Minggu, 19 November 2017

Grant-Kohrs National Historic Site, Sisa Kejayaan Ranch yang Mempesona

“You are a lucky team.” seloroh Mr. Rob Livergood Assistant United States Attorney dari St. Louis, saat kami berpamitan dengannya dan tahu bila kami hendak menuju ke Helena, keesokan harinya. Ya, Rob tampaknya cemburu pada kami berempat, lantaran telah lama ia memendam keinginan untuk dapat menikmati keindahan kota berjuluk “Queen City of the Rockies”. Bahkan saking cemburunya pada kami, ia berujar tak banyak orang Amerika yang bisa datang ke sana. Mbak Nunu, LO kami selama di Amerika sempat memberikan gambaran bahwa Helena mungkin sama dengan Wamena, di Papua, dimana tak banyak orang Indonesia yang dapat berkunjung kesana. Di samping jauh, tentu butuh dana banyak.

Untuk menuju ke Helena, ibu kota negara bagian Montana, di utara Amerika Serikat, kami, peserta IVLP 2016,  menggunakan pesawat yang lebih kecil, setelah sebelumnya transit sebentar di bandara Denver, Colorado. Saat tiba sore hari, 19 Maret 2016, sisa-sisa salju musim dingin masih tampak di apron bandara. Maklum saja, Denver berada di dataran tinggi, masuk dalam jajaran pegunungan Rocky. Salju yang tersisa di musim dingin lalu tampaknya sulit cair di kawasan pegunungan tersebut.

Pesawat bermesin jet, -tak ubahnya seperti pesawat jet pribadi yang biasa terparkir di Halim-, yang aku tumpangi hanya berkapasitas sekitar 55 seat. Formasi kursinya adalah 2 – 2, dengan hanya 1 orang pramugari sebagai pelayan selama penerbangan berdurasi 1,5 jam. Begitu mendarat di Helena, matahari baru saja tergelincir di ufuknya. Saat itu waktu telah menunjukkan pukul 08.40 pm, namun hari masih terlihat terang. Tak ada antrian bagasi yang aku lalui lantaran penumpang tujuan Helena hanya kami ber 30-an orang. Dan itu adalah penerbangan terakhir dari luar Helena yang masuk ke kota berpopulasi 30 ribuan jiwa.

Bandara Helena sendiri sangat kecil. Jika di Indonesia, tak ubahnya seperti bandara perintis di pedalaman. Meski kecil, namun, bandara ini mempunyai landas pacu pesawat yang panjang. Pesawat jenis apapun bakal dengan mudah mendarat di negara bagian yang berbatasan langsung dengan Kanada. Fasilitas ruang tunggu dan sarana pendukung penerbangan tersedia dengan lengkap. Bahkan fasilitas dan sistem pengamanan bandara pun sangat modern dan canggih, tak beda dengan bandara-bandara besar di kota-kota lainnya di Amerika.

Saat kami masuk ke kota dari County Lewis and Clark ini hari sudah malam. Hanya sepi yang tampak, tak ubahnya seperti kita memasuki kota ‘mati’.  Meski ada dua tiga mobil yang berseliweran, namun tidak ramai. Tak tampak orang berjalan kaki seperti yang biasanya kutemui di kota DC, Philadelphia, ataupun St. Louis. Semuanya bermobil. Ya, Helena memang kota kecil, dengan luas hanya sekitar 42 kilometer persegi dengan penduduk yang sedikit pula. Tak pernah ada kemacetan. Sunyi dan sepi. Malam itu kami menginap di Helena Comfort Suites Hotel, yang berlokasi sangat dekat dengan bandara.

Lanskap Helena sendiri seperti piring, dikelilingi pegunungan dengan sebagian sisi tampak putih terselimuti oleh salju sisa musim dingin. Meski kami tiba di awal musim semi, namun dingin masih menyergap. Kota ini seperti Kota Bukittinggi, Sumetera Barat  yang dikelilingi oleh pegunungan Bukit Barisan. Ya, kota kecil nan indah ini laksana serpihan surga yang tercecer di utara Amerika.

Selama di Helena, kami dijamu dan dilayani dengan keramahan penduduknya yang diwakili oleh Alexandra (Sasha) Fendrick; Ronal (Ron) W. Lukenbill; dan Ellen M. Bush, Executive Director dari World Montana, sebuah LSM lokal yang cukup prestigious. Setiap penduduk yang kujumpai selalu menyapa dengan senyum tersungging ramah dan hangat seolah menggambarkan bahwa hidup dan tinggal di kota yang dibangun pada tahun 1864 ini nyaris tanpa beban dan masalah. Sasha dan Ron adalah rekan sekaligus ‘orang tua’ kami selama di Helena yang selalu sabar dan telaten menemani kami meng-explore sisi kehidupan kota yang pernah ramai dengan tambang emasnya di abad ke-17. 

Oleh keduanya, kami diajak untuk berkunjung ke ranch atau peternakan yang pernah popular di zamannya. Namanya the Grant-Kohrs National Historic Site, suatu peternakan yang berada dekat dengan Deer Lodge. Berjarak sekitar 60 kilometer dari Helena. Sepanjang perjalanan yang ditempuh selama kurang lebih satu setengah jam aku disuguhi oleh pemandangan alam yang sulit diuraikan oleh kata-kata. Aliran sungai yang bening di sisi jalan berpadu dengan hamparan padang savanna dengan sekumpulan sapi berkulit hitam yang sedang merumput. Tampak di kejauhan deretan pegunungan Rocky hijau keputihan berselimut salju. Beruntung, aku datang saat awal musim semi, dimana salju masih tampak. Menuju Deer Lodge, jalan terus menanjak.

Sebelum kami meng-explore ranch kami mampir sejenak untuk bersantap siang di rumah makan China di dekat Deer Lodge. Surprise juga menemukan makanan asia di ‘pedalaman’ Amerika. Memang tak banyak imigran yang tinggal di Montana seperti di kawasan pantai barat atau timur Amerika. Maklum saja, Montana jauh kemana-mana, mungkin lantaran kawasan berjuluk the treasure state ini jauh dari pusat migrasi penduduk sehinga yang kutemui dijalan seluruhnya warga kulit putih. Meski demikian ada juga kulit berwarna yang tinggal di sini. Ya buktinya ada imigran dari china yang membuka usaha rumah makan.

Menilik dari namanya, ranch ini awalnya dimiliki oleh Johnny Francis Grant dari Kanada. Lantaran terbelit masalah ekonomi, peternakan ini dijual kepada Conrad Kohrs, seorang imigran dari Jerman. Kohrs yang membangun dan mengembangkan The Grant-Kohrs hingga pernah berada dalam puncak kejayaan, saat banyak orang datang berburu emas di lokasi disekitarnya, sekitar abad ke-17. Kohrs mengembangkan peternakannya dengan menjual daging black angus, jenis sapi berwarna hitam yang banyak dijumpai di sekitar Deer Lodge kepada para pekerja tambang. Ranch ini sendiri dibangun tahun 1863.

Meski kejayaan Ranch itu kini tinggal nama, namun sisa-sisanya masih tetap mempesona. Oleh pemerintah Negara bagian Montana, peternakan di kaki pegunungan Rocky ini dijadikan semacam cagar budaya. Ada beberapa istal atau kandang kuda lengkap dengan bengkel untuk menyimpan peralatan dan perlengkapan berkuda. Di dekatnya teronggok kereta kuda yang masih kokoh. Tampak pula disampingnya sisa-sisa perapian tempat dimana para koboi dan pekerja ranch menghangatkan diri. Kulihat disisi sebelah atas dari istal, bertengger rumah yang antik namun cukup mentereng. Rumah bergaya Victoria dengan perabotan dan furniture yang masih terkesan mewah ini masih terawat dengan rapi. Dari tempat inilah Kohrs, dahulunya, mengendalikan bisnisnya. Namun sayangnya oleh petugas, kami tak diperkenankan mengambil gambar suasana di dalam rumah.

Pesona the Grant-Kohrs National Historic Site tampaknya akan terus ada sebagai pertanda bahwa dulunya di sini bersemayam kemakmuran dan kejayaan peternakan dengan ribuan sapi sebagai hartanya. Dan beruntung aku masih dapat menyaksikan peninggalan itu dalam lawatanku ke Helena.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar