Jas, baik yang biasa dipakai oleh orang gedean atau pejabat negara maupun oleh
rakyat kebanyakan yang hendak melangsungkan akad nikah, lazimnya memiliki dua
kancing. Kancing atas dan bawah. Bahkan model jas terbaru, hanya punya satu
kancing. Aku sendiri tak tahu mengapa kebanyakan model jas menyematkan hanya
dua kancing dan jarang sekali yang menyematkan tiga atau empat kancing. Nah,
bicara mengancingkan jas ternyata ada manner-nya,
ada aturan dan tata caranya, tak sembarang mengancingkan jas, lalu beres. Lho
kenapa aku menyinggung masalah jas? Cerita tentang pemakaian jas ini aku
peroleh saat kunjunganku ke Gedung US Capitol yang berlokasi di sisi timur dari
Monument Hall.
Ya, gedung US Capitol disamping sebagai tempat para senator
dari seluruh negara bagian di USA bersidang, tempat ini juga digunakan sebagai
museum yang dapat diakses dan di kunjungi oleh para wisatawan dunia. Begitulah,
pada kamis siang itu, diakhir kunjunganku di Washington DC, aku berkesempatan
mengunjungi salah satu gedung bersejarah dan menjadi icon Amerika Serikat ini.
Karena ini adalah salah obyek vital bagi keamanan
negara, maka untuk masuk kesana pun kita akan melewat pemeriksaan yang ketat
tak ubahnya seperti saat kita berada di bandara. Selesai melewati jalur
pemeriksaan itulah kita harus mendaftar untuk mendapatkan tiket, lalu masuk ke kedalam
antrian. Jalur antrian ini dibuat lantaran kita harus menunggu hingga
pengunjung yang telah menyaksikan pertunjukan keluar. Pertunjukan itu sendiri
adalah ritual yang harus kita lalui sebelum mengeksplore sisi sisi lain yang
ada di gedung yang dibangun pada abad ke 18 ini. Tak sampai 15 menit mengantri,
maka akupun diarahkan untuk menyaksikan pertunjukan di sebuah studio, layaknya
bioskop. Di dalam studio ini diputar sejarah pembangunan US Capitol.
Nah, selepas menyaksikan tayangan berdurasi sekitar
30-an menit itu barulah kita, dengan dipandu oleh pemandu yang memang sangat
terlatih diajak berkeliling ke setiap sudut dan ruang dari US Capital. Meski
demikian, ada beberapa ruangan yang tidak dapat dimasuki alias restricted area, lantaran dipakai untuk
bersidang atau ruangan yang memang publik tidak boleh tahu. Hari itu, yang tour
ke US Capitol, tidak hanya turis perseorangan, namun ada beberapa rombongan
pelajar sekolah, entah dari negara mana yang juga ikutan tour.
Aku sendiri, tak begitu tertarik dengan penjelasan
yang diberikan oleh pemandu, aku lebih nyaman menyaksikan beberapa ornamen yang
menghisasi gedung yang diarsiteki oleh William
Thornton ini, seperti lukisan-lukisan kelas dunia yang keren abis,
hingga --nah ini menariknya-- patung-patung yang menghiasi sudut-sudut ruang
capitol. Patung-patung itu adalah patung
para senator legendaris yang mewakili tiap negara bagian. Jadi ada 50-an patung
didalamnya. Yang menarik perhatianku adalah patung-patung itu dibuat nyaris
menyamai bentuk aslinya. Mereka hampir semuanya berjas lengkap dengan dasi mengikat
lehernya. Kalaupun tidak berjas, mereka mengenakan pakaian kebesaran dari
negara bagian masing-masing. Busana yang dikenakan oleh senator dari California
misalnya memakai pakaian laksana pengkhotbah atau penyeru agama.
Aku tertarik mengamati patung-patung berjas itu
lantaran pernah ada kejadian dan polemic di tanah air terkait tata cara berbusana (berjas) yang dikenakan oleh
presiden RI. Netizen mengkritisi cara memakai atau lebih tepatnya cara mengancingkan kancing pada jas yang
dikenakan oleh presiden saat berpose dengan tamu negara. Apakah dikancing
semua, ataukah hanya kancing atas dan tengah saja. Ramai juga yang membahasnya,
masing-masing, baik hater maupun lover, tak mau kalah berargumen.
Kala itu, presiden dikritik lantaran tidak mengancingkan kancing paling bawah
dari jas-nya. Yang di kancingkan --kalau tak salah-- hanya
satu kancing saja, yakni kancing yang tengah.
Mereka (para pengkritik) mengomentari penampilan berbusana presiden lantaran tidak full mengancingkan jasnya.
Lalu pihak yang
mengerti tata aturan berbusana jas, tampil
membela presiden. Mereka katakan bahwa apa
yang dikenakan oleh presiden sudah benar dan tepat.
Saat itu, --dari perdebatan yang terjadi-- aku tidak tahu, mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang layak
untuk dijadikan acuan dan pedoman, lantaran
keterbatasanku dalam mencari referensi baik berupa gambar ataupun melihat
langsung para pemimpin dunia dalam memakai jas. Tadinya
kukira kancing-kancing yang melekat di jas itu hanya sekadar ‘aksesoris’ saja,
dan mengancingkannya pun tidak ‘terikat’ aturan, namun tidak demikian adanya.
Ternyata
tata cara ber-jas atau lebih tepatnya tata cara mengancingkan jas telah sejak
dulu di terapkan, jauh sebelum kita mengenal jas sebagai pakaian resmi
sehari-hari. Aku baru ‘ngeh’ ketika memasuki Gedung yang memiliki 658 jendela itu. Kulihat patung-patung yang berada di dalamnya, dimana hampir kesemuanya memakai jas. Kuamati dengan
seksama patung
itu, yakni bagaimana tokoh dalam patung itu mengancingkan jas-nya.
Dalam patung yang ditampilkan, ternyata mereka (para senator) hanya mengancingkan kancing nomor 2 (tengah), bila kancingnya ada tiga
buah. Atau
kalau kancingnya hanya 2, cukup mengancingkan yang atas saja, dan membiarkan kancing bawah
terbuka. Menariknya, tidak ada
yang mengancingkan kancing nomor satu (kancing atas) bila kancing nomor 2 (tengah) terbuka. Atau mengancingkan nomor 3
(bawah) dan membuka kancing nomor 1 (atas) dan 2 (tengah). Dan, tidak hanya
satu patung saja, hampir semua patung kulihat mengenakan tata aturan seperti itu.
Begitulah, tampaknya aturan berbusana atau ber-jas
telah diterapkan secara ketat dalam budaya mereka. Hampir tak ada pakem yang
dilanggar dalam per-jas-an tersebut. Dan, setelah melihat ornament patung di
gedung yang memiliki 540 kamar itu, tampaknya presiden Indonesia telah tepat
dalam mengancingkan jas-nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar