimat: “Demikian laporan ini kami sampaikan, mohon arahan lebih lanjut.”
Begitulah kurang lebihnya.

Kembali ke bahasan saya dimuka. Sayangnya, tidak semua rapat dipimpin oleh mereka yang memang cakap dalam memimpin rapat, even pejabat tinggi level gubernur sekalipun. Ternyata masih banyak pimpinan atau pejabat yang memimpin rapat tidak mengarahkan jalannya rapat agar berlangsung dengan baik. Banyak yang tak cakap dalam men-direct jalannya rapat. Akibatnya (jalannya) rapat sering over time, karena melebar ke hal-hal yang tidak substansial untuk dibahas.

Lalu bagimana sih rapat yang baik itu? Nah, disinilah ada seni tersendiri dalam memimpin rapat agar hal-hal yang tak perlu dibahas dapat dikesampingkan, sehingga jalannya rapat menjadi efektif. Kecakapan memimpin rapat ini tidak ada dalam mata kuliah manapun di dunia. Kecakapan ini menurut saya erat kaitanya dengan pengalaman seseorang dalam berorganisasi. Seni ini mengalir pada jiwa seorang yang mempunyai leadership yang kuat. Ya, kalau semasa kuliah, misalnya, tak aktif berorganisasi, bagaimana mungkin ia dapat mengarahkan topik dan berbicara di depan orang. Hanya mereka yang dulunya aktif dalam organisasi mahasiswa lah yang tahu asam garam dan dinamika pe-rapat-an. Ia tahu bagaimana memimpin. Ia tahu bagaimana mengarahkan orang.  

Karena sering rapat itulah saya dapat menyimpulkan bahwa rapat yang baik itu adalah:
  1. Dipimpin oleh orang yang ngerti masalah yang akan dibicarakan. Sering saya perhatikan pimpinan rapat tidak paham substansi materi pada rapat yang ia pimpin. Akibatnya ia tak dapat memimpin dan mengarahakan alur topik pembicaraan diantara peserta rapat. Harusnya membicarakan A, misalnya, ehh malah topik B yang sering diungkit.
  2. Optimal, alias efektif dari segi penggunaan waktu. Lantaran tak cakap dalam memimpin rapat maka ia tak mampu membatasi topik-topik apa yang menjadi penekanan untuk diselesaikan pembahasannya. Akibatnya, waktu pun terbuang percuma karena habis berkutat membicarakan sesuatu yang di luar substansi rapat.
  3. Tepat sasaran alias goal atau output dari rapat yang  diadakan dapat diperoleh. Sering kita ikut rapat namun selalu tersisa permasalahan yang tidak terpecahkan. Akibatnya rapat yang membahas satu permasalahan yang sama dapat terjadi hingga berjilid-jilid. Atau bahasa sederhananya akan ada rapat lanjutan, hehe..
  4.  Dan terakhir dapat ditemukan solusi pemecahannya.



Begitulah romantika pe-rapat-an yang sering saya jumpai. Tidak semuanya berakhir dengan kekecewaan, bahkan banyak pula rapat yang saya hadiri berakhir dengan hasil sukses, dalam arti; Rapat dimulai tepat waktu; Berlangsung secara singkat: Terakhir, dihasilkan keputusan yang sesuai dengan maksud dan isi rapat. Demikian adanya. 

Tak Ada Office Boy

Lazim bila kita mengikuti meeting atau pertemuan dengan klien dan mitra bisnis, akan ada pegawai kantor yang biasa dipanggil OB atau office boy datang menghampiri kita dan bertanya: “Bapak/ibu mau dibuatkan minum apa?”
Lantaran ditawari seperti itu, biasanya kita sebagai tamu akan tahu diri dengan hanya memesan dua jenis minuman yakni teh, kopi atau bahkan hanya air putih aja. (Jarang dari kita yang ‘ngelunjak’ dengan memesan susu atau kopi susu, hehe). Selain itu, biasanya dapat pula kita memesan (minuman) dingin, hangat, atau panas. Untuk rasa, kita bisa memberi arahan kepada OB agar diracikkan (rasa) tawar, manis atau tidak terlalu manis. Begitulah kebiasaan yang berlaku saat kita datang berkunjung ke kantor relasi bisnis kita di tanah air.

Nah,  kebiasaan seperti yang saya gambarkan diatas takkan pernah anda alami bila anda melakukan meeting dan berkunjung ke kantor counterpart atau relasi anda di Amerika sana. Di Amerika, bila kita mengadakan rapat, maka jangan berharap akan melihat office boy berseliweran dan menyapa kita untuk menawarkan minuman. Di ruangan itu, hanya akan ada kita dan mitra kita. Setelah berjabat tangan dan basa basi menanyakan cuaca atau keadaan lalu lintas sekitar, maka topik bahasan utama pertemuan pun langsung di mulai. Tanpa basa basi. Tadinya aku masih berharap bahwa di tengah jalannya meeting itu akan ada OB yang datang menghampiri kami, namun hingga meeting berakhir, tak tampak OB yang menghapiri kami.

Oh ya, karena rangkaian pertemuan kami biasanya dilakukan di pagi hari, -sebelum memulai pertemuan- tuan rumah akan mempersilakan kami, secara self service untuk mengambil mimun yang tersedia dalam ruangan itu. Letaknya di sudut ruangan. Disitu kulihat dengan jelas di pinggir tembok depan, samping proyektor ada meja yang berisi termos, aneka teh dan kopi dalam sachet, juga tersedia gelas plastik ukuran jumbo. Tak ada gelas beling atau cangkir seperti lazimnya cangkir untuk menungkan kopi atau teh. Kenapa tak ada cangkir atau gelas beling? Mungkin ini penjelasannya, lantaran tak ada OB, maka begitu selesai dipakai (diminum) tentu bisa langsung dibuang, tanpa harus di cuci.


Adakalanya pula, karena sopan santun yang sudah terjalin, dimana tuan rumah akan menghormati tamu, maka tuan rumah (bukan OB) yang akan menanyakan kita minuman apa yang akan disajikan. Sekali lagi, tanpa harus keluar ruangan, semuanya diracik dan disuguhkan dalam ruangan itu, tanpa harus perlu ke pantry. Barulah setelah minuman tersaji dimeja, acara pun dimulai.

Dan, tidak selamanya penyajian minuman dan seperangkat teh kopi telah ada di ruang pertemuan. Ada pula yang tidak ada. Jadi sepanjang petemuan, kita tidak disuguhkan apa-apa, bahkan air putih sekalipun. Bila haus, ya, silakan pergi ke toilet dan meminum air langsung dari kran. Lantaran sudah tahu kebiasan itu, maka sebelum meeting dimulai biasanya aku sudah menuju ke toilet untuk buang air kecil dan tentunya meminum dari air kran yang ada. Jijik? tentu tidak. Ini karena semua air yang ada di kran dapat diminum.


Senin, 02 Oktober 2017

Luncheon Bersama Stephanie Jensby

Setelah agenda pertama yang membahas tentang program kami selama di Amerika, oleh Stephanie Jensby, selaku pejabat yang bertanggung jawab atas programku, kami dijamu oleh phak Kemenlu Amerika Serikat atau Government of State untuk santap siang bersama di Restoran yang terletak di Jl. E blok NW, nomor 822, Washington DC.

Sebelum beranjak meninggalkan kantornya, lantaran takut tak kan bersua kembali, aku sempatkan untuk memberikan cinderamata dari tanah air berupa gantungan items bermotif batik. Padanya kuterangkan how to use and place this gift. Ia sangat terkesan dengan pemberianku yang cukup useful. “I’ll hang it in my office room wall,” jawabnya dengan tersenyum.


Lantaran restoran yang akan kami tuju hanya beberapa blok saja dari kantornya, maka tak sampai 15 menit, kami sudah tiba. Restorannya lumayan cozy, namanya Cedar. Restoran ini khas menyajikan makanan mediterania. Untungnya salah satu menu di restoran ini menyajikan makanan halal. Langsung saja aku pilih Grilled Flat Iron Steak Sallad, atau bahasa kaki lima-nya steak daging sapi bercampur dengan salad atau lalapan segar, sebagai makanan utama. Adapun makanan pembuka aku pilih potato and leak soup.  


Untuk makanan utama cukup ngenyangin juga, maklum porsi disini rada jumbo ketimbang di Jakarta. Nah, untuk makanan penutupnya aku pilih chocolate and peanut butter praline, atau ice cream coklat. Lantaran baru kali ini menikmati sajian dari restoran bernuansa mediterania, rada kikuk juga lidah ini menikmati sensasi rasa dan olahan masakannya. But, not bad lah untuk lidahku. Begitulah makan siang pertamaku saat jamuan bersama Stephanie, Ms. Maygan Anthony, dan Daniel Labarca, keduanya dari IIE.

Kaki Lima Di DC

Warung rokok kaki lima ternyata tidak monopoli oleh Jakarta saja. Di kota-kota besar di Amerika, seperti DC dan Philadelphia, misalnya ada juga model warung (stall) kaki lima di pinggir jalan. Pedagangnya, yang kesemuanya perantau dari berbagai belahan dunia tentu memanfaatkan kesempatan ramainya orang-orang yang wara wiri plezier melihat keindahan kota dengan membuka lapaknya di tempat-tempat keramaian. Meski warung kaki lima ditemukan di sana, namun jangan berharap ada model warung rokok kaki lima yang menjual rokok dan semacamnya seperti lazim kita lihat di warung rokok di pinggir jalan yang lokasinya di pinggir got, menempati trotoar pinggir jalan di Jakarta.

Perlu diketahui bahwa disamping sebagai ibukota America, DC juga dikenal sebagai salah satu tujuan wisata favorit bagi warga dunia. Saban tahunnya tercatat puluhan juta warga dunia melancong mengunjungi tempat-tempat menarik di jantung Amerika ini. Nah, peluang ini yang ditangkap oleh para pedagang kaki lima-an. Untuk survive, tampaknya mereka, para imigran harus berjibaku menangkap setiap peluang yang ada.

Saya melihat ada dua jenis kaki lima disana. Yang pertama, kaki lima yang khusus berjualan makanan, yang di tempatkan di kendaraan sejenis van besar. Van yang berjualan makanan ini melayani kebutuhan makan siang (lunch) disamping untuk para turis yang berseliweran di sekitar tempat-tempat menarik di DC, juga untuk para pekerja kantoran. Saking banyaknya, maka pilihan menu dan cita rasa makanan pun beragam. Tinggal pilih saja, mau olahan dari middle east, mediteranian, atau oriental. Semuanya dijual denga harga yang variatif. Rata-rata berkisar antara 5 hingga 10 dollar. Untuk rasa, not bad lah, hampir mendekati cita rasa dari negara asalnya. Makanan Indosesia misalnya, dapat kita jumpai di van kaki lima di sekitar monument hall. Begitupun makanan yang mendekati lidah melayu seperti chinese food, sangat mudah di temukan.

Yang kedua adalah kaki lima yang khusus menjual cindera mata khas DC/Amerika. Disini kita bisa mendapatkan aneka souvenir khas seperti kaos DC, gantungan kunci/kulkas atau barang-barang lainnya. Karena khusus menjual oleh-oleh, maka kios kaki lima ini berlokasi di dekat spot-spot menarik yang ada di DC. Bagi turis yang baru tumben ke DC tanpa di dampingi oleh orang yang telah lama tinggal disana, tentu belum mengetahui medan berburu oleh-oleh. Walhasil, saya lihat banyak pula yang membeli oleh-oleh disini meskipun menurut saya harganya rada mahalan sedikit. Kalau pun bisa ‘goyang’ masih agak mahal juga. Rata-rata item yang di banderol berkisar 5 dollar per item. Adapula yag dibandrol 3 item untuk 10 dollar.


Nah, kalau mau yang lebih murah, kita bisa beli oleh-oleh di grosir khusus yang letaknya agak jauh dari pusat wisata. Orang yang lama tinggal di sana menyebutnya gudang. Gudang ini letaknya masih di kota DC, namun agak menjauh dari ‘pusat kota’, adanya di kawasan ‘hitam’, yang banyak dihuni oleh warga African American. Alamatnya? Wah, lupa nyatet, namun tak jauh dari Capitol Hill kearah timur. ‘Gudang’ ini semacam toserba khusus oleh-oleh yang menjual barang secara grosiran, mirip dengan kios-kios cenderamata khas pernikahan di pasar Jatinegara. So, bagi anda yang mau ke DC jangan habiskan dollar anda di kaki lima, heheh..

Menyusuri Sungai Potamac

Sesuai rencana yang kuimpikan sejak semalam, pagi ini aku akan menyusuri sungai Potamac, sungai yang membelah Washington DC, pada pagi hari kedua keberadaanku di ibukota Amerika ini. Dengan hanya mengenakan longjohn berbalut jaket tebal, selepa sholat subuh aku bergegas keluar hotel mengambil jalur kanan menyusuri jalan 23 lalu belok kanan menuju kawasan Georgetown, suatu kawasan pemukiman lama di DC. Kebanyakan yang tinggal disini golongan menengah keatas, mungkin kalau di Jakarta, kawasan ini sekelas Menteng.

Selepas melalui kawasan itu, aku melipir ke kiri menuju sungai Potamac. Pagi itu banyak warga DC ber-jogging pagi. Pertokoan masih tutup, namun aktivitas olahraga di sisi sungai sepanjang 652 Km ini cukup semarak. Mahasiswa dari George Washingto University aku lihat sudah turun ke sungai untuk berdayung. Mereka berkelompok. Sebagian yang lain sudah selesai, dan merapikan peralatan dayungnya.


Matahari mulai meninggi, bergegas aku kembali ke hotel lantaran pagi itu jadwal pertemuan dengan beberapa counterpart di DC sudah menunggu.