Minggu, 19 November 2017

DC, Kota yang Ramah Untuk Pejalan Kaki

Untuk pergi ke suatu tempat, entah itu mencari makan atau melihat tempat-tempat menarik di kota-kota yang aku kunjungi, biasanya aku lebih suka jalan kaki. Disamping lebih irit, lantaran tak perlu ngeluarin ongkos taksi, dengan ngukur jalan, aku dapat menangkap apa saja yang menarik perhatian mata untuk kuabadikan dalam handphone kameraku. Ya, suasana di Washington DC, juga kota-kota lainnya di Amerika sayang ‘tuk dilewatkan dan mesti keabadian melalui jepretan kamera.

Maklum saja, meski aku dari kecil hingga besar tumbuh dan tinggal di Jakarta, namun cakrawala dan wawasanku dalam bepergian ke luar negeri sangat minim. Belum pernah sekalipun aku berkunjung ke kota-kota besar dan maju di dunia. Maka, tatkala tiba di Washington DC, sebagai ibukota Negara adidaya di dunia, terpampanglah di depan mata segala sesuatu yang manarik perhatian, dan memang tidak ada di Jakarta. Semuanya serba beda. Semuanya serba baru dalam pandangan mata. Praktis setiap hal yang kulihat dan kujumpai menjadi hal yang menarik dalam perhatianku. Dan pastinya hal itu akan langsung aku abadikan dalam jepretan kamera.

Macam-macam yang aku foto. Gambar yang kuabadikan biasanya adalah sesuatu yang unik dan tak ada di Jakarta, atau Indonesia. Misalkan saja kuncup bunga sakura yang mulai bermekaran di awal Maret, saat masuk musim semi. Ada pula gambar sekawanan tupai yang berbulu indah yang berlompatan diantara pohon-pohon sakura mencari makan di rerumputan hijau di sekitar Monument Hall. Ada juga foto-foto konyol lainnya, seperti pengemis dengan tumpukan baju hangat yang tertaruh dalam keranjang belanjaan persis toserba berjalan, atau arsitektur rumah yang unik dan artistic. Saking isengnya, kadang ku jepret –tentunya dengan candid- pula bule-bule yang sedang berjalan atau sedang mengobrol di taman-taman kota. Selagi jalan kujepret juga rambu-rambu penunjuk arah, ataupun mobil yang tertib mengantri di tiap persimpangan jalan.

Itulah mengapa aku memutuskan kemanapun aku pergi, sebisa mungkin, selama kaki ini kuat melangkah, aku akan pergi dengan berjalan kaki. Dengan berjalan, maka tak kan ada sisi-sisi yang terlewati untuk kulihat dan kufoto. Dengan berjalan minimal aku dapat menyerap atmosphere kota dengan denyut nadi kehidupannya.

Saking asyiknya berjalan, kadang tak terasa jauh juga jarak yang kutempuh. Untungnya di Amerika, seluruh trotoar untuk pejalan kaki sangat lebar dan ramah kaki. Di Washington DC misalnya, para pejalan kaki sangat dimanjakan. Bila kita hendak menyebrang atau berpindah jalan, maka pengendara bermotor akan berhenti dan mendahulukan pejalan kaki untuk lewat. Disetiap persimpangan terdapat rambu yang menandakan pejalan kaki bisa lewat dengan aman, bila rambu yang bergambar orang berjalan itu menyala biru. Maka sering kita lihat kumpulan orang berdiri dengan tertib menunggu lampu hijau tanda boleh menyebrang. Meski demikian, pernah pula aku mencoba mengacuhkan tanda itu dengan langsung menyebrang saja, dan pengendara bermobil dengan sabarnya mempersilahkanku untuk lewat. Mungkin ia membatin, dasar orang Asian (Indonesia), heheh..

Oh ya, selama berjalan kaki di DC, tak penah sekalipun aku melihat motor yang berseliweran. Kebiasaan naik motor tampaknya tidak ada disini. Kalaupun ada motor yang melaju, itu pun jenis motor besar buatan Amerika. Motor jepang, maaf gak kepake disini. Sama dengan motor, kebiasaan bersepeda pun jarang kulihat. Jadi selain bermobil, kebanyakan mereka berjalan kaki menuju halte bus atau subway untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dan, jangan berharap ada angkot atau mobil umum ukuran ¾ di negara adidaya ini. Selain taksi, kendaraan umum hanya berbentuk bus besar. Lantaran malas untuk mempelajari rute dan jalur bus-bus itu, maka sekali lagi aku hanya berjalan. Berjalan hingga letih dan kaki terasa pegal. Selama masih sanggup melangkah aku pasti akan melaju. Tatkala dirasa lelah, aku duduk di taman terdekat, atau bisa pula aku hanya nongkrong di pinggir jalan persis seperti preman kampong yang taka da kerjaan.

Begitulah aku memilih berjalan. Meski di DC sarana transportasi umum tersedia dengan sangat baik, aku khawatir bila naik bus atau subway, tujuan pun aku belum jelas. Mau pergi ke mana, aku belum tahu. Untungnya spot-spot menarik yang ada di DC dapat kutempuh dengan hanya berjalan kaki. Bila aku nge-bus, tanpa tahu tujuan yang kutuju, tentu bila ingin balik lagi ke hotel tempatku menginap akan jauh. Dan untuk kembali lagi akan butuh waktu lama dan tentunya dollar-ku pun terkuras. Jadilah, kenapa aku lebih suka berjalan kaki di DC.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar