Rabu, 16 Desember 2015

Apakah Catut Mencatut Selamanya Negatif?

Bicara catut mencatut yang marak belakangan ini, saya teringat dengan kelakuan dan tingkah rekan saya –sebut saja namanya Hamdan-- saat sering ‘keluyuran’ ke lapangan meninjau beberapa kegiatan dan proyek yang diadakan di suatu wilayah.

Saya ingin berbagi kisah. Biasanya jika ada kunjungan pejabat ke suatu wilayah tentu aparat (sipil maupun militer) dan pejabat terkait akan pontang panting menyiapkannya. Minimal SOP yang harus disiapkan yakni dari segi kebersihan lingkungan. Sebelum sang pejabat datang, dipastikan lingkungan sekitar tempat ceremony kegiatan sudah kinclong, bersih. Bahkan, lalat pun yang biasanya hinggap, segan tuk mampir ke situ. Nampaknya, lalat pun paham bila sang pejabat akan datang.

Nah, dalam urusan catut mencatut ini, pernah saya saksikan si Hamdan melakukannya tatkala melihat ketidak beresan di wilayah di mana ia sering turba. Misalkan saja, lingkungan yang kotor dengan serakan sampah dimana-mana ataupun pelayanan pada warga masyarakat yang lelet dan berbelit-belit. Begitu melihat ketidakberesan, langsung ia hampiri pejabat setempat. Setengah berbisik keluar lah jurus maut si Hamdan: “Ji, (Haji maksudnya, maklum pejabat yang ia bisiki ini sudah haji) Pak Bos ntar siang ada acara di samping, denger-denger mau ‘mampir’ kesini. Ini barusan ane kontak-kontakan ama ajudannya.“
“Bapak dari mana?” Tanya si Lurah setengah keder, maklum melihat sekilas dari tampilan Hamdan yang kurus cungkring ini dia gak percaya, namun setelah melirik ke name tag yang ia kenakan, jiper juga tuh lurah. Entah mengapa, mungkin ada kode tertentu yang dilirik olehnya sehingga tanpa babibu karena saking takjim dan takutnya dengan sidak yang biasa dilakukan Pak Bos, maka Si Lurah gak mau beresiko, segera diperintahkan anak buah dan para punggawanya untuk membersihkan lingkungan sekitar. “Pak Sekel tolong di koordinir, di lingkungan sekitar RW 5 dibersihkan, takut-takut Pak Bos dateng, ini ada info dari Pak Hamdan.” Perintah sang Lurah, sigap. Kena loe, batin si Hamdan.

Lalu, apakah Pak Bos dateng? Wallahu A’lam. Namun Hamdan ‘mencatut’ nama Pak Bos, lantaran kesal dengan ketidak beresan di kelurahan tersebut, dan tentu dengan kalkulasi yang matang pula. Pasalnya, ia tahu Pak Bos akan berkunjung ke kelurahan sebelah, yang ber-tetangga-an dengan wilayah sang Lurah. Jadi sembari lewat di wilayahnya, ia ‘perintahkan’ Lurah untuk bersih-bersih dia punya wilayah.

Salah satu makna “Mencatut” menurut KBBI adalah: mencari keuntungan dengan jalan TIDAK SAH (misalnya dengan cara menipu atau MENGAKALI). Bila mengacu pada KBBI diatas, maka tindakan yang Hamdan lakukan bisa jadi memenuhi unsur men-catut, yakni mencari keuntungan dengan jalan tidak semestinya dengan cara mengakali. Kalau pakai cara yang SAH (baca: semestinya) maka ia harus bersurat ke Lurah, meminta agar lingkungannya dibersihkan. Namun, jika memakai cara itu tentu akan birokratis dan lama. Justru Hamdan secara cerdik mengakali-nya dengan ‘mencatut’ nama Pak Bos.

Dan tampaknya memang aparat dibawah perlu sekali-kali ‘ditakut-takuti’ dengan hal-hal yang membuat ia takut. Siapa sih yang berani sama Pak Bos? Baru dengar Pak Bos mau sidak saja, atau bahasa kerennya blusukan, ‘dah keringat dingin, takut jadi temuan. Bisa berabe. Iya kalau Pak Bos tidak marah, lha kalau marah, jangan-jangan jabatan gak berumur panjang, alias di stafkan.

Lantaran sering nongkrong dan bergaul dengan para hansip, dan tukang ojek, saya pun jadi tahu kebiasaan mereka dalam catut mencatut. Sering dijumpai di pangkalan ojek dan pos ronda, para warga --yang memang gak ada kerjaan-- ngobrol ngalor ngidul sembari main catur atau gaplek dengan kepulan asap rokok. Nikmatnya hidup.  Mau tahu obrolan rakyat jelata kebanyakan? Biasanya tidak jauh-jauh dari ngomongin kawin cerai, baik di kalangan selebritis ataupun di lingkungan tempat tinggalnya. Kadang obrolan bisa cepat beralih ke batu akik, lalu bisa pula melenceng ke perpolitikan kontemporer, lokal maupun global. Nah, dalam obrolan di kalangan mereka biasanya disisipi dengan “catut mencatut”.

Pak RT atau Pak RW, misalnya sering dicatut oleh hansip maupun sang preman kampung dan tukang ojek setempat. “Gw kemaren ngobrol sama RT (pak RT, maksudnya), Warsun (Warung Sunda, maksudnya) yang pinggir kali kagak pernah nyetor uang sampah..“ Cetus, Jamal, Preman Kampung. Lalu si Toye, hansip lingkungan nimpalin: “Iya, payah emang tuh.. kemaren waktu gw ke parung ama RW, sempet disinggung juga tuh.” Kemudian disambar oleh Edi, Sekretaris RW, “Lha kemaren gw baru aja jalan ama RW. Dia bilang kalo model kayak gitu, sikat aja.”

Padahal saya tahu, sudah seminggu ini Si RW pergi umroh, mustahil beliau ketemu dan ngobrol dengan para cecunguk pos ronda ini, hehe.. Ketahuan banget ngibulnya tuh orang.

Itulah catut mencatut di lingkungan terkecil dan terendah, yakni RT dan RW. Lalu, apakah Sang Ketua RT atau RW marah? Rasanya kok tidak, mereka, --sepanjang amatan saya—gak ambil pusing. Buat apa di pikirin, lha wong canda-an dan obrolan warung kopi. Mungkin dalam benak RW atau RT, sepanjang gak ngerugiin posisi dan jabatan mereka, sepanjang gak buat rusuh di kampung, mereka sih asik-asik aja.

Menarik untuk diamati, bahwa mereka –sama dengan si Hamdan-- mencatut nama RT/RW hanya untuk gagah-gagahan. Hanya untuk meningkatkan prestige dan ke-tokoh-an mereka saat berhadapan dengan lawan bicaranya. Maklum, bagaimanapun juga Pak RW adalah tokoh masyarakat yang disegani. Siapa yang deket dengan Pak RW, otomatis akan terangkat pengaruh dan wibawa-nya di hadapan warga lainnya.

Kembali ke catut mencatut, tampaknya para pencatut tahu psikologi lawan bicaranya. Pencatutan terjadi lantaran pencatut tahu bahwa lawan bicaranya akan takut atau segan bila mendengar si pencatut menyebut sebuah nama. Pencatut sadar dan tahu bahwa nama itu mempunyai power dan kuasa yang bisa membuat lawan bicaranya jiper atawa takut dan memperhatikan apa yang akan dititahkan oleh pencatut selanjutnya. Lha iya, kalau mau nyatut masak nyebut nama si Pardjo, Satpam sebelah rumah, yang gak punya kuasa dan daya. Jadi, menurut saya, sepanjang tidak ada kerugian material dan pencemaran nama baik dari yang dicatut, saya rasa catut mencatut adalah hal yang biasa dalam bermasyarakat.


Senin, 14 Desember 2015

Suka Duka Melayani Sang Pejabat

Ada kisah yang cukup menggelikan yang ingin saya bagi. Cerita ini terjadi beberapa tahun lalu, namun masih saya ingat bila kebetulan melihat wajah sang pejabat di tayangan televisi. 

Syahdan, ada suatu kegiatan berskala cukup besar lantaran melibatkan jajaran pemerintah daerah lainnya di Indonesia. Galibnya gawe-an besar, tentu akan lebih afdol bila kegiatan tersebut dapat mengundang pejabat ‘tertinggi’ untuk hadir memberikan sambutan sekaligus membuka acara. Wajar, toh bila mampu mengundang pejabat tersebut, maka para panitia wabilkhusus pejabat eselon rendah yang meng-arrange kegiatan tersebut akan ter-katrol konduite-nya dimata atasan mereka.

Acaranya sendiri berlangsung di sebuah mall dengan mengundang para peserta perwakilan dari 10 provinsi yang membidangi suatu masalah tertentu. Layaknya menyambut tamu agung yang akan datang, maka persiapan yang dilaksanakan pun harus extra lebih ketimbang hanya menyambut pejabat eselon 1 atau 2 lainnya. Apalagi kegiatan ini bakal diliput oleh awak media, cetak maupun televisi. Maklum saja, sang pejabat ini adalah media darling dan menjadi incaran para juru warta.

Seperti biasa, lantaran sudah terbiasa menjamu pejabat dan sudah dianggap sebagai sopan santun dan adat ke-timur-an, maka tentu ada buah tangan yang harus disiapkan saat perpisahan selepas sang pejabat membuka seremony acara. Jadi, --di-setting lah-- setelah sang pejabat berkeliling melihat-lihat stand pameran, maka para pejabat bawahan mengantar sang pejabat itu ke mobil. Sesuai konvensi adat ketimuran, rasanya kurang sreg bilamana melepas kepergian tamu tanpa memberikan buah tangan atau hadiah dan cinderamata kepada sang tamu/pejabat. Nah, disinilah ke-lebay-an yang tidak perlu terjadi, bermula.

Sebenarnya perkara memberikan buah tangan kepada para tamu adalah hal yang biasa dan wajar-wajar saja. Namanya juga tamu ya harus dihormati. Sejak kecil kita ditanamkan untuk menghormati tamu. Namun apakah tamu yang notabene pejabat publik harus pula --dengan berlebihan-- dihormati? (baca: dilayani). Lucunya ada ‘persyaratan’ khusus yang harus diberikan sebagai buah tangan untuk sang pejabat ini. Entah berasal dari mana dan dari siapa sehingga ide dan inisiatif yang bersifat ‘khusus’ ini harus ada dan terpenuhi. Namun, saya mengira pasti ini inisiatif pejabat kantor yang ingin dinilai ‘lebih’ oleh sang pejabat sebagai atasan langsungnya.

Sebelumnya saya selaku staf wara wiri mendapat tugas mencari parcel buah sebagai buah tangan ‘tuk acara nantinya. Disinilah lucunya. Rekan saya melalui SMS berpesan agar membeli 4 (empat) parcel buah-buahan, namun syaratnya, 1 (satu) parcel hanya berisi buah pisang emas dan anggur, sisa yang lainnya aneka buah campuran. “Walah, pisang emas, kayak apa sich pisang emas? Tanyaku.” Itu lho pisang yang kecil, tapi bukan pisang lampung,” terang rekanku. “Nyari anggur sich gampang, tapi pisang emas, gimana neh nyarinya,” batinku.

Menindaklanjuti ‘arahan’ tersebut, mulailah saya berkeliling mencari toko buah yang lengkap, dengan harapan tentu ada pisang emas tersaji, karena syaratnya HARUS pisang emas, tidak bisa diganti dengan pisang lainnya. Setelah berkeliling ke dua toko buah besar, pisang emas seperti yang disyaratkan tidak kunjung didapat. Melaporlah saya ke teman yang ngasih perintah. “Lapor.. mohon izin, Ndan, memangnya harus pisang emas ya..? Ini saya sudah keliling toko buah nyari pisang emas tapi kagak nemu, gimana??” tulisku dalam SMS. Tak berapa lama jawaban pun muncul “Iya Rachmat, harus pisang emas. Pokoknya loe cari sampe ketemu!!”

Waduh gawat juga,” batinku. Akhirnya setelah muter-muter ke beberapa toko buah, ketemu lah pisang emas yang di cari, itu pun bukan pisang yang segar atau baru. Tapi ketimbang tidak ada, terpaksalah pisang emas itu dibeli. Setelah di-dandani layaknya parcel yang keren, dibawalah ke-empat parcel itu ke tempat acara. Nah, tiba lah pada sesi pemberian parcel, dengan kata lain, acara ceremony sudah hampir kelar. Dengan sigap panitia yang disiapkan ‘tuk menyorongkan parcel ke mobil sang pejabat pun beraksi. Skenarionya, begitu mobil sang pejabat tiba, maka panitia segera bersiap-siap mendekati ajudan sang pejabat. Lantaran dalam ‘tata aturan protokoler’ termaktub bahwa tidaklah etis memberikan buah tangan langsung kepada sang pejabat, melainkan harus via ajudan, itu SOP (standar operasi prosedur) yang harus dicamkan oleh panitia. Tatkala panitia memasukkan parcel ke mobil, sekonyong-konyong ajudan sang pejabat berkata: “Bu, Bapak gak suka dikasih bingkisan seperti ini. Percuma juga Ibu ngasih karena gak kan di gubris oleh Bapak. Tolong jangan dibiasain ya, Bu..” Mendengar ‘keributan’ itu, bos ku langsung turun tangan, dan setelah bernego basa-basi, dengan ‘terpaksa’ parcel pun berhasil masuk ke mobil sang pejabat.
Nah lho! Sebenarnya ide siapa sich ‘tuk ngasih parcel berisi pisang emas dan anggur?” tanyaku kepada rekan. “Iya neh lebay banget,” sahut rekan ku.

Saya jadi tertegun dan gak habis pikir, kok bisa ya ada oknum pegawai yang sampai tahu hal mendatail tentang sang pejabat itu. Dari mana ia tahu kalau sang pejabat suka pisang emas dan anggur? Bagi saya, It’s ok bila beliau memang suka pisang emas, namun apakah perlu repot-repot men-service sang pejabat seperti itu, sampai pontang panting mencari pisang emas, seperti sang suami mencari buah mangga muda ‘tuk istrinya yang sedang ngidam. Bukankah itu ciri-ciri penjilat atasan. Ciri-ciri orang yang ber-ABS (Asal Bapak Senang). Hari gini masih menjilat atasan. OMG.


Saya percaya, walau pisang dan anggur itu berhasil masuk ke mobil sang pejabat, namun tentu beliau tidak meminta untuk di-service secara berlebihan, bahkan beliau menentang cara-cara feodal seperti itu. Dari kejadian tersebut menjadi pelajaran bagi kita untuk mengikis habis budaya melayani pejabat. Jangan sebentar-sebentar melayani pejabat, ingat bro bukan jamannya lagi pejabat itu dilayani dan minta dilayani. Di akhir kisah, pejabat yang menyuruh saya mencari pisang emas tersebut dimutasi oleh sang pejabat. 

Minggu, 13 Desember 2015

Gado-Gado yang Selalu Menggoda

Bagi tiap orang yang baru tiba di Jakarta, untuk urusan makan tak lah terlalu mengkhawatirkan. Beragam makanan dengan aneka cita, rasa, dan selera sangat mudah dijumpai. Hampir di tiap penjuru dan gang (lorong) di Jakarta dapat dijumpai para penjual aneka makanan, mulai dari kelas kaki lima hingga hotel bintang lima. Namun, ada satu jenis makanan khas Jakarta yang sangat mudah untuk ditemui yakni Gado-Gado. Selain Ketoprak, Bakso ataupun Mie Ayam, Penjual Gado-Gado, dengan gerobak dorong bertuliskan Gado-Gado Lontong ataupun yang menempati warung sederhana, sangat mudah untuk dikenali.

Dari namanya, Gado-Gado adalah campur aduk. Campuran dari berbagai sayuran plus tahu tempe dan telor rebus yang di aduk oleh racikan saos kacang berbumbu garam, terasi, cabai, gula merah, campuran air asem, dan jeruk limau untuk kemudian ditaburi dengan bawang goreng dan krupuk. Kata Gado, juga bermakna dimakan tanpa nasi. Di jambal, menurut kosa kata Jawa.

Begitu populernya Gado-Gado sebagai kuliner khas Jakarta, sampai-sampai ia di racik bukan hanya oleh orang asli Jakarta (baca; Betawi) saja, tetapi banyak penjual di luar etnis Betawi --paling banyak dari daerah Kuningan, Jawa Barat-- yang meng-ulek bumbu gado-gado. Mengenai rasa, boleh diadu. Bahkan kini sangat sulit menjumpai Gado-Gado ‘asli’ Betawi di Jakarta, yakni Gado-Gado bikinan Mpok-Mpok (sapaan khas perempuan Betawi) yang diracik di warung makan Betawi. Salah satu ciri khas dari Gado-Gado Betawi Asli adalah pada penggunaan nangka muda rebus. Ya, ini menjadi penanda yang membedakan Gado-gado ini dibuat oleh orang Betawi atau bukan.
Gado-Gado Mpo Iyom, Pos Pengumben, Jak-Bar


Ada beberapa penjual Gado-Gado ASELI Betawi yang ada dan masih setia melestarikan kuliner leluhurnya. Di kawasan Condet, Jakarta Timur, misalnya, di Jalan Olahraga I ada Mpo Iti, yang membuka lapak persis di depan rumahnya. Gado-gadonya sangat terkenal kegurihannya. Pembelinya rela antri berjam-jam hanya untuk menikmati sebungkus gado-Gado yang dijual seharga 10 ribu rupiah. Selain Mpo iti, di Kawasan Ampera, Kemang, Jakarta Selatan, juga ada, tepatnya di depan gedung ANRI. Di Jakarta Barat dapat dijumpai di Prapatan Pos Pengumben, namanya Gado-Gado Mpo Iyom. Oh ya, salah satu tips mendapatkan Gado-Gado ASELI Betawi adalah di kawasan dimana banyak etnis Betawi tinggal, seperti wilayah Condet, Jakarta Timur; Kebon Jeruk, Kemanggisan Jakarta Barat; Kebayoran Lama, dan Ciganjur, di Jakarta Selatan. Menariknya, Gado-Gado ASELI Betawi tidak dijajakan di gerobak melainkan di warung atau berbentuk warung/rumah makan di rumah si penjual Gado-Gado itu sendiri. Jadi, jangan harap menemukan Gado-Gado ASELI Betawi di Pondok Indah ataupun Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Walau dengan racikan bumbu yang sederhana, tapi mengenai rasa, Gado-Gado dapat memiliki rasa yang berbeda antara satu dengan lainnya, tergantung dari takaran bumbu dan ‘goyangan’ Si pengulek atau penjualnya. Makin ia menjiwai aura dan ruh spirit Gado-Gado, maka makin mantap lah goyangan pinggulnya dalam mengulek bumbu kacang, sebagai saos utama Gado-Gado. Biasanya, sebelum mengulek bumbunya, si penjual akan menanyakan kepada kita: “Pedes gak?” Jika kita meminta Gado-Gado dengan rasa pedas, maka ia akan menambahkan beberapa potong cabai ke dalam ulekan, begitupun sebaliknya jika rasa manis atau sedang yang kita inginkan.

Bagi kalangan menengah atas, Gado-Gado seperti salad, penganan yang kerap dijumpai dihotel-hotel berbintang. Ia seperti Rujak Cingur khas Surabaya. Mirip Nasi Pecel ataupun Karedok khas bumi parahyangan. Namun untuk rasa, Gado-Gado sangat melegenda dan mempunyai cita rasa khas dan eksentrik yang membedakan dengan rasa kuliner di atas.


Gado-Gado merupakan ‘makanan berat’ namun ‘ringan’ yang murah meriah. Dibilang berat, jika seporsi Gado-Gado ditambah dengan seporsi nasi putih. Menjadi ‘ringan’ bila ia hanya di gado saja alias tanpa tambahan nasi atau lontong. Ya, cocok untuk mereka yang sedang diet karbohidrat. Hanya dengan Rp 10.000 hingga Rp 15.000 rupiah, sepiring Gado-Gado dengan campuran nasi atau lontong dapat menjadi penganjal perut yang sangat nikmat. Biasanya, makin enak bumbu kacangnya (ada yang memakai kacang tanah, kacang mete ataupun campuran keduanya), akan semakin mahal harga per-porsi yang ditawarkan. Itulah Gado-Gado, makanan khas Jakarta dengan kompleksitas permasalahan yang gado-gado pula.  

Kamis, 10 Desember 2015

KH. Zainuddin MZ, ‘Wali’-nya Para Dai

Orang yang tidak terlalu dekat dengan beliau banyak yang salah dalam mengartikan makna 2 (dua) hurup dibelakang namanya. Kebanyakan mereka, tanpa cek dan ricek kepada kerabat dan kroni-nya menulis atau mengartikan kepanjangan “MZ” dengan “Muhammad Zein”. Para juru warta pun 11, 12. Entah dari mana mereka mendapatkan sumbernya. Misalkan saja, saat menulis tentang wafatnya lelaki kelahiran 2 Maret 1952 ini, para wartawan tanpa konfirmasi ulang melabelkan MZ dengan penyebutan yang seragam yakni “Muhammad Zein”. Lantas, betulkah demikian??

Lahir sebagai pasangan dari Turmudzi dan Zainabun, bocah kecil ini sejak dari orok memang selalu ingin tampil di muka. Ketika ada kesempatan dimana banyak orang bertamu ke rumahnya, sontak si Udin kecil, ---menurut penuturan ayah penulis--, kerap naik ke meja berkoar-koar seperti orator yang sedang berpidato. Saat ditanya apa cita-citanya, dengan lugas ia menyahut: “Udin mau jadi garong.” Garong? Macam mana pula kalimat ini bisa terlintas di benak anak yang belum makan bangku sekolahan. Rupanya, zaman dulu masih marak terjadi garong, begal dan perampokan di kampung-kampung betawi. Waktu itu masih kental dengan aroma dan aura revolusi, zaman masih rada susah. Nah, Saking girangnya Turmudji, pemuda kampung Gandaria yang sehari-harinya kerja di PLN memperoleh anak, maka disematkanlah nama Zainuddin Hamidi kepada anak lelaki satu-satunya. Si Udin menjadi anak satu-satunya, lantaran ia tak berumur panjang hingga tak bisa menyaksikan keberhasilan dan ‘kebesaran’ penerus silsilah keluarga klan Turmudzi. Tuhan mengambilnya saat si Udin baru belajar ngomong. Sejak itu ia menjadi yatim, lalu tak berapa lama, karena masih muda usia, sang ibu pun menikah dengan pria lain.

Lantas, bila nama Zainuddin Hamidi tidak terkenal ketimbang Zainuddin MZ, tentu ada sebabnya. Hidup sebagai yatim tentu menjadi beban tersendiri baginya yang jauh dari belaian kasih sayang dan didikan langsung dari sang ayah kandung. Jika pergi bermain ‘keluar’ kampung, orang sering bertanya, “Anak siapa loe tong*?” tentu yang dimaksud adalah bapak loe siapa? Ini lantaran orang betawi menganut mazhab patrilineal, dimana keturunan sang anak dinasabkan ke sang ayah. Maka dalam panggilan sehari-hari nama belakang (yang tidak merujuk nama ayah) sering gak kepake, yang dipanggil adalah nama depan si anak lalu disusul dengan nama sang ayah.
“Siapa tuh anak yang bangor*”? Tanya tetangga yang terusik tidur siangnya lantaran suara berisik si Udin saat bermain.
“Itu si Udin anaknya Turmudzi,” jawab tetangga sebelah.
 “Ooh Si Udin Turmudzi’ sahut yang lainnya. 
Akhirnya lama kelamaan yang terkenal si Zainuddin Turmuzi alias si Udin anaknya Turmudzi. Setelah si Udin dewasa, maka untuk lebih bekennya ditulislah oleh si Udin, namanya, menjadi Zainuddin MZ alias Zainuddin turMudZi. Rupanya saat itu Zainuddin sudah tahu makna positioning dan membangun brand image. Maklum saja, nama Zainuddin di deretan nama-nama orang Jakarta sangat pasaran, (lihat:)) Lalu untuk membedakannya dengan cerdik si Udin menambahkan dua hurup menjadi Zainuddin MZ, tak beda dengan Qori International yang terkenal pada masa itu, Muammar ZA (Zainal Asyikin).

Mulai menjadi pesohor dan dikenal orang saat kaset-kaset rekaman ceramahnya laris di pasaran. Waktu itu tahun 80-an, Selain Muammar ZA, Qori internasional tentunya, tak banyak dai yang bisa tembus ke dapur rekaman. Gaya bicaranya runtut, mudah dicerna dan akrab dengan romantika kehidupan masyarakat marginal pada umumnya. Alm. KH. Idham Chalid, mantan Ketua MPR RI, sang guru Zainuddin MZ saat belajar di tingkat Tsanawiyah/Aliyah (setingkat SMP/SMA) pernah mengisahkan bahwa si Udin pintar ngebanyol dan ngedongeng. Beliau sangat bangga mempunyai murid Zainuddin. Ia mampu membawa harum nama perguruan Darul Maarif. Saking terkenalnya di sekolah, lantaran pintar dan jago ngomong, si Udin di daulat menjadi Ketua Pelajar (semacam OSIS) di Darul Maarif.

Saat usianya belum genap 20 tahun, ia sudah di tanggap oleh warga sekitar Darul Maarif (Cipete, Cilandak dan Gandaria) untuk mengisi khutbah Jum’at dan ceramah keagamaan. Gaya bahasaya mudah dipahami masyarakat, komunikatif dan tak lepas dari sense of humor. Spontanitasnya dalam melempar banyolan-banyolan berisi dan cerdas, juga kritik yang ‘mengena’ tanpa yang dikritik merasa tersakiti menjadi kelebihannya dalam berpidato.
Misalkan saja istilah Hardolin; Dahar, modol, ulin, (makan, ber*k, jalan-jalan) tatkala ia me-labelkan orang yang tiap hari kerjaannya hanya makan minum saja tanpa berbuat hal-hal positif dalam hidupnya.
Atau tentang pergaulan muda-mudi zaman sekarang yang terlalu bebas; “Iya kalo sepatu disedengin gak pa pa, lha anak perawan orang disedengin ya berabe urusannya..”

Tahun 90-an saat masa keemasannya, ia mampu menyihir seluruh audiensi yang ada di stadion sepakbola, alun-alun terbuka, lapangan besar, bahkan Stadion Utama Senayan untuk diam tanpa suara menyimak isi ceramahnya. Bayangkan, satu stadion utama dan alun-alun penuh dengan ratusan ribu orang mampu ia sihir hanya untuk mendengar untaian kata-katanya. Ratusan ribu orang itu diam, senyap tanpa suara dan kadang tertawa saat ia tampil di mimbar. Hingga kini, belum ada orang yang sanggup melakukan itu selain Bung Karno. Ada aura dan langgam yang tidak dapat ditiru oleh orang lain, meski oleh putranya sekalipun. 

Ia sanggup menyihir jutaan pendengarnya karena ia lahir dan hidup ditengah-tengah  masyarakat betawi, dikampung yang heterogen.  Ia dibesarkan oleh kerasnya lingkungan tempat ia tinggal di kawasan padat dan kumuh, di gang Cemara, Gandaria, Kebayoran. Wajar saja bila ia mampu menyerap saripati kehidupan rakyat dan masyarakat kebanyakan. Lihat saja pemilihan diksi dan kata dalam kalimat dan isi ceramahnya. Misalkan saja setelah tabik kepada umat, ia berkata “Segala puji bagi Allah, Tuhan yang maha pengasih namun tidak pilih kasih, yang maha penyayang, yang sayangnya tak terbilang..”
Atau tatkala ia mengisahkan tentang  wudhu. “Kalo kita punya wudhu, gelantungan di (bus) PPD, hati-hati kita jangan sampai kesenggol ama perempuan, Tapi kalo gak punya wudhu, boro-boro hati-hati, malahan pas sopir ngerem, kita pora-pora nyenggol.
Kalimat yang rada konyol dan lucui pun kerap terselip dalam ceramahnya, seperti: “Elu ngajarin gw sholat. Lha, loe sunat aja gw yang pangku..”
Kadang kala isi ceramahnya rada puitis dan sentimental misalkan saat mengulas tentang cinta. “Jika cinta telah bicara, tiang gantungan laksana lambaian tangan bidadari, yang jauh akan terasa dekat..” Atau: “Perjuangan bukanlah jalan lurus dengan hamparan karpet merah bertabur bunga di kiri kanan.” 

Keterlibatannya dalam berpolitik praktis dimulai saat usianya masih relatif muda. Pada Pemilu 1977 dan 1982 ayah 4 (empat) orang putra ini sempat menjadi jurkam PPP. Vote getter, bahasa kerennya. Keahlianya dalam menyihir pendengar dimanfatkan betul oleh elit partai berlambang Ka’bah saat itu untuk mendongkrak suara. Meski aktif di Partai, namun ‘pekerjaan’ utamanya sebagai dai tak pernah ia tinggalkan.

Akibat friksi internal yang tajam dengan para pengurus DPP PPP, di penghujung tahun 2000, MZ, beserta rekan-rekan PPP lainnya mencoba menawarkan ‘jalan baru’ bagi PPP. Akibat tak kunjung mencapai titik temu dengan elite di DPP PPP, maka dengan keberanian dan percaya diri yang mantap, diproklamirkanlah Partai Persatuan Pembangunan Reformasi (PPP Reformasi), tandingan dari PPP. Karena terbentur UU, maka untuk dapat mengikuti Pemilu 2004, PPP Reformasi berubah menjadi Partai Bintang Reformasi. Disinilah cucu dari Haji Sa’umin dari Gandaria menjadi satu-satunya anak Betawi yang mampu dan didaulat menjadi Ketua Umum Partai sekaligus Calon Presiden 2014 dari PBR. Partainya sukses meraih popular vote sebanyak 2 juta suara dengan 11 anggota DPR RI berhasil ia antarkan di Senayan,  suatu prestasi yang patut diapresiasi bagi peraih Doktor (HC) dari Universitas di Malaysia ini. 

Sayang, perjalanan politik suami dari Hj. Kholilah ini tak bertahan lama. Akibat terlalu ‘polos dan lugu’ dalam berpolitik, ia merasa jengah dengan ‘kemunafikan’ para politisi. Lalu keputusan untuk mundur dari hingar bingar dunia politik, kembali ke ummat, menekuni dunia dakwah yang sempat ia tanggalkan menjadi pilihan akhirnya.

Banyak umat merasa kehilangan saat kematianya. Waktu Sang Khalik memanggilnya di Selasa pagi 05 Juli 2011 umat tersentak, kaget bagai petir di siang bolong. Masih segar diingatan mereka saat ia mengisi ceramah dan menyapa pemirsa di televisi dengan suaranya yang khas. Ia wafat meninggalkan nama besar. Ia ‘wali’-nya para dai. Ia suhu-nya para muballigh. 

Sumber: seperti yang dikisahkan oleh (Alm) Haji Hamdani bin Salim kepada penulis.

*entong, sebutan untuk anak di kampung Betawi

Bangor, nakal

Selasa, 08 Desember 2015

Mozaik PNS2 #Eselon

Pernah saya mendengar pembicaraan antara satpam dan PRT tetangga saat ngerumpi di sebelah rumah. “Eh, tau gak pak Bagyo sekarang sudah jadi pejabat eselon III (tiga) lho di Pemda DKI, bandingkan dengan Pak Herman yang baru saja diangkat jadi pejabat eselon IV (empat) di Kemenlu”. Ujar Satpam Pak Bagyo.
“Wah hebat dong Pak Herman, sudah eselon 4 (empat), ketimbang Pak Bagyo yang baru eselon III (tiga)”. Sahut Si Minah PRT tetangga, sotoy.

Tentu dialog sederhana tersebut salah kaprah dalam memahami makna eselon. Disangkanya, makin tinggi angkanya, makin tinggi pula kedudukan dan prestige jabatan tersebut. Padahal tidak. Berbeda dengan golongan, makin kecil (angka) eselon-nya, maka makin tinggi jabatan individu. Jika ia berada di eselon IV (empat), misalnya, maka akan ada 3 (tiga) bos (atasan) yang harus ia lapori. Dan, pelaporan-nya pun berjenjang. Ia harus melapor dan bertanggung jawab kepada eselon III (tiga), kemudian eselon III (tiga) melapor kepada atasannya, pejabat eselon II (dua), begitu seterusnya.

Bagi masyarakat yang awam tentang urusan ke-pemerintah-an, tentu tidak familiar dengan struktur jabatan di pemerintahan. Jenjang jabatan di pemerintahan tentu berbeda dengan --bila kita bekerja-- di perusahaan swasta. Karena sifatnya yang kompleks dan dengan organisasi yang besar, maka jenjang kepangkatan dan hierarki komando di pemerintahan (sipil/militer) akan terentang dengan panjang. A memberikan arahan ke B; B turun ke C; C men-disposisi-kan ke D; D berkoordinasi ke E; Ini sering disebut dengan alur birokrasi. Jadi memang demikianlah adanya, harus berjenjang. Terlalu birokratis, kalau kata masyarakat sekarang.  Dalam dunia kepemerintahan, sering kita mendengar kata eselon untuk mengklasifikasikan dan menjenjangkan kepangkatan dan karier seseorang di pemerintahan.

Eselon adalah tingkatan dalam jabatan struktural. Di pemerintahan, tingkatan atau level tertinggi berada pada posisi eselon I (satu) sebagai top management, terus berjenjang ke bawah hingga level lower managemet yakni eselon IV (empat). Seperti di perusahaan-perusahaan swasta multinasional dimana top management dijabat oleh Presiden Direktur (Presdir), dibantu dengan para direktur. Lalu di bawah Direktur ada Senior Manager kemudian Manager hingga Supervisor, sebagai lower management Nah, untuk posisi eselon IV (empat) b ini bisa disamakan dengan level supervisor jika di swasta.

Pangkat dan golongan boleh sama, namun eselon bisa saja berbeda. Seperti ilustrasi percakapan diatas, Pak Herman dan Pak Bagyo sama-sama memiliki pangkat dan golongan IV (empat) a/ Pembina. Namun, Pak Bagyo jelas mempunyai kedudukan yang lebih tinggi ketimbang Pak Herman. Pak Bagyo menjabat sebagai Camat di Kecamatan Palmerah, Jakarta, sedangkan Pak Herman ‘cuma’ sebagai Kepala Sub Bidang di Kementerian Luar Negeri. Walaupun pangkat dan golongan sama, namun Pak Bagyo adalah eselon III (tiga), lebih tinggi ketimbang Pak Herman yang ‘hanya’ eselon IV (empat).

Jabatan struktural itu sendiri bermakna suatu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam rangka memimpin suatu satuan kerja organisasi kepemerintahan.

Untuk lebih jelasnya mungkin bisa saya gambarkan bagan struktur organisasi pemerintahan bila disandingkan dengan struktur di perusahaan multinasional yang besar.


Eselon
Jabatan di Pemerintahan
Jabatan di Perusahaan
Level
Eselon I a
Direktur Jendral
Presiden Direktur
Top Management
Eselon I b
Sekda
Managing Director
Top Management
Eselon II a
Direktur/Walikota/Kepala Dinas di Provinsi/Direktur
Direktur
Top Management
Eselon II b
Sekretaris Kota/ Wakil Direktur
Deputy Director
Midle Management
Eselon III a
Kepala Bagian/Camat/Kepala Sub-Direktorat
General Manager
Midle Management
Eselon III b
Wakil
Senior Manager
Midle Management
Eselon IV a
Lurah/Kepala Sub Bidang
Manager
Low Management
Eselon IV b
Wakil
Supervisor
Low Management

Lalu, mengapa ada embel-embel a dan b? a dan b diberikan sebagai pembeda tingkat kederajatan dan ‘gengsi’ dari pemegang (pejabat) eselon tersebut. Biasanya untuk posisi wakil/deputy akan diberikan eselon tingkat b. Nah, bos-nya atau kepalanya memegang eselon  tingkat a.

Kelazimannya, dalam satu unit organisasi di pemerintahan pusat dan daerah (Kementerian/Pemerintah Daerah), level tertinggi itu dijabat oleh Dirjen/Sekjen/atau Sekda. Nah, para pembantu mereka tentu tingkatannya berada di level 2 (dua) alias eselon II (dua). Biasanya para asisten atau pembantu mereka itu menduduki posisi Direktur atau Kepala Dinas.

Berbeda dengan di pemerintahan sipil, pada sistem kemiliteran, yang bertanda pangkat di atas bahu dengan sisi-sisinya berwarna merah maka ia adalah sang Komandan atau memegang pasukan dan anak buah. Jika tidak ada sisi-sisi merahnya, maka ia tidak memegang anak buah atau tidak memegang komando. (lihat gambar).

Perlu diingat, bahwa Menteri atau Gubernur adalah jabatan politis, bukan jabatan struktural. Jabatan struktural yang tertinggi di Kementerian adalah Sekjen atau Dirjen. atau sebutan yang setingkat seperti Deputy Menteri dsb. Mereka inilah yang disebut pejabat eselon I (satu) a. Sedangkan di Pemerintah Daerah jabatan tertinggi adalah Sekretaris Daerah (Sekda) sebagai eselon 1 (satu) b, lalu dibantu oleh para Asisten Sekda, Kepala Dinas atau Kepala Badan/Biro (eselon II). Di bawah eselon II (dua) ada eselon III (tiga) sampai dengan eselon IV (empat). Jika menjumpai istilah kepala bagian atau Camat, menunjukan bahwa pejabat tersebut eselon III (tiga). Bila Kepala Sub Bidang atau Lurah, yang bersangkutan menduduki posisi eselon IV (empat a. Pembantu Lurah, dalam hal ini Sekretaris Kelurahan (Sekel) dan Kepala Seksi akan menduduki posisi eselon IV (empat) b.


Untuk kepangkatan militer bisa dilihat di: http://archive.kaskus.co.id/thread/8921230/

Senin, 07 Desember 2015

Saat (Musimnya) Buaya dan Kepiting masuk Jakarta

Biasanya, saat musim penghujan telah tiba, --atau selepas bulan Muharram/Suro (tahun baru dalam penanggalan Islam)-- Buaya dan Kepiting akan banyak masuk ke Jakarta. Kok bisa? Ya, bisa. Namun, perlu kiat khusus dan trik canggih untuk melihat kemunculannya. Hanya orang-orang yang sering bergaul dengan komunitas anak Jakarta (Betawi), atau punya kerabat berdarah Jakarta lah yang bisa melihat kedua hewan melata tersebut. Cirinya, bila di setiap gang dan jalan di pelosok Jakarta ada terjuntai bambu dengan hiasan janur kuning, maka akan tiba lah saat dimana buaya dan kepiting besar akan bermunculan.

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang multi etnis, kita dikenalkan dengan berbagai macam cara dan kebiasaan unik dalam melaksanakan upacara atau prosesi pernikahan, baik pada saat prosesi menjelang, saat, dan sesudah pernikahan. Walau demikian, hampir semua etnis yang ada di Indonesia mempunyai kesamaan dalam mengiringi mempelai pria kepada mempelai wanita saat prosesi akad nikah atau menuju altar upacara pernikahan yakni selalu membawa hantaran atau serah-serahan. Biasanya keluarga mempelai pria membawa beraneka makanan, barang, dan cinderamata yang khusus dipersembahkan kepada mempelai atau keluarga mempelai wanita.

Menyaksikan prosesi hantaran saat menjelang acara ijab kabul atau pemberkatan pernikahan niscaya kita akan menemukan keramaian dalam suasana khas kecerian dan keunikan di masing-masing adat budaya. Ada yang mengusung hasil panen bumi, seperti jagung, umbi-umbian dan sayur mayur. Ada yang menyertakan hasil tangkapan laut, seperti ikan. Ada pula yang membawa kerajianan tangan khas kampung halamannya, Bahkan ada yang membawa hewan ternak seperti babi atau kambing dan ayam yang dibawa dengan dibuatkan kerangkeng khusus dari bambu atau anyaman kelapa. Melihat semuanya membuat kita tersenyum geli. Ada-ada saja.

Bagi masyarakat Jakarta (Betawi) tentu mempunyai tradisi dan cara unik dalam prosesi hantaran penganten. Keberbedaan ini tampak dari hantaran yang dibawa. Disamping aneka makanan, buahan, perhiasan, kain, baju kebaya, selop, alat kecantikan, serta beberapa peralatan rumah tangga dan cenderamata lainnya, Mereka kerap membawa sepasang roti ukuran besar sekitar 50 hingga 100 cm, yang berbentuk buaya. Roti ini merupakan bawaan wajib bagi setiap hantaran. Boleh saja mereka tidak membawa buah atau penganan lainnya. Tapi, khusus untuk roti buaya, harus disertakan. Kenapa harus roti besar berbentuk buaya? Kenapa tidak roti macan atau roti beruang, misalnya.

Menurut kepercayaan para tetua Betawi, binatang buaya diyakini adalah perlambang kesetiaaan. Roti buaya adalah simbol bagi kesetiaan pasangan. Konon, buaya hanya kawin sekali seumur hidupnya. Walau di masyarakat buaya sering kali diidentikkan dengan perilaku negatif suka bermain wanita, seperti dalam umpatan “buaya darat”, namun khusus untuk roti buaya dalam hantaran perkawinan mempunyai makna sebaliknya. Ia adalah simbol kesetiaan pasangan untuk mengarungi mahligai rumah tangga sehidup semati.

Disamping roti buaya, roti ukuran besar lainnya yang kerap dibawa adalah roti kepiting. Kalau buaya lambang kesetiaan, maka kepiting adalah lambang silaturahmi. Sekali lagi, menurut para tetua adat betawi, kepiting adalah hewan yang unik. Ia jika berjalan akan terlihat miring. Diharapkan kedua mempelai jika berkunjung atau bersilaturahmi ke rumah orang tua atau kerabat selalu dapat berjalan ‘miring’ seperti jalannya kepiting. Tentu bukan miring sesungguhnya, tapi maksudnya adalah kalau datang berkunjung sebaiknya membawa buah tangan (oleh-oleh) yang dipersembahkan pada orang tua atau kerabat. Datang dengan lenggang kangkung alias tidak membawa apa-apa sangat ditabukan. Cukup kreatif dan menarik juga perumpamaan itu.

Walau disetiap hantaran untuk prosesi pernikahan adat Betawi selalu di’wajib’kan kehadiran roti buaya, namun sayangnya, tidak semua toko roti di Jakarta menjual roti buaya. Hanya toko roti tertentu saja yang dapat membuat dan menyajikan roti buaya, Ini dikarenakan bentuk dan ukurannya yang khas, tidak asal roti yang berbentuk buaya, namun sudah mempunyai pola, corak dan pakem tertentu. Disamping itu, tidak setiap saat roti buaya yang kita ingini dapat kita beli secara langsung, namun harus dipesan terlebih dahulu. Pasalnya harga sepasang roti buaya cukup mahal, sekitar 400 hingga 600 ribu rupiah.


Ingin melihat dan menyicipi roti buaya dan kepiting? tunggu saja prosesi pernikahan adat betawi yang mungkin kita saksikan di Jakarta. Dan saat itulah masa dimana para ‘buaya dan kepiting’ masuk ke dalam kota..

Jumat, 04 Desember 2015

Mozaik PNS1 #TL

Karena TL, Pejabat pun bisa senewen

“Mas, besok kita stand by di Jalan Matraman ya. Tuh, disposisnya dimeja Mas Rachmat.” “Waduhhh.. bakalan gak balik ke rumah lagi neh,” batinku. Padahal sudah 3 (tiga) hari ini saya absen menyapa anak-anak saban malam lantaran memenuhi panggilan tugas Negara, (lebay)

Menerima disposisi bertuliskan TL, bagi kami yang bekerja di pemerintahan bermakna perintah tersebut harus di-TindakLanjuti, dalam pengertian tidak bisa ditawar tawar dan harus dilaksanakan sesegera dan serapih mungkin!! Disposisi TL hukumnya wajib dilaksanakan, tidak boleh tidak. Harus!. Akibatnya, TL bagai momok yang menakutkan dan menyeramkan. Bila TL telah terbaca, alamat gak bisa nyantai, gak bisa leha-leha dan dipaksa kerja melebihi panggilan tugas. Terlebih kalau TL itu sesuatu yang di luar kebiasaan atau keluar dari pakem rutinitas kerja harian kita. Ibaratnya, dengan TL, hidup bisa jadi senewen. Coba bayangkan, --bagi mereka--, staf yang biasa nyantai dalam bekerja, tentu punya beban tersendiri untuk mengerjakan suatu tugas. Boro-boro men-TL perintah atasan, lha mengerjakan pekerjaan rutin saja sering malasnya yang muncul ketimbang rajinnya. Tugas kerja sering di “ntar sok ntar sok”, alias nanti atau esok saja, baru dikerjakan. Tidak jarang diantara mereka mendelegasikan pekerjaan rutinnya kepada rekannya yang rajin atau komit dalam bekerja.

TL bisa diterjemahkan juga bahwa masalah atau problem harus segera diselesaikan secepat mungkin. Misalkan saja ada aduan warga masyarakat tentang keberadaan café atau hiburan malam di suatu wilayah. Warga mengadu dengan bersurat ke Gubernur atau Walikota. Nah bila warga bersurat ke Walikota, misalnya, maka sang Wali akan mencentreng di kolom TL ke pejabat dibawahnya, bisa Wakil Walikota ataupun Sekretaris Kota (Sekko). Sekko akan ber TL juga kepada Camat setempat. Camat akan ber TL dan berkoordinasi dengan Lurah setempat. Nah, kita sebagai pejabat lapis bawah atau staf penerima TL harus turun dan menyelesaikan aduan warga tersebut ke pihak-pihak terkait atawa para stakeholder, sehingga adanya ekses negatif keberadaan café dapat terselesaikan dengan baik antara warga dan pengusaha.

Entah mengapa dalam lembar disposisi tertera kolom TL. Kenapa tidak HK (Harus diKerjakan) ataupun istilah lainnya yang lebih tegas dan nyeremin. Nah, lantaran ada kolom TL maka dalam menjawab surat balasan, biasanya di kalimat pembuka akan tertulis; Menindak lanjuti surat dari Kementerian Luar Negeri Nomor xxx/xx/xx tertanggal xx perihal bla bla bla, maka kami bla bla bla…

TL juga bermakna harus diproses. Artinya, isi dan maksud surat harus diproses dan dikerjakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Misalkan saja, ada usulan pengajuan dana hibah, lalu tercentrang TL, maka si penerima disposisi akan menindaklanjutinya dengan memproses sesuai peraturan yang berlaku, jangan menyimpang. Jika kita memprosesnya dengan serampangan, maka bersiaplah akan menjadi “temuan” pemeriksa, dalam hal ini, bisa inspektorat ataupun BPK. Ujung-ujungnya tentu mimpi buruk yang berkepanjangan..

Selain TL, tentu ada perintah atau arahan lainnya yang bisa di centrang atau di tulis oleh pejabat. Biasanya pada kertas disposisi ada kolom yang tertulis: Simpan; Bicarakan Lebih Lanjut; Untuk Menjadi Perhatian (UMP); dsb. Sering, saking banyaknya surat yang masuk ke meja sang pejabat, si pejabat –lantaran malas atau memang yang ada dibenaknya segala surat harus di TL— dengan seenaknya saja mencentrang TL. Ini pernah saya lihat dan memang sering juga saya perhatikan si pejabat dalam memberikan disposisi kadang tidak dibaca dengan seksama bagaimana isi surat yang berasal dari suatu instansi itu, apakah penting atau tidak isinya, melainkan hanya dilihat secara sekilas, lalu dengan cekatannya  langsung di centrang di kolom TL, diparaf, dan biasanya ditambahi dengan kalimat “sesuai dengan peraturan” atau “Lapor!”

Tidak jarang saking banyaknya beban dan tugas kerja seorang staf di suatu bagian, Tindak Lanjut atau TL sering diplesetkan menjadi Taruh di Laci alias tidak dikerjakan. Ya, permasalahan TL memang membuat kepala puyeng, perasaan bête ataupun nyebelin. Bayangkan saja, saat banyak kerjaan, lalu ujug-ujug ada perintah untuk mengikuti suatu kegiatan atau mengerjakan suatu tugas dan beban kerja lainnya. Padahal kerjaan yang satu saja belum kelar, ehh muncul kerjaan baru.

Nah, disinilah pintar-pintarnya staf atau pegawai untuk memilah dan memilih mana disposisi yang sekiranya urgent untuk segera dilaksanakan alias di TL atau di tindaklanjuti dan mana yang –kalau perlu-- harus di ‘TL’ atau di Taruh di Laci. Contoh kasus, ada undangan dari kementrian X untuk hadir di acara sosialisasi bla bla bla.. Atasan mendisposisikan TL. Maka kita selaku staf, bisa saja men ‘TL’ kan itu lantaran kita sudah tahu apa dan bagaimana acara tersebut. Urgensinya bagi lembaga kita, penting atau tidaknya untuk kita hadiri. Walhasil, dalam waktu yang sama, lebih urgent mengerjakan tugas atau kegiatan A ketimbang hadir di acara kementerian tersebut.

Namun, tidak semua staf dan pegawai cerdik menyikapi TL. Ada pula mereka yang TL oriented, dalam artian membabi buta dalam menterjemahkan TL.  Akibatnya, si staf kadang terjebak dalam posisi serba salah. Mau dikerjakan, tapi isi suratnya gak penting-penting amat, sedangkan pekerjaan lain banyak yang lebih urgent, namun bila diabaikan akan ada perasaan bersalah. Dilematis memang.

TL memang kejam. Banyak pejabat pada level eselon bawah terkena kasus gara-gara masalah TL ini. Mereka menjalankan perintah atasan dengan mengabaikan aturan dan peraturan yang harus dipedomani dalam per-TL-an tersebut. Singkatnya, mereka men-TL-kan suatu urusan atau program dengan melabrak aturan yang seharusnya menjadi pedoman dan dasar dalam bertindak. Contohnya ada usulan pengadaan suatu barang. Si Pejabat memberikan TL kepada pejabat bawahannya. Nah, (pejabat) bawahan ini melaksanakan disposisi sang (pejabat) atasan tanpa mengindahkan aturan yang berlaku, akibatnya, kalau ada temuan atau kasus, maka yang dipanggil dan mondar-mandir ke pemeriksa atau aparat penegak hukum biasanya pejabat model begini. Si pejabat yang diatas terhindar karena ia mendisposisikannya dengan benar yakni TL Sesuai Ketentuan!

Kembali ke TL. Tidak semua TL dapat diTaruh di Laci. Tergantung dimana dan pada pos apa mereka ditugaskan. Bila mereka ditugaskan di garda pelayanan langsung pada masyarakat, tentu disposisi TL sifatnya menjadi suatu obligation atau kewajiban kerja. Tidak boleh tidak. Harus dikerjakan. Fardhu ‘Ain. Misalkan saja dari pimpinan mendisposisikan untuk men-TL bangunan atau gedung A yang malanggar IMB. Tentu petugas di tingkat bawah, harus menertibkan bangunan tersebut. Harus di cek kelengkapan surat-surat pemilik gedung. Harus diteliti dan dicermati kesalahan dan prosedur apa yang mereka langgar. Kalau melanggar, ya harus dibongkar.

Tidak selamanya TL membuat senewen. Adapula TL ‘rasa’ enak yang diharapkan kedatangannya. TL jenis ini biasanya berbunyi. “TL, Tugaskan Staf”. Misalkan saja permintaan atau undangan dari Instansi tertentu untuk kunjungan ke daerah atau LN. Bisa juga undangan untuk mengikuti pendidikan (diklat) atau pelatihan tertentu, dan disitu pimpinan mendisposisikan TL. Nah.. kalau pas giliran kita dapat disposisi TL macam begini, bukan main senangnya. Ini lantaran kita akan dibebaskan dari rutinitas kerja harian untuk beralih ‘kerja’ di luar kantor.

Jenis dan ragam TL
TL; Sesuai aturan/Ketentuan. Biasanya TL model ini berkaitan dengan anggaran, pengadaan, atau keuangan
TL; Tugaskan Staf bisanya jenis TL ini untuk menanggapi undangan dari instansi lain.

TL; Lapor. Biasanya pimpinan meminta untuk di up-date mengenai kegiatan yang akan kita kerjakan.

Selasa, 01 Desember 2015

Mengapa orang Rusia namanya berakhiran hurup “V”

Catatan tentang nama menentukan kualitas sang orang tua.

“Nama anak loe keren banget, Mat, blom ada neh nama kayak gini”, komentar temanku setelah membaca nama anakku yang tertera di Kartu Keluarga (KK). “Ya, siapa dulu dong bapaknya”, jawabku dengan jumawa, hehe.. Bicara mengenai nama, saya kok jadi ingin menulisnya. Mengapa? Karena tren pergantian dan pertukaran nama saat ini mengalami revolusi yang patut diapresiasi. Sulit dibayangkan jika kita lihat ke belakang, sekitar 10 atau 20 tahun lalu, dimana nama-nama anak –maaf-- tidak mempunyai cita rasa dan jiwa/ruh yang tinggi. Ya, nama-nama anak zaman sekarang unik dan antik. Berbeda dengan nama saya dan kebanyakan teman-teman saya yang hidup dan lahir pada tahun 70-an.

Nama anak zaman sekarang atawa yang lahir selepas tahun 2000-an terdiri dari minimal 3 (tiga) suku kata dan bahkan lebih. Misalkan saja. Muhammad Azka Perwira Husada, atau Nayla Andini Putri Husodo (sudah pasti nama bapaknya Husodo). Bandingkan saja dengan nama anak sang ayah yang lahir tahun 70-an, yang cuma 2 (dua) suku kata yakni Achmad Husada atau Rachmat Hidayat, hehe..

Disamping itu beberapa ciri nama-nama anak zaman mutaakhir ini antara lain memakai hurup “Y” atau terdiri dari 5 (lima) hurup seperti Nayla, Kayla; Nahda; Najwa; dsb. Adapula yang memakai akhiran “Putra atau Putri”; Seperti Alfatihah Putri Nugroho; Irwan Putra Kusuma; dsb. Disamping itu banyak pula yang melabelkan hurup “A” didepannya seperti; Azka; Altaf; Andra; Ahsan. Awalan hurup A ini dalam bahasa Arab bermakna super atau lebih. Azka dari kata Zaki, bermakna lebih pintar. Altaf diambil dari kata Latief yang bermakna lebih lembut. Dsb.

Teman-teman seusia saya, yang lahir tahun 70-an, tentu nama-nama mereka mirip-mirip dengan nama saya, dalam arti, ya gak jauh banget type dan style-nya dengan nama pemberian orang tua saya. 11, 12 lah. Semenjak saya mulai bisa membaca dan memasuki usia SD pada tahun 80-an, nama-nama yang beredar dan saya dapati di daftar absen kelas 1 SD AHDI, mempunyai kemiripan dan langggam yang sama. Mau bukti? Bila anak perempuan, maka nama depannya SITI, dirangkai dengan kata atau bersuku kata dari bahasa Arab dan akan diikuti dengan akhiran “AH”. Contohnya; Siti ZubaedAH; Siti KomariyAH; Siti RosadAH; Siti FatimAH. Bila di sensus, pasti tiap kelas ada yang bernama dengan langgam dan type diatas.

Nah, untuk anak laki-laki punya styel dan gaya yang rada banyak. Namun kebanyakan ada disisipi suku kata berbahasa Arab “Dien” (bermakna agama), seperti Syamsuddin, Saifuddin, Bahruddin, Komarudin, dsb. Saifuddin sendiri yang bermakna pedang agama mempunyai ‘keturunan’, antara lain; Safruddin; Safaruddin; (mungkin saja akibat salah tulis, salah eja atau salah denger dari si pencatat nama di kantor kelurahan saat mengurus akte kelahiran sang anak.) Nah, untuk semua nama yang berakhiran “dien” tersebut, saya dan teman-teman saya memanggil mereka dengan panggilan si Udin. Bila yang pake nama akhiran “Udin” terlalu banyak di sekolah, maka biasanya kami memanggilnya dengan Udin Jangkung, Udin Kurus, Udin Pe’a (lantaran sering mabok), Udin bang Zen (lantaran anaknya Zaenuddin).

Oh ya, adalagi satu ciri khas anak yang lahir tahun 70-an. Bila anak perempuan berakhiran AH, maka untuk anak lelaki biasanya ada akhiran SYAH, seperti HermanSyah; ArdianSyah; HendianSyah; HadianSyah; dsb. Saat ini sepertinya model nama kayak gitu gak kan masuk itungan alias gak ada dipikiran para orangtua.

Di kampung saya sendiri, kampung Kebon, di bilangan Kemang Jakarta Selatan, para orang tua alias orang tua saya yang lahir pada tahun sebelum Indonesia merdeka atawa jaman Belanda, mempunyai nama yang rada unik. Orang Betawi Kemang, kalau memanggil nama seseorang jarang dengan benar melapalkannya dengan bagus dan sempurna sesuai nama aslinya. Walhasil saat pencatatan administrasi kependudukan, maka nama panggilan di masyarakat itu yang tertera di KTP. Misalkan saja Madamin. (nama panjangnya Muhammad Amin, lantaran orang Betawi suka nyingkat nama, jadilah nama yang tertera di KTP Madamin.) Madehir (Nama aslinya Muhammad Achir); Toye (nama lengkapnya Muhammad Turmudzi, namun di KTP ditulis Toye); Haji Bedur (nama benarnya Abdur Rachman, dipanggil Bedur); Siti Rohmah, dipanggil dan tertulis di KTP Omah; Siti Romlah dipanggil Iyom; Fauziah dipanggil Ipong; Ahmad Yani dipanggil Oyan; Kebanyakan nama mereka hanya satu kata, seperti; Nipan; Sanip; Ni’ih; Sami’un; Inan; Biasanya pas acara arwahan atau tahlilan orang yang meningal, sang shohibul hajat atau shohibul musibah akan dikirimi Fatihah. Sang Ustadz berkata. “Ila hadratinnabi, khususon ila arwahi Haji Madamin bin Muti, Haji Madehir bin Jum, dsb.

Imam Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Nama yang paling disukai oleh Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman.” Sedangkan Thabrani meriwayatkan secara marfu’ dari Abu Basrah, “Sebaik-baik nama kalian adalah Abdullah dan Abdurrahman serta Harits,” (Hadist shahih. Lihat Shahih Al-Jami: 3269). Selanjutnya para sahabat pun mengamalkan hadist ini sehingga Ibnu Shalah mencatat bahwa sahabat yang memiliki nama Abdullah ada sekitar 220 orang, sedangkan Al-Iraqi mengatakan bahwa jumlah keseluruhannya mencapai 300 orang, (Syeikh Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani, Al-Manhal Al-Lathif fi Ushul Al-Hadist, hal. 194). Mungkin lantaran berasal dari latar belakang agama yang kuat, maka banyak orang Betawi menamakan anaknya dengan nama Abdullah dan Abdurrahman (biasanya dipanggil Dul, Kong Dulloh), disamping nama-nama gaya kampung diatas.

Lalu, kenapa mereka, para orang tua, seakan kompak menamakan anak-anak mereka hampir seragam? Kalau saya coba analisa, mungkin, saat itu, --kalau saya bicara dalam tataran regional masyarakat Jakarta (betawi)-- arus dan terpaan informasi tidak semassif saat ini. Pada tahun 70-an, orang tua hanya tahu informasi dari TVRI. Jarang yang membaca surat kabar. Lingkungan sosial yang rada agamis, suka ke masjid, sering ke pengajian dan mendengar siaran ceramah agama dari radio As-Syafiiyyah yang terkenal itu, sehingga bisa jadi mereka dalam mentasbihkan nama untuk putra-putrinya tak kan keluar dari pakem dan ketentuan agama (Islam). Jarang orang Betawi yang menamakan anaknya dengan awalan Su, melainkan pasti dengan kosa kata Arab atau nama-nama Islami atau asmaul husna.

Ada pepatah klasik dari Timur Tengah yang mengungkapkan; “Bila hendak mengetahui kualitas seseorang, maka lihatlah nama anaknya” Ya, kualitas seorang dapat diterka dan dilihat dari cara ia memberikan nama kepada anaknya. Banyak saya jumpai –tentunya dengan random— nama-nama anak yang ‘canggih’ dan punya nunsa dan cita rasa yang tinggi lahir dari golongan atau kaum terpandang. Coba perhatikan secara sekilas saja, rasanya jarang kaum terpandang zaman itu menamai anaknya dengan nama pasaran seperti yang banyak dijumpai dikalangan rakyat kebanyakan, seperti: Tukiman; Partiyem; Ngatenu, Ngadinu; Joko, Agus; Panut; Untung; atau Bambang; Kebanyakan mereka menamai anaknya dengan nama yang rada intelek dan bergaya bangsawan. Salah satu cirinya banyak suku kata O ditengah-tengah atau akhiran namanya. Bisa pula dengan akhiran kata “Negara”, seperti Mangkunegoro; Joyonegoro; Notogegoro, Notolegowo; dsb.

Nabi Muhammad SAW pernah berucap, “..baguskanlah nama kalian..”. Mengapa demikian? Ini lantaran sebuah nama mengandung doa. Nama mengandung harapan dan asa dari si pemberi nama. Syahdan, pada zaman Nabi SAW, ada sahabat yang bernama Hazn, yang bermakna kesusahan. Oleh Nabi SAW si sahabat ini dianjurkan untuk berganti nama menjadi Sahl, Saad atau yang sejenisnya yang bermakna kemudahan atau kebahagiaan. Lantaran segan dan menghormati sang orang tua yang memberikan nama, maka sahabat Hazn tidak mau merubah namanya. Akhirnya hari berganti dan masa berubah hingga sampailah sahabat Hazn ini mempunyai keturunan sampai berbilang. Nah, anak keturunan Hazn ini tidak berada dalam kebahagiaan sepanjang hidupnya. Ada saja musibah dan kemalangan yang menerpa keluarga Bani Hazn. Sampai akhirnya salah seorang keturunannya yang bernama Sa’id bin al-Musayyab, berucap. “Oo mungkin karena kakek buyut kita punya nama Hazn sehingga hidup kita jadi selalu keblangsak (apes) begini”. Waalhua’lam.

Nama juga melambangkan atau mencirikan dari mana dia atau dari latar belakang budaya mana ia berasal.
  • Nama-nama yang berakhiran hurup “V” bisa dipastikan yang bersangkutan berasal dari Rusia. Misalkan saja; Gorbachev; Karpov; Kasparov; Ilanov; dsb.
  • Bagi kalangan Habaib dan/atau mereka yang berdarah Arab, kebanyakan atau hampir semuanya hanya memakai satu kata. Kalaupun dua kata maka kata kedua adalah merujuk kepada bapaknya. Satu lagi, nama-nama mereka kebanyakan diambil dari nama sahabat Nabi SAW, atau dari keturunan Sahabat Ali bin Abi Thalib Ra. Saya jumpai misalnya: Hasan; Husain; Ali; Jakfar; Umar; Utsman; Abdurrachman; Hamid; Hasan Hamid, alias Hasan bin Hamid; dsb. Menariknya, tidak ada dari kuturunan mereka yang menamakan anaknya dengan Yazid. 
  • Hurup Ij atau van dapat dipastikan bahwa pemilik nama tersebut berasal dari kawasan Benelux (Belgia, Belanda,dan Luxemburg). Contohnya. Martijn; Arijan; Van Persie; Van Basten; Dsb.
  • Nama yang berakhiran Us kebanyakan dimiliki oleh kaum Nasrani. Contohnya; Martinus; Stephanus; Matius; dsb.
  • Fam atau marga yang didahului “Si” dipastikan berasal dari Tapanuli, Sumatera Utara; Misalkan saja; Siregar; Simanjuntak; Sitepu; Sibarani; Sitinjak; dsb.


Berikut adalah nama-nama yang tak lekang dimakan usia dan lestari sepanjang zaman. 
  • Mengacu bulan kelahiran: Januar, Febri, Agus, Mei, Septi, Okta, Novi, Desi. 
  • Mengacu kejadian penting: Tavip, Purnama, Fajar.
  • Mengacu etnis tertentu: (awalan) Su; Joko; Bambang, Ucok; Asep; Hendra, Rizal Safril (biasanya orang minang menakan anaknya dengan akhira AL, atau akhiran hurup “L”).
  • Mengacu tokoh, public figure terkenal: Habibie (banyak dijumpai anak yang lahir tahun 80-an) Herman (Felani).


Setelah membaca tulisan ini, apakah anda type orangtua dengan cita rasa average, orang tua dengan ‘kualitas’ rata-rata atau orang tua dengan cita rasa tanggi??

Bahan bacaan:

http://www.mukminun.com/2015/10/tuntunan-islam-tentang-memberi-nama.html