Di Indonesia, mereka yang
berambut pirang, berhidung mancung, berkulit putih, tinggi besar, sering
dipangggil Bule. Entah kenapa ada panggilan bule. Namun kurasa itu sebagai
pembeda antar warga pribumi dengan orang asing (orang dari Eropa) Bule yang banyak kujumpai di sekitar rumahku
di Kemang, Jakarta, rata-rata sok, sombong, merasa superior, dan nyaris tanpa
senyum ramah. Meski demikian aku tak bisa menggeneralisir semua bule seperti
itu, lantaran mereka pun berasal dari beragam etnis dan budaya yang beragam.
Dan perlu dicatat, tidak semua bule adalah orang Amerika atau WN Amerika, Boleh
jadi bule itu berasal dari Australi, Eropa (ini pun terdiri dari beragam etnis
dan ras) ataupun indo akibat kawin campuran.
Nah, saat aku berada di negeri
paman sam ini, ternyata yang kutemui bule di Amerika berbeda dengan bule di
Indonesia. Sebelum ke Amerika, tadinya aku merasa orang Amerika –karena negara
super power- angkuh dan individualis, nyaris tanpa ada senyum keramahan. Namun dugaanku seketika lenyap saat berinteraksi dengan
mereka, entah di tempat makan, saat berada di areal publik, ataupun dalam beberapa kali meeting dan pertemuan
yang sering kami hadiri. Ya, bule di Amerika berbeda
dengan bule di Indonesia.
Sering kali terjadi bila kita berpapasan di jalan atau berada dalam satu ruangan dan satu
lift, misalnya, dimana jarak kita berada dalam posisi yang berdekatan, maka sapaan “how are you/apa kabar” akan terdengar. Selamat pagi/siang adalah basa-basi
yang umum di gunakan untuk menyapa. Begitupun sering kali terdengar sapaan untuk menanggapi
kondisi cuaca dan keadaan sekitar, apakah dingin, bersalju atau sangat cerah. “time to sunbath, right” misalnya sering
terdengar bila cuaca diluar sangat cerah disaat mentari bersinar dengan
hangatnya.
Pernah aku saksikan kejadian lucu
saat naik mobil di jalan raya di pinggiran kota Helena. Kebetulan aku selalu
mengambil posisi duduk didepan, di samping supir, dimana posisi ini sengaja aku
pilih agar bisa dengan leluasa melihat sekeliling jalanan yang kami lewati.
Nah, ketika kami berada di salah satu perempatan (jalan simpang empat) yang
tidak ramai, mobil kami berhenti. Berhenti untuk tengok kiri kanan sebelum terus
melaju, dan memang demikian aturannya, dimana ada persimpangan, setiap mobil
harus berhenti. Maka, mobil yang lain pun yang berada sisi jalan yang berbeda
berhenti. Jadilah ada 4 mobil di masing-masing posisi (simpang empat) berhenti,
dan mereka, sungkan untuk mulai jalan terlebih dahulu. Masing-masing supir
memberikan isyarat dan mempersilahkan pengendara lainnya untuk melaju terlebih
dahulu. Mungkin isyarat itu bila diterjemahkan secara bebas seperti ini;
“monggo mas, sampeyan jalan dulu.” “Ah, panjenengan saja, monggo kerso,” balas
supirku. Itulah yang terjadi dan kulihat, tak ada budaya serabat serobot dan
tak mau ngalah seperti yang kerap kulihat di jalanan Jakarta.
Dikesempatan lain, saat hendak memasuki
lift misalnya, maka antrean berdiri untuk masuk lift pun terjadi. Rules tak
tertulisnya adalah siapa yang datang terlebih dulu, maka dialah yang lebih dulu
masuk lift, sekali lagi tak ada serobotan. Begitupun bila keluar lift, bila
kita masuk lift lebih dulu, akan
dipersilakan untuk keluar lebih dulu pula, jika kebetulan lantai yang dituju adalah sama. Mereka
tampaknya memahami aturan sopan santun bahwa siapa yang datang pertama kali,
tentu akan memperoleh kesempatan pertama.
Di lain waktu, pernah terjadi aku
mengalami masalah (trouble). Aku tersandung saat menaiki tangga menuju lobby
hotel. Dan, orang-orang yang berada di
dekatku dengan respon yang sigap segera menghampiriku dan bertanya; “are you oke?” Kalau saat itu aku bilang
aku ada masalah, tentu mereka akan membantuku menghubungi pihak terkait. Bila
aku menjawab “I am Fine/oke,” pun mereka akan menyelidik dan memastikanku
benar-benar oke. Maka akan ada pertanyaan susulan “Are you sure?” pertanyaan ini untuk kembali memastikan bahwa aku
baik-baik saja. Setelah melihatku bisa berdiri dengan sempurna barulah mereka
pergi meninggalkan kita sambil berkata, “take care!” dengan senyum ramah.
Begitulah orang Amerika yang
kujumpai selama 3 pekan berada di sana. Entah itu menggambarkan Amerika secara
keseluruhan atau hanya kebetulanku saja menjumpai orang-orang baik selama
disana. Yang pastinya adalah bule di Jakarta berbeda dengan bule di Amerika. Bila
suku jawa terkenal dengan keramah tamahannya, baik dalam tingkah laku maupun
perkataannya, maka, bagiku, mereka sangat ramah dan nyaris lebih jawa ketimbang
orang jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar