Tidak seperti di (dekat kutub) utara, bagi kita
yang hidup hanya di kawasan atau negara 2 (dua) musim, panas dan hujan, tentu tak
kan pernah bisa memegang salju seumur hidupnya, meski kita berada di dataran
tinggi sekalipun. Yang mungkin pernah kita rasakan palingan hanya hujan es atau hujan dengan butiran es sebesar
kelereng. Hujan model begini sering aku alami saat berkuliah di Bandung tahun
90-an silam. Menariknya, meski tinggal di khatulistiwa, kita masih bisa
memegang dan merasakan salju bila berkesempatan mengunjungi kawasan pertambangan
di Freeport yang berlokasi di pegunungan Jayawijaya, Papua. Ya, kita harus
mendaki hingga puncak gunung itu.
Kayak apa sih megang
salju? Apakah (rasanya) seperti memegang kapas yang terasa dingin ataukah
seperti (memegang) serutan es? Belum ada gambaran apa-apa. Lha, melihat secara
langsung salju saja belum pernah. Jika
pun melihat, itu terjadi pas nonton film-film produksi Hollywood yang kerap
ditayangkan ketika natalan tiba, seperti home alone atau yang lainnya, dengan setting tempat dan suasana bersalju. Di
film-film itu terekam bagaimana orang bule dengan pakaian tebal berjalan ketika
salju turun. Melihat mereka mengenakan pakaian yang tebal saja sudah bisa
membayangkan betapa dinginnya suhu saat itu. Lha wong semuanya dikelilingi es (salju). Saat itulah lamunanku
muncul. Ngebayangin gimana ya rasanya megang salju, atau kayak apa ya berjalan
di antara salju yang bertumpuk-tumpuk.
Alhamdulillah pada akhirnya bayangan
di film mampu dihadirkan di alam nyata saat kuberada di Amerika, Maret 2016
lalu. Awal bulan itu baru masuk musim semi, yang berarti musim salju baru saja
kelar. Udaranya masih terasa sangat dingin untuk ukuran orang Jakarta, sekitar
3 - 5 derajat celcius. Kadang suatu hari sempat pula hangat, ya sekitar 10
hingga 20 derajat celcius, tak lebih. Begitu tiba di Amerika, kota pertama yang
kukunjungi semuanya berada di tengah, dalam arti bukan di (kawasan) utara
Amerika Serikat. Ya, meski masih dingin, namun di Washington DC, Philadelphia,
dan St. Louis salju telah mencair.
Barulah di kota ke-empat yakni di Helena,
Montana, impian memegang salju benar-benar dapat terwujud. Ceritanya, sebelum
sampai ke Helana, kami harus terbang dulu, transit di Denver, Colorado. Saat
itulah pertama kalinya aku melihat gumpalan-gumpalan salju berserakan di apron
Bandara Denver. Tak sabar rasanya tangan ini ingin menggengamnya. Sayang,
sarung tangan tebal menutup rapat jari jemariku. Aku kenakan sarung tangan ini
lantaran cuaca dingin sore itu menyergapku begitu mendarat di Denver. Sama
dengan Montana, Negara Bagian Colorado dimana Denver berada masuk dalam kawasan
jajaran Pegunungan Rocky Mountain, Jadi, tak heran bila salju masih tersisa.
Lantaran kami harus berpindah ke pesawat yang
ukurannya lebih kecil, maka kami berjalan menuju ke pesawat melalui apron
tempat pesawat terparkir. Ketika itulah aku sempat tergelincir saat sol
sepatuku untuk pertama kalinya menginjak gumpalan salju. Beruntung, gak pake acara jatuh segala. Sama
seperti kaki yang mengenakannya, tampaknya sol sepatu buatan Tanggulangin,
Sidoarjo ini juga kaget lantaran baru berkenalan dengan dinginnya salju, hehe.. Karena diburu waktu, sepatu ini
tak sempat lagi ‘tuk bermain dan menendang-nendang gumpalan putih itu. Jadilah
aku harus segera masuk pesawat dengan masih memendam keinginan (bermain salju) yang
masih tertahan.
Begitulah, saat pesawat kecil kami mendarat,
tadinya kupikir salju akan terlihat juga di sekitaran apron Bandara Helena,
namun pemandangan itu tak tampak. Mungkin beberapa hari lalu salju telah mencair,
dan kering, meskipun suhu di Helena sangat dingin, sekitar 3 (tiga) derajat
celcuis. Nampaknya Denver lebih dingin ketimbang Helena.
Di ruang kedatangan telah menanti beberapa relawan
dari World Montana, selaku tuan rumah yang meng-arrange semua acara dan kegiatan kami selama di Montana. Karena
kami tiba malam hari, dan sudah dalam kondisi lelah, langsung saja kami menuju mobil
jemputan yang telah siap mengantar kami ke Hotel tanpa sempat merasakan dinginnya
suasana kota di malam hari. Aku menginap di Comfort Suites Hotel, Helena.
Esoknya, pagi-pagi sekali selepas sarapan di
hotel, aku keluar ruangan makan menuju tanah lapang seberang hotel. Kulihat ada
seseorang yang jogging pagi dengan anjingnya. Saat asyik menyapanya, angin
dingin bertiup dengan lembut. Di kejauhan tampak jajaran pegunungan berselimut
putih salju. Jaraknya mungkin hanya sekitar 2 hingga 3 kilo dari tempatku
berdiri. Oh ya, semalam, setelah mengantar kami, sebelum pamitan, Ellen Bush,
tuan rumah kami selama di Helena sudah menjanjikan akan mengajak kami ber-plezijer menikmati alam dan pemandangan
Montana. Ya pagi ini adalah Minggu, waktu yang tepat untuk piknik. Tujuan kami
adalah Deer Lodge, kawasan perbukitan dekat Helena.
Jadilah pagi menjelang siang setelah acara
kebaktian temanku yang nasrani usai, kami berangkat meninggalkan hotel menuju
Deer Lodge. Kami menggunakan 2 (dua) mobil. Aku menumpang di mobil yang
disopiri oleh Shasa Frederich, wanita cantik asal Rusia, yang lama tinggal di
Amerika. Temanku yang lain ada di mobil Ron, pengurus di World Montana, yang
meski sudah berumur, namun masih energik. Jadilah kami beriringan berkendara. Selepas
kota Helena, barulah aku benar-benar melihat tumpukan salju menyelimuti
sebagian bukit-bukit disisi jalan yang kami lalui. Ditengah perjalanan kami
sempat mampir sejenak untuk menengok salju itu. Ya, tampaknya Ron dan Shasa
adalah tuan rumah yang sangat baik, tahu kalau aku dan teman-teman yang berasal
darti negara tropis belum pernah memegang salju. Saat dirasa menemukan spot
yang baik, Ron, yang berada di mobil terdepan menepi dan berbelok ke kiri.
Akhirnya tibalah kami disuatu tempat berbukit dengan hamparan salju yang luas.
Saking luasnya bukit itu, dua pertiga diselimuti salju yang sangat bersih, putih.
Mungkin ini sisa salju yang turun pada malam harinya. Tak sabar mencumbunya,
begitu mobil berhenti, langsung aku turun dan menghampiri si putih. Woww dingin.
Bagi yang belum pernah megang salju, aku ingin
memberikan ilustrasi sedikit tentang kumpulan salju, (Itu) seperti kita melihat
dan memegang kumpulan ‘salju’ di lemari es (kulkas) type murahan. Atau bisa
juga seperti es serut yang biasa di jajakan di pinggiran jalan. Tentu ada
perasaan excited, heran, kagum, dan takjub saat pertama kali megang salju. Saking excited-nya, Aku sempat bergulingan dan
berpolah laksana anak kecil kegirangan dibelikan mainan. Yeay.. Akhirnya kesampaian juga megang salju.
Pada kesempatan kedua, atau di hari berikutnya
saat pulang dari kunjungan ke lapas anak di Boulder Riverside, kami mampir
untuk makan siang. Kebetulan saat itu cuaca sedang mendung. Sejak pagi, hujan
salju turun. Nah, selagi menunggu santap siang siap tersedia, aku keluar untuk
bermain dan merasakan butiran-butiran salju laksana kapas turun dan menerpa jasku.
Karena jasku berwarna hitam, maka butiran kapas putih itu sangat kontras
menempel di jasku. Baru aku tahu bahwa (rasa) memegang hujan salju akan berbeda
dengan memegang tumpukan salju. Bila hujan salju turun, ia seperti butiran
kapas yang terbang dibawa angin. Ia seperti sutera. Tidak dingin saat kusentuh.
Akhirnya, kesampean juga megang salju yang turun langsung
dari atas langit. Itulah salju, seputih kapas, sebening air.
aku pernah ngerasaiin salju di jepang
BalasHapusmenurutku salju itu mirip es serut tapi agak padat