Minggu, 19 November 2017

Gimana Rasanya Pegang Salju?

Tidak seperti di (dekat kutub) utara, bagi kita yang hidup hanya di kawasan atau negara 2 (dua) musim, panas dan hujan, tentu tak kan pernah bisa memegang salju seumur hidupnya, meski kita berada di dataran tinggi sekalipun. Yang mungkin pernah kita rasakan palingan hanya hujan es atau hujan dengan butiran es sebesar kelereng. Hujan model begini sering aku alami saat berkuliah di Bandung tahun 90-an silam. Menariknya, meski tinggal di khatulistiwa, kita masih bisa memegang dan merasakan salju bila berkesempatan mengunjungi kawasan pertambangan di Freeport yang berlokasi di pegunungan Jayawijaya, Papua. Ya, kita harus mendaki hingga puncak gunung itu.

Kayak apa sih megang salju? Apakah (rasanya) seperti memegang kapas yang terasa dingin ataukah seperti (memegang) serutan es? Belum ada gambaran apa-apa. Lha, melihat secara langsung salju saja belum pernah.  Jika pun melihat, itu terjadi pas nonton film-film produksi Hollywood yang kerap ditayangkan ketika natalan tiba, seperti home alone atau yang lainnya, dengan setting tempat dan suasana bersalju. Di film-film itu terekam bagaimana orang bule dengan pakaian tebal berjalan ketika salju turun. Melihat mereka mengenakan pakaian yang tebal saja sudah bisa membayangkan betapa dinginnya suhu saat itu. Lha wong semuanya dikelilingi es (salju). Saat itulah lamunanku muncul. Ngebayangin gimana ya rasanya megang salju, atau kayak apa ya berjalan di antara salju yang bertumpuk-tumpuk.

Alhamdulillah pada akhirnya bayangan di film mampu dihadirkan di alam nyata saat kuberada di Amerika, Maret 2016 lalu. Awal bulan itu baru masuk musim semi, yang berarti musim salju baru saja kelar. Udaranya masih terasa sangat dingin untuk ukuran orang Jakarta, sekitar 3 - 5 derajat celcius. Kadang suatu hari sempat pula hangat, ya sekitar 10 hingga 20 derajat celcius, tak lebih. Begitu tiba di Amerika, kota pertama yang kukunjungi semuanya berada di tengah, dalam arti bukan di (kawasan) utara Amerika Serikat. Ya, meski masih dingin, namun di Washington DC, Philadelphia, dan St. Louis salju telah mencair.

Barulah di kota ke-empat yakni di Helena, Montana, impian memegang salju benar-benar dapat terwujud. Ceritanya, sebelum sampai ke Helana, kami harus terbang dulu, transit di Denver, Colorado. Saat itulah pertama kalinya aku melihat gumpalan-gumpalan salju berserakan di apron Bandara Denver. Tak sabar rasanya tangan ini ingin menggengamnya. Sayang, sarung tangan tebal menutup rapat jari jemariku. Aku kenakan sarung tangan ini lantaran cuaca dingin sore itu menyergapku begitu mendarat di Denver. Sama dengan Montana, Negara Bagian Colorado dimana Denver berada masuk dalam kawasan jajaran Pegunungan Rocky Mountain, Jadi, tak heran bila salju masih tersisa.

Lantaran kami harus berpindah ke pesawat yang ukurannya lebih kecil, maka kami berjalan menuju ke pesawat melalui apron tempat pesawat terparkir. Ketika itulah aku sempat tergelincir saat sol sepatuku untuk pertama kalinya menginjak gumpalan salju. Beruntung, gak pake acara jatuh segala. Sama seperti kaki yang mengenakannya, tampaknya sol sepatu buatan Tanggulangin, Sidoarjo ini juga kaget lantaran baru berkenalan dengan dinginnya salju, hehe.. Karena diburu waktu, sepatu ini tak sempat lagi ‘tuk bermain dan menendang-nendang gumpalan putih itu. Jadilah aku harus segera masuk pesawat dengan masih memendam keinginan (bermain salju) yang masih tertahan.

Begitulah, saat pesawat kecil kami mendarat, tadinya kupikir salju akan terlihat juga di sekitaran apron Bandara Helena, namun pemandangan itu tak tampak. Mungkin beberapa hari lalu salju telah mencair, dan kering, meskipun suhu di Helena sangat dingin, sekitar 3 (tiga) derajat celcuis. Nampaknya Denver lebih dingin ketimbang Helena.

Di ruang kedatangan telah menanti beberapa relawan dari World Montana, selaku tuan rumah yang meng-arrange semua acara dan kegiatan kami selama di Montana. Karena kami tiba malam hari, dan sudah dalam kondisi lelah, langsung saja kami menuju mobil jemputan yang telah siap mengantar kami ke Hotel tanpa sempat merasakan dinginnya suasana kota di malam hari. Aku menginap di Comfort Suites Hotel, Helena.

Esoknya, pagi-pagi sekali selepas sarapan di hotel, aku keluar ruangan makan menuju tanah lapang seberang hotel. Kulihat ada seseorang yang jogging pagi dengan anjingnya. Saat asyik menyapanya, angin dingin bertiup dengan lembut. Di kejauhan tampak jajaran pegunungan berselimut putih salju. Jaraknya mungkin hanya sekitar 2 hingga 3 kilo dari tempatku berdiri. Oh ya, semalam, setelah mengantar kami, sebelum pamitan, Ellen Bush, tuan rumah kami selama di Helena sudah menjanjikan akan mengajak kami ber-plezijer menikmati alam dan pemandangan Montana. Ya pagi ini adalah Minggu, waktu yang tepat untuk piknik. Tujuan kami adalah Deer Lodge, kawasan perbukitan dekat Helena.

Jadilah pagi menjelang siang setelah acara kebaktian temanku yang nasrani usai, kami berangkat meninggalkan hotel menuju Deer Lodge. Kami menggunakan 2 (dua) mobil. Aku menumpang di mobil yang disopiri oleh Shasa Frederich, wanita cantik asal Rusia, yang lama tinggal di Amerika. Temanku yang lain ada di mobil Ron, pengurus di World Montana, yang meski sudah berumur, namun masih energik. Jadilah kami beriringan berkendara. Selepas kota Helena, barulah aku benar-benar melihat tumpukan salju menyelimuti sebagian bukit-bukit disisi jalan yang kami lalui. Ditengah perjalanan kami sempat mampir sejenak untuk menengok salju itu. Ya, tampaknya Ron dan Shasa adalah tuan rumah yang sangat baik, tahu kalau aku dan teman-teman yang berasal darti negara tropis belum pernah memegang salju. Saat dirasa menemukan spot yang baik, Ron, yang berada di mobil terdepan menepi dan berbelok ke kiri. Akhirnya tibalah kami disuatu tempat berbukit dengan hamparan salju yang luas. Saking luasnya bukit itu, dua pertiga diselimuti salju yang sangat bersih, putih. Mungkin ini sisa salju yang turun pada malam harinya. Tak sabar mencumbunya, begitu mobil berhenti, langsung aku turun dan menghampiri si putih. Woww dingin.

Bagi yang belum pernah megang salju, aku ingin memberikan ilustrasi sedikit tentang kumpulan salju, (Itu) seperti kita melihat dan memegang kumpulan ‘salju’ di lemari es (kulkas) type murahan. Atau bisa juga seperti es serut yang biasa di jajakan di pinggiran jalan. Tentu ada perasaan excited, heran, kagum, dan takjub saat pertama kali megang salju. Saking excited-nya, Aku sempat bergulingan dan berpolah laksana anak kecil kegirangan dibelikan mainan. Yeay.. Akhirnya kesampaian juga megang salju.

Pada kesempatan kedua, atau di hari berikutnya saat pulang dari kunjungan ke lapas anak di Boulder Riverside, kami mampir untuk makan siang. Kebetulan saat itu cuaca sedang mendung. Sejak pagi, hujan salju turun. Nah, selagi menunggu santap siang siap tersedia, aku keluar untuk bermain dan merasakan butiran-butiran salju laksana kapas turun dan menerpa jasku. Karena jasku berwarna hitam, maka butiran kapas putih itu sangat kontras menempel di jasku. Baru aku tahu bahwa (rasa) memegang hujan salju akan berbeda dengan memegang tumpukan salju. Bila hujan salju turun, ia seperti butiran kapas yang terbang dibawa angin. Ia seperti sutera. Tidak dingin saat kusentuh. Akhirnya, kesampean juga megang salju yang turun langsung dari atas langit. Itulah salju, seputih kapas, sebening air.


1 komentar:

  1. aku pernah ngerasaiin salju di jepang
    menurutku salju itu mirip es serut tapi agak padat

    BalasHapus