Minggu, 19 November 2017

Budaya Antri dan Keramahtamahan

Di Indonesia, mereka yang berambut pirang, berhidung mancung, berkulit putih, tinggi besar, sering dipangggil Bule. Entah kenapa ada panggilan bule. Namun kurasa itu sebagai pembeda antar warga pribumi dengan orang asing (orang dari Eropa)  Bule yang banyak kujumpai di sekitar rumahku di Kemang, Jakarta, rata-rata sok, sombong, merasa superior, dan nyaris tanpa senyum ramah. Meski demikian aku tak bisa menggeneralisir semua bule seperti itu, lantaran mereka pun berasal dari beragam etnis dan budaya yang beragam. Dan perlu dicatat, tidak semua bule adalah orang Amerika atau WN Amerika, Boleh jadi bule itu berasal dari Australi, Eropa (ini pun terdiri dari beragam etnis dan ras) ataupun indo akibat kawin campuran.

Nah, saat aku berada di negeri paman sam ini, ternyata yang kutemui bule di Amerika berbeda dengan bule di Indonesia. Sebelum ke Amerika, tadinya aku merasa orang Amerika –karena negara super power- angkuh dan individualis, nyaris tanpa ada senyum keramahan. Namun dugaanku seketika lenyap saat berinteraksi dengan mereka, entah di tempat makan, saat berada di areal publik, ataupun dalam beberapa kali meeting dan pertemuan yang sering kami hadiri. Ya, bule di Amerika berbeda dengan bule di Indonesia.

Sering kali terjadi bila kita berpapasan di jalan atau berada dalam satu ruangan dan satu lift, misalnya, dimana jarak kita berada dalam posisi yang berdekatan, maka sapaan how are you/apa kabar akan terdengar. Selamat pagi/siang adalah basa-basi yang umum di gunakan untuk menyapa. Begitupun sering kali terdengar sapaan untuk menanggapi kondisi cuaca dan keadaan sekitar, apakah dingin, bersalju atau sangat cerah. “time to sunbath, right” misalnya sering terdengar bila cuaca diluar sangat cerah disaat mentari bersinar dengan hangatnya.

Pernah aku saksikan kejadian lucu saat naik mobil di jalan raya di pinggiran kota Helena. Kebetulan aku selalu mengambil posisi duduk didepan, di samping supir, dimana posisi ini sengaja aku pilih agar bisa dengan leluasa melihat sekeliling jalanan yang kami lewati. Nah, ketika kami berada di salah satu perempatan (jalan simpang empat) yang tidak ramai, mobil kami berhenti. Berhenti untuk tengok kiri kanan sebelum terus melaju, dan memang demikian aturannya, dimana ada persimpangan, setiap mobil harus berhenti. Maka, mobil yang lain pun yang berada sisi jalan yang berbeda berhenti. Jadilah ada 4 mobil di masing-masing posisi (simpang empat) berhenti, dan mereka, sungkan untuk mulai jalan terlebih dahulu. Masing-masing supir memberikan isyarat dan mempersilahkan pengendara lainnya untuk melaju terlebih dahulu. Mungkin isyarat itu bila diterjemahkan secara bebas seperti ini; “monggo mas, sampeyan jalan dulu.” “Ah, panjenengan saja, monggo kerso,” balas supirku. Itulah yang terjadi dan kulihat, tak ada budaya serabat serobot dan tak mau ngalah seperti yang kerap kulihat di jalanan Jakarta.

Dikesempatan lain, saat hendak memasuki lift misalnya, maka antrean berdiri untuk masuk lift pun terjadi. Rules tak tertulisnya adalah siapa yang datang terlebih dulu, maka dialah yang lebih dulu masuk lift, sekali lagi tak ada serobotan. Begitupun bila keluar lift, bila kita masuk lift lebih dulu, akan dipersilakan untuk keluar lebih dulu pula, jika kebetulan lantai yang dituju adalah sama. Mereka tampaknya memahami aturan sopan santun bahwa siapa yang datang pertama kali, tentu akan memperoleh kesempatan pertama.

Di lain waktu, pernah terjadi aku mengalami masalah (trouble). Aku tersandung saat menaiki tangga menuju lobby hotel.  Dan, orang-orang yang berada di dekatku dengan respon yang sigap segera menghampiriku dan bertanya; “are you oke?” Kalau saat itu aku bilang aku ada masalah, tentu mereka akan membantuku menghubungi pihak terkait. Bila aku menjawab “I am Fine/oke,” pun mereka akan menyelidik dan memastikanku benar-benar oke. Maka akan ada pertanyaan susulan “Are you sure?” pertanyaan ini untuk kembali memastikan bahwa aku baik-baik saja. Setelah melihatku bisa berdiri dengan sempurna barulah mereka pergi meninggalkan kita sambil berkata, “take care!” dengan senyum ramah.

Begitulah orang Amerika yang kujumpai selama 3 pekan berada di sana. Entah itu menggambarkan Amerika secara keseluruhan atau hanya kebetulanku saja menjumpai orang-orang baik selama disana. Yang pastinya adalah bule di Jakarta berbeda dengan bule di Amerika. Bila suku jawa terkenal dengan keramah tamahannya, baik dalam tingkah laku maupun perkataannya, maka, bagiku, mereka sangat ramah dan nyaris lebih jawa ketimbang orang jawa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar