Minggu, 19 November 2017

Budaya Tip

Beberapa jam sebelum berangkat ke USA, pihak Kedubes USA mengundang kami untuk mengikuti pertemuan singkat atau semacam pre departure briefing. Ini semacam pembekalan singkat dan arahan atau petunjuk apa-apa saja yang harus/tidak boleh dikerjakan di sana. Dalam briefing pre departure ini juga diterangkan sedikit tentang adat istiadat, kebiasaan dan budaya Amerika yang tentunya berbeda dengan Indonesia. Salah satunya adalah pemberian tip.

Di Amerika berlaku budaya tip atau persenan. Boleh dibilang Tip adalah sunnah muakkadah atau sesusatu yang sangat dianjurkan dan diapresiasi. Jika ‘dilanggar’, meski tidak ada sanksi hukum namun tentu kurang bijak bila kita mengabaikannya. Lantaran ini sudah semacam budaya, tentu dimana bumi dipijak, disitu langit di junjung. Tip ini yang berupa pemberian ‘uang receh’ ini tentu semacam apresisasi dan penghargaan kita kepada seseorang yang telah melayani dan membantu kita. Bagiku tip tak masalah, toh hitung-hitung berderma kepada sesama, hehe..

Karena tip diberikan bila kita dalam posisi dilayani, maka biasanya kita harus menyiapkan uang kecil bila kita berada di hotel, di restoran atau saat naik taksi. Di hotel, misalnya saat cek in dimana kita membawa koper banyak dan bell boy/room membantu kita mengangkat dan membawakan koper-koper itu ke kamar, tentu kita harus memberikan tip. Berapa? Kisarannya adalah 1 koper seharga 1 dollar. Jadi kalo kita rasa mererka membantu kita dengan sangat baik dan koper-koper itu berat, tentu tak ada salahnya memberikan minimal 2 hingga 5 dollar sebagai tip. Lalu dimana tip

Nah, bila kita berada di restorant atu rumah makan, dan sistem pelayanannya bukan self service atau semacam restoran cepat saji, dimana biasanya waitress atau pelayan akan melayani kita, seperti dituangkan minum, dihidangkan makanan (pembuka/penutup), maka begitu kita membayar bill tagihan makan, tentu kita harus menyisihkan sekitar 10 persen dari tagihan itu untuk tip kepada pelayan. Jadi bila tagihan makan kita 50 dollar, maka tip ke mereka sekitar 5 dollar. Namun adapula rumah makan yang telah mencantumkan item tiup kedalam lembar tagihan makan kita, jadi kita langsung membayar seharga tagihan itu. Oh ya, lantaran restoran cepat saji (self service) tidak ada pelayannya, maka kita harus membereskan perangkat makan kita setelah kita selesai bersantap. Ada tempat khusus untuk meletakan nampan, piring dan gelas ke dalam wadah khusus. Kecuali nampan, semua piring, sendok, dan gelas berbahan plastik dan langsung dibuang ke tempat sampah khusus.

Selain di hotel dan rumah makan, tip juga diberikan kepada supir taksi. Sama seperti di Jakarta, kadang kita membulatkan tagihan argo taksi dan memberikan kelebihannya pada si supir. Dari Bandara ke Kemang, misalnya, rata-rata tagihan argo taksi sekitar 125 ribu rupiah. Biasanya supir taksi –entah disengaja atau tidak- jarang mempunyai unga kembalian. Nah, disinilah kearifan kita. Kita harus tahu bahwa sebenarnya si supir juga mengharapkan agar uang kembalian itu tidak diminta oleh penumpang. Biasanya aku menyerahkan 2 lembar uang pecahan, yakni 100 ribu dan 50 ribu. Argo taksi itu aku bulatkan menjadi 150 ribu. Sisa yang 25 ribu itu aku ‘sedekahkan’ sebagai tip kepada supir taksi. Nah, bila kita bertaksi di USA, sesaat hendak turun dari taksi, kita harus menyiapkan sekitar 10 persen dari argo yang tertera. Jadi bila argo taksi kita menunjuk angka sekitar 20 dollar, misalnya, maka tip supir sekitar 2 dollar. Itulah ‘rule’nya.


Lalu, untuk menghemat pengeluaran tip ini. kadang aku menyiasatinya dengan meminimalkan seoptimal mungkin jasa pelayanan yang kuperoleh. Prinsipku, selagi bisa kulakukan sendiri, maka aku tak ingin meminta bantuan bell room untuk mengangkat koper-ku yang cuma dua, misalnya. Untuk pelayanan kamar hotel pun aku berhemat. Aku akan selalu menggantungkan tanda “Don’t Disturb!” di pintu kamar hotel, sebelum meninggalkan kamar untuk aktivitas keluar kamar. Tentu tujuannya agar kamarku tidak perlu dibersihkan tiap harinya. Bila aku tak menggantungkan tanda itu, maka pasti kamarku dibersihkan, dan akibatnya adalah ada kewajiban moral untuk menyelipkan 1 atau 2 dollar di bantal kamar sebagai tip untuk petugas pembersih kamar. Lalu kapan aku ngasih tip ke meraka? Biasanya aku akan memberikan tip saat cek out di hari terakhir aku menginap. Ketika check out itu, kuselipkan saja sisa-sisa koin dan dollar yang kupunya dan kutuliskan disecarik kertas. TIP FOR YOU! Jadi beruntung sekali petugas yang kedapatan membersihkan kamarku saat aku cek out, hehe..

Bangsa Yang Takkan Lupa Akan Sejarahnya

Jalur yang membentang sepanjang lebih kurang 1,2 kilometer itu tertata rapi dan anggun dengan pohon-pohon sakura yang menaunginya. Kuamati sebagian mulai bermekaran. Banyak burung-burung terbang dan hinggap di pepohonan dalam kawasan yang diapit oleh Independence Avenue dan Constitution Avenue. Kawasan ini memang menjadi icon-nya Amerika, atau Washington DC secara khusus. Banyak film-film yang pernah menjadi box office mengambil gambar di kawasan seluas lebih kurang 160 hectare ini.

Beberapa remaja kulihat sedang bermain piring terbang. Adapula sekelompok remaja yang bermain bola. Ya, taman berumput itu memang luas, dengan monument tinggi menjulang di tengah-tengahnya, persis seperti Monas di Jakarta. Berada dalam suatu kawasan yang memang di-design dan diniatkan untuk sebagai memorial. Mengenang berbagai peristiwa maupun figure seseorang yang pernah berjasa pada Amerika.

Pandangan kualihkan ke arah Tidal Basin. Tampak beberapa pasang turis asyik memadu kasih di taman rumput yang luas. Adapula yang duduk-duduk menikmati makanan yang dibeli dari truck/van resto yang banyak tersedia disekitar taman yang mengelilingi Washington Monument. Saat aku tiba sekitar jam 03.00 pm, sayangnya beberapa truck resto telah bersiap tutup, ini berarti makanan yang mereka siapkan telah habis. Meski demikian ada satu dua yang masih buka, namun antriannya sangat panjang. Aku tak tertarik untuk ngantri lantaran kulihat menu yang ter-display di body truck kurang cocok dengan lidahku.

Aku berjalan menjauh, mencari tempat yang pewe untuk berhenti dan duduk sejenak sembari menggigit apel, jatah sarapan pagi di hotel yang sengaja ku selipkan di tas sebagai bekal makan siangku. Ya, siang itu aku hanya makan roti dan apel untuk pengganjal perutku. Sebelum menelan sisa gigitan yang terakhir, kubasahi kerongkonganku dengan air. Meskipun lunch kali ini tanpa nasi, namun aku yakin sanggup untuk meng-explore kawasan di sekitaran ‘Monas-nya’ Washington hingga berjalan ke arah Lincoln Memorial ini.

Sebelum aku mengukur jalan, Mas Hengky, penghubung kami selama program #IVLP di Amerika menjelaskan bahwa di seputaran Washington Monument akan banyak dijumpai memorial dan tugu peringatan yang bagus-bagus untuk di foto. “Sayang kalau Mas Rachmat tak mengabadikannya”, begitu sarannya. Ya, ternyata memang benar adanya. Banyak spot-spot bagus dan menarik untuk kuambil gambarnya, sebagai bukti yang akan kuperlihatkan pada anakku nantinya, bahwa ayahnya yang katro ini pernah ke Amerika, hehe..

Amerika memang negara besar. Dan, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya. Makin besar suatu bangsa, tentu makin banyak pahlawan yang dihasilkan. Amerika, dengan sejarahnya yang panjang, tentu memiliki banyak pahlawan. Para penandatangan deklarasi kemerdekaannya saja, adalah pahlawan-pahlawan mereka, belum lagi pahlawan-pahlawan di medan atau palagan peperangan yang pernah di jalani oleh negara Uncle Sam ini.

Di Wahington DC -sebagai miniaturnya Amerika Serikat- lantaran perannya sebagai ibukota negara, kulihat banyak terhampar patung-patung dan tugu peringatan juga tempat-tempat yang banyak merefleksikan tentang sejarah Amerika. Disini bisa kita lihat tugu atau memorial untuk mengenang Perang Korea dan Perang Vietnam. Kuamati dengan seksama, tertulis dengan jelas dan lengkap nama-nama pahlawan yang gugur atau hilang di kedua peperangan tersebut. Selain itu ada pula monument peringatan tentang Perang Pacipic dan Perang Dunia II. Pembangunan monument ini seolah memaksa kita untuk larut menjadi saksi sejarah akan jiwa patriotisme para veteran yang pernah berjuang dalam beberapa palagan pertempuran

Tak hanya di DC saja, namun di kota/state lain pun demikian. Betapa besar komitmen pemerintah kota untuk menghormati peran dan jasa para pahlawannya. Ada banyak kawasan atau jalan yang diberi nama veteran, seperti Veteran Perang Korea, Perang Vietnam, dsb. Baru kutahu, ternyata dimana bangsa Amerika terlibat peperangan di dalamnya, pasti akan dibuatkan monument atau semacam simbol dan tugu peringatan untuk mengenang para pemberani dan pahlawan mereka. Ya, disini para veteran perang sangat dihargai jasa dan pengabdiannya.

Bertebarannya monument sebagai tanda peringatan akan sebuah peristiwa atau untuk penghormatan para pahlawan yang gugur dimedan perang seakan memperteguh pendapat yang beredar bahwa sekecil apapun pengorbanan seseorang bagi bangsa Amerika, akan dinilai dan diapresiasi dengan baik. Tiap jiwa tak ternilai harganya. Sering kita lihat di film-film betapa Amerika akan mencari seorang warga negaranya sampai ketemu meski harus mengeluarkan biaya besar dengan mengerahkan puluhan bahkan ratusan tentara. Itu cuma warga negara biasa, lalu bagaimana bila tentara atau pahlawannya, tentu akan mendapat perlakukan yang lebih. Mereka tahu bagaimana berbalas jasa dan berbalas budi terhadap mereka yang berjuang. Tanpa pahlawan mungkin tidak akan ada kemakmuran dan pembangunan. Tanpa pahlawan bisa dikatakan tidak ada bangsa dan negara Amerika. Amerika tidak lupa akan sejarahnya.


Dalam lamunanku di perjalanan pulang ke hotel, aku merasa iri. Di Indonesia, berapa banyak monument yang berisi palagan dan kisah perjuangkan para pendiri bangsa yang berhasil di abadikan entah berbentuk patung, diorama atau seni instalasi bertema kesejarahan lainnya? Padahal, banyak peristiwa bersejarah yang layak diabadikan dalam wujud miniatur atau dioroma yang artistik, agar jiwa dan semangat para pahlawan akan selalu hadir dalam sanubari rakyat. Kedepannya, perlu ada review menyeluruh terhadap pengembangan kawasan di suatu daerah agar dalam satu kawasan tersebut ada space atau tempat yang dapat menghadirkan semangat kepahlawanan, yang nantinya bisa di saksikan oleh anak cucu kelak. 

Biaya Makan di Amerika

Selama di Negara Paman Sam ini, biaya harian dan makan kami memang telah ditanggung oleh pihak pengundang yakni Kemenlu AS. Ya, kami memperoleh uang saku yang lumayan besar untuk ukuran Indonesia. Lantaran kami akan berkunjung ke 5 kota dengan harga dan biaya hidup yang berbeda, maka uang saku-nya pun disesuaikan dengan biaya hidup di kota yang kami singgahi. Nah, agar bisa membawa oleh-oleh berupa lembaran-lembaran dollar ke tanah air, maka jurus penghematan pun dimulai. Ya, kami harus bersiasat dengan meminimalkan pengeluaran. Satu diantaranya adalah dengan mencari tempat makan yang murah. Kalau di Jakarta maka sebisa mungkin akan mencari Warteg dengan menu sayur dan tempe oreg ketimbang makan di restoran atau RM Padang, hehe..

Dalam buku dan jadwal panduan yang diberikan setiap kami tiba di suatu kota, pihak penyelenggara pasti akan mencantumkan daftar nama restoran dari mulai kelas bintang 5 sampai kaki lima. Mereka mengklasifikasikan nya berdasarkan range mulai dari termahal yakni di kisaran 20 – 30 dollar yang ditunjukkan dengan tanda bintang ***, kisaran midle dari 10 hingga 20 dollar **, hingga di kisaran ekonomis antara 5 hingga 10 dollar *. Nah sebelum aku beranjak dari hotel tuk pergi nyari makan, biasanya aku akan lihat dulu range harga yang tercantum di buku panduan. Aku akan lihat dari yang berbintang * hingga ** dengan mengabaikan yang ***. Dari situ barulah aku melihat alamatnya apakah dekat atau jauh dari hotel, bisa di tempuh dengan naik taksi atau hanya jalan kaki saja. Prinsipnya, cari yang dekat dengan hotel. Bila ada yang murah namun jauh, ya terpaksa cari yang rada mahalan namun dekat dengan hotel, sehingga gak perlu naik taksi hanya untuk nyari makan saja. Apesnya terjadi bila rumah makan berkode bintang * dan ** tak ada yang memenuhi standar selera lidah Jakarta-ku, seperti masakan dari Asia Barat atau dari Afrika Utara. Senengnya bila menemukan makanan oriental, seperti chinese food yang ada di Jakarta, dengan harga di bawah 10 dollar.

Menu khas dari North Africa
Kisaran harga makan siang di restoran atau rumah makan di kota-kota Amerika pun bervariasi, tergantung Negara bagiannya. Bila kota besar macam New York atau Washington DC, tentu harga makanannya rada mahal. Yang termurah berada dikisaran 8-15 dollar. Namun bila kita berkunjung ke kota-kota menengah atau kota kecil , di Negara yang letaknya di tengah Amerika Serikat, maka harga makanannya pun tak semahal di kota-kota di pantai timur atau east coast. Di St. Louis misalnya harga makanan asia di kota itu banyak yg dibawah 10 dollar. Ya, kisaran 6-10 dollar. Begitupun di Helena dan Salt Lake City. Di kedua kota itu dengan uang 10 dollar, kita bisa makan dengan menu beragam dari beragam restoran yang ada di kota itu.

Lantaran kota pertama yang kusinggahi adalah DC dengan biaya makan yang rada mahal, maka tatkala menemukan restoran dengan total tagihan di kisaran 10 dollar betapa senangnya hati ini. Ya, kalau di Jakarta makan dengan menu dan cita rasa enak seperti ini juga akan habis sekitar 100 ribuan rupiah. Jadi ya gak mahal-mahal banget menurutku. Bandingkan saja dengan di Singapore, di food court di Negara tetangga ini misalnya, sekali makan kira-kira kisaran 15 an dollar. Meski adapula yang kisaran 5-7 dollar, namun tempatnya bukan di pusat kota.


Selain makan berat (dengan nasi sebagai makanan utamanya) sering pula aku makan gaya America, yakni hanya dengan kentang atau roti, orekan telor, dan sosis. Biasanya menu itu untuk sarapan pagi hari. Sering pula bila ketemu foodcout dengan beragam menu dan olahan dari berbagai dunia, saking pusingnya milih menu aku lebih prefer untuk mesan burger. Harga burger dengan ukuran yang super jumbo bagi size-ku, berada di kisaran 5 hingga 8 dollar. Nasi rames ala oriental food berada di kisaran 7 hingga 13 dollar, dengan menu nasi putih, sayuran, daging/ayam, dan mie atau lauk lainnya. Sedangkan bila kita makan di restoran yang rada kerenan dengan seting makanan pembuka, utama dan penutup, tentu agak mahalan. Lauk pauknya pun beragam dan bercita rasa tinggi. Makan seperti itu bisa habis sekitar 30 hingga 50 dollar berikut tip yang diberikan ke pelayan.

Murahnya Buah-Buahan di Reading Terminal Market

Buah-buahan import produk Amerika dengan kualitas terbaik  tentu akan mahal bila di jual di fruit market terkenal di Jakarta. Namun bagaimana bila buah-buahan segar itu hanya dibandrol seharga 1 dollar? Wah laper mata tentunya. Pengen ngeborong abis. Stawberry seukuran kepalan tangan bayi misalnya, dengan berat kurang lebih sekilo, hanya seharga 13 ribuan rupiah. Rasanya sangat segar dan manis. Bandingkan dengan ukuran dan rasa yang sama, tentu berpuluh kali lipas bila kita membelinya di toko buah di Jakarta. Begitupun anggur, baik berwarna black, red maupun green dan plum. Ya, buah-buahan khas dari negara 4 musim ini banyak tersedia dengan kualitas dan rasa yang maknyus bingits. Dimana saya bisa dapatkan itu semua? 

Saat kami tiba di Philadelhia, salah satu kota di negara bagian Pennsilvania, ada satu tempat yang relative nyaman untuk berbelanja. Belanja apa saja yang menjadi kebutuhan pokok utamanya masalah perut. Tempat belanja ini namanya Reading Terminal Market. Antik juga namanya ya. Entah mengapa dinamakan demikian, padahal disamping belakang, depan kiri dan kanan sekitar kawasan itu tidak dijumpai perpustakaan atapun ruang baca di dalamnya. Tadinya juga kupikir didalamnya akan tersambung dengan lorong bawah tanah yang menghubungkan dengan terminal bus atau stasiun MRT. Ternyata, gak ada apa-apa. Lalu kenapa disebut Reading Terminal? Saat kutelisik kedalam nyatanya hanya ada tempat untuk nongkrong, makan dan minum, tak ubahnya seperti di pusat-pusat perbelanjaan di tanah air. Cuma bedanya disini rada bersih, dan tentunya gak bau.

Reading Terminal Market sangat terkenal di Philly. Ia menjadi semacam iconic dan salah satu destinasi yang tak afdol rasanya bila kita tak berkunjung kesana. Sebagai gambaran, market ini hanya berbentuk bangunan kotak dengan luas sekitar 1000 meter persegi. Tak ada lantai atas maupun basement. Hanya ada dua akses pintu kelaur masuk yang langsung terhubung ke jalan raya. Cikal bakal Market ini telah ada sejak berabad-abad silam, dimulai sekitar abad ke 16, dimana para petani dan nelayan sungai membawa hasil bumi dan tangkapan mereka dari selatan New Jersey. Sama seperti sejarah Sunda Kelapa, di Jakarta, dimana terdapat Kawasan Kota Tua di dekatnya, Market ini hanya berjarak sekitar 1/2 mile dari pelabuhan Deleware, sebagai pusat lalu lintas keluar masuk barang yang menghubungkan kota Philly, sebutan dari Philadelphia dengan ‘dunia luar’. Saat ini, Reading Terminal Market berada di antara jalan 12 dan Arch street. Hanya sepelemparan batu dari tempat-tempat strategis dan iconic di Philly, seperti The Liberty Bell, dan Balaikota (lama).

Oh ya, meski dinamakan Market, namun Reading Terminal tidak menjual kebutuhan sandang atau garment. Disana hanya terdapat aneka penjual makanan, minuman dan tentu juga merangkap semacam kedai untuk makan minum di dalamnya. Selain itu ada pula dijual aneka rempah-rempahan dari berbagai pelosok dunia, juga cindera mata unik dan artistik yang kebanyakan berasal dari kawasan asia timur. Just it! Jadi, meski dinamakan Market (pasar) jangan berharap ada yang menjual busana, panci, kebutuhan rumah tangga seperti; ember, panci, dsb.

Pasar yang mengusung motto “fresh and local everyday” ini memang memanjakan para pengunjungnya. Hanya makanan dengan kualitas terbaik dan segar lah yang bisa masuk sini. Seperti yang kukatakan tadi, harga di Market relatif sangat kompetitif ketimbang ‘pasar-pasar tradisional yang ada di sekitar Philly. Pasar Italia (Italian Market), misalnya, lokasinya persis di pinggir jalan Washington dan Jalan Kimball. Tata letak pasarnya persis tak beda dengan pasar Jatinom yang ada di Klaten, Jawa Tengah. Di pasar inipun banyak tersedia produk-produk makanan dari berbagai belahan Amerika. Ikan dan daging segar pun banyak tersedia. Jika Reading Terminal Market ada di dalam bangunan, dan ber-AC, maka Pasar Italia ini lokasinya outdoor. Jadi bila kita menginginkan belanja dengan nyaman sambil berkuliner, tampaknya Reading Market adalah pilihan yang nyaman ketimbang Pasar Italia ini. Oh ya, dinamakan Pasar Italia karena berada dekat dengan komunitas Italia yang ada di Philly. 

Lantaran Reading Market ini telah menjadi destinasi favorit yang ada di Philly, maka tak hanya turis mancanegara sepertiku, -saking terkenalnya- bahkan banyak warga Amerika yang tinggal di luar Philly, perlu menyempatkan diri melancong dan berbelanja di sini. Pernah, saat di lobby hotel aku sempat ngobrol dengan pasangan bule dari daerah Wilmington, -kawasan suburb sekitar 25-an mile dari kota philly- yang berakhir pekan ke Philly khusus hanya ingin berjalan jalan ke Liberty Bell dan tentu saja kuliner di Reading Terminal Market. Ditengah obrolan itu tak lupa pula mereka menanyakan direction ke Market. Lantaran aku telah kesana, dengan senang hati ketunjuki jalannya dari hotel tempat kami menginap. Tampaknya mereka pasangan bule yang kuper, heheh...




Grant-Kohrs National Historic Site, Sisa Kejayaan Ranch yang Mempesona

“You are a lucky team.” seloroh Mr. Rob Livergood Assistant United States Attorney dari St. Louis, saat kami berpamitan dengannya dan tahu bila kami hendak menuju ke Helena, keesokan harinya. Ya, Rob tampaknya cemburu pada kami berempat, lantaran telah lama ia memendam keinginan untuk dapat menikmati keindahan kota berjuluk “Queen City of the Rockies”. Bahkan saking cemburunya pada kami, ia berujar tak banyak orang Amerika yang bisa datang ke sana. Mbak Nunu, LO kami selama di Amerika sempat memberikan gambaran bahwa Helena mungkin sama dengan Wamena, di Papua, dimana tak banyak orang Indonesia yang dapat berkunjung kesana. Di samping jauh, tentu butuh dana banyak.

Untuk menuju ke Helena, ibu kota negara bagian Montana, di utara Amerika Serikat, kami, peserta IVLP 2016,  menggunakan pesawat yang lebih kecil, setelah sebelumnya transit sebentar di bandara Denver, Colorado. Saat tiba sore hari, 19 Maret 2016, sisa-sisa salju musim dingin masih tampak di apron bandara. Maklum saja, Denver berada di dataran tinggi, masuk dalam jajaran pegunungan Rocky. Salju yang tersisa di musim dingin lalu tampaknya sulit cair di kawasan pegunungan tersebut.

Pesawat bermesin jet, -tak ubahnya seperti pesawat jet pribadi yang biasa terparkir di Halim-, yang aku tumpangi hanya berkapasitas sekitar 55 seat. Formasi kursinya adalah 2 – 2, dengan hanya 1 orang pramugari sebagai pelayan selama penerbangan berdurasi 1,5 jam. Begitu mendarat di Helena, matahari baru saja tergelincir di ufuknya. Saat itu waktu telah menunjukkan pukul 08.40 pm, namun hari masih terlihat terang. Tak ada antrian bagasi yang aku lalui lantaran penumpang tujuan Helena hanya kami ber 30-an orang. Dan itu adalah penerbangan terakhir dari luar Helena yang masuk ke kota berpopulasi 30 ribuan jiwa.

Bandara Helena sendiri sangat kecil. Jika di Indonesia, tak ubahnya seperti bandara perintis di pedalaman. Meski kecil, namun, bandara ini mempunyai landas pacu pesawat yang panjang. Pesawat jenis apapun bakal dengan mudah mendarat di negara bagian yang berbatasan langsung dengan Kanada. Fasilitas ruang tunggu dan sarana pendukung penerbangan tersedia dengan lengkap. Bahkan fasilitas dan sistem pengamanan bandara pun sangat modern dan canggih, tak beda dengan bandara-bandara besar di kota-kota lainnya di Amerika.

Saat kami masuk ke kota dari County Lewis and Clark ini hari sudah malam. Hanya sepi yang tampak, tak ubahnya seperti kita memasuki kota ‘mati’.  Meski ada dua tiga mobil yang berseliweran, namun tidak ramai. Tak tampak orang berjalan kaki seperti yang biasanya kutemui di kota DC, Philadelphia, ataupun St. Louis. Semuanya bermobil. Ya, Helena memang kota kecil, dengan luas hanya sekitar 42 kilometer persegi dengan penduduk yang sedikit pula. Tak pernah ada kemacetan. Sunyi dan sepi. Malam itu kami menginap di Helena Comfort Suites Hotel, yang berlokasi sangat dekat dengan bandara.

Lanskap Helena sendiri seperti piring, dikelilingi pegunungan dengan sebagian sisi tampak putih terselimuti oleh salju sisa musim dingin. Meski kami tiba di awal musim semi, namun dingin masih menyergap. Kota ini seperti Kota Bukittinggi, Sumetera Barat  yang dikelilingi oleh pegunungan Bukit Barisan. Ya, kota kecil nan indah ini laksana serpihan surga yang tercecer di utara Amerika.

Selama di Helena, kami dijamu dan dilayani dengan keramahan penduduknya yang diwakili oleh Alexandra (Sasha) Fendrick; Ronal (Ron) W. Lukenbill; dan Ellen M. Bush, Executive Director dari World Montana, sebuah LSM lokal yang cukup prestigious. Setiap penduduk yang kujumpai selalu menyapa dengan senyum tersungging ramah dan hangat seolah menggambarkan bahwa hidup dan tinggal di kota yang dibangun pada tahun 1864 ini nyaris tanpa beban dan masalah. Sasha dan Ron adalah rekan sekaligus ‘orang tua’ kami selama di Helena yang selalu sabar dan telaten menemani kami meng-explore sisi kehidupan kota yang pernah ramai dengan tambang emasnya di abad ke-17. 

Oleh keduanya, kami diajak untuk berkunjung ke ranch atau peternakan yang pernah popular di zamannya. Namanya the Grant-Kohrs National Historic Site, suatu peternakan yang berada dekat dengan Deer Lodge. Berjarak sekitar 60 kilometer dari Helena. Sepanjang perjalanan yang ditempuh selama kurang lebih satu setengah jam aku disuguhi oleh pemandangan alam yang sulit diuraikan oleh kata-kata. Aliran sungai yang bening di sisi jalan berpadu dengan hamparan padang savanna dengan sekumpulan sapi berkulit hitam yang sedang merumput. Tampak di kejauhan deretan pegunungan Rocky hijau keputihan berselimut salju. Beruntung, aku datang saat awal musim semi, dimana salju masih tampak. Menuju Deer Lodge, jalan terus menanjak.

Sebelum kami meng-explore ranch kami mampir sejenak untuk bersantap siang di rumah makan China di dekat Deer Lodge. Surprise juga menemukan makanan asia di ‘pedalaman’ Amerika. Memang tak banyak imigran yang tinggal di Montana seperti di kawasan pantai barat atau timur Amerika. Maklum saja, Montana jauh kemana-mana, mungkin lantaran kawasan berjuluk the treasure state ini jauh dari pusat migrasi penduduk sehinga yang kutemui dijalan seluruhnya warga kulit putih. Meski demikian ada juga kulit berwarna yang tinggal di sini. Ya buktinya ada imigran dari china yang membuka usaha rumah makan.

Menilik dari namanya, ranch ini awalnya dimiliki oleh Johnny Francis Grant dari Kanada. Lantaran terbelit masalah ekonomi, peternakan ini dijual kepada Conrad Kohrs, seorang imigran dari Jerman. Kohrs yang membangun dan mengembangkan The Grant-Kohrs hingga pernah berada dalam puncak kejayaan, saat banyak orang datang berburu emas di lokasi disekitarnya, sekitar abad ke-17. Kohrs mengembangkan peternakannya dengan menjual daging black angus, jenis sapi berwarna hitam yang banyak dijumpai di sekitar Deer Lodge kepada para pekerja tambang. Ranch ini sendiri dibangun tahun 1863.

Meski kejayaan Ranch itu kini tinggal nama, namun sisa-sisanya masih tetap mempesona. Oleh pemerintah Negara bagian Montana, peternakan di kaki pegunungan Rocky ini dijadikan semacam cagar budaya. Ada beberapa istal atau kandang kuda lengkap dengan bengkel untuk menyimpan peralatan dan perlengkapan berkuda. Di dekatnya teronggok kereta kuda yang masih kokoh. Tampak pula disampingnya sisa-sisa perapian tempat dimana para koboi dan pekerja ranch menghangatkan diri. Kulihat disisi sebelah atas dari istal, bertengger rumah yang antik namun cukup mentereng. Rumah bergaya Victoria dengan perabotan dan furniture yang masih terkesan mewah ini masih terawat dengan rapi. Dari tempat inilah Kohrs, dahulunya, mengendalikan bisnisnya. Namun sayangnya oleh petugas, kami tak diperkenankan mengambil gambar suasana di dalam rumah.

Pesona the Grant-Kohrs National Historic Site tampaknya akan terus ada sebagai pertanda bahwa dulunya di sini bersemayam kemakmuran dan kejayaan peternakan dengan ribuan sapi sebagai hartanya. Dan beruntung aku masih dapat menyaksikan peninggalan itu dalam lawatanku ke Helena.


Gimana Rasanya Pegang Salju?

Tidak seperti di (dekat kutub) utara, bagi kita yang hidup hanya di kawasan atau negara 2 (dua) musim, panas dan hujan, tentu tak kan pernah bisa memegang salju seumur hidupnya, meski kita berada di dataran tinggi sekalipun. Yang mungkin pernah kita rasakan palingan hanya hujan es atau hujan dengan butiran es sebesar kelereng. Hujan model begini sering aku alami saat berkuliah di Bandung tahun 90-an silam. Menariknya, meski tinggal di khatulistiwa, kita masih bisa memegang dan merasakan salju bila berkesempatan mengunjungi kawasan pertambangan di Freeport yang berlokasi di pegunungan Jayawijaya, Papua. Ya, kita harus mendaki hingga puncak gunung itu.

Kayak apa sih megang salju? Apakah (rasanya) seperti memegang kapas yang terasa dingin ataukah seperti (memegang) serutan es? Belum ada gambaran apa-apa. Lha, melihat secara langsung salju saja belum pernah.  Jika pun melihat, itu terjadi pas nonton film-film produksi Hollywood yang kerap ditayangkan ketika natalan tiba, seperti home alone atau yang lainnya, dengan setting tempat dan suasana bersalju. Di film-film itu terekam bagaimana orang bule dengan pakaian tebal berjalan ketika salju turun. Melihat mereka mengenakan pakaian yang tebal saja sudah bisa membayangkan betapa dinginnya suhu saat itu. Lha wong semuanya dikelilingi es (salju). Saat itulah lamunanku muncul. Ngebayangin gimana ya rasanya megang salju, atau kayak apa ya berjalan di antara salju yang bertumpuk-tumpuk.

Alhamdulillah pada akhirnya bayangan di film mampu dihadirkan di alam nyata saat kuberada di Amerika, Maret 2016 lalu. Awal bulan itu baru masuk musim semi, yang berarti musim salju baru saja kelar. Udaranya masih terasa sangat dingin untuk ukuran orang Jakarta, sekitar 3 - 5 derajat celcius. Kadang suatu hari sempat pula hangat, ya sekitar 10 hingga 20 derajat celcius, tak lebih. Begitu tiba di Amerika, kota pertama yang kukunjungi semuanya berada di tengah, dalam arti bukan di (kawasan) utara Amerika Serikat. Ya, meski masih dingin, namun di Washington DC, Philadelphia, dan St. Louis salju telah mencair.

Barulah di kota ke-empat yakni di Helena, Montana, impian memegang salju benar-benar dapat terwujud. Ceritanya, sebelum sampai ke Helana, kami harus terbang dulu, transit di Denver, Colorado. Saat itulah pertama kalinya aku melihat gumpalan-gumpalan salju berserakan di apron Bandara Denver. Tak sabar rasanya tangan ini ingin menggengamnya. Sayang, sarung tangan tebal menutup rapat jari jemariku. Aku kenakan sarung tangan ini lantaran cuaca dingin sore itu menyergapku begitu mendarat di Denver. Sama dengan Montana, Negara Bagian Colorado dimana Denver berada masuk dalam kawasan jajaran Pegunungan Rocky Mountain, Jadi, tak heran bila salju masih tersisa.

Lantaran kami harus berpindah ke pesawat yang ukurannya lebih kecil, maka kami berjalan menuju ke pesawat melalui apron tempat pesawat terparkir. Ketika itulah aku sempat tergelincir saat sol sepatuku untuk pertama kalinya menginjak gumpalan salju. Beruntung, gak pake acara jatuh segala. Sama seperti kaki yang mengenakannya, tampaknya sol sepatu buatan Tanggulangin, Sidoarjo ini juga kaget lantaran baru berkenalan dengan dinginnya salju, hehe.. Karena diburu waktu, sepatu ini tak sempat lagi ‘tuk bermain dan menendang-nendang gumpalan putih itu. Jadilah aku harus segera masuk pesawat dengan masih memendam keinginan (bermain salju) yang masih tertahan.

Begitulah, saat pesawat kecil kami mendarat, tadinya kupikir salju akan terlihat juga di sekitaran apron Bandara Helena, namun pemandangan itu tak tampak. Mungkin beberapa hari lalu salju telah mencair, dan kering, meskipun suhu di Helena sangat dingin, sekitar 3 (tiga) derajat celcuis. Nampaknya Denver lebih dingin ketimbang Helena.

Di ruang kedatangan telah menanti beberapa relawan dari World Montana, selaku tuan rumah yang meng-arrange semua acara dan kegiatan kami selama di Montana. Karena kami tiba malam hari, dan sudah dalam kondisi lelah, langsung saja kami menuju mobil jemputan yang telah siap mengantar kami ke Hotel tanpa sempat merasakan dinginnya suasana kota di malam hari. Aku menginap di Comfort Suites Hotel, Helena.

Esoknya, pagi-pagi sekali selepas sarapan di hotel, aku keluar ruangan makan menuju tanah lapang seberang hotel. Kulihat ada seseorang yang jogging pagi dengan anjingnya. Saat asyik menyapanya, angin dingin bertiup dengan lembut. Di kejauhan tampak jajaran pegunungan berselimut putih salju. Jaraknya mungkin hanya sekitar 2 hingga 3 kilo dari tempatku berdiri. Oh ya, semalam, setelah mengantar kami, sebelum pamitan, Ellen Bush, tuan rumah kami selama di Helena sudah menjanjikan akan mengajak kami ber-plezijer menikmati alam dan pemandangan Montana. Ya pagi ini adalah Minggu, waktu yang tepat untuk piknik. Tujuan kami adalah Deer Lodge, kawasan perbukitan dekat Helena.

Jadilah pagi menjelang siang setelah acara kebaktian temanku yang nasrani usai, kami berangkat meninggalkan hotel menuju Deer Lodge. Kami menggunakan 2 (dua) mobil. Aku menumpang di mobil yang disopiri oleh Shasa Frederich, wanita cantik asal Rusia, yang lama tinggal di Amerika. Temanku yang lain ada di mobil Ron, pengurus di World Montana, yang meski sudah berumur, namun masih energik. Jadilah kami beriringan berkendara. Selepas kota Helena, barulah aku benar-benar melihat tumpukan salju menyelimuti sebagian bukit-bukit disisi jalan yang kami lalui. Ditengah perjalanan kami sempat mampir sejenak untuk menengok salju itu. Ya, tampaknya Ron dan Shasa adalah tuan rumah yang sangat baik, tahu kalau aku dan teman-teman yang berasal darti negara tropis belum pernah memegang salju. Saat dirasa menemukan spot yang baik, Ron, yang berada di mobil terdepan menepi dan berbelok ke kiri. Akhirnya tibalah kami disuatu tempat berbukit dengan hamparan salju yang luas. Saking luasnya bukit itu, dua pertiga diselimuti salju yang sangat bersih, putih. Mungkin ini sisa salju yang turun pada malam harinya. Tak sabar mencumbunya, begitu mobil berhenti, langsung aku turun dan menghampiri si putih. Woww dingin.

Bagi yang belum pernah megang salju, aku ingin memberikan ilustrasi sedikit tentang kumpulan salju, (Itu) seperti kita melihat dan memegang kumpulan ‘salju’ di lemari es (kulkas) type murahan. Atau bisa juga seperti es serut yang biasa di jajakan di pinggiran jalan. Tentu ada perasaan excited, heran, kagum, dan takjub saat pertama kali megang salju. Saking excited-nya, Aku sempat bergulingan dan berpolah laksana anak kecil kegirangan dibelikan mainan. Yeay.. Akhirnya kesampaian juga megang salju.

Pada kesempatan kedua, atau di hari berikutnya saat pulang dari kunjungan ke lapas anak di Boulder Riverside, kami mampir untuk makan siang. Kebetulan saat itu cuaca sedang mendung. Sejak pagi, hujan salju turun. Nah, selagi menunggu santap siang siap tersedia, aku keluar untuk bermain dan merasakan butiran-butiran salju laksana kapas turun dan menerpa jasku. Karena jasku berwarna hitam, maka butiran kapas putih itu sangat kontras menempel di jasku. Baru aku tahu bahwa (rasa) memegang hujan salju akan berbeda dengan memegang tumpukan salju. Bila hujan salju turun, ia seperti butiran kapas yang terbang dibawa angin. Ia seperti sutera. Tidak dingin saat kusentuh. Akhirnya, kesampean juga megang salju yang turun langsung dari atas langit. Itulah salju, seputih kapas, sebening air.


Semua Kran Air Bisa Diminum

Begitu sampai di kamar hotel, dari brosur yang kudapat, pasti akan tertera peringatan dan ketentuan selama kami berada di daerah itu, seperti larangan untuk keluar kamar bila terjadi badai atau hujan salju, juga aturan dan etiket tak tertulis yang sebaiknya dilakukan/tidak. Nah, diantara peringatan itu adalah agar kami tidak lupa untuk minum air putih sebanyak mungkin selama berada di Amerika. Tadinya aku agak mengabaikan peringatan itu. Bagiku, ngapain pula banyak minum di saat cuaca dingin sekarang ini. Ya suhu rata-rata saat ku tiba di Washington DC sekitar 5 hingga 10 derajat Celcius, cukup dingin untuk ukuran Indonesia. Dalam logika sederhanaku, bukankah kalau banyak minum akan sering buang air kecil. Sudah dingin, harus sering ke toilet pula, wah no way, begitulah yang ada dibenakku.

Namun, Ketika mendarat di Amerika, penghubung kami sudah wanti-wanti agar kami banyak-banyak minum. Menurut mereka yang sudah tahunan berada di Amerika, meskipun udara di luar terasa dingin menusuk tulang, namun kita harus dan diwajibkan minum air sebanyak mungkin agar tak dehidrasi. Wow, kok bisa? batinku. Pendamping kami menerangkan bahwa meski cuaca diluar terasa dingin, namun itu adalah dingin (dalam keadaan) kering, yang membuat lidah menjadi kering, rawan dehidrasi. Dan di cuaca dingin kering di musim semi itulah kita dianjurkan untuk banyak meminum air putih. Disamping itu, baru aku tahu kemudian bahwa dari literature yang kubaca, salah satu gejala jetlag adalah insomnia dan dehidrasi. Nah, untuk mengatasi itu kita disarankan minum air putih sebanyak-banyaknya. Oalah, ternyata aku sekarang mengalami jetleg, pantesan kok begitu tiba lalu dua tiga hari setelahnya, lidah dan tenggorokan ini rasanya kering. Jadilah, karena lidah terasa kering inilah selama di Amerika aku minum air putih lebih banyak ketimbang saat berada di cuaca panas di Jakarta.

Air (untuk) minum bukanlah sesuatu yang sulit dijumpai di Amerika. Banyak tersedia keran-keran air yang bisa langsung diminum. Di DC misalnya, di beberapa areal publik seperti di taman, di kawasan Monument Hall misalnya, banyak tersedia keran untuk diminum. Lokasinya biasanya menyatu atau dekat dengan toilet. Di bandara pun ditiap pojokan pasti terdapat air keran untuk di mimun, begitupun di gedung-gedung pertemuan. Singkatnya, selama di Amerika air minum tak sulit tuk di dapatkan. Jadi, kalau kerongkongan terasa kering, maka segeralah mencari kran air. Bila kita tak membawa wadah atau botol, cukup miringkan kepala kita ke arah kran. Caranya pun gampang, cukup dengan memutar putaran yang adanya di bawah, dan membuka mulut, maka air dingin segar pun akan memancar air. Segar terasa di lidah.

Dalam penjelasannya, pendamping kami juga menambahkan bahwa selama kita berada di Negara Paman Sam ini nyaris hampir semua air yang tersedia di kran-kran hotel dapat di minum. Jadi sebelum keluar untuk beraktivitas pada hari itu, aku disarankan untuk memenuhi botol minum dengan air. Ya, jaga-jaga bila di suatu tempat tidak ada keran air. Disamping itu untuk apa pula membeli air putih di Mart atau Toserba bila air di kran kamar hotel dapat langsung diminum.

Praktis selama aku berada di Amerika aku tak pernah membeli aqua botol di Toserba yang ada. Bagiku rasa air putih yang ada di kran hotel dan areal publik lainnya tak terasa aneh. Ya, rasanya sama saja dengan air botol kemasan yang dijual di toko. Atau bisa juga lidahku sudah kebas sehingga sulit membedakan rasa air keran dengan air botol kemasan, hehe.. Bagi indera perasa ini, rasa air putih di kran sudah cukup nyaman terasa di tenggorokan. Rasanya pun segar dan dingin.

Nah, pengecualian terjadi bila ada pemberitahuan atau peringatan sebelumnya (caution) bila air di kran tersebut tidak dapat diminum. Bila ada caution itu, maka tentu air itu tak aman untuk diminum. Namun sepanjang tidak ada caution maka air putih itu aman-aman saja dan layak untuk diminum.


So, selama di USA jangan khawatir kehausan dan tekor pengeluaran lantaran membeli air minum, cukup penuhi botol air minum dari kran yang ada di dekat kita, dan langsung minum tanpa khawatir dan takut ada bakteri di dalamnya. Aman kok, Bismillah aja, saya sudah membuktikan, dan selama di sana tak pernah kena diare, heheh..

Budaya Antri dan Keramahtamahan

Di Indonesia, mereka yang berambut pirang, berhidung mancung, berkulit putih, tinggi besar, sering dipangggil Bule. Entah kenapa ada panggilan bule. Namun kurasa itu sebagai pembeda antar warga pribumi dengan orang asing (orang dari Eropa)  Bule yang banyak kujumpai di sekitar rumahku di Kemang, Jakarta, rata-rata sok, sombong, merasa superior, dan nyaris tanpa senyum ramah. Meski demikian aku tak bisa menggeneralisir semua bule seperti itu, lantaran mereka pun berasal dari beragam etnis dan budaya yang beragam. Dan perlu dicatat, tidak semua bule adalah orang Amerika atau WN Amerika, Boleh jadi bule itu berasal dari Australi, Eropa (ini pun terdiri dari beragam etnis dan ras) ataupun indo akibat kawin campuran.

Nah, saat aku berada di negeri paman sam ini, ternyata yang kutemui bule di Amerika berbeda dengan bule di Indonesia. Sebelum ke Amerika, tadinya aku merasa orang Amerika –karena negara super power- angkuh dan individualis, nyaris tanpa ada senyum keramahan. Namun dugaanku seketika lenyap saat berinteraksi dengan mereka, entah di tempat makan, saat berada di areal publik, ataupun dalam beberapa kali meeting dan pertemuan yang sering kami hadiri. Ya, bule di Amerika berbeda dengan bule di Indonesia.

Sering kali terjadi bila kita berpapasan di jalan atau berada dalam satu ruangan dan satu lift, misalnya, dimana jarak kita berada dalam posisi yang berdekatan, maka sapaan how are you/apa kabar akan terdengar. Selamat pagi/siang adalah basa-basi yang umum di gunakan untuk menyapa. Begitupun sering kali terdengar sapaan untuk menanggapi kondisi cuaca dan keadaan sekitar, apakah dingin, bersalju atau sangat cerah. “time to sunbath, right” misalnya sering terdengar bila cuaca diluar sangat cerah disaat mentari bersinar dengan hangatnya.

Pernah aku saksikan kejadian lucu saat naik mobil di jalan raya di pinggiran kota Helena. Kebetulan aku selalu mengambil posisi duduk didepan, di samping supir, dimana posisi ini sengaja aku pilih agar bisa dengan leluasa melihat sekeliling jalanan yang kami lewati. Nah, ketika kami berada di salah satu perempatan (jalan simpang empat) yang tidak ramai, mobil kami berhenti. Berhenti untuk tengok kiri kanan sebelum terus melaju, dan memang demikian aturannya, dimana ada persimpangan, setiap mobil harus berhenti. Maka, mobil yang lain pun yang berada sisi jalan yang berbeda berhenti. Jadilah ada 4 mobil di masing-masing posisi (simpang empat) berhenti, dan mereka, sungkan untuk mulai jalan terlebih dahulu. Masing-masing supir memberikan isyarat dan mempersilahkan pengendara lainnya untuk melaju terlebih dahulu. Mungkin isyarat itu bila diterjemahkan secara bebas seperti ini; “monggo mas, sampeyan jalan dulu.” “Ah, panjenengan saja, monggo kerso,” balas supirku. Itulah yang terjadi dan kulihat, tak ada budaya serabat serobot dan tak mau ngalah seperti yang kerap kulihat di jalanan Jakarta.

Dikesempatan lain, saat hendak memasuki lift misalnya, maka antrean berdiri untuk masuk lift pun terjadi. Rules tak tertulisnya adalah siapa yang datang terlebih dulu, maka dialah yang lebih dulu masuk lift, sekali lagi tak ada serobotan. Begitupun bila keluar lift, bila kita masuk lift lebih dulu, akan dipersilakan untuk keluar lebih dulu pula, jika kebetulan lantai yang dituju adalah sama. Mereka tampaknya memahami aturan sopan santun bahwa siapa yang datang pertama kali, tentu akan memperoleh kesempatan pertama.

Di lain waktu, pernah terjadi aku mengalami masalah (trouble). Aku tersandung saat menaiki tangga menuju lobby hotel.  Dan, orang-orang yang berada di dekatku dengan respon yang sigap segera menghampiriku dan bertanya; “are you oke?” Kalau saat itu aku bilang aku ada masalah, tentu mereka akan membantuku menghubungi pihak terkait. Bila aku menjawab “I am Fine/oke,” pun mereka akan menyelidik dan memastikanku benar-benar oke. Maka akan ada pertanyaan susulan “Are you sure?” pertanyaan ini untuk kembali memastikan bahwa aku baik-baik saja. Setelah melihatku bisa berdiri dengan sempurna barulah mereka pergi meninggalkan kita sambil berkata, “take care!” dengan senyum ramah.

Begitulah orang Amerika yang kujumpai selama 3 pekan berada di sana. Entah itu menggambarkan Amerika secara keseluruhan atau hanya kebetulanku saja menjumpai orang-orang baik selama disana. Yang pastinya adalah bule di Jakarta berbeda dengan bule di Amerika. Bila suku jawa terkenal dengan keramah tamahannya, baik dalam tingkah laku maupun perkataannya, maka, bagiku, mereka sangat ramah dan nyaris lebih jawa ketimbang orang jawa.


DC, Kota yang Ramah Untuk Pejalan Kaki

Untuk pergi ke suatu tempat, entah itu mencari makan atau melihat tempat-tempat menarik di kota-kota yang aku kunjungi, biasanya aku lebih suka jalan kaki. Disamping lebih irit, lantaran tak perlu ngeluarin ongkos taksi, dengan ngukur jalan, aku dapat menangkap apa saja yang menarik perhatian mata untuk kuabadikan dalam handphone kameraku. Ya, suasana di Washington DC, juga kota-kota lainnya di Amerika sayang ‘tuk dilewatkan dan mesti keabadian melalui jepretan kamera.

Maklum saja, meski aku dari kecil hingga besar tumbuh dan tinggal di Jakarta, namun cakrawala dan wawasanku dalam bepergian ke luar negeri sangat minim. Belum pernah sekalipun aku berkunjung ke kota-kota besar dan maju di dunia. Maka, tatkala tiba di Washington DC, sebagai ibukota Negara adidaya di dunia, terpampanglah di depan mata segala sesuatu yang manarik perhatian, dan memang tidak ada di Jakarta. Semuanya serba beda. Semuanya serba baru dalam pandangan mata. Praktis setiap hal yang kulihat dan kujumpai menjadi hal yang menarik dalam perhatianku. Dan pastinya hal itu akan langsung aku abadikan dalam jepretan kamera.

Macam-macam yang aku foto. Gambar yang kuabadikan biasanya adalah sesuatu yang unik dan tak ada di Jakarta, atau Indonesia. Misalkan saja kuncup bunga sakura yang mulai bermekaran di awal Maret, saat masuk musim semi. Ada pula gambar sekawanan tupai yang berbulu indah yang berlompatan diantara pohon-pohon sakura mencari makan di rerumputan hijau di sekitar Monument Hall. Ada juga foto-foto konyol lainnya, seperti pengemis dengan tumpukan baju hangat yang tertaruh dalam keranjang belanjaan persis toserba berjalan, atau arsitektur rumah yang unik dan artistic. Saking isengnya, kadang ku jepret –tentunya dengan candid- pula bule-bule yang sedang berjalan atau sedang mengobrol di taman-taman kota. Selagi jalan kujepret juga rambu-rambu penunjuk arah, ataupun mobil yang tertib mengantri di tiap persimpangan jalan.

Itulah mengapa aku memutuskan kemanapun aku pergi, sebisa mungkin, selama kaki ini kuat melangkah, aku akan pergi dengan berjalan kaki. Dengan berjalan, maka tak kan ada sisi-sisi yang terlewati untuk kulihat dan kufoto. Dengan berjalan minimal aku dapat menyerap atmosphere kota dengan denyut nadi kehidupannya.

Saking asyiknya berjalan, kadang tak terasa jauh juga jarak yang kutempuh. Untungnya di Amerika, seluruh trotoar untuk pejalan kaki sangat lebar dan ramah kaki. Di Washington DC misalnya, para pejalan kaki sangat dimanjakan. Bila kita hendak menyebrang atau berpindah jalan, maka pengendara bermotor akan berhenti dan mendahulukan pejalan kaki untuk lewat. Disetiap persimpangan terdapat rambu yang menandakan pejalan kaki bisa lewat dengan aman, bila rambu yang bergambar orang berjalan itu menyala biru. Maka sering kita lihat kumpulan orang berdiri dengan tertib menunggu lampu hijau tanda boleh menyebrang. Meski demikian, pernah pula aku mencoba mengacuhkan tanda itu dengan langsung menyebrang saja, dan pengendara bermobil dengan sabarnya mempersilahkanku untuk lewat. Mungkin ia membatin, dasar orang Asian (Indonesia), heheh..

Oh ya, selama berjalan kaki di DC, tak penah sekalipun aku melihat motor yang berseliweran. Kebiasaan naik motor tampaknya tidak ada disini. Kalaupun ada motor yang melaju, itu pun jenis motor besar buatan Amerika. Motor jepang, maaf gak kepake disini. Sama dengan motor, kebiasaan bersepeda pun jarang kulihat. Jadi selain bermobil, kebanyakan mereka berjalan kaki menuju halte bus atau subway untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dan, jangan berharap ada angkot atau mobil umum ukuran ¾ di negara adidaya ini. Selain taksi, kendaraan umum hanya berbentuk bus besar. Lantaran malas untuk mempelajari rute dan jalur bus-bus itu, maka sekali lagi aku hanya berjalan. Berjalan hingga letih dan kaki terasa pegal. Selama masih sanggup melangkah aku pasti akan melaju. Tatkala dirasa lelah, aku duduk di taman terdekat, atau bisa pula aku hanya nongkrong di pinggir jalan persis seperti preman kampong yang taka da kerjaan.

Begitulah aku memilih berjalan. Meski di DC sarana transportasi umum tersedia dengan sangat baik, aku khawatir bila naik bus atau subway, tujuan pun aku belum jelas. Mau pergi ke mana, aku belum tahu. Untungnya spot-spot menarik yang ada di DC dapat kutempuh dengan hanya berjalan kaki. Bila aku nge-bus, tanpa tahu tujuan yang kutuju, tentu bila ingin balik lagi ke hotel tempatku menginap akan jauh. Dan untuk kembali lagi akan butuh waktu lama dan tentunya dollar-ku pun terkuras. Jadilah, kenapa aku lebih suka berjalan kaki di DC.



Makan Malam Bersama Keluarga Amerika

Santap malam di Helena dengan Kel. Lisi Kho
Saat aku mengikuti program International Visitor Leadership Program (IVLP) selama 3 (tiga) pekan, hampir tiap hari diisi oleh pertemuan yang sifatnya resmi atau diistilahkan business meeting, dengan rekan sejawat dan para partner kerja dari Amerika Serikat. Kalaupun ada waktu senggang atau lowong, biasanya terjadi di hari Sabtu dan Minggu, saat weekend menjelang. Meski demikian, waktu lowong itu tak selamanya kosong melainkan diisi dengan kegiatan pertukaran budaya, wisata, nonton pertunjukan, ataupun tour mengunjungi tempat-tempat menarik dan bersejarah di tempat yang kami singgahi.

Saban akhir pekan biasanya aku dan rekan lainnya diberikan pilihan kegiatan, apakah ingin tetap stay (beristirahat) di hotel atau pergi keluar, seperti nonton ballet, nonton pertandingan basket atau sekadar jalan-jalan pergi ke museum yang banyak terserak di setiap negara bagian di Amerika. Nah, salah satu hal menarik dalam program IVLP adalah kegiatan pertukaran budaya yang diberi nama “hospitality”, yakni dijamunya peserta IVLP yang berasal dari luar Amerika (Indonesia) oleh tuan rumah, sebuah keluarga, warga amerika. Acara ini biasanya di adakan pas akhir pekan.

Kegiatan hospitality ini sendiri dimaksudkan agar para peserta IVLP dapat mengetahui lebih mendalam dan berinteraksi secara intens dan hangat dengan sebuah keluarga Amerika. Peserta yang berasal dari luar Amerika diharapkan dapat menjalin hubungan dan kesepahaman, serta tukar menukar budaya dan kebiasaan antar mereka. Dari kegiatan ini kita dapat mengetahui lebih mendalam apa dan bagaimana keluarga Amerika, bagaimana kebiasaan mereka, apa yang mereka lakukan saat makan atau saat berkumpul dengan keluarganya. Saat hospitality itulah mereka berkisah tentang hidup dan budaya di Amerika. Dan, kita pun diminta menceritakan tentang budaya dan kehidupan di tanah air kepada mereka sehingga dicapai saling kesepahaman dan berbagi pengetahuan dan pengalaman diantara anak manusia yang berlainan budaya dan ras.

Berbeda saat weekdays dimana penuh dengan jadwal business meeting, dengan acara dan pembicaraan yang sifatnya terstruktur dan formal, maka akhir pekan itu diisi dengan program hospitality. Hal-hal yang sifatnya pribadi atau personal dapat lebih ditampilkan dalam acara ramah tamah ini. Aku dapat ngobrol secara bebas, bercengkrama, dan bermain dengan keluarga Amerika. Sungguh, kegiatan ini sangat menarik, sayangnya waktunya tak lama, hanya sekitar 2 hingga 3 jam.

Menyiapkan hidangan
Oh ya, acaranya sendiri diadakan pas sore hari, menjelang makan malam. Oleh tuan rumah atau keluarga yang mengundangku, aku dijemput di hotel tempatku menginap untuk dibawa ke rumah mereka. Setelah acara hospitality (makan bersama) usai pun demikian, mereka mengantarku kembali ke hotel. Kebetulan tempat atau rumah yang kukunjungi jaraknya tak terlalu jauh dari hotel, hanya butuh waktu sekitar 30 menit berkendara mobil, sampailah di tujuan, sehingga waktu dan kualitas pertemuan dengan mereka, ‘keluarga angkat’ ku di Amerika dapat terjalin dengan hangat dan lama. 

Dalam kegiatan makan malam ini aku dilibatkan mulai dari memasak, menyiapkan makanan hingga membereskan meja makan. Ya, semuanya dilakukan sembari berbincang hangat tentang keadaan dan situasi di Amerika. Kita, yakni aku dan mereka, saling bertanya tentang apa dan bagiaman keadaan dan kebiasaan yang kerap dilakukan di negara masing-masing.

Selama mengikuti IVLP ini aku 2 (dua) kali menjalani acara hospitality atau ramah tamah dengan warga Amerika. Pertama saat berada di kota St. Louis, negara bagian Missouri, aku dijamu makan malam oleh keluarga (imigran) dari Turki yang bermukim di kota itu. Keluarga Harun Cilingir namanya. Sebelumnya, keluarga ini tinggal di New York. Mereka menjamuku dengan masakan Indonesia. Nampaknya istri Pak Harun pandai memasak makanan Indonesia. Maklum keluarga ini pernah lama tinggal di Indonesia, di Depok tepatnya. Jadi, ini semacam reuni dan nostalgia mereka berjumpa dengan orang Indonesia di St. Louis. Mereka tinggal dengan 3 orang anaknya. Selagi dan selepas santap malam, kami berbicara mengenai berbagai hal, utamanya tentang budaya Turki. Tak banyak yang diceritakan tentang Amerika kepadaku. Akupun lebih tertarik mendengar kisah mereka tentang sejarah dan budaya Turki.

Hospitality kedua aku dapatkan di Helena, Montana. Beruntung, Aku dua kali mendapatkan tawaran makan malam. Yang pertama di jamu oleh imigran dari Serawak Malaysia, yang telah lama bermukum dan menjadi warga negara Amerika. Namanya Lisi Kho. Ia banyak bercerita tentang kisah hidupnya sewaktu tinggal di Serawak. Lantaran ada kesamaan budaya dan adat Melayu, maka obrolan kami pun, yang banyak menggunaakan logat Melayu ketimbang bahasa Inggris menjadi cair dan hangat. Misalkan saja ia bercerita tentang pangilan bule di Serawak, yakni mereka, (bule) dipanggil dengan sebutan Mak Saleh. Mendengar kata itu, akupun tertawa. Entah kenapa orang bule dipanggil “Mak Saleh”.

Hospitality-ku ketiga (atau yang kedua selama di Helena) adalah bonus. Dikatakan bonus lantaran tidak tercantum di jadwal resmi yang telah disusun. Ya, ini semacam keberuntungan bagiku. Ceritanya, karena aku sudah dekat secara personal dengan seorang pendampingku dari WorldMonta -LSM lokal disana- aku diundang secara khusus untuk berkunjung ke rumahnya yang asri dan berbukit di selatan Helena. Namanya Shasa Fendrick, Imigran asal Rusia. Ia tinggal berdua dengan suaminya. Anak dan cucunya tinggal di Rusia. Shasa sangat hangat menyambut dan menemaniku selama di Helena. Dengannya aku memperoleh gambaran yang menyeluruh tentang kehangatan sebuah keluarga Amerika. Di rumah Shasa inilah untuk pertama kalinya aku dapat menyaksikan turunnya salju di petang jelang mentari terbenam dari balik jendela rumahnya.

Sangat disayangkan, meski kegiatan hospitality (home visit) yang aku jalani bersama dengan beberapa keluarga disana berjalan dengan baik, namun ada perasaan yang kurang sreg dan puas lantaran aku belum mendapatkan kesempatan bertemu dengan keluarga “Mak Saleh” sebenarnya, dalam arti yang telah lama atau bergenerasi tinggal di Amerika. Beruntung aku diundang oleh Shasa sehingga dapat menyelami lebih mendalam apa dan bagaimana kehidupan para “mak Saleh’ di Amerika, sehingga kudapatkan perspektif yang berbeda ketimbang bertemu dengan orang asia.

Menyaksikan Pertunjukan Ballet
Oh ya, selain Washington DC, ada 2 (dua) kota yang tak sempat ber-hospitality ria yakni Salt Lake City dan Philadelphia. Di Salt Lake City, kami tiba pada saat weekdays dan hanya tinggal 3 malam saja. Sedangkan di Philadelphia, meski kami sempat menikmati akhir pekan di kota seribu mural ini, namun CDI, LSM Lokal yang mengatur agendaku selama disana, tidak mengagendakan acara tersebut. Sebaliknya, kegiatan hospitality diganti dengan pertunjukan budaya yakni menonton Ballet pada Jumat petang.


Kunilai dari kegiatan yang telah di arrange tersebut, tampaknya pihak Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, selaku pihak yang mengundangku, ingin sekali agar aku tahu, memahami, dan mengenal lebih dekat warga Amerika dan budaya Amerika, yang direfleksikan dari kegiatan makan malam dan kumpul bersama keluarga Amerika. Dan, nyatanya setelah ber-hospitality ini pandanganku terhadap Amerika sangat berubah.  

Tata Cara Mengancingkan Jas

Jas, baik yang biasa dipakai oleh orang gedean atau pejabat negara maupun oleh rakyat kebanyakan yang hendak melangsungkan akad nikah, lazimnya memiliki dua kancing. Kancing atas dan bawah. Bahkan model jas terbaru, hanya punya satu kancing. Aku sendiri tak tahu mengapa kebanyakan model jas menyematkan hanya dua kancing dan jarang sekali yang menyematkan tiga atau empat kancing. Nah, bicara mengancingkan jas ternyata ada manner-nya, ada aturan dan tata caranya, tak sembarang mengancingkan jas, lalu beres. Lho kenapa aku menyinggung masalah jas? Cerita tentang pemakaian jas ini aku peroleh saat kunjunganku ke Gedung US Capitol yang berlokasi di sisi timur dari Monument Hall.

Ya, gedung US Capitol disamping sebagai tempat para senator dari seluruh negara bagian di USA bersidang, tempat ini juga digunakan sebagai museum yang dapat diakses dan di kunjungi oleh para wisatawan dunia. Begitulah, pada kamis siang itu, diakhir kunjunganku di Washington DC, aku berkesempatan mengunjungi salah satu gedung bersejarah dan menjadi icon Amerika Serikat ini.

Karena ini adalah salah obyek vital bagi keamanan negara, maka untuk masuk kesana pun kita akan melewat pemeriksaan yang ketat tak ubahnya seperti saat kita berada di bandara. Selesai melewati jalur pemeriksaan itulah kita harus mendaftar untuk mendapatkan tiket, lalu masuk ke kedalam antrian. Jalur antrian ini dibuat lantaran kita harus menunggu hingga pengunjung yang telah menyaksikan pertunjukan keluar. Pertunjukan itu sendiri adalah ritual yang harus kita lalui sebelum mengeksplore sisi sisi lain yang ada di gedung yang dibangun pada abad ke 18 ini. Tak sampai 15 menit mengantri, maka akupun diarahkan untuk menyaksikan pertunjukan di sebuah studio, layaknya bioskop. Di dalam studio ini diputar sejarah pembangunan US Capitol.

Nah, selepas menyaksikan tayangan berdurasi sekitar 30-an menit itu barulah kita, dengan dipandu oleh pemandu yang memang sangat terlatih diajak berkeliling ke setiap sudut dan ruang dari US Capital. Meski demikian, ada beberapa ruangan yang tidak dapat dimasuki alias restricted area, lantaran dipakai untuk bersidang atau ruangan yang memang publik tidak boleh tahu. Hari itu, yang tour ke US Capitol, tidak hanya turis perseorangan, namun ada beberapa rombongan pelajar sekolah, entah dari negara mana yang juga ikutan tour.

Aku sendiri, tak begitu tertarik dengan penjelasan yang diberikan oleh pemandu, aku lebih nyaman menyaksikan beberapa ornamen yang menghisasi gedung yang diarsiteki oleh William Thornton ini, seperti lukisan-lukisan kelas dunia yang keren abis, hingga --nah ini menariknya-- patung-patung yang menghiasi sudut-sudut ruang capitol.  Patung-patung itu adalah patung para senator legendaris yang mewakili tiap negara bagian. Jadi ada 50-an patung didalamnya. Yang menarik perhatianku adalah patung-patung itu dibuat nyaris menyamai bentuk aslinya. Mereka hampir semuanya berjas lengkap dengan dasi mengikat lehernya. Kalaupun tidak berjas, mereka mengenakan pakaian kebesaran dari negara bagian masing-masing. Busana yang dikenakan oleh senator dari California misalnya memakai pakaian laksana pengkhotbah atau penyeru agama.

Aku tertarik mengamati patung-patung berjas itu lantaran pernah ada kejadian dan polemic di tanah air terkait tata cara berbusana (berjas) yang dikenakan oleh presiden RI. Netizen mengkritisi cara memakai atau lebih tepatnya cara mengancingkan kancing pada jas yang dikenakan oleh presiden saat berpose dengan tamu negara. Apakah dikancing semua, ataukah hanya kancing atas dan tengah saja. Ramai juga yang membahasnya, masing-masing, baik hater maupun lover, tak mau kalah berargumen.

Kala itu, presiden dikritik lantaran tidak mengancingkan kancing paling bawah dari jas-nya. Yang di kancingkan --kalau tak salah-- hanya satu kancing saja, yakni kancing yang tengah. Mereka (para pengkritik) mengomentari penampilan berbusana presiden lantaran tidak full mengancingkan jasnya. Lalu pihak yang mengerti tata aturan berbusana jas, tampil membela presiden. Mereka katakan bahwa apa yang dikenakan oleh presiden sudah benar dan tepat.

Saat itu, --dari perdebatan yang terjadi-- aku tidak tahu, mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang layak untuk dijadikan acuan dan pedoman, lantaran keterbatasanku dalam mencari referensi baik berupa gambar ataupun melihat langsung para pemimpin dunia dalam memakai jas. Tadinya kukira kancing-kancing yang melekat di jas itu hanya sekadar ‘aksesoris’ saja, dan mengancingkannya pun tidak ‘terikat’ aturan, namun tidak demikian adanya.

Ternyata tata cara ber-jas atau lebih tepatnya tata cara mengancingkan jas telah sejak dulu di terapkan, jauh sebelum kita mengenal jas sebagai pakaian resmi sehari-hari. Aku baru ngeh ketika memasuki Gedung yang memiliki 658 jendela itu. Kulihat patung-patung yang berada di dalamnya, dimana hampir kesemuanya memakai jas. Kuamati dengan seksama patung itu, yakni bagaimana tokoh dalam patung itu mengancingkan jas-nya.

Dalam patung yang ditampilkan, ternyata mereka (para senator) hanya mengancingkan kancing nomor 2 (tengah), bila kancingnya ada tiga buah. Atau kalau kancingnya hanya 2, cukup mengancingkan yang atas saja, dan membiarkan kancing bawah terbuka. Menariknya, tidak ada yang mengancingkan kancing nomor satu (kancing atas) bila kancing nomor 2 (tengah) terbuka. Atau mengancingkan nomor 3 (bawah) dan membuka kancing nomor 1 (atas) dan 2 (tengah). Dan, tidak hanya satu patung saja, hampir semua patung kulihat mengenakan tata aturan seperti itu.

Begitulah, tampaknya aturan berbusana atau ber-jas telah diterapkan secara ketat dalam budaya mereka. Hampir tak ada pakem yang dilanggar dalam per-jas-an tersebut. Dan, setelah melihat ornament patung di gedung yang memiliki 540 kamar itu, tampaknya presiden Indonesia telah tepat dalam mengancingkan jas-nya.