“You are a lucky team.”
seloroh Mr. Rob Livergood Assistant
United States Attorney dari St. Louis, saat kami berpamitan dengannya dan
tahu bila kami hendak menuju ke Helena, keesokan harinya. Ya, Rob tampaknya
cemburu pada kami berempat, lantaran telah lama ia memendam keinginan untuk
dapat menikmati keindahan kota berjuluk “Queen City of the Rockies”. Bahkan
saking cemburunya pada kami, ia berujar tak banyak orang Amerika yang bisa datang
ke sana. Mbak Nunu, LO kami selama di Amerika sempat memberikan gambaran bahwa
Helena mungkin sama dengan Wamena, di Papua, dimana tak banyak orang Indonesia
yang dapat berkunjung kesana. Di samping jauh, tentu butuh dana banyak.
Untuk
menuju ke Helena, ibu kota negara bagian Montana, di utara Amerika Serikat,
kami, peserta IVLP 2016, menggunakan
pesawat yang lebih kecil, setelah sebelumnya transit sebentar di bandara
Denver, Colorado. Saat tiba sore hari, 19 Maret 2016, sisa-sisa salju musim
dingin masih tampak di apron bandara. Maklum saja, Denver berada di dataran
tinggi, masuk dalam jajaran pegunungan Rocky. Salju yang tersisa di musim
dingin lalu tampaknya sulit cair di kawasan pegunungan tersebut.
Pesawat
bermesin jet, -tak ubahnya seperti pesawat jet pribadi yang biasa terparkir di
Halim-, yang aku tumpangi hanya berkapasitas sekitar 55 seat. Formasi kursinya
adalah 2 – 2, dengan hanya 1 orang pramugari sebagai pelayan selama penerbangan
berdurasi 1,5 jam. Begitu mendarat di Helena, matahari baru saja tergelincir di
ufuknya. Saat itu waktu telah menunjukkan pukul 08.40 pm, namun hari masih
terlihat terang. Tak ada antrian bagasi yang aku lalui lantaran penumpang
tujuan Helena hanya kami ber 30-an orang. Dan itu adalah penerbangan terakhir
dari luar Helena yang masuk ke kota berpopulasi 30 ribuan jiwa.
Bandara
Helena sendiri sangat kecil. Jika di Indonesia, tak ubahnya seperti bandara
perintis di pedalaman. Meski kecil, namun, bandara ini mempunyai landas pacu
pesawat yang panjang. Pesawat jenis apapun bakal dengan mudah mendarat di
negara bagian yang berbatasan langsung dengan Kanada. Fasilitas ruang tunggu
dan sarana pendukung penerbangan tersedia dengan lengkap. Bahkan fasilitas dan
sistem pengamanan bandara pun sangat modern dan canggih, tak beda dengan
bandara-bandara besar di kota-kota lainnya di Amerika.
Saat
kami masuk ke kota dari County Lewis
and Clark ini hari sudah malam. Hanya sepi yang tampak, tak ubahnya seperti
kita memasuki kota ‘mati’. Meski ada dua
tiga mobil yang berseliweran, namun tidak ramai. Tak tampak orang berjalan kaki
seperti yang biasanya kutemui di kota DC, Philadelphia, ataupun St. Louis.
Semuanya bermobil. Ya, Helena memang kota kecil, dengan luas hanya sekitar 42
kilometer persegi dengan penduduk yang sedikit pula. Tak pernah ada kemacetan.
Sunyi dan sepi. Malam itu kami menginap di Helena Comfort Suites Hotel, yang
berlokasi sangat dekat dengan bandara.
Lanskap
Helena sendiri seperti piring, dikelilingi pegunungan dengan sebagian sisi
tampak putih terselimuti oleh salju sisa musim dingin. Meski kami tiba di awal
musim semi, namun dingin masih menyergap. Kota ini seperti Kota Bukittinggi,
Sumetera Barat yang dikelilingi oleh
pegunungan Bukit Barisan. Ya, kota kecil nan indah ini laksana serpihan surga
yang tercecer di utara Amerika.
Selama
di Helena, kami dijamu dan dilayani dengan keramahan penduduknya yang diwakili
oleh Alexandra (Sasha) Fendrick; Ronal (Ron) W. Lukenbill; dan Ellen M. Bush, Executive Director dari World Montana,
sebuah LSM lokal yang cukup prestigious.
Setiap penduduk yang kujumpai selalu menyapa dengan senyum tersungging ramah
dan hangat seolah menggambarkan bahwa hidup dan tinggal di kota yang dibangun
pada tahun 1864 ini nyaris tanpa beban dan masalah.
Sasha dan Ron adalah rekan sekaligus ‘orang tua’ kami selama di Helena yang selalu
sabar dan telaten menemani kami meng-explore
sisi kehidupan kota yang pernah ramai dengan tambang emasnya di abad
ke-17.
Oleh
keduanya, kami diajak untuk berkunjung ke ranch atau peternakan yang pernah
popular di zamannya. Namanya the Grant-Kohrs National Historic Site, suatu
peternakan yang berada dekat dengan Deer Lodge. Berjarak sekitar 60 kilometer
dari Helena. Sepanjang perjalanan yang ditempuh selama kurang lebih satu
setengah jam aku disuguhi oleh pemandangan alam yang sulit diuraikan oleh
kata-kata. Aliran sungai yang bening di sisi jalan berpadu dengan hamparan
padang savanna dengan sekumpulan sapi berkulit hitam yang sedang merumput.
Tampak di kejauhan deretan pegunungan Rocky hijau keputihan berselimut salju.
Beruntung, aku datang saat awal musim semi, dimana salju masih tampak. Menuju
Deer Lodge, jalan terus menanjak.
Sebelum
kami meng-explore ranch kami mampir
sejenak untuk bersantap siang di rumah makan China di dekat Deer Lodge. Surprise juga menemukan makanan asia di
‘pedalaman’ Amerika. Memang tak banyak imigran yang tinggal di Montana seperti
di kawasan pantai barat atau timur Amerika. Maklum saja, Montana jauh
kemana-mana, mungkin lantaran kawasan berjuluk the treasure state ini jauh dari pusat migrasi penduduk sehinga
yang kutemui dijalan seluruhnya warga kulit putih. Meski demikian ada juga
kulit berwarna yang tinggal di sini. Ya buktinya ada imigran dari china yang
membuka usaha rumah makan.
Menilik
dari namanya, ranch ini awalnya dimiliki oleh Johnny Francis Grant dari Kanada.
Lantaran terbelit masalah ekonomi, peternakan ini dijual kepada Conrad Kohrs,
seorang imigran dari Jerman. Kohrs yang membangun dan mengembangkan The
Grant-Kohrs hingga pernah berada dalam puncak kejayaan, saat banyak orang
datang berburu emas di lokasi disekitarnya, sekitar abad ke-17. Kohrs
mengembangkan peternakannya dengan menjual daging black angus, jenis sapi berwarna hitam yang banyak dijumpai di
sekitar Deer Lodge kepada para pekerja tambang. Ranch ini sendiri dibangun
tahun 1863.
Meski
kejayaan Ranch itu kini tinggal nama, namun sisa-sisanya masih tetap mempesona.
Oleh pemerintah Negara bagian Montana, peternakan di kaki pegunungan Rocky ini
dijadikan semacam cagar budaya. Ada beberapa istal atau kandang kuda lengkap
dengan bengkel untuk menyimpan peralatan dan perlengkapan berkuda. Di dekatnya
teronggok kereta kuda yang masih kokoh. Tampak pula disampingnya sisa-sisa
perapian tempat dimana para koboi dan pekerja ranch menghangatkan diri. Kulihat
disisi sebelah atas dari istal, bertengger rumah yang antik namun cukup
mentereng. Rumah bergaya Victoria dengan perabotan dan furniture yang masih
terkesan mewah ini masih terawat dengan rapi. Dari tempat inilah Kohrs,
dahulunya, mengendalikan bisnisnya. Namun sayangnya oleh petugas, kami tak
diperkenankan mengambil gambar suasana di dalam rumah.
Pesona the Grant-Kohrs
National Historic Site tampaknya akan terus ada sebagai pertanda bahwa dulunya
di sini bersemayam kemakmuran dan kejayaan peternakan dengan ribuan sapi
sebagai hartanya. Dan beruntung aku masih dapat menyaksikan peninggalan itu
dalam lawatanku ke Helena.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar