Rabu, 28 Desember 2016

Tentang Uwak-ku

Desember tahun ini adalah liburan sekolah yang pertama bagi anakku, Razijed. Meski bila kencing masih aku angkat pinggangnya lantaran posisi urinoir yang tinggi, namun ia telah mengisi liburannya dengan banyak jalan-jalan ke beberapa kota di tanah air, pulang pergi naik Garuda. Saat ini ia tengah ikutan kemping bersama dengan teman-teman seusianya, Anak Baik Indonesia. Kebahagiannya nyaris sempurna. Ia berbeda denganku. Dulu aku mengisi liburan hanya dengan main bola di lapangan, seharian penuh. Praktis aku jarang keluar kampung.  Bagiku, anak Kampung Kebon, Kemang, yang tak punya apa-apa, bisa pergi ke luar kota untuk liburan adalah kenikmatan dan surga yang tiada tara. Kalaupun aku bisa pergi ke luar kota, itu pun sebatas hanya ke Puncak, Subang atau Bandung, nunut (ngintil) dengan uwak-ku, Ncang A min yang saban tahun rutin silaturahmi ke kerabat di sana. Maka bila sekarang ia bahagia menghadapi liburannya, itu akibat dendam kecilku yang memang kurang piknik, yang kulampiaskan pada anakku saat ini.

Nah, ketika usiaku remaja, saat SMP, teman dan pergaulanku pun bertambah luas tak hanya sebatas teman main di kampung saja. Usai liburan sekolah, tema obrolan kami tak jauh dari jalan-jalan mengisi liburan. Ada yang bercerita pergi ke Puncak bersama keluarganya (ahh yang ini mah terlalu mainstream), ada pula ada yang jauh pergi berlibur pulang kampung ke Sumatera ataupun jalan-jalan ke Jogjakarta dan Jawa Timur.

Nah, diantara cerita-cerita teman-teman itu ada cerita yang menarik minatku untuk menelisik lebih jauh yakni pergi berlibur dengan kereta api. Waktu itu ada diantara kami yang meng-organise untuk ber-plezier secara rombongan. Bersama teman-teman sekelas, mereka jalan-jalan ke Gontor, Ponorogo dengan Kereta Api. Cerita mereka sangat seru dan menarik. Menyesal rasanya tak bisa gabung dan ikutan dengan teman-temanku itu. Dengar mereka bercerita, ada perasaan mupeng dan iri. Wahh enak banget ya jalan-jalan naek kereta yang jauh, batinku. Asal tahu saja, aku belum pernah sekalipun naik kerata, dalam arti kereta sebenarnya. Memang sich kalau jalan-jalan ke Bogor selalu naik Kereta, namun bukan (naik) kerata itu yang aku impikan. Ke Bogor kan naik KRL atau KRD, tentu suasana dan chemistry-nya beda dengan kerata jarak jauh.

Setelah mendengar cerita teman-teman, aku menjadi terobsesi untuk bisa seperti mereka, pergi berlibur naik kereta. Tapi (pergi) kemana? Hendak kemana arah yang ingin kutuju? Naik kereta yang jauh tentu harus ada tujuan, dan saat itu belum ada tujuan dibenakku. Nah, sampai tibalah saat liburan besar tahun berikutnya, liburan kenaikan kelas dari kelas dua ke kelas tiga SMP. Ketika ngobrol-ngobrol dengan Kak Fuji, di Bawah, ia memberitahuku bahwa ada family atau kerabat kami yang tinggal di Malang, Jawa Timur. Namanya, Kwee Wie Hian. Kami memangilnya Wak Hian, lantaran ia adalah kakak sepupu dari mamiku. Mereka seumuran, sama-sama lahir tahun 48-an.
Kamu jalan-jalan ke Malang aja, Mat, ke rumah Tante Yanti (nama Indonesia-nya) di Malang,” begitu saran Kak Fuji padaku.
Oh, ternyata ada toh keluarga Mami-ku yang tinggal di Malang, batinku. Maklum saja, kami tak pernah bertemu sebelumnya. Jarak yang jauh memisahkan kami. Mamiku di Jakarta sedangkan keluarga besar dari Uwak-ku ada di Cirebon. Lantaran ikut sang suami yang bertugas sebagai pegawai di pabrik rokok Benteol, maka beliau pun hijrah ke Malang.

Rencana liburan ke Malang ini aku sounding ke sepupuku yang lainnya, yakni ke Hafiz, anak Ncang A min, abang dari mamiku. Lantaran pergi berdua dirasa kurang pede, maka Hafiz atas usulku mengajak sepupunya yang bernama Amma, panggilan akrab kami pada Ahmad Rudi. Akhirnya jadilah kami bertiga merencanakan liburan ke Malang. Hari H-nya pun ditentukan. Sebelumnya kami memesan tiket kereta api melalui travel yang berlokasi di pertigaan Sajam, Kemang Selatan. Sayang travel itu kini telah tutup. Tiketnya kalau tak salah sekitar 12 ribu rupiah. Kereta Matar Maja namanya.

Hari yang dinanti pun tiba. Kereta berwarna hijau lumut itu bergerak dari St. Gambir. Oh ya, Stasiun Gambir sendiri masih old style, dengan bangunan dan arsitektur yang lama, belum bertingkat dan di renovasi seperti sekarang. Aku ingat, waktu itu kereta telat masuk, akibatnya kami pun terlambat berangkat, dari jadwal yang seharusnya berangkat jam 14.00 menjadi jam 16.00.

Hari sebelum keberangkatan, Ncang-ku, berpesan agar kami berhati-hati selama di Malang. Ini lantaran Malang, meski tak sebesar Jakarta, namun kota ini termasuk salah satu kota besar di Jawa Timur. Kata Ncangku, luas kotanya seperti Kebayoran Baru, Jakarta. Sebelum berangkat tak lupa beliau menitipkan sebuah photo untuk nantinya diperlihatkan kepada kerabat kami itu. Bukan apa-apa, Ncangku ini khawatir bila Wak Hian tidak percaya kalau kami adalah saudaranya. Jadi, photo itu kami bawa sebagai bukti bahwa kami anak dari Ncang A min dan bersaudara dengan Wak Hian.

Saat naik kereta itulah akhirnya kami bertiga baru benar-benar merasakan liburan naik kereta. Asal tahu saja, kami bertiga mungkin satu-satunya penumpang anak yang tidak didampingi oleh orang dewasa. Kebanyakan yang naik adalah keluarga dengan anak disertai dengan orang dewasa. Hanya kami yang tanpa pendamping. Modal nekat. Anehnya, orang tua kami cukup berani juga mengizinkan kami, anak berumur 14 tahun, pergi jauh dengan tujuan (rumah) yang belum pasti lantaran kami memang belum pernah ke sana.

Seingatku, kereta banyak berhenti, baik di stasiun besar maupun kecil. Maklum kereta ekonomi, harus selalu mengalah. Tiba di Madiun pas hari telah terang, sekitar jam 10 pagi. Sangat terlambat. Dari informasi penumpang lainnya, biasanya kerata merapat di Madiun sekitar waktu Subuh. Akhirnya setelah beberapa kali berhenti untuk langsir yang biasanya memakan waktu 30 menit, kereta akhirnya tiba di st. Malang kota Lama. Kira-kira jam 17-an kami menapak emplasemem stasiun Malang Kota Lama.

Menjelang memasuki Malang, sebenarnya kami belum pasti mau turun dimana, mengingat kota Malang punya 2 (dua) stasiun yakni Stasiun Kota Lama dan Stasiun Kota Baru. Setelah tanya menanya, akhirnya kami putuskan untuk turun di St. Kota Lama, perhentian pertama di Kota Malang. Karena bingung mau melangkah kemana, maka setelah turun, kami langsung menuju ke pos polisi yang ada di stasiun dan menceritakan maksud kami. Oleh petugas yang baik hati itu kami dicarikan becak, sambil berpesan ke tukang becak agar mengantarkan kami, ketiga bocah ingusan ini ke perumahan karyawan pabrik rokok Bentoel di kawasan Janti, Malang. Untungnya St. Kota Lama lokasinya dekat dengan alamat yang kami tuju, hingga tak lebih seperapat jam tibalah kami di alamat Wak Hian.

Setelah sampai perumahan itu, kami lalu mencari nomor rumah seperti yang tertera di alamat yang kami simpan. Bel pun kami pencet. Lalu muncullah seorang wanita dengan tampang bingung, sama seperti kami, lantaran diantara kami memang tak saling kenal atau berjumpa sebelumnya.
“Kalian siapa? Mau ketemu siapa?” selidiknya.
Alhamdulillah ada orangnya batinku, saat kulihat seorang wanita membukakan pintu rumahnya, dan memberondong kami dengan pertanyaan menyelidik. Maklum saja, zaman dulu tak ada telepon, jadi kedatangan kami tentu tak kami kabarkan ke Uwak kami itu. Untungnya mereka ada di Malang, coba kalau mereka pergi ke luar kota tentu kami akan terkatung-katung di Malang tanpa tujuan, disebabkan kami tak bertelpon atau bersurat yang mengabarkan kami akan berlibur dan datang ke rumahnya.
Kami anaknya A min, dari Jakarta,” jawab Hafiz, sekenanya.
Wak Hian setengah kaget mendengar nama Ncang A min disebut. Maklum mereka sudah lama tak bersua, dan sudah lama pula diantara mereka tak bertukar kabar.

Begitu kami ceritakan siapa kami, wanita itu yang ternyata benar Uwak kami menpersilakan kami masuk. Disaat ngobrol dan menelisik lebih dalam siapa kami, Hafiz menyodorkan photo yang diberikan ayahnya untuk diperlihatkan pada Wak Hian.
Ohh kamu anaknya A min ya. Iya (photo) ini saya kenal. ini kan A min bersama Hong Nio,” serunya.
Ya, di potret itu tergambar dengan jelas A min dan supupunya yang lain yakni Hong Nio, ibu dari Beng Tek, juga sepupu kami. Mereka (A min, Hong Nio, dan Wak Hian) ini memang sepupuan, atau mempunyai kakek/nenek yang sama.

Keluarga Wak Hian ini pemeluk Khatolik yang taat. Setiap mau makan, beliau selalu berdoa dengan khusyuk. Di rumahnya yang asri di Malang terpampang dengan jelas simbol-simbol Khatolik. Meski keyakinan kami berbeda, selama di rumahnya, kami tak pernah kesulitan untuk beribadah. Menariknya, dirumahnya selalu terhampar sajadah untuk kami gunakan shalat. Kami diperlakukan dengan sangat baik. Mereka selalu mengingatkan kami untuk sholat, dan tak pernah memasak makanan berbahan babi. Diperhatikan pula makan dan kesehatan kami. Wak Mul, misalnya, Suami Wak Hian ini selalu melarang kami nyeker (tanpa alas kaki) meski pun berada di dalam rumah. Kami diingatkan agar selalu pakai sandal, karena Malang kota dingin, takut kami masuk angin, katanya. Setiap selesai makan pun kami selalu di tawari untuk minum vitamin, suatu kebiasaan yang tak pernah diterapkan di rumahku.  


Uwak kami ini punya dua orang anak, namanya Eko dan Euis. Eko se-umuran dengan kami. Lantaran seumuran itulah, kami, selama di Malang ditemeni jalan-jalan oleh Eko. Kami jalan-jalan keliling kota Malang. Oleh Eko kami juga diantar rekreasi ke Selekta, Sengkaling, dan Batu. Begitulah, akhirnya obsesiku untuk berlibur naik kereta yang jauh kesampaian. Dan itu terjadi saat usiaku 14 tahun, pergi ke Malang tanpa didampingi orang dewasa. Itulah pengalaman liburanku. Bagaimana denganmu? 

Rabu, 16 November 2016

Lezatnya Sarapan Dengan Sayur Berbumbu Tikus

Bagi yang pernah merasakan kehidupan di pesantren, tentu akan mengalami kisah beraneka rupa, yang mewarnai hari-hari mereka, mulai dari selepas subuh hingga larut malam tiba. Banyak kisah dan cerita baik suka maupun duka yang layak untuk kembali diceritakan kepada teman, kerabat, bahkan anak cucu kelak. Aku ingin berbagi kisah tentang menu dan makanan kami di pesantren kepada kalian, para pembaca semua.

Hari pertama tinggal di Pesantren tentunya memerlukan adaptasi yang tak mudah. Salah satu adaptasi yang harus dilalui adalah masalah makanan. Saat pertama kali mencicipi hidangan makan di pesantren, kami merasa kaget dan shok. Bayangkan saja, di rumah, kami biasa makan enak, dengan olahan yang menggugah selera hasil racikan dari tangan Bunda tercinta. Makanan olahan Bunda tentu berbeda dengan di pesantren, bagai langit dan sumur. Tempe goreng, misalnya, akan berbeda rasanya bila tempe goreng itu dibuat oleh Bunda ketimbang tempe goreng di pesantren, meskipun sama-sama tempe.

Lalu, setelah hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan, maka kami pun mulai terbiasa dengan olahan dan cita rasa masakan made by chef pesantren. Mungkin lapar karena capek berkegiatan yang tak habis-habisnya, maka hidangan apapun yang disajikan oleh dapur pesantren akan kami sikat dengan lahapnya, walaupun -maaf- rasanya sangat jauh untuk disebut sebagai makanan yang enak. Tapi ya itu, karena lapar dan tidak ada lagi makanan enak yang bisa di makan, maka nasi dan tempe goreng plus sayur kangkung (yang rasanya gak karuan) pun dengan lancar masuk kerongkongan dan bersemayam di perut kami dengan damainya. Seingatku, saat itu tak ada diantara kami yang susah makan lantaran menyantap makanan dari dapur pesantren. Kalaupun tak berselera dengan lauk yang disajikan, maka kami biasanya membeli “salatoh” (sambal) sebagai penambah rasa lauk yang hambar agar ada tambahan rasa pedas, manis, dan asinnya. Ya, salatoh itu aku istilahkan sebagai doping agar lauk dan sayur dapat dengan lancar masuk ke tenggorokan.

Oh ya, tak selamanya menu makanan di pesantren tak enak atau melulu hanya tahu dan tempe goreng saja. Menunya bagiku cukup bervariasi dan sesuai standard kesehatan yang ditetapkan oleh WHO, hehe... Selang seling. Ada ikan kembung goreng, telor dadar/rebus, ayam, dan daging. Menariknya, untuk lauk tempe-nya pun diolah dengan beragam model. Ada yang disebut tempe jilbab, karena tempe itu ditepungin (seperti mendoan); Ada pula yang kami juluki tempe berontak, sebutan untuk tempe yang diiris tipis-tipis, dan diberi kecap. Dan banyak sebutan aneh lainnya. Ironisnya, bila makan pagi (sarapan), maka menunya hampir seragam yakni sayur (bersantan bening) dan selalu berkrupuk. Itu saja terus menerus, tanpa perubahan, kecuali saban Jumat pagi, dimana kami biasanya menyantap nasi goreng plus kerupuk putih. Just it.

Nah, untuk menu makan siang relatif beragam dan ada peningkatan ‘gizi’ ketimbang menu sarapan dan makan malam. Menu lunch kami lumayan ‘berkelas’. Setiap rabu siang ada opor ayam, yang lumayan enak untuk lidahku. Lantaran lauknya opor ayam, maka saban rabu siang, selepas shalat zuhur, kami ‘dipastikan’ shalat tanpa khusyuk. Begitu selesai do’a tanda ibadah shalat kelar, maka kami, para santri langsung ngacir laksana kecepatan kilat menyambar menuju kamar dan mengambil piring lalu ngantri di dapur. Kenapa kami harus lari? Pertama agar bisa segera dilayani oleh petugas; Karena yang sudah-sudah pernah kejadian sebagian kecil dari kami tidak dapat lauk opor ayam. Kehabisan. Sebagai gantinya, oleh pengurus dapur maka di-rebusin-lah telor, hiks.. Sungguh tragis! Opor ayam diganti telor rebus. Alasan kedua, agar kami dapat memilih potongan ayam yang kami sukai. Jangan sampai kami hanya tinggal mendapat sayap atau maaf- empot-nya ayam. Biasanya pilihan favorit kami adalah dada atau paha bagian dalam yang banyak terdapat daging ketimbang tulangnya. Bila antrian kami jauh dibelakang, jangan berharap dapat potongan daging yang oke, apesnya ya mendapat empot ayam. Begitulah, hari rabu siang adalah salah satu hari yang kami nanti-nanti.

Temans, tak selamanya kami menikmati dengan sempurna kelezatan hidangan ala pesantran. Pernah suatu hari disuatu masa, kejadiannya kalau tak salah pada hari kamis pagi. Daftar menu sarapan hari itu adalah sayur kol berkuah (santan) dengan krupuk. Menu ini salah satu menu favorit kami, karena sayur kol berkuah ini rasanya gak jauh beda dengan sayur padang yang berkuah lezat. Lumayan enak. Nah, disaat kami mulai mengunyah nasi bercampur sayur itu, kok ada yang beda rasanya dibandingkan dengan kamis-kamis kemarin. Rasa sayur kol ini rada aneh, berbeda dengan sebelum-sebelumya. “Ah, mungkin lidahku saja yang lagi error,” pikirku. Namun, tak hanya aku, teman-temanku yang lain pun merasakan keanehan yang sama. Tapi, sudahlah, habiskan saja, toh masih ada rasa asin dan gurih khas sayur bersantan. Akhirnya kami pun menghabiskan sarapan bersayur itu, tanpa tersisa. Piring kami licin tandas. Laper, hehe..

Nah, saat mentari mulai naik, sekira waktu dhuha, pas jam istirahat pertama tiba, setempo jam 09-an, tersiarlah kabar yang membuat perut ini mules. Ya, mendengar selentingan kabar itu langsung kami tercekat kaget. Ternyata sarapan yang kami santap di kamis pagi itu bercampur dengan (bulu) tikus. Inti kabar di pagi itu adalah selagi sayur kol itu di masak dalam panci yang besar, sayur itu kemasukan tikus. Lho kok bisa? Lha bisa, lha wong tikus dan santri jumlahnya bersaing. Waktu itu banyak tikus berkeliaran di sekitar pesantren kami. Nah, tikus got berbadan besar yang berkeliaran di dapur pesantren itu tanpa sengaja tergelincir jatuh ke dalam panci besar tempat sayur kol yang siap dihidangkan untuk sarapan pagi para santri. Oleh juru masak, tikus yang masuk ke panci besar yang sedang mendidih hebat itu segera diambil dan dibuang. Tikusnya sendiri ketika terpeleset masuk panci besar langsung menggelepar-gelepar dan koit seketika.


Kalau bicara kesehatan, tentu sayur itu harus dibuang dan diganti (dimasak) dengan sayur yang baru. Oleh pengurus dapur, lantaran waktunya sudah mepet, sedangkan jam sarapan santri sudah tiba, maka sayur itu terpaksa dihidangkan. Mereka kompak untuk tak menceritakan ‘aib’ besar itu, takut para santri tak nafsu makan. Barulah setelah selesai sarapan, dimana para santri telah belajar di kelasnya masing-masing, berita tikus masuk ke panci besar itu kami dengar. Pantesan rasanya kok rada aneh, ternyata ada campuran tikus disana. Ola la. Untungnya, meski kami menyantap sayur kol bercampur tikus, namun tak ada yang sakit diantara kami. Hanya setelahnya, setiap hari kamis pagi saat sayur kol itu kembali dihidangkan, ada perasaan geli dan tak enak, mungkin lantaran teringat tikusnya. Itulah ceritaku yang sempat menikmati olahan sayur kol berbulu tikus. Berani mencoba?

Minggu, 13 November 2016

Indonesia Bisa Menjadi Role Model Perwujudan Pulau Layak Anak (PLA) Di Dunia

Sejak dicanangan pada tahun 2010 oleh Kementerian PP&PA, Kota Layak Anak (KLA) telah merambah ke hampir sebagian besar Kota/Kabupaten di Indonesia. Kota Layak Anak adalah suatu sistem pembangunan Kabupaten/Kota yang mengintergrasikan komitmen dan sumberdaya dari para pemangku kepentingan, yakni pemerintah, masyarakat dan dunia usaha secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan yang terencana untuk pemenuhan hak-hak anak. Beranjak dari komitmen tersebut, tiap-tiap Kota/Kabupaten telah mencoba menerapkan kebijakan KLA dalam program dan tahapan rencana pembangunan kota/kab mereka.

Dari judul dan penamaan program, yakni Kota Layak Anak (KLA), niscaya tidak ditemukan atau belum disentuh pengembangan Pulau Layak Anak (PLA) secara khusus. Selama ini, yang menjadi sasaran program ini adalah Kota atau Kabupaten di Indonesia, yang berada –tentunya—di pulau-pulau besar, seperti Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Lalu, bagaimana dengan pengembangan Pulau Layak Anak itu sendiri? Sudahkah kita menerapkan kebijakan Pulau Layak Anak? Memang, sejatinya keberadaan pulau itu sendiri berada dalam lingkup suatu kabupaten, dan KLA pastinya akan menyasar ke pulau yang notabene berada (include) dalam kabupaten tersebut. Namun peng-intensifan atau penajaman program sebaiknya juga menyentuh suatu pulau atau beberapa pulau sebagai pilot project pengembangan Pulau Layak Anak di Indonesia (PLA).

Lalu, sejauh mana gaung KLA telah ada atau diimplementasikan di suatu kawasan atau pulau tertentu di Indonesia. Apakah ada sebuah pulau yang benar-benar menjadi benchmark bagi perwujudan PLA, dengan kata lain pulau tersebut telah 100 persen menjadi Pulau Layak Anak? Selain Jepang dan Filipina, tak banyak negara di dunia yang memiliki gugusan kepualaun. Untuk itu, sebagai salah satu negara kepulauan di dunia, adalah suatu keniscayaan mewujudkan Pulau layak Anak dalam salah satu kawasan gugusan kepulauan di nusantara.

Bila melihat dari scope dan cakupan pelaksanaan program, sejatinya sangat lah mudah mewujudkan Pulau Layak Anak ketimbang perwujudan Kota/Kab. Layak Anak yang berada di area (baca: daratan) yang luas. Lantaran luas cakupan areanya kecil, maka kompleksitas yang ada di pulau tidak serumit ketimbang di daratan yang luas. Pulau Untung Jawa, di gugusan Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, misalnya, dapat dijadikan role model pengembangan Pulau Layak Anak di Indonesia. Selain itu, Gugusan Kepulauan di Mentawai, di Sumatera Barat, dan gugusan kepulauan di Sulawesi Tenggara, juga layak untuk dikembangkan sebagai percontohan PLA.

Sama seperti penerapan percepatan pelaksanaan KLA di daratan, maka untuk pengembangan Pulau Layak Anak (PLA) di Indonesia, kami ingin membagi penerapan PLA dalam 2 (dua) tataran konsep, yakni; Pertama: Tataran implementasi PLA yang dapat di lihat/tampak (seen) dan Kedua; implementasi perwujudan PLA yang tidak tampak (unseen) atau dalam bentuk pemenuhan data terpilah, peraturan perundangan, dan pendokumentasian/pengarsipan. Untuk tataran seen (dapat dilihat) maka perlu dikembangkan Sekolah Ramah Anak (SRA) di pulau tersebut, lalu mewujudkan Puskesmas Ramah Anak (PusRA), dan pembangunan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA).

Seen concept adalah percepatan perwujudan PLA dengan membangun sarana dan prasarna (fisik) penunjang PLA. Keberadaan PLA dapat dirasakan langsung oleh masyarakat penghuni pulau dengan melihat apakah tersedia sarana dan prasarana yang ramah anak di pulau tersebut? Taman bermain, misalnya. Berapa dan bagaimana kondisi taman atau tempat bermain bagi anak yang tersedia?  

Faktor seen ini juga sangat penting untuk membuktikan keseriusan pemerintah dalam mewujudkan PLA. Maka pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana bermain anak, yakni melalui perwujudan taman bermain interaktif adalah hal mutlak yang harus dikerjakan pertama kali bila ingin meng-create dan men-design pulau yang ramah anak.

Bila lahan/tanah yang ada cukup luas, maka pembuatan taman bermain tidak hanya tertuju lepada pembangunan taman bermain an sich namun dapat dikembangkan dan diintegrasikan menjadi RPTRA. RPTRA yang dimaksud adalah taman atau ruang yang memadukan konsep bermain, belajar, berkreasi, berseni, dan berolahraga, serta beragam aktivitas warga masyarakat yang kesemuanya ditujukan untuk mendukung pengembangan potensi anak. Di RPTRA harus tersedia Perpustakaan Anak; Panggung Seni & Kreasi Anak; Pojok Cyber/Komputer Anak; Sekretariat Forum Anak; Lapangan Futsal/Badminton/Tenis Meja dsb, serta sarana penunjang kegiatan anak lainnya. Singkatnya, RPTRA adalah perwujudan bagi pengintegrasian seluruh aktivitas dan kegiatan anak dan masyarakat yang ramah anak.

Disamping pemenuhan kebutuhan dasar anak (tempat bermain), permasalahan yang lekat dengan anak adalah dalam hal pendidikan dan kesehatan. Usia anak adalah usia sekolah, maka hampir sepertiga waktu anak dihabiskan di sekolah. Untuk itu bagaimana kita men-design Sekolah Ramah Anak (SRA); yakni suatu sekolah yang bertujuan untuk memastikan bahwa sekolah memenuhi, menjamin, dan melindungi  hak anak. Mengembangkan minat, bakat, dan kemampuan anak agar terwujud anak yang sehat jasmani dan rohani, serta memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, berbudi pekerti luhur, dan berakhlak mulia. Mempersiapkan anak untuk bertanggung jawab kepada kehidupan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta membawa rahmat bagi seluruh alam.

Di bidang Kesehatan, bagaimana kita membangun Puskesmas Ramah Anak (PusRA), dimana didalamnya mutlak tersedia: Ruang menyusui bagi ibu (Ruang Laktasi); Adanya ruang/space bermain untuk balita/anak; Tersedianya ruang dan tenaga konsultasi kesehatan remaja (PIK Remaja); dan sarana penunjang kesehatan yang modern dan meng-cover seluruh jenis penyakit yang rentan menimpa anak-anak. Di tiap PusRA minimal tersedia dokter spesialis kulit dan kelamin, dokter spesialis THT, dan dokter spesialis gigi.

Lalu bagaimana mewujudkan PLA di Indonesia? Untuk mewujudkan PLA, perlu dukungan dan komitmen yang kuat dari para stakeholder yang ada di pulau tersebut agar mereka merasa saling memiliki dan mempunyai ikatan emosional yang kuat untuk kesuksesan PLA. Para pemangku kepentingan, yakni kepala kampung/pulau, tokoh agama, guru/pendidik, dokter/bidan, dan aparat pemerintah setempat dapat merumuskan kebijakan-kebijakan apa yang akan diambil dan sarana/prasarana apa yang mesti dibangun untuk pelaksanaan PLA.


Dari 31 indikator KLA yang dikeluarkan oleh Kementerian PP dan PA, maka bila 3 (tiga) bidang tersebut diatas, yakni bidang Pendidikan; Kesehatan; Dan Pemanfaaatan Waktu Luang, digarap secara serius dan simultan, maka keberadaan PLA bukan impian kosong. Untuk mewujudkan itu semua, rasanya tidak berlebihan bila –sebagai negara kepulauan- Indonesia bisa menjadi pilot project pengembangan suatu pulau atau kepulauan yang ramah anak di dunia. 

Rabu, 19 Oktober 2016

Ternyata Staf Pun Mempunyai Kasta

Saya ingin berbagi kisah tentang staf di kantor saya.
Bagi kami yang bekerja di instansi pemerintah, dalam hierarki kedudukan dan jabatan, ada di kenal dengan yang namanya staf dan pimpinan atau pejabat struktural. Selain pejabat, tentu ada staf. Pejabat dibantu oleh beberapa orang staf. Bisa satu staf, bisa pula banyak, tergantung kebutuhan organisasi. Bahkan adapula pejabat yang tidak mempunyai seorang pun staf. Bila ini terjadi, biasanya terdapat pada lingkup organisasi yang kecil.

Bagi pimpinan yang punya staf banyak, jangan senang dulu. Adakalanya banyak staf namun tak satu pun staf itu yang bisa kerja. Inilah yang dikatakan pimpinan yang punya staf namun tanpa staf. Praktis Ia bekerja sendirian. Tak ada seorang staf pun yang dapat diandalkan untuk membantunya bekerja, bahkan staf itu menjadi beban. Gimana gak beban, bila saban makan siang bersama, si pimpinan akan mentraktir para staf yang notabene adalah anak buahnya sendiri, hehe..

Kita mungkin pernah dengar istilah staf ahli yang merujuk kepada jabatan seseorang. Biasanya mantan pejabat yang di-lengser-kan akan di tempatkan posisinya di jajaran staf ahli. Di lingkungan militer kejadian ini adalah sesuatu yang jamak dan lazim. Yang ingin saya tekankan adalah sebenarnya tidak ada perbedaan antara staf ahli, staf senior atau staf lainnya. Staf ya staf. Kroco (titik). Tak lebih dan kurang. Meski kami sama-sama staf, namun, diantara kami para staf, ada ‘kasta’ tak tertulis yang telah dipahami oleh setiap staf, lantaran itulah terjalin harmoni diantara kami, sehingga antara staf satu dengan lainnya saling tahu diri dan respek diantara mereka.

Lalu -meski sama-sama staf- yang membedakan antara staf yang satu dengan staf yang lainnya adalah pada golongan dan tingkatan pangkat, walkasil gaji dan tunjangan diantara kami, para staf pun berbeda. Staf golongan 3A tentu berbeda dengan staf golongan 2A. Perbedaan (tunjangan) nya bisa bagai langit dan sumur. Kebanyakan staf 3A berlatar belakang pendidikan S1, berbeda dengan 2A yang hanya tamatan SMA. Pola pikir dan attitude mereka pun berbeda, meskipun sama-sama staf, hehe..  

Nah, lantaran perbedaan ‘kasta’ pendidikan inilah, staf pun ada ‘golongannya’-nya, yakni mulai dari yang ‘prestise’-nya tertinggi yakni staf ahli atau staf senior hingga staf rendahan alias staf  yang tidak mempunyai keahlian apa-apa, selain kerjanya di suruh-suruh. Kedua golongan staf inilah yang mewarnai blantika perbirokrasian di tanah air, dimana ada sebagian staf dengan keahlian yang mumpuni dan banyak sekali staf yang tak bisa apa-apa. Ada staf yang sering kerja dan ada pula staf yang hanya ngisi absen lalu duduk dan baca koran saja sepanjang hari.

Lantaran staf rendahan itu gak bisa ngapa-ngapain, maka oleh bos, tiap harinya disuruh kerja yang enteng-enteng aja, seperti disuruh moto copi, disuruh nge-fax ataupun di suruh nyopirin bos. Merekalah kasta terendah dari staf. Ya, satf rendahan ini gak bisa di suruh ngapa-ngapain selain pekerjaan yang tak membutuhkan keahlian komputer ataupun di suruh mikir yang rada berat-berat. Ciri-ciri staf rendahan model begini kebanyakan adalah usia mereka sudah mendekati pensiun; Menjadi PNS sejak zamannya Pak Harto, dimana masuk (PNS) nya pun gak pake tes, hanya bermodalkan izajah SD/SMP dan tentu dengan koneksi atau kenalan kepada pejabat yang membawanya. Biasanya si pejabat itu akan merekrut saudara atau orang sekampungnya untuk ikut bekerja di instransinya. Untuk loyalitas, mereka pasti sangat loyal kepada yang ‘membawa’-nya. Hutang budi. Maka tak heran bila pada zaman itu suatu instansi atau kantor dikuasai oleh etnis tertentu.  Di Pemprov DKI misalnya, pada rentang tahun 80 hingga 90-an terkenal dengan istilah yang disingkat “Babi Kuning”, suatu akronim yang merujuk ke etnis tertentu.

Diatas staf rendahan ini, masih ada juga staf yang rada mendingan. Ini kasta menengah. Mereka masih bisa diandalkan untuk bantu-bantu staf lainnya. Konduite kerjannya pun lumayan, bisa disuruh ngetik ataupun membantu menyiapkan kegiatan atau acara. Staf model begini kebanyakan diisi oleh para lulusan SLTA yang masih ada. Sama seperti staf rendahan, mereka masuk jadi PNS sudah lama, sejak rezim Orde Baru. Karena ijazah mereka sebatas SLTA, maka tak ada yang bisa diharapkan dari mereka selain aktivitas administrasi belaka, semisal ngetik (itupun sudah dikonsep oleh staf senior atau pejabat-nya), menghubungi narasumber, ataupun mengurus perbal surat dinas.

Nah, terakhir adalah golongan staf yang rajin kerja, mikir, dan ngonsep inilah yang menduduki kasta tertinggi. Mereka (staf senior) inilah yang kontribusinya benar-benar dibutuhkan republik ini. Ya, ini lantaran pejabat –kebanyakan- bisanya hanya nyuruh doang. Sedangkan yang mengkonsep, memikir dan meng-create adalah para staf senior. Mereka, karena nasib yang belum berpihak, belum diangkat jadi pejabat, masih menyandang status staf. Jika staf rendahan pulangnya selalu tenggo, maka staf senior ini sering sekali pulang lembur, kerja pagi pulang larut malam. Saking giatnya kerja, banyak diantara mereka yang tumbang, bila fisik tak kuat, sakit demam typoid akibatnya, sungguh kasihan..

Boleh dibilang yang mengalami suka duka dunia per-staf-an adalah para staf senior ini. Dinamika dan asam garam kerja jadi pegawai negeri benar-benar dirasakan oleh mereka. Bayangkan saja, disaat orang lain sudah tiba di rumah dan bercengkrama dengan anak istrinya, para staf senior ini masih berjibaku dan berkutat dengan kerjaan-nya. Menyusun anggran dan kegiatan, misalnya menjadi menu utamanya. Meng-create suatu pola program dan kebijakan adalah santapan harian mereka. Ringkasnya tiada hari tanpa berpikir dan berkarya. (Bagaimana dengan) Pimpinan? Ya tahu beres aja. Kebanyakan mereka (pejabat) sudah sibuk dengan kegiatan seremonial ataupun pendampingan. Namun demikian mereka juga full supported kepada anak buahnya (staf senior) yang kerja. Dengan ‘dignity’-nya mereka memberikan supervisi, arahan dan persetujuan terhadap rancangan kerja yang dibuat oleh staf senior.

Kalau tadi kita bicara duka, maka sukanya adalah kami para staf senior ini sering kali ditugaskan keluar kota bahkan keluar negeri sampai ke Amerika untuk mengikuti pelatihan atau acara yang berkaitan dengan kedinasan. Untung-untungan juga sih, tergantung rezeki, pasalnya adapula undangan kegiatan/program yang ditujukan langsung dan harus dihadiri oleh si pejabat. Namun adakalanya pula undangan itu ditujukan -karena berkaitan dengan hal-hal teknis yang hanya dikuasai oleh staf- kepada staf senior, jadilah disposisi itu jatuh ke tangan mereka.


Ya, begitulah romantika kerja, suka dan duka kami para staf senior, dimana pengabdian dan dedikasi kami tak pernah terlihat. Kami selalu bergerak dibelakang layar, ibaratnya yang punya susu kerbau, yang punya nama sapi. Yang kerja kami, yang punya nama pimpinan/pejabat, hehe.. 

Senin, 17 Oktober 2016

Cerita Tentang Orang Kaya di Jakarta

Banyak yang bilang bahwa kaya dan miskin itu relatif. Bagaimana mengukur seseorang kaya atau miskin. Apa parameternya? Apa tolak ukurnya? Bagi saya pribadi, untuk menilai seseorang masuk golongan kaya atau tidak kaya (sengaja saya gunakan kata tidak kaya untuk menggantikan kata miskin) yakni bila ia memiliki rumah pribadi (bukan ngontrak atau masih numpang dengan orang tua/mertua, hehe..) berlokasi MASIH di Jakarta, lebih spesifik lagi di kawasan Menteng, Kebayoran Baru, Kemang, dan Pondok Indah, dengan luas tanah sekitar –sedikitnya-- 500 meter persegi, plus punya kendaraan roda empat tentunya, dan penghasilan sebulan at least 20 jutaan. It’s simple parameter. Lebih dari itu, berarti kaya bingits. Nah, justru, bagi orang yang kaya bingits, bila ukurannya hanya memakai, saya punya parameter, seperti diatas, bisa jadi mereka masih dianggap belum kaya atau masuk kategori orang yang biasa-biasa saja. Jadi, mungkin inilah makna relativitas dari kekayaan atau ketidak-kayaan itu sendiri.

Jika saya amati sekilas, ada 2 (dua) type atau golongan orang kaya. Pertama; Orang kaya yang tahu bahwa ia kaya. Ia sadar bahwa ia orang kaya dan tahu akan kemana uang dan harta kekayaannya itu akan ia gunakan. Lantaran tahu bahwa ia kaya, maka ia nikmati harta kekayaannya sebaik-baiknya. Ia tidak ingin dibelenggu oleh harta dan kekayaanya, justru gunakan uang dan hartanya untuk bersenang-senang. Tiada hari tanpa kebahagiaan, tawa dan canda.

Banyak teman saya memanfaatkan kekayaannya untuk kesenangan pribadi dan keluarganya. Saban semester diisi dengan jalan-jalan, wisata kuliner, spa, hangout, dan sebagainya. Sering saya jumpai dalam updetan status di fesbuk-nya, teman saya terlihat sedang ber-selfie dengan latar belakang Menara Eifel. Di lain kesempatan saya lihat pula ia berada di Patung Liberty, NY.

Nah, menariknya golongan ini mampu mengimplementasikan kekayaanya dengan amal sosial yang bernilai ibadah. Mereka membelanjakan kekayaannya --disamping untuk kesenangan pribadi-- juga untuk kemaslahatan umat manusia. Mereka mendonasikan sebagian –entah besar atau kecil—harta yang dimiliki untuk amal ibadah sosial secara simultan dan beriringan. Tak jarang mereka saban tahun suka ber-umroh ke Masjidil Haram, Kerap mengundang anak yatim untuk perayaan hari ulang tahunnya ataupun perayaan kesyukuran lainnya. Bahkan, saking ‘riya’ nya foto-foto aktivitas sosial dengan para pengurus panti sosial di unggah di medsos. Dengan kata lain, Ia dan harta kekayaannya bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia. Inilah jenis atau type orang kaya yang saya istilahkan “High Quality Rich.” Orang kaya model ini adalah mereka yang sadar bahwa meraka kaya sehingga mampu dan mendayagunakan potensi kekayaannya untuk sesuatu yang bernilai sosial, produktif, rekreatif, dan multi useful. Tegasnya, kekayaan yang ia miliki mampu membuat ia dihormati, dipandang dan dianggap oleh masyarakat sekitar.

Nah, ada pula orang kaya yang sadar bahwa ia kaya namun mereka membelanjakan kekayaannya hanya untuk kepentingan dan ego pribadi dan keluarga saja tanpa memperhatikan lingkungan sekitar. Bahasa sosiologinya “Asosial. Tidak peduli akan nasib tetangga yang kesusahan. Tidak care terhadap anak yatim dan janda sekitar rumah yang perlu disantuni. Bahkan, tidak pernah ikut iuran satpam atau iuran RT/RW. Bila ada tetangga selemparan rumah yang meninggal, ia tidak melayat ataupun menitipkan amplop uang duka kepada shohibul musibah. Golongan ini berprisnsip: “gw gak ngerugiin loe, so jangan janggu gw.” “Loe asik, gw asik.” Walhasil, mereka menikmati kekayaannya hanya untuk kepentingan diri sendiri, hanya untuk pemuasan ego dan nafsu pribadi, tanpa peduli dengan lingkungan masyarakat sekitar. Sepanjang tidak merugikan orang lain, buat apa pusing mikirin orang lain. Ego lah yang timbul.

Sebaliknya, ada pula golongan kedua, yakni orang kaya yang tidak sadar bahwa ia kaya sehinga tidak bisa menikmati dan memanfaatkan harta kekayaannya. Mereka diperbudak oleh hartanya. Mereka ini, sibuk bekerja dari pagi buta hingga malam berselimut gelap. Yang ada dibenaknya bagaimana uang hari ini terkumpul banyak. Buka toko dipagi hari, berdagang seharian di toko, tutup toko lalu pulang, begitu seterusnya. Bagi mereka yang kerja kantoran, eksekutif papan atas, misalnya, pergi saat belum tampak mentari, pas jam pulang tak sempat bersua dengan kelembutan mentari. Jika saya lirik dari penampilannya tentu gajinya sekitar 30 jutaan. Mobil keluaran terbaru, walaupun masih ada sisa kredit 12 bulan.

Karena tidak sadar bahwa ia kaya, maka hampir dibilang tidak ada kamus ber-leisure dan bersenang-senang dalam hidup mereka. Tiap akhir pekan menghadang, hanya pergi ke mall lalu balik ke rumah. Tak pernah sekalipun saya lihat keluarga mereka plezier ke Bali, misalnya. Namun demikian, beruntung mereka masih mau iuran RT/RW, masih mau nyumbang pembangunan gedung PAUD, dan masih peduli dengan menyantuni anak tetangga yang ileran dan belekan lantaran kurang gizi. Menarik memang, meski gak pernah jalan-jalan ke Lombok, mereka juga masih sempet-sempetnya nyumbang kegiatan maulid Nabi SAW di mushola deket rumah. Golongan ini ‘pelit’ terhadap diri sendiri, namun royal terhadap lingkungan sekitar. Mereka masih mau bersosialisasi dengan warga sekitar tempat tinggal.

Nah, celakanya golongan kedua ini adalah meski kaya, namun tidak sadar ia kaya malahan justru apaptis terhadap lingkungan sosialnya. Sungguh, saya kasihan terhadap mereka, tidak bahagia hidupnya. Dibudak oleh harta, tanpa mampu menikmatinya. Pergi pagi, pulang malam, begitu saban hari menumpuk dan mengumpulkan harta. Apesnya lagi, dalam tata pergaulan masyarakat pun golongan ini nyaris diacuhkan bahkan tidak di reken keberadaannya oleh Pak RT/RW. Kalau ia mati, entah ketabrak Bus TransJakarta atau tertimpa pohon tumbang, dipastikan gak ‘kan ada orang yang men-shalatinya, bahkan tetangga kiri kanan pun segan bertandang ke rumahnya tuk ngelawat.  


Maka, beruntunglah kita bila diamanahi kekayaan oleh Tuhan YME dan sadar bahwa kita kaya karena-Nya dan membelanjakan kekayaan itu untuk diri sendiri, keluarga, dan masyarakat sekitar, amien. 

Senin, 19 September 2016

Mereka Dari Pesantren

Bagi kami yang pernah merasakan tinggal di pesantren, tentu kehidupan remaja yang kami alami berbeda dengan remaja kebanyakan yang pada usia pubertas asik belajar, bermain dan bermain. Kehidupan di alam pesantren (yang berasrama) membuat hidup kami tak jauh dari kamar, sumur, lapangan bola (bermain) dan sekolah. Tak lebih. Kami yang pernah nyantren tentu jarang berhubungan dengan dunia luar. Tak ubahnya seperti lapas, hidup kami terkungkung di kelilingi tembok, meskipun ada pula pesantren tradisional yang tidak berpagar dan berbaur dengan lingkungan masyarakat lokal di suatu dusun (kampung).

Kehidupan kami tak beda dengan pendidikan yang dijalani sebagian remaja terpilih dari seluruh Indonesia yang mengikuti pendidikan militer atau Akademi Militer, yang terkontrol 24 jam dengan beragam aturan, kebiasaan, dan tingkah laku yang terprogram, terstruktur dan tersistem. Bahkan, untuk urusan busana dan bicara pun kami punya aturan. Boleh dibilang semua aturan yang ada dan dibuat oleh pimpinan itu tidak enak. Makan hati. Namun tujuan aturan itu tentu baik, yakni agar kami bisa menghadapi bekal hidup kedepannya. Agar jiwa dan kepribadian kami tertempa dengan baik.

Diantara teman-teman saya sekampung sepermainan, selepas sekolah dasar, hampir 60 persen diantara kami diutus atau dikirim orang tuanya ke pesantren. Kebanyakan dikirim ke luar kota Jakarta. Tujuannya tentu agar jauh dari rumah dan jarang pulang. Menurut orang tua kami, bila keseringan pulang, takutnya kami kena pengaruh ‘angin’ Jakarta yang jelek. Jadilah, kami dikirim ke Jawa Timur atau ke paling dekat ke jawa Barat (Cirebon, Tasik, dsk). Lantaran jauh, kami hanya pulang setahun sekali pas mendekati hari raya lebaran.

Oh ya, beragam latar belakang dan status sosial teman-teman saya yang nyantren. Ada yang orang tuanya dagang di pasar, ada pula yang jadi makelar tanah atau pegawai kantoran. Meski pekerjaan orang tua kami beragam, namun kami semuanya berlatar belakang keluarga yang taat akan ajaran agama. Kami Islam (titik), dalam arti memperoleh ajaran Islam dari ulama-ulama dimana mereka berguru yang ajarannya bersanad (menyambung) hingga ke Rasulullah SAW. Sehingga dalam masalah pemahaman keagamaan ketika awal nyantren, praktis diantara kami tidak mengalami ‘jetlag’. Semuanya seragam, tak ada yang nganut ajaran agama islam yang ‘aneh-aneh, seperti dari golongan islam Liberal, apalagi islam Nusantara. Naudzublillah..

Selepas pesanteren yang di tempuh rata-rata selama 6 (enam) tahun, kami mulai melanjutkan pendidikan ke berbagai bidang. Ada yang ikutan UMPTN dengan harapan dapat nerusin kuliah di PTN ternama, adapula yang memilih jalur biasa, dikatakan biasa karena basis kami berlatar belakang pendidikan agama, maka kuliahnya pun ke bidang agama, yakni ke Institut Agama Iislam Negeri/IAIN era tahun 90-an (sekarang UIN) atau ke Universitas berbasis keagamaan seperti Universitas Muhammadiyah dan sebagainya. Bahkan ada pula dintara kami yang ke luar negeri, biasanya mereka dari keluarga yang kaya raya, punya kontrakan (property) banyak dan sawah yang lebar. Arab Saudi, dan Negara di kawasan Timur Tengah lainnya, atau ke Mesir adalah tujuannnya. Dan, bagi yang berasal dari keluarga yang ‘kismin’ biasanya selepas pesantren mereka tak kuliah dan memilih mengajar agama atau jadi guru ngaji di kampung mereka.

Nah, barulah setelah menginjak bangku kuliah jejak dan langkah mereka mulai sulit terlacak. Ini lantaran kami sibuk dengan dunianya masing-masing. Sibuk dengan kegiatan dan aktivitas yang baru, yang berbeda dengan dunia pesanteren. Aktivitas kampus tentu beda dengan pesantren. Di kampus kehidupan kami lebih hetrogen. Pergaulan pun berbeda.

Hatta, sampailah masa dimana kami telah tumbuh dewasa, telah lulus kuliah, kerja dan berkeluarga. Mulailah muncul satu dua nama-nama yang dulu aku kenal yang kembali mampir ke ingatanku. “Ohh.. ternayata dia sekarang di situ, ohh.. ternayata si Fulan di sana.” Begitu biasanya aku berguman tatkala tahu langkah dan pengabdian selanjutnya dari teman-temanku selepas kuliah.

Mereka yang tamatan dari pesantren lalu kuliah tersebar dalam beragam ladang pengabdian. Kebanyakan mereka menjadi guru agama. Menjadi ustaz, ngajar ngaji. Bila dia pintar, tentu derajat atau maqomnya tak sekadar ustaz namun menjadi Kyai. Sebagian kecil ada yang jadi PNS, ada pula yang dagang atau berwirasawasta, bahkan tak sedikit pula yang jadi tukang ojek pangkalan. Yang kerjaannya luntang lantung gak jelas pun banyak. Pagi ada di rumah, siang ke pangkalan, sore entah kemana, dan malam baru sampai rumah. Ada juga yang -karena ketokohannya- diangkat jadi Ketua RT atau RW. Ya, lumayan juga, eksistensinya diakui oleh warga masyarakat, hehe..

Meski demikian, lulusan pesantren jangan lah dipandang sebelah mata. Ada banyak dari mereka yang tampil dan sukses berkiprah dalam tataran global (internasional). Abdurrahman Wahid, misalnya, putra Kyai Haji Wahid Hasyim yang pernah jadi Presiden ini adalah jebolan dunia pesantren. Begitu pun dengan beberapa menteri dan pejabat tinggi negara pernah merasakan getirnya hidup di pesantren. AM Fachir yang menjabat wakil Menteri Luar Negeri, misalnya, adalah PNS karier yang jebolan pesantren. Begitupun pimpinan lembaga tinggi Negara MPR(S) yakni Idham Chalid dan Hidayat Nur Wahid juga alumnus pesantren. Kalau rajin menyisir tentu masih banyak lagi keluaran pesantren yang sukses berkiprah dan berkarier baik di swasta maupun pemerintahan.


Itulah mereka-mereka yang pernah merasakan gigitan nyamuk dan bangsat di pesantren, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tak peduli jadi orang atau hanya luntang lantung gak jelas, namun sekecil apapun kontribusi mereka, yang jelas mereka kebanyakan orang baik-baik dan gak nyusahin, minimal untuk diri mereka dan keluarga mereka. 

Selasa, 06 September 2016

Dibalik Makna Mendampingi atau Mewakili

Bagi kami staf yang bekerja di instansi pemerintah, ada kalanya kami ditugaskan pimpinan  untuk hadir di suatu acara, rapat, atau kegiatan. Kehadiran kami yang membawa (mewakili) nama instansi tentunya diharapkan oleh si pengundang. Dalam acara itu, (instansi) kami tentu akan menyampaikan kebijakan dan pandangan yang harus disampaikan. Nah, lantaran acara itu dipandang pimpinan bernilai penting dan stretegis, maka tentunya tidak sembarang staf yang mendapat penugasan untuk hadir dalam acara itu.

Lazimnya staf yang mendapatkan disposisi untuk hadir ada pada jajaran staf yang mempunyai ‘maqom’ yang tinggi atau staf senior. Boleh dibilang mereka, para staf senior itu, langganan dapat tugas macam itu. Ya, mereka sering kali keluar kantor, jarang ada di tempat. Meski sering keluar kantor, jangan senang dulu, belum tentu keluar kantor untuk hadir di suatu acara itu menyenangkan. Bisa jadi itu menyebalkan. Ya, meskipun isi disposisi itu untuk menghadiri acara atau kegiatan, namun ada dua jenis perintah yang tertulis yang mempunyai perbedaan dan status ‘sosial’ bagai langit dan bumi bagi penerimanya, yakni mewakili atau mendampingi.

Bila ada surat masuk yang meminta kehadiran pejabat/staf dari kantor, biasanya si bos akan menuliskan di lembar disposisi: WAKILI, LAPOR! atau bisa pula tertulis DAMPINGI!. Mendampingi, itu berarti kita harus hadir. Mewakili pun maknanya sama yakni kita harus hadir. Namun, meski kedua kata itu konteksnya sama yakni sama-sama harus hadir, namun ada fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang berbeda dari kedua isi disposisi itu. Nah, inilah yang akan saya ulas mengenai perbedaan dari kedua perintah itu.   

Biasanya pimpinan akan menyuruh kita untuk mewakili yang bersangkutan bila kebetulan disaat dan waktu yang sama, pimpinan berhalangan atau ada kegiatan lainnya. Nah, ketika inilah kami, staf senior akan mendapat tugas untuk mewakili beliau. Staf yang diutus untuk mewakili ini oleh pimpinan dipandang cakap untuk hadir. Yang namanya mewakili, maka kami diberi wewenang penuh untuk hadir dan berbicara dalam suatu forum pertemuan. Sehari atau beberapa jam sebelum dimulainya acara, biasanya protokoler atau pihak pengundang akan mengkonformasi ke kantor kami siapa yang akan hadir pada acara mereka. Gunanya untuk memastikan urutan-urutan sapaan dan protokoler yang akan di terapkan.

Lantaran diundang dan dibutuhkan kehadirannya –karena memang instasi kami berada pada level tinggi, atau bisa pula kami ahli dibidang atau masalah terkaiit-  Biasanya pihak tuan rumah atau pengundang akan menempatkan kita pada posisi yang terhormat, Ini ditunjukkan dengan duduknya kita di posisi depan, sejajar dengan para tamu terhormat lainnya. Posisi duduk ini biasanya ditujukan kepada para tamu penting yang akan menjadi rujukan atau narasumber. Bila kami mewakili untuk hadir pada suatu rapat, maka disitulah kami, staf senior mempunyai wewenang penuh untuk berbicara dan mengutarakan berbagai pendapat, masukan, saran, dan arahan kepada para peserta rapat atau pertemuan. Wewenang berbicara ini tentunya tidak tak terbatas, ia dibatasi oleh aturan terkait kebijakan strategis yang menjadi domain pimpinan.
Itu sekilas gambaran mengenai konsekwensi bila kami mendapatkan disposisi mewakili. Namun apesnya adalah bila kami mendapatkan perintah untuk mendampingi. Ini artinya kami harus hadir mendampingi pimpinan pada kegiatan atau acara itu. Kami menilai bila atasan meminta kami untuk mendampingi, itu artinya atasan tidak pede untuk hadir seorang diri pada acara atau rapat itu. Ketidakpedean itu mungkin disebabkan pimpinan tidak menguasai permasalahan atau bisa jadi itu semacam apresiasi bagi kami, staf senior, lantaran pimpinan menilai kami memiliki kecakapan untuk memberikan penjelasan dan saran atau nasehat kepadanya terkait berbagai permasalahan yang akan dibicarakan pada pertemuan itu.

Nah, kami-kami ini sebagai staf ahli (senior) diharapkan memberikan bahan atau data terkait masalah yang diminta. Untuk tugas mendampingi ini biasanya posisi duduk kami berada di samping pimpinan atau tepat dibelakang kursi pimpinan. Gunanya agar bila pimpinan memerlukan advis atau masukan dari kami, maka kami dengan mudah memberikan bisikan atau catatan terkait apa-apa saja yang harus disampiaikan.

Yang namanya mendampingi, maka kami tak punya hak bicara dan mengajukan pendapat di forum. Ya, kalau atasan atau pimpinan ‘pandai’ berbicara dan berargumen kita akan nyaman berada disamping atau belakang mereka. Dan, satu lagi, bila arahan dan advis yang kita berikan dipakai dan di suarakan oleh pimpinan dalam rapat itu merupakan kebahagian yang tak terkira. Namun sialnya, bila pimpinan atau bos kami tidak pandai berbicara dan hanya diam saja sepanjang pertemuan, maka gregetan lah yang muncul. Gregetan lantaran kami ingin berbicara menjelaskan sesuatu yang memang kami kuasai namun, lantaran ‘kode etik’ dimana kami cuma sekadar mendampingi yang harus tahu diri. Dan perlu diingat bahwa ‘hak’ berbicara itu hanya ada pada pimpinan kami. Apalah artinya kami yang cuma kroco dan staf ini.

Disamping itu kami juga harus menenggang rasa dan pandai menjaga perasaan pimpinan. Ya, meski kami lebih pandai dari mereka (pimpinan) namun adat ketimuran, hierarki, dan kepangkatan lah yang mengerem kami untuk tidak berbicara mendahului pimpinan. Kami harus menjaga agar jangan sampai mereka merasa tersaingi oleh kami. Maka seringkali sebelum berbicara atau mengutarakan pendapat dan masukan didahului dengan kalimat; “izin pak/bu.”


Begitulah sekilas tentang makna disposisi “mewakili atau mendampingi”. Dua kata yang membuat kami, para staf senior bisa menjadi manusia ‘terhormat’ atau hanya sekadar kroco dibalik punggung pimpinan. Hehe..

Senin, 15 Agustus 2016

Menelisik Motif Seseorang Menjadi Warga Negara (Asing) Amerika

Saat menjadi tamu dari Kemeneterian Luar Negeri Amerika Serikat dalam program International Visitor Leadership 2016 (IVLP) Maret silam, aku, dan beberapa peserta lainnya ditemani oleh pendamping yang bertugas sebagai Liason Officer dan penterjemah bagi kami, peserta dari Indonesia. Maklum, tidak semua dari kami yang empat orang ini lancar ber cas cis cus dengan style American English. Menyadari bahwa program ini sangat penting bagi transfer pengetahuan dan menjalin mutual understanding diantara kedua anak bangsa, Indonesia dan warga Amerika, pihak Kemenlu USA tampaknya tidak mau mengambil resiko. Dan, supaya program berjalan efektif dan lancar, mereka pun menyediakan dua orang penterjemah untuk kami.

Kedua penterjemah kami telah lama tinggal dan menetap di Amerika. Lancar berbicara bahasa Indonesia dan Inggris. Wanita (WNI) bersuamikan WN Amerika, dan seorang lagi, pria, ber-WN- Amerika. Keduanya adalah orang aseli Indonesia. Dikatakan asli karena keduanya sejak lahir, kecil dan tumbuh remaja tinggal di Indonesia, berdarah Indonesia, ditambah berayah dan ibu Indonesia. Namun, dalam perjalanannya suratan nasib lah yang membuat keduanya mempunyai WN yang berbeda.

Nah, saat senggang diwaktu break kegiatan, iseng-iseng aku coba menelisik kisah ‘kepindahan’ pendampingku, sebut saja namanya Jonny, dari WNI ke WN Amerika. “Pak Jon, kenapa sih milih jadi WN Amerika? Selidikku.
(jawabannya kurang lebih dalam redaksi yang bebas seperti ini) “Saya itu orangnya gak suka ribet Mas Rachmat. Coba bayangkan, saya dan keluarga tinggal disini (USA), mencari nafkah dan bekerja disini. Hampir dibilang jarang sekali kami pulang ke Indonesia. Bahkan pernah, saking jarangnya, selama 5 tahun itu paspor Indonsia saya nyaris bersih dari cap imigrasi Indonesia. Parahnya, meski saya jarang ke Indonesia atau bepergian ke lauar dari Amerika, namun saya harus memperpanjang passport itu 5 (lima) tahun sekali. Dan itu sangat menyita waktu saya. Bayangkan saja, saya tinggal di California, untuk mengurus urusan keimigrasian (passport), saya harus terbang ke kedutaan di Washington DC. Butuh waktu 4 jam terbang, sudah itu ditambah pula dengan keruwetan birokrasi khas Indonesia. Jadi ya, saya memutuskan pindah jadi WN Amerika agar PRAKTIS saja.” Ujarnya.

Kemudian dia menceritakan padaku tentang proses seseorang mendapatkan kewarganegaraan Amerika. Kebanyakan dari mereka (WNI atau WN luar Amerika yang melamar menjadi WN Amerika) sebelumnya telah mendapatan status Permanent Resident atau PR. PR adalah semacam pintu masuk untuk menjadi WN Amerika. “Saya pun juga demikian, Mas Rachmat”, ujarnya. Lalu ia kembali menjelaskan bahwa sebenarnya status PR dengan WN Amerika lainnya kedudukannya hampir tak ada beda. Semua hak dan kewajiban hukum yang melekat bagi seorang PR dan Warga Negara Amerika lainnya sama. Perbedaanya hanya pada urusan politik saja yakni WN Amerika boleh nyoblos Pemilu. Mereka boleh ikut election, pemilihan presiden Amerika, Hanya itu, tak lebih.

Nah, di lain waktu, pendampingku yang seorang lagi sebut saja namanya Wati, karena ia menikah dengan WN Amerika, maka ia telah mendapatkan PR. Ia pernah ‘curhat’ padaku, “Mas Rachmat, enaknya gimana ya, apakah aku apply jadi WN Amerika atau tetap dengan status ini. Toh aku juga jarang sekali ke Indonesia. Hidupku lebih banyak disisni, di Amerika.”
Dengan bijak aku kasih pandangan. “Mbak Wati, kata Pak Jonny, PR itu kan gak beda dengan WN Amerika. Mempunyai hak dan kedudukan yang sama di mata hukum. Nah, buat apa pula ngelamar jadi WN Amerika. Toh dengan masih memiliki passport hijau Indonesia, mbak punya keterikatan batin dengan Indonesia, disamping itu kalau suatu saat mbak berencana ‘pensiun’ dan menghabiskan masa tua di tanah air, mbak bisa beli tanah dan rumah di Indonesia. Kalau tak salah kan kepemilikan tanah untuk WN Asing dilarang di Indonesia.” Begitu kira-kira advisku. “Iya juga mas”. Ujarnya menutup obrolan kami.

Nah, bicara mengenai kasus Arcandra Tahar, Menteri ESDM saat ini, perlu juga ditelisik latar belakang dan motif yang bersangkutan mendapatkan passport Amerika. Dari obrolanku dengan kedua orang pendampingku itu maka dapat diduga bahwa lantaran Arcandra telah lama tinggal dan bekerja di Amerika, tentu ia sebelumnya telah mendapatkan status Permanent Resident (PR)  sebagai syarat untuk ‘meningkatkan status’ nya menjadi WN Amerika.

Lalu apa yang menjadi motif Arcandra melamar jadi WN Amerika. Apakah motif nya sama dengan Pak Jonny itu, karena ribet harus gonta-ganti passport ataukah ada motif lain? Apapun motif dan tujuannya, hanya Tuhan dan Arcandra yang tahu. Namun dari situ kita bisa sedikit menilai jiwa dan semangat patriotisme yang bersangkutan terhadap bangsa dan tanah air Indonesia. Tentu kadar dan bobotnya berbeda dengan Umar Bakrie, guru yang bergaji kecil namun tetap setia dengan pengabdiannya. Nasionalisme Arcandra Tahar juga tak bisa disamakan dengan Ngadinu, tukang becak di Solo yang mengaku pernah menempeleng pemuda rakyat di tahun 1965.

Bicara masalah nasionalisme dan patrotisme, tentu akan panjang dan menyita energy kita. Ahh persetan dengan nasionalisme, ahh masa bodo dengan patriotsime, toh kewarganegaraan tidak ditanyakan malaikat maut saat kita meninggal, misalnya. Ok, aku tidak menyalahkan mereka yang punya pikiran itu, namun aku punya prinsip, bila seseorang telah meng-apply kewarganegaraan asing, bersumpah setia terhadap Negara asing itu, maka yang bersangkutan tentu tak mau ambil pusing dengan apapun yang terjadi di Indonesia. Ia tentu saja lebih concern dengan Negara ‘barunya’ tempat ia mencari makan dan hidup. Tempat dimana ia menghabiskan waktu dan hidupnya. Indonesia? Nanti dulu.


Kenapa aku bisa pada kesimpulan itu karena dengan ia menjadi WN (asing) Amerika, misalnya, maka ia dapat menentukan kebijakan dan arah politik bangsa Amerika dengan ikut pemilu misalnya. Lalu untuk apa pula seseorang bersusah payah menjadi WN (Asing) Amerika bila dengan status PR saja ia sudah mendapatkan segalanya di Amerika. Toh, cukup dengan status PR saja, kewarganegaran Indonesia-nya tak kan hilang. Lalu dimana letak kepeduliannya terhadap Indonesa bila –mungkin- saja ia tidak memilih presiden Indonesia, karena paspornya otomatis hangus akibat kebijakan dari UU Nonor 12/2016. Namun, terlepas dari apapun motif dan tujuannya, dimataku bagi seseorang yang sudah (pernah) menjadi WN Asing, tentu tak lah elok untuk dilibatkan membicarakan nasib dan masa depan (kemajuan) Indonesia kedepan. 

Selasa, 02 Agustus 2016

Patokan yang Pernah Melegenda di Jakarta

Saya masih ingat, saat kecil bila ingin pergi ke rumah teman atau kerabat di kawasan Ciganjur, mesti akan dikasih clue oleh tuan rumah, “dari Herman Soesilo belok kiri.“ atau “sebelum Herman Soesilo ada gang, kanan pertama, namanya Gang Manggis.” Begitulah petunjuk yang diberikan. Ya, Herman menjadi patokan.

Bagi anak yang lahir tahun 90-an keatas, mungkin rada asing atau tak terlalu kenal dengan nama dan sosok Herman Soesilo. Siapa dia? Saya akan me-refresh ingatan kita akan dokter berkaca mata yang pernah popular pada tahun 80-an. Beliau adalah bekas Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Beliau terkenal lantaran wajahnya sering terlihat pada acara-acara kesehatan di TVRI, satu-satunya stasiun televisi pada masa itu. Ok, Saya tidak akan membahas tentang sosok Herman Soesilo, namun saking populernya nama tersebut, ia atau lebih tepatnya rumah kediamannya di tetapkan sebagai patokan dan rujukan bagi penduduk di kawasan sekitar Ciganjur. Maklum, dokter ini tinggal di ujung Jalan Kahfi I (sekarang posisinya dekat dengan taman Tabebuya). Kenapa (rumah) Dokter Herman bisa jadi patokan. Ya, mungkin saat itu tidak ada tempat atau icon yang menjadi penanda kawasan Ciganjur.

Bila kita berkendara dari arah Blok M menuju ke kawasan Ragunan, tentu bias melawati Jalan Kemang Raya sebagai akses terdekat ke sana. Waktu tahun 80-an yang menjadi icon dan perlambang kawasan Kemang adalah: Kem-Chick, Hotel Kemang, LPPI (sekarang IBI) dan Pom Bensin, di ujung jalan arah ke Ampera. Ya, hanya empat tempat itu, tak ada yang lain. Maklum, belum ada bangunan atau gedung fenomenal yang dapat dijadikan rujukan dan tanda. Saat itu, sepanjang Jalan Kemang hanya ada perumahan penduduk di kiri kanannya, dengan beberapa kavling tanah kosong yang belum dibangun yang akhirnya hanya berupa kumpulan ilalang tempat tumbuhnya rumput-rumput liar.

Sama dengan Kemang, di sepanjang Jalan Sudirman pun, awal tahun 80-an rada sulit juga kita menentukan patokan berdiri. Saat itu yang masih kuingat, sewaktu usiaku masih sekolah dasar hanya ada showroom Toyota di kanan jalan arah ke Dukuh Atas. Showroom ini bukanlah gedung bertingkat seperti banyak dijumpai di kiri kanan Jalan Sudirman, namun hanya bangunan 2 (dua lantai). Bila dari arah Kebayoran Baru, maka gedung Summitmas akan menjadi pertanda. Ini adalah gedung bertingkat pertama yang akan dijumpai di sebelah kanan jalan. 

Di kawasan Cilandak pun demikian adanya. Komplek Marinir di Cilandak menjadi rujukan bagi siapapun yang hendak menuju dari dan ke Cilandak/Ragunan. Beringsut ke utara, ke kawasan Jalan Sahardjo dan sekitarnya, dulunya ada (nama) Jembatan Merah. Kondektur Bus PPD 105 (?) tujuan Manggarai - Blok M sering meneriakan kata “merah-merah’. Posisinya sendiri sebelum Jalan Barkah, berada di sebelah kiri arah ke Manggarai. Oh ya, di namakan Jalan Barkah, lantaran jalan ini adalah jalan masuk ke Masjid Al Barkah. Sekira 800 meteran ada masjid dan Perguruan Islam As-Syafiiyyah, milik ulama legendaris KH. Abdullah Syafi’e.

Demikian adanya, tiap-tiap kawasan di Jakarta mempunyai tempat atau nama sebagai clue atau penanda patokan arah. Patokan itu sendiri bisa berupa kediaman rumah tokoh terkenal, tempat legendaris, ataupun kantor/instansi yang besar. Tentu patokan ini sangat membatu di zaman yang belum ada aplikasi google map. Terlebih, saat itu sangat sedikit bangunan dan gedung besar yang dapat dijadikan rujukan bagi seseorang yang baru tiba atau sampai di lokasi itu.

Begitulah warna warni dalam menentukan patokan dan arah di tahun 80-an, Kini, meski beberapa ‘situs’ masih tetap berdiri, namun ada pula yang hilang atau terlupakan lantaran sudah jarang disebut atau diperbincangkan. Tak hanya itu, tragisnya beberapa bangunan dan tempat bahkan sudah digusur dan diganti fungsinya.


Zaman boleh berubah, pembangunan boleh lanjut, namun tidaklah elok bila ‘situs-situs; yang ada di Jakarta itu tergusur. Harus ada kesadaran kolektif untuk melestarikan peninggalan masa lalu sebagai penanda atau legacy (pengingat) bahwa disitu atau di kawasan itu pernah –dulunya- terkenal dengan sebutan dan menjadi penanda kawasan, bahwa dimasanya tempat atau bangunan itu pernah berjaya dan menjadi patokan atau rujukan untuk orang-orang sekitarnya. Kita berharap generasi sekarang masih ingat dimana Rumah Herman Soesilo, dimana Kem-Chick dan dimana posisi Jembatan Merah, semoga.

Rabu, 27 Juli 2016

Berkat Usaha Susu Sapi, Anak Betawi Banyak Yang Jadi Orang

Hingga sekitar tahun 80-an, jangan heran bila di Jakarta, susu segar di pasok langsung dari Jakarta. Bukan dari Lembang ataupun dari kawasan lain di luar Jakarta. Selain di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, salah satu kawasan penghasil susu sapi segar adalah Kemang dan Mampang, semuanya di Jakarta Selatan.

Namun, selain kawasan tersebut diatas, ada beberapa tempat lainnya di Jakarta yang mengelola usaha peternakan sapi perah. Condet di Jakarta Timur, misalnya, kawasan ini adalah sentra penghasil susu sapi segar di Jakarta Timur. Menariknya usaha peternakan sapi perah di Jakarta, dikelola dan dikembangkan oleh etnis Betawi. Mungkin lantaran tidak ada pendatang dari etnis lainnya yang memilii tanah dan pekarangan yang luas dan lebar di belakang rumahnya sebagai syarat pengusahaan sapi perah. Saat itu boleh dibilang hampir mayoritas orang tua Betawi berprofesi sebagai peternak sapi. Maka, dengan modal 2 (dua) ekor sapi paling sedikit, jadilah mereka berprofesi sebagai peternak sapi. Peternak dalam hal ini yakni pemerah susu sapi. Meski profesi sebagai peternak sapi perah banyak dilakoni oleh orang betawi di tahun 80-an, namun ada juga dari mereka yang berprofesi sebagai perkebun, dalam arti menjual hasil kebun yang tersebar di tanah-tanah meraka, seperti buah-buahan langsung ke pasar.

Boleh jadi usaha susu sapi perah ini menjadi mata pencarian pokok bagi etnis betawi di sekitaran Mampang dan Kemang lantaran saat itu untuk penyediaan pakan sapi sangat mudah didapat. Rumput tersebar dimana-mana. Kalaupun harus beli, harganya pun sangat terjangkau. Dari usaha per-susu-an inilah keluarga Betawi dapat menyekolahkan anaknya hingga menjadi tukang insinyur, dokter, dan guru ngaji. Bahkan mampu membiayai anak-anaknya untuk sekolah agama ke luar negeri, ke Cairo, Mesir.

Waktu itu, sejak zamannya Bung Karno, beberapa familiku, pernah terlibat dan menekuni profesi sebagai petenak sapi perah. Aku masih ingat, dulu, saat usiaku sekolah dasar sering ngintilin (ikut) encang-ku mengantarkan susu ke pelanggannya. Tak hanya itu, aku juga sering diajak mencari rumput sebagai pakan untuk sapi-sapinya. Dengan mobil kijang bak terbuka type doyok-nya, Ncang-ku, Haji Madamin (nama beken dari dari Haji Muhammad Amin) membeli rumput di kawasan sekitar Warung Buncit. Berkah dari bisnis susu sapi perah ini memang luar biasa. Ncang-ku ini anaknya 8 orang, semuanya disekolahkan hingga menjadi tukang sarjana, hanya dengan mengandalkan bisnis susu sapi perahnya. Encangku yang lain pun demikian. Ncang Naseh namanya, anaknya juga banyak, bererod kayak bebek. Semuanya disekolahkan hingga jadi ‘orang’ hanya dengan lantaran sapi.

Untuk pemasarannya sendiri, biasanya para peternak sapi perah memasarkan susu segarnya ke arah utara ke kawasan Menteng, Jakarta Pusat, yang banyak didiami oleh para orang kaya, berpangkat, dan para pejabat. Untuk mengantarkan susu-susu itu, mereka, para pemerah susu biasanya bersepeda beriringan di pagi buta, selepas subuh saat matahari belum muncul. Mereka bersepeda dari rumahnya di Kemang menyusuri jalan Mampang Raya, Rasuna Said (Kuningan) hingga naik menyebrang menuju kawasan Menteng. Selain ke Menteng, pelanggannya tersebar hingga ke Pasar Kebayoran Lama.

Aktivitas memerah susu dilakukan dua kali dalam sehari, yakni pagi-pagi sekali, dinihari, saat azan subuh belum berkumandang. Selepas subuh, susu segar itu langsung diantar kepada para pelanggan. Pemerahan kedua biasanya dilakukan menjelang asar, sekira jam 3 sore. Selepas Ashar, susu segar itu langsung di kirim ke pelanggan atau bisa juga ke penampung atau koperasi. Koperasi ini lokasinya di kawasan tebet, di Jalan Saharjo.

Hingga sekitar akhir 2010-an di Condet, misalnya masih ditemukan 1, 2 peternak sapi perah. Namun Seiring perkembangan jaman –entah mengapa—usaha peternakan sapi itu terhenti. Areal bekas kandang sapi-nya sendiri berubah menjadi rumah petakan untuk disewakan kepada para pendatang. Salah satu penyebab banting setirnya para peternak sapi perah menjadi juragan kost-kost-an adalah makin sulitnya mendapatkan pakan ternak berupa rumput segar. Kalaupun ada, rumput-rumput itu didatangkan dari luar Jakarta, dan tentu dengan biaya mahal. Disamping itu, faktor lainnya adalah ketiadaan penerus pengganti orang tua yang meneruskan usaha pemerahan ini. Maklum saja, anak muda Betawi, selepas jadi tukang insinyur dan sarjana, gengsinya lebih tinggi, mereka lebih memilih kerja di kantoran jadi ‘orang berpangkat’ ketimbang harus berpeluh dengan keringat dan kotoran sapi.

Usaha pemerahan sapi di wilayah Kuningan telah lebih dulu bangkrut. Bangkrut lantaran tata kota mengharuskan di kawasan itu terlarang untuk pemukiman penduduk marginal betawi dengan usaha peternakannya. Dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW), kawasan itu harus disulap menjadi areal perkantoran dan bisnis. Kemang pun menyusul wafat. Tak ada tersisa peternak sapi di kawasan elite Jakarta ini. Di Kampung Kebon dan Pedurenan (keduanya di Kemang) misalnya, para peternaknya sudah menyulap lahan tempat beternak sapinya menjadi perumahan mewah dan kost-kost-an. Nafkah dan mata pencarian warga asli betawi di Kemang berubah dari bisnis perah sapi menjadi juragan kost-kost-an atau properti. Beruntung, di Kelurahan Tegal Parang, Mampang masih ada satu dua peternak sapi, namun itu tinggal menunggu waktu, menunggu untuk mati secara perlahan.


Senin, 18 Juli 2016

Wawancara Visa USA

Sebelum menuju ke Kedubes USA yang berlokasi agak bersebelahan dengan Balaikota, aku menuju ke Jalan Budi Kemuliaan untuk mengambil surat pengantar dari bagian Exhange Program, yang mengurusi IVLP. Aku tiba agak telat, (sekitar seperapat jam dari yang dijanjikan) yakni pukul 08.35. Sedangkan jadwal wawancaraku di Kedubes USA, Medan Merdeka Selatan adalah pukul 09.00. Setelah mendapat briefing sejenak --tentang tata cara dan apa yag mesti aku minta dan lakukan saat wawancara nanti-- dari Mas Heru, staf yang mengurusi keberangkatanku ke USA, segera kupacu sepeda motorku menuju arah Balaikota.

Alhamdulillah tiba tepat jam 8.55. Hampir saja.. Bergegas aku menuju antrian. Saat itu sudah banyak WNI yang antri untuk mengurus VISA. Karena terlambat, aku berada di urutan ketiga dari belakang. Saat jarum jam menunjuk angka 9.15,  antrian atau appointment visa untuk jam 09.00 itu diberi akses masuk. Petugas security membagi kami ke dalam tiga ‘kloter’. Aku masuk di kloter ketiga, atau kloter terakhir. Kami diarahkan masuk ke ruang (semacam pos keamanan) yang lokasinya persis di depan Jalan Medan Merdeka Selatan. Di pos keamanan ini, semua barang bawaan kami di perikasa dengan seksama. Kamera, Handphone, Laptop, USB, dan segala jenis cairan dilarang masuk. Semuanya harus dititipkan di pos keamanaan. Lalu petugas security memberikan nomor identitas tamu dan para pelamar visa masuk melalui security gate (seperti yang ada di Bandara) dan diarahkan untuk menuju ruang tunggu selanjutnya yang berlokasi sekitar seratus meter dari pos keamanan depan.

Di ruang tunggu ini suasananya persis bila kita hendak mengantri untuk menaiki mobil jemputan di site. Ada bangku-bangku yang tersusun rapi membentuk sekitar tiga row atau banjar. Di ruang ini ada 4 (empat) loket. Pas kami tiba di ruangan ini, kami langsung dihadang oleh petugas jaga. Ia bertugas memeriksa kelengkapan berkas wawancara. Setelah melihat berkasku, aku diarahkan olehnya menuju loket 1. Menariknya, keempat loket ini dijaga oleh seluruhnya tenaga kerja WNI. Disini petugas mem-verifikasi berkas-berkas yang aku bawa seperti pasport dan pasport lama (bila ada), undangan wawancara, formulir DS160, dan formulir DS2019 yang merupakan salah satu persyaratan penting untuk memohon visa J1. (foto gambar). Oleh petugas, aku diberikan semacam boarding pass untuk wawancara visa. Boarding pass ini bentuknya mirip dengan kartu gantungan “DON’T DISTURB” yang lazim terdapat di pintu hotel. Disitu tertulis tata cara pengajuan VISA USA, seperti pengambilan sidik jari, dan sebagainya. Setelah berkasku dinyatakan ok, maka petugas mempersilahkanku menunggu dalam antrian kelompok 32. Masing-masing kelompok terdiri dari sekitar 4 hingga 5 orang pelamar. Tak berapa lama, sekitar 30 menit menungu petugas mempersilakan kelompok 31, 32, dan 33 untuk masuk ke ruang yang berada lebih di dalam areal kedutaan. Di Ruang ini tertulis Visa Section.

Tatkala memasuki Ruang Visa Section ini, kulihat para pelamar duduk untuk menunggu pengambilan sidik jari. Untuk pengambilan sidik jari, operatornya ada dua orang. Satu petugas WNI yang mengarahkan (posisi) jari kita, dan satu officer dari pihak USA, yang berada dalam ruangan yang meneliti identitas kita. Lalu tibalah giliran kelompok ku untuk maju. Kami berbaris. Ada lima orang berbaris rapi untuk mengambil sidik jari. Selepas itu, petugas mengarahkan kami duduk di ruang sebelah untuk menunggu panggilan wawancara.

Sekadar gambaran, bahwa ruang VISA Section (pengambilan sidik jari dan wawancara) berada dalam satu ruang yang berbentuk letter L. Ruang Pengambilan Sidik Jari dan Wawancara hanya dipisahkan oleh sekat kecil tempat menaruh koran dan majalah. Kembali kami mengantri untuk wawancara. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat proses wawancara yang sedang berlangsung. Ada sekitar lima loket. Dan masing-masing loket digawangi oleh petugas dari Kedutaan Amerika. Pelamar berbaris rapi berjejer ke belakang, seperti bila kita ngantri membeli tiket. Tibalah giliran kelompokku, kelempok 32 dipanggil. Langsung, tanpa dikomando kami bangkit dari kursi antrian dan berbaris rapi menuju loket 2.  Kebetulan aku dapat loket yang asik. Loket 1, 2 dan 4 di jaga oleh perempuan, staf Kedubes USA. Jadi, perempuan inilah yang akan mewawancaraiku. “Wah, enak, orangnya ramah dan cantik,” batinku.

Kenapa aku merasa beruntung. Jujur, aku rada salting bila menghadapi wawancara. Masalah gender ini mempengaruhi mood-ku dalam menjawab setiap pertanyaan. Pernah aku dihadapkan pada pewawancara pria, dan –dilalahnya-- pewawancara tersebut tidak friendly, akibatnya, mood-ku jadi jelek dalam menjawab pertanyaan. Ini pernah terjadi tatkala aku diwawancara pada seleksi jabatan terbuka dulu. Dan aku gagal.

Sengaja aku mengambil urutan berdiri ke tiga dalam barisan, dengan pertimbangan agar aku dapat mengintip dan melihat dengan lebih jelas proses wawancara yang sedang berlangsung. Kuperhatikan ada ibu disebelahku, di loket 1 ditanya oleh petugas dengan sangat mendetail. Kuamati petugasnya ramah. Nampaknya petugas wanita itu ingin menggali lebih mendalam maksud dan tujuan si ibu berangkat ke USA. Sampai aku dipangil, ibu tersebut belum juga kelar dari wawancra. Aku tidak tahu ia berhasil atau tidak mendapatkan Visa USA. Dalam proses wawancara ini waktu dan durasi interview tidak dapat diprediksi. Ada yang cepat, yang hanya sekitar 10 menit, namun ada pula yang hampir setengah jam lebih. Makin cepat wawancara, maka bisa dipastikan ia lulus. Namun kalau lama, ya, fifty-fifty, bisa lulus, bisa pula gagal.

Tiba giliranku. Aku maju dua langkah. Dengan kesadaran penuh, aku perlihatkan senyumanku yang paling manawan, dan sebelum ia berkata, aku dahului dengan: “hai, how are you..?” sengaja aku lakukan itu. Aku ingin menciptakan kesan optimis dan bersahabat dengan pewawancara. Langsung dijawab olehnya, “fine”, dan sedetik kemudia ia bertanya. “What’s your name?
Langsung ku jawab. “Rachmat Hidayat”
Ia bertanya nama lantaran harus membuka file atas namaku sebelum menelisik lebih lanjut profil diriku yang tertera dalam komputer yang berada di sisi sebelah kirinya.
“Mo ngapain ke Amerika” mungkin itu terjemahan bebas dari pertanyaan yang ia ajukan selanjutnya.
I’ll attend International Visitor Leadership Program, ” jawabku dengan lancar.
Oh.. Congratulation,” sambarnya dengan senyum manis mengembang, dan aku tahu senyumnya tidak dibuat-buat.

Sejurus kemudian dunia di sekelilingku terasa cerah. Lalu, perempuan itu, --yang aku tak tahu namanya namun kutaksir ia berusia 30-an tahun, pirang, cantik, smart, bisa bicara Indonesia dengan aksen amerika-- berujar yang kurang lebih kuterjemahkan sebagai berikut: “Karena anda dibiayai oleh Pemerintah Amerika Serikat, maka anda harus kembali ke Indonesia selama 2 tahun, dalam arti selama waktu itu anda tidak boleh ke Amerika.”
Langsung aku jawab Ok, sambil tersenyum.
Lalu basa-basiku pun muncul. Kami berbincang sejenak. Aku sok mengakrabkan diri. Tanpa ditanya, aku ceritakan bahwa aku belum pernah ke LN sejauh amerika. Paling banter hanya ke Singapur dan Malaysia. Ia menimpali dengan bahasa campuran. “Wooow congrats, you’re lucky man, bisa pergi ke USA.”

Aku juga cerita bahwa aku sibuk membantu Gubernur Jakarta. Sengaja aku singgung kata “gubernur” mengingat reputasi Pak Ahok sangat baik dimata Amerika. “My office next to your office,” pancingku. Dia menimpali, “ya. I know.” Baru aku sadar, ternyata selama proses wawancara berlangsung, matanya sesekali melirik ke layar komputer yang berada di sampingnya. Layar komputer itu memuat data-data pribadiku. Setelah dirasa cukup menelisik tentangku, lalu ia mulai menandatangani berkas-berkasku dan memberikanku semacam name card yang berisi jadwal pengambilan passport. Ia juga memberikan selembar kertas bertuliskan: “Congratulations. Your U.S. visa has been approved” dan satu lagi semacam buku atau leaflet panduan selama aku berada di USA nantinya. Ini berarti visaku disetujui dan aku bisa pergi ke Amerika!


Selepas aku menerima berkas-berkas itu, aku masih tertegun berdiri. Aku tak tahu harus berbuat apa selanjutnya. Menyadari hal itu, dengan ramah ia memberikan semacam signal bahwa proses wawancara selesai. Aku lalu pamit sambil sekali lagi memberikan senyum manisku padanya dengan mengucap: “Thank you”.